Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

SEJARAH PERADABAN ISLAM

“ISLAM PADA MASA ALI BIN ABU THOLIB”

Disusun Oleh;

1.ANDIKA ASMARA

2.ACO BAKRI

3.RATNA

4.NURUL KARTIKA TAHIR

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI MAJENE PROGRAM STUDI TARBIYAH DAN
KEGURUAN TAHUN AJARAN 2022/2023

KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami sampaikan atas kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya kami
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjuduI ”Islam pada masa Ali Bin Abu Tholib”. Shalawat serta
salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad saw. Nabi akhir
zaman pembawa rahmat bagi seluruh alam. Tidak lupa kami sampaikan terimakasih kepada dosen
pengampu mata kuliah studi sejarah peradaban islam,yang telah membimbing kami sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua pada umumnya dan bagi kami
sendiri pada khususnya. Tak ada gading yang tak retak, begitulah adanya makalah ini. Dengan segala
kerendahan hati, saran-saran dan kritik sangat kami harapkan guna untuk peningkatan pembuatan makalah
kami pada tugas yang lain pada waktu mendatang.

Majene,11 Mei 2022


DAFTAR ISI

Kata Pengantar.....................................................................................................................................

BAB I Pendahuluan

Latar Belakang.....................................................................................................................................

Rumusan Masalah................................................................................................................................

1. Bagaimana latar belakang kehidupan Ali bin Abi Thalib........................................................


2. Bagaimana proses pengangkatan Khalifah Ali bin Abi Thalib................................................
3. Perang apa sajakah yang terjadi Pada masa Khalifah Ali........................................................
4. Bagaimana sistem politik Pada masa Khalifah Ali....................................................................

BAB II Pembahasan
1. Belakang Kehidupan Khalifah Ali Bin Abu Tholib
2. Pengangkatan Khalifah Ali Bin Abu Tholib...............................................................................
3. Peperangan Pada Masa Ali Bin Abu Tholib...............................................................................
4. Sistem Ekonomi Pada Masa Ali...................................................................................................
BAB III Kesimpulan
Penutupan.............................................................................................................................................
Saran Dan Kritik.............................................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.
Segala sesuatu tentang penulisan ulang mengenai dunia islam, baik sejarah-sejarah dunia islam
maupun pada masa ali bin abi thalib pastinya bersifat terbuka dan milik hak semua orang. Hanya
bagaimana cara kita mengaplikasikannya secara baik dan benar. Makalah ini lebih banyak menulusuri apa
saja yang terjadi pada dunia islam pada masa ali bin abi thalib. Karna banyak nilai-nilai positif yang dapat
kita ambil dari masa ali bin thalib dan para khalifah yang lainnya.
Kejadian miris yang sering terjadi saat ini adalah banyak orang-orang islam yang tidak mengetahui
sejarah-sejarah islam, bahkan lebih banyak mengadopsi budaya-budaya dari non muslim. Ini adalah
gambaran bagaimana dinamika dunia islam yang terjadi terus menerus.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana latar belakang kehidupan Ali bin Abi Thalib?

2. Bagaimana proses pengangkatan Khalifah Ali bin Abi Thalib?

3. Perang apa sajakah yang terjadi Pada masa Khalifah Ali?

4. Bagaimana sistem politik Pada masa Khalifah

BAB II

PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Kehidupan Khalifah Ali Bin Abu Tholib

Ali adalah putera Abi Thalib bin Abdul Muthalib dan Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdul
Manaf al-Qursyiah al-Hasyimiah. Ali bin Abi Thalib bin Abdul Mutthalib dilahirkan di Mekkah,
daerah Hejaz, Jazirah Arab, hari Jum’at pada tanggal 13 Rajab tahun 602 M atau 10 tahun sebelum
kelahiran Islam. Usianya 32 tahun lebih muda dari Rasulullah SAW.
Ali merupakan sepupu dan juga menantu dari Rasulullah SAW yaitu suami dari puteri
Rasulullah, Fatimah Az-Zahra. Ali masuk Islam tatkala usianya belum mencapai 10 tahun. Dengan
demikian, Ali adalah orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan anak-anak.
Nabi Muhammad SAW semenjak kecil diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthalib. Kemudian
setelah kakeknya meninggal beliau diasuh oleh pamannya, Abu Thalib. Karena hasrat hendak
menolong dan membalas jasa kepada pamannya, maka beliau mengasuh dan mendidik Ali.
Pengetahuan agamanya amat luas. Karena kedekatannya dengan Rasulullah, beliau termasuk orang
yang banyak meriwayatkan Hadits Nabi. Beliau juga terkenal dengan keberaniannya dan hampir
diseluruh peperangan yang dipimpin Rasulullah, Ali senantiasa berada dibarisan depan. Ketika Abu
Bakar menjadi Khalifah, beliau selalu mengajak Ali untuk memusyawarahkan masalah-masalah
penting. Begitu pula Umar bin Khathab tidak mengambil kebijaksanaan atau melakukan tindakan tanpa
musyawarah dengan Ali. Utsman pun pada masa permulaan jabatannya dalam banyak perkara selalu
mengajak Ali dalam permusyawaratan. Demikian pula, Ali juga tampil membela Utsman ketika
berhadapan dengan pemberontak.

B. Proses Pengangkatan Khalifah Ali Bin Abu Tholib

Pengukuhan Ali menjadi khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang khalifah sebelumnya.
Ali dibai’ad di tengah-tengah suasana berkabung atas meninggalnya Utsman bin Affan, pertentangan
dan kekacauan , serta kebingungan umat Islam Madinah. Sebab, kaum pemberontak yang membunuh
Utsman mendaulat Ali agar bersedia dibai’ad menjadi khalifah. Setelah Utsman terbunuh, kaum
pemberontak mendatangi para sahabat senior satu per satu yang ada di kota Madinah, seperti Ali bin
Abi Thalib, Thalhah, Zubair, Saad bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin Umar bin Khaththab agar
bersedia menjadi khalifah, namun mereka menolak. Akan tetapi, baik kaum pemberontak maupun
kaum Anshar dan Muhajirin lebih menginginkan Ali menjadi khalifah. Ali didatangi beberapa kali oleh
kelompok-kelompok tersebut agar bersedia dibai’ad menjadi khalifah. Namun, Ali menolak. Sebab, Ali
menghendaki agar urusan itu diselesaikan melalui musyawarah dan mendapat persetujuan dari sahabat-
sahabat senior terkemuka. Akan tetapi, setelah massa mengemukakan bahwa umat Islam perlu segera
mempunyai pemimpin agar tidak terjadi kekacauan yang lebih besar, akhirnya Alibersedia
dibai’at menjadi khalifah.
Ali dibai’at oleh mayoritas rakyat dari Muhajirin dan Anshar serta para tokoh sahabat, seperti
Thalhah dan Zubair. Ada beberapa orang sahabat senior, seperti Abdullah bin Umar bin Khaththab,
Muhammad bin Maslamah, Saad bin Abi Waqqash, Hasan bin Tsabit, dan Abdullah bin Salam yang
waktu itu berada di Madinah tidak mau ikut membai’at Ali. Abdullah dan Saad misalnya bersedia
membai’at kalau seluruh rakyat sudah membai’at. Mengenai Thalhah dan Zubair, mereka membai’at
secara terpaksa. Mereka bersedia membai’at jika nanti mereka diangkat menjadi gubernur di Kufah
dan Basrah.
Dengan demikian, Ali tidak dibai’at oleh kaum muslimin secara aklamasi karena banyak
sahabat senior ketika itu tidak berada di kota Madinah, mereka tersebar di wilayah-wilayah taklukan
baru, dan wilayah Islam sudah meluas ke luar kota Madinah sehingga umat Islam tidak hanya berada di
tanah Hijaz (Mekkah, Madinah, dan Thaif), tetapi sudah tersebar Jazirah Arab dan di luarnya. Salah
seorang tokoh yang menolak untuk membai’at Ali dan menunjukkan sikap konfrontatif adalah
Mu’awiyah bin Abi Sufyan, keluarga Utsman dan Gubernur Syam. Alasan yang dikemukakan karena
menurutnya Ali tidak bertanggung jawab dan tidak menindaklanjuti pencarian pelaku atas pembunuhan
Utsman tetapi malah mengutamakan pemerintahannya.
Pada hari Jum’at di Masjid Nabawi, mereka melakukan pembai’atan. Setelah pelantikan selesai,
Ali menyampaikan pidato visi politiknya dalam suasana yang kurang tenang di Masjid Nabawi. Setelah
memuji dan mengagungkan Allah, selanjutnya Ali berkata:“Sesungguhnya Allah telah menurunkan
Kitab sebagai petunjuk yang menjelaskan kebaikan dan keburukan. Maka ambillah yang baik dan
tinggalkan yang buruk. Allah telah menetapkan segala kewajiban, kerjakanlah! Maka Allah
menuntunmu ke surga. Sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal-hal yang haram dengan jelas,
memuliakan kehormatan orang muslim dari pada yang lainnya, menekankan keikhlasan dan tauhid
sebagai hak muslim. Seorang muslim adalah yang dapat menjaga keselamatan muslim lainnya dari
ucapan dan tangannya. Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan alasan yang dibenarkan.
Bersegeralah membenahi kepentingan umum, bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya kamu dimintai
pertanggung jawaban tentang apa saja, dari sejengkal tanah hingga binatang ternak. Taatlah kepada
Allah jangan mendurhakai-Nya. Bila melihat kebaikan ambillah, dan bila melihat keburukan
tinggalkanlah.”

“Wahai manusia, kamu telah membai’at saya sebagaimana yang kamu telah lakukan terhadap
khalifah-khalifah yang dulu daripada saya. Saya hanya boleh menolak sebelum jatuh pilihan. Akan
tetapi, jika pilihan telah jatuh, penolakan tidak boleh lagi. Imam harus kuat, teguh, dan rakyat harus
tunduk dan patuh. Bai’at terhadap diri saya ini adalah bai’at yang merata dan umum. Barang siapa yang
mungkir darinya, terpisahlah dia dari agama Islam.”

C. Peperangan Pada Masa Ali Bin Abu Tholib


Ada banyak peperangan yang terjadi di masa Ali, di antaranya:
1. Peran Jamal/Peran Unta
Selama masa pemerintahannya, Ali menghadapi berbagai pergolakan, tidak ada sedikitpun dalam
pemerintahannya yang dikatakan stabil. Setelah menduduki Khalifah, Ali memecat gubernur yang
diangkat oleh Utsman. Ali yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan yang terjadi karena keteledoran
mereka. Selain itu Ali juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan oleh Utsman kepada penduduk
dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara. Dan mememakai kembali sistem distrtibusi
pajak tahunan diantara orang-orang Islam. Sebagaimana pernah diterapkan oleh Khalifah Umar bin
Khatthab. Menyikapi berbagai kebijakan dan masalah-masalah yang dihadapi Ali, kemudian
pemerintahannya digoncangkan oleh pemberontakan-pemberontakan. Diantaranya adalah
pemberontakan yang dipimpin oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang merupakan keluarga Utsman
sendiri dengan alasan:
 Ali harus bertanggung jawab atas terbunuhnya Khalifah Ustman
 Wilayah Islam telah meluas dan timbul komunitas-komunitas Islam di daerah-daerah baru.
Oleh karena itu hak untuk menentukan pengisian jabatan tidak lagi merupakan hak pemimpin
yang berada di Madinah saja. Namun, karena situasi politik yang gawat pada waktu itu sehingga
permintaan mereka merupakan tuntutan yang tidak mungkin dipenuhi dalam waktu dekat. Suasana
politik pada saat itu memanas dikarenakan adanya rongrongan dari berbagai pihak, terutama pihak-
pihak yang tidak menyetujui dan tidak mengakui Ali menjabat sebagai khalifah keempat. Melihat
keadaan sedemikian rumit, maka hal pertama yang memerlukan penanganan serius yang dilakukan Ali
adalah memulihkan, mengatur, dan menguatkan kembali posisinya sebagai khalifah dan berusaha
mengatasi segala kekacauan yang terjadi. Setelah itu baru melakukan pengusutan atas pembunuhan
Utsman. Namun, sejak tahun 35 H/656 M, tahun pengangkatan Ali sebagai khalifah sampai tahun 36
H/657 M, Ali tidak juga memperlihatkan sikap yang pasti untuk menegakkan hukum syariat Islam
terhadap para pembunuh Utsman. Sehingga Aisyah bergabung dengan Thalhah dan Zubair
menggerakkan kabilah-kabilah Arab untuk menuntut balas atas kematian Utsman. Setelah dirasa
mempunyai kekuatan yang besar, Aisyah dan pasukannya memutuskan menyerang pasukan Ali di
Kufah, yang sebetulnya pasukan Ali dipersiapkan untuk menghadapi tantangan Mu’awiyah bin Abi
Sufyan di Syiria. Ali sebenarnya ingin menghindari peperangan. Beliau mengirim surat kepada
Thalhah dan Zubair agar mereka mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai.
Namun, ajakan tersebut ditolak. Akhirnya pertempuran dahsyat antara keduanya pecah, yang
selanjutnya dikenal dengan “Perang Jamal”. Pertempuran tersebut dipimpin oleh Aisyah, Thalhah, dan
Zubair. Pertempuran inilah yang terjadi pertama kali diantara kaum muslimin. Dan yang memperoleh
kemenangan pada perang jamal adalah pasukan Ali, karena pasukan Ali lebih berpengalaman
dibanding pasukan Aisyah. Walaupun pasukan Aisyah mengalami kekalahan, Aisyah tetap dihormati
oleh Ali dan pengikutnya sebagai Ummul Mu’minin.
Bahkan setelah pertempuran usai, Khalifah Ali mendirikan perkemahan khusus untuk Aisyah.
Dan keesokan harinya Aisyah dipersilahkan pulang kembali ke Madinah yang dikawal oleh saudaranya
sendiri, Muhammad bin Abi Bakar. Demikianlah sejarah terjadinya perang jamal yang merupakan
perang pertama antara sesama umat Islam dalam sejarah Islam.
2. Perang Shiffin

Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dilakukan Ali mengakibatkan perlawanan dari Gubernur di


Damaskus, Mu’awiyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggiyang merasa kehilangan
kedudukan dan kejayaan. Selain itu, Mu’awiyah, Gubernur Damaskus dan keluarga dekat Utsman,
seperti halnya Aisyah, mereka menuntut agar Ali mengadili pembunuh Utsman. Bahkan mereka
menuduh Ali turut campur dalam pembunuhan Utsman. Selain itu mereka tidak mengakui
kekhalifahan Ali. Hal ini bisa dilihat dari situasi kota Damaskus pada saat itu. Mereka menggantung
jubah Utsman yang berlumuran darah bersama potongan jari tanda almarhum di mimbar masjid.
Sehingga hal itu menjadi tontonan bagi rombongan yang berkunjung. Dengan adanya peristiwa
tersebut, pihak umum berpendapat bahwa Ali yang bertanggungjawab atas pembunuhan Utsman.Pada
akhir Dzulhijjah 36 H/657 M, khalifah Ali dengan pasukan gabungan menuju ke Syiria utara. Dalam
perjalanannya mereka menyusuri arus sungai Euprate, namun arus sungai tersebut telah dikuasai oleh
pihak Mu’awiyah dan pihak Mu’awiyah tidak mengijinkan pihak Ali memakai air sungai tersebut.
Awalnya Ali mengirim utusan pada Mu’awiyah agar arus sungai bisa digunakan oleh kedua pihak,
namun Mu’awiyah menolak. Akhirnya Ali mengirim tentaranya dibawah pimpinan panglima Asytar al-
Nahki dan dia berhasil merebut arus sungai tersebut. Meskipun sungai tersebut dikuasai pihak Ali,
mereka ini tetap mengijinkan tentara Mu’awiyah memenuhi kebutuhan airnya.

Setelah sengketa tersebut selesai maka pihak Ali mendirikan garis pertahanan didataran Shiffin,
dan Ali masih berharap dapat mencapai penyelesaian dengan cara damai. Ali mengirim utusan dibawah
pimpinan panglima Basyir bin Amru untuk melangsungkan perundingan dengan pihak Mu’awiyah.
Pada bulan Muharram 37 H/658 M mereka mencapai persetujuan yakni menghentikan perundingan
untuk sementara dan masing-masing pihak akan memberi jawaban pada akhir bulan
Muharram.Sebenarnya hal ini sangat merugikan Ali karena akan mengurangi semangat tempur
tentaranya dan pihak lawan bisa memperbesar kekuatannya. Namun sebagaikhalifah, Ali terikat oleh
ketetapan firman Allah surat al-hujurat ayat 9 dan surat an-nisa’ ayat59. Dengan mengenali prinsip-
prinsip hukum Islam itu maka dapat dipahami mengapakhalifah Ali menempuh jalan damai
dahulu.Jawaban terakhir dari pihak Mu’awiyah menolak untuk mengangkat bai’at Ali dansebaliknya
menuntut Ali mengangkat bai’at terhadap dirinya. Maka bulan Saffar 37H/685M terjadilah perang
siffin dengan kekuatan 95.000 orang dari pihak Ali dan 85.000 orangdari pihak Mu’awiyah. Pada saat
perang, Imar bin Yasir (orang pertama yang masuk Islamdi kota Mekkah) tewas. Tewasnya tokoh yang
sangat dikultuskan ini membangkitkan semangat tempur yang tak terkirakan pada pihak pasukan Ali,
sehingga banyak korbanpada pihak Mu’awiyah dan panglima Asytar al-Nahki berhasil menebas
pemegang panji-panjiperang pihak Mu’awiyah dan merebutnya. Bila panji perang jatuh pada pihak
lawanmaka akan melumpuhkan semangat tempur. Pada saat terdesak itulah pihak Mu’awiyah,Amru
bin Ash memerintahkan mengangkat al-mushaf pada ujung tombak dan berserumarilah kita bertahkim
kepada kitabullah. Namun pada saat itu Alimemerintahkan untuk tetap berperang karena beliau tahu itu
hanya tipu muslihat musuh.Tapi sebagian besar tentaranya berhenti berperang dan berkata jikalau
mereka telahmeminta bertahkim kepada kitabullah apakah pantas untuk tidak menerimanya,
bahkandiantara panglima pasukannya Mus’ar bin Fuka al Tamimi mengancam: “Hai Ali, mariberserah
kepada kitabullah jikalau anda menolak maka kami akan berbuat terhadap andaseperti apa yang kami
perbuat pada Usman.”Akhirnya Ali terpaksa tunduk karena beliau menghadapi orang- orang
sendiri.Sejarah mencatat korban yang tewas dalam perang ini 35.000 orang dari pihak Ali dan45.000
orang dari pihak Mu’awiyah.Peperangan ini diakhiri dengan takhkim (arbitrase).Akan tetapi hal itu
tidak dapatmenyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan terpecahnya umat Islam menjadi
tigagolongan. Diantara ketiga golongan itu adalah golongan Ali, pengikutMu’awiyah dan Khawarij
(orang-orang yang keluar dari golongan Ali). Akibatnya, diujungmasa pemerintahan Ali, umat Islam
terpecah menjadi tiga kekuatan politik.

3. Perang Nahrawan

Setelah terjadi tahkim sebagian tentara Ali tidak terima dengan sikap Ali yang menerima
arbitrase karena itulah mereka keluar dari pihak Ali yang selanjutnya dikenal dengan nama Khawarij.
Pihak Khawarij berkesimpulan bahwa:
a. Mu’awiyah dan Amru bin Ash beserta pengikutnya adalah kelompok kufur karenatelah
mempermainkan nama Allah dan kitab Allah dalam perang Shiffin, maka mereka wajib dibasmi.
b. Ali dan pihak-pihak yang mendukung terbentuknya majlis tahkim adalah ragu terhadap kebenaran
yang telah diperjuangkan , padahal banyak korban yang jatuh untuk membelanya. Untuk itu Ali
telah melakukan dosa besar.
c. Dan yang membenarkan pembentukan majlis tahkim adalah mengembangkan bid’ah dan
membasmi kaum bid’ah adalah kewajiban setiap Muslim.
d. Pemuka kelompok ini adalah Abdullah bin Wahhab al Rasibi. SebenarnyaAli tidak ingin
memerangi kelompok Khawarij tapi karena kelompok ini keterlaluan dalam bersikap diantaranya
membunuh keluarga shahabat Abdullah bin Wahhab dengan sadis sekali hanya karena menolak
untuk menyatakan keempat khalifah sepeningggal Nabi adalah kufur, selain itu mereka juga
membunuh utusan yang diutus oleh Ali. Ali menggerakkan pasukannya dan kedua pasukan
bertemu pada suatu tempat bernama Nahrawan, terletak dipinggir sungai tigris (al dajlah).
Sebelum perang diumumkan, Ali masih punya harapan untuk menyadarkankaum Khawarij. Dan
Ali memberikan amnesti bersyarat yang berbunyi: “Barang siapa pulang kembali ke Kufah, akan
memperoleh jaminan keamanan.” Sejarah mencatat setelah itu 500 orang diantara mereka sebagian
pulang ke Kufah dan sebagian lagi pindah ke pihak Ali sehingga kelompok Khawarij tinggal 1.800
orang.Dengan begitu pecahlah perang Nahrawan, korban berjatuhan dari pihak Ali karena
keberanian kelompok Khawarij sangatlah terkenal, walaupun demikian kemenangan berada dipihak
Ali dan tokoh/pemuka Khawarij, Mus’ar al Tamimi, Abdullah bin Wahhab tewas dalam
peperangan ini.Golongan Khawarij ( orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib) yang
bermarkas di Nahrawain benar-benar merepotkan Ali sehingga memberikan kesempatanpada pihak
Mu’awayah untuk memperkuat dan memperluas kekuasannya sampai mampumerebut Mesir.
Akibatnya sangat fatal pada pihak Ali. Tentara Ali semakin lemah,sementara kekuatan
Mua’wiyah bertambah besar, keberhasilan Mu’awiyah mengambilposisi Mesir berarti merampas
sumber-sumber kemakmuran dan suplai ekonomi dari pihak Ali.

D. Sistem Ekonomi Pada Masa Ali


Masa pemerintahan Kholifah Ali bin Abi Thalib yang hanya berlangsung selama enam tahun
selalu diwarnai dengan ketidak stabilan kehidupan politik. Ali harus menghadapi pemberontakan
Thalhah, Zubair, dan Aisyah yang menuntut kematian Utsman bin Affan. Sekalipun demikian,
Khalifah Ali bin Abi Thalib tetap berusaha untuk melaksanakan berbagai kebijakan yang dapat
mendorong peningkatan kesejahteraan umat Islam. Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib,
prinsip utama dari pemerataan distribusi uang rakyat telah diperkenalkan. Sistem distribusi setiap
pekan sekali untuk pertama kalinya diadopsi. Hari Kamis adalah hari pendistribusian atau hari
pembayaran. Pada hari itu, semua penghitungan diselesaikan dan pada hari Sabtu dimulai
penghitungan baru.Cara ini mungkin solusi yang terbaik dari sudut pandang hukum dan kondisi
negara yang sedang berada dalam masa-masa transisi. Khalifah Ali meningkatkan tunjangan bagi
para pengikutnya di Irak. Khalifah Ali memiliki konsep yang jelas tentang pemerintahan,
administrasi umum dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya.
BAB III

KESIMPULAN

Ali adalah putera Abi Thalib bin Abdul Muthalib dan Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdul
Manaf al-Qursyiah al-Hasyimiah. Ali bin Abi Thalib bin Abdul Mutthalib dilahirkan di Mekkah, daerah
Hejaz, Jazirah Arab, hari Jum’at pada tanggal 13 Rajab tahun 602 M.
Pengukuhan Ali menjadi khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang khalifah sebelumnya. Ali
dibai’ad di tengah-tengah suasana berkabung atas meninggalnya Utsman bin Affan, pertentangan dan
kekacauan , serta kebingungan umat Islam Madinah. Ada banyak peperangan yang terjadi di masa Ali,
di antaranya Perang Jamal / Perang Unta, perang siffin dan perang nahrawah.
Khalifah Ali bin Abi Thalib tetap berusaha untuk melaksanakan berbagai kebijakan yang dapat
mendorong peningkatan kesejahteraan umat Islam dalam kebijakan politiknya di tengah campur marut
kehidupan masa pemerintahannya.
BAB IV
PENUTUPAN

KRITIK DAN SARAN

Demikian makalah yang kami buat. Kami menyadari masih banyaknya kekurangan dalam
penyajian makalah ini. Maka dari itu, kritik dan saran sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah
kami selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan penyusun.
DAFTAR PUSTAKA

http://nanamulyadimdf.blogspot.co.id/2012/05/makalah-sejarah-peradaban-islam.html
Yatim, Badri. 2007. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Ath-Thabari, op. cit., hlm. 448-457 dan Suyuthi Pulungan, op. cit., hlm. 153.
http://id.wikipedia.org/wiki/Ali_bin_Abi_Thalib

Anda mungkin juga menyukai