Anda di halaman 1dari 20

PEMIKIRAN POLITIK SYIAH

Dosen Pengampu : Bapak Syaiful Amri, M.Ag

Disusun untuk memenuhi mata kuliah Fiqh Siyasah

Disusun oleh:

KELOMPOK 11

Nadra Putri Syakilah (020211030)

Tengku Damara Alya (0206212038)

Kholid Harahap (0206211026)

PRODI HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI SUMATERA UTARA

2023/2024

i
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum, Wr.Wb

Alhamdulillahirabbil‟alamin. Tiada kata yang pantasa kami ucapkan selain rasa


syukur yang tiada hentinya atas berkat dan rahmat Allah SWT yang telah melimpahkan
nikmat sehat dan semangat sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang telah
diberikan kepada kami. Sholawat bersamaan dengan salam juga kita hadiahkan kepda
baginda Rasulullah SAW, semoga kita semua mendapatkan syafa‟at beliau di Yaumul
Mashyar kelak. Amiin ya Rabbal „Alamiin.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini ialah semata mata hanyalah untuk
memenuhi tuga mata kuliah Fiqh Siyasah yang sudah diberikan kepada kami. Makalah ini
kami susun berdasarkan standar yang ada sumber informasi yang dapat membantu
siapapun yang membacanya. Kekhasan tersendiri dalam penyusunan makalah ini adalah
kesederhanaan, sistematis, dan dibuat untuk memudahkan pemahaman seputar pemikiran
politik syiah

Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca
sekalian. Kritik dan saran kami harapkan demi kesempurnaan dan kelengkapan makalah
ini di masa yang akan datang.

Medan, 1 april 2023

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................... ii

DAFTAR ISI ........................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN

a. Latar Belakang ..........................................................................................1


b. Rumusan Masalah ..........................................................................................1
c. Tujuan Masalah ..........................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Asal Usul Syiah ..........................................................................................2


B. Tokoh-Tokoh Syiah ........................................................................................4
C. Pola Politik Syiah ..........................................................................................6
D. Kondisi Syiah Saat Ini ..................................................................................12

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah Islam memberi tahu kita bahwa hingga saat ini terdapat dua arus utama
dalam Islam. Keduanya adalah Ahlus-Sunna (Sunni) dan Syiah. Tak dapat dipungkiri
pula bahwa kedua aliran teologi besar ini sering terlibat konflik kekerasan satu sama lain.
Syiah adalah mazhab pemikiran Islam yang muncul sebagai akibat politik dan kemudian
berkembang menjadi mazhab teologi Islam. Sebagai arus politik, benihnya sudah ada
sejak persoalan siapa yang berhak menjadi khalifah sepeninggal Nabi Muhammad.
Dalam hal ini, kaum Syi'ah berpendapat bahwa yang ditakdirkan menjadi khalifah
setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW adalah para kerabat dekat nabi, yaitu Ali bin
Abi Thalib dan putra-putranya Hasan dan Husein harus meneruskannya. dan keturunan
mereka. Para ulama berbeda pendapat tentang keberadaan Syiah dalam sejarah. Ada
yang mengatakan bahwa Syiah lahir pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin
Affan, ada juga yang mengatakan bahwa Syiah lahir pada masa perang Siffin yang
kemudian terpecah menjadi dua kubu yang salah satunya mendukung Khalifah Ali bin
Abi Thalib.

.
B. Rusmusan Masalah

1. Bagaimana Asal Usul Syiah ?


2. Siapa saja Tokoh-tokoh Syiah?
3. Bagaimana pola politik Syiah ?
4. Bagaimana Kondisi Syiah saat ini ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui bagaimana Asal Usul Syiah


2. Untuk mengetahui Siapa saja Tokoh-tokoh Syiah
3. Untuk mengetahui bagaimana pola politik Syiah
4. Untuk mengetahui bagaimana Kondisi Syiah saat ini

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. ASAL USUL SYI’AH

Syiah dalam bahasa berarti pengikut, pengikut, partai atau kelompok, sedangkan
secara terminologi sebagian umat Islam yang dalam bidang spiritual dan keagamaan
selalu merujuk kepada keturunan Nabi Muhammad SAW atau orang yang disebut ahlul.
Mereka menolak tuntunan agama dari teman-teman yang bukan ahl al-bayt atau
pengikutnya.

Nama Syiah pertama kali diambil dari pengikut Ali (Syi'ah Ali), yang merupakan
pemimpin pertama ahl al-bayt pada masa Nabi Muhammad SAW. Pengikut Ali bin Abi
Thalib yang disebut Syiah adalah Abu dzar Al-Ghiffari, Miqad bin al-Aswad dan
Ammar bin Yasir.

Kaum Syi'ah sendiri meyakini bahwa kebangkitan Syi'ah terkait dengan isu
pergantian (khilafah) Nabi Muhammad SAW. Mereka menolak kekhalifahan Abu Bakar,
Umar bin Khathab dan Utsman bin Affan karena menganggap hanya Ali bin Abi Thalib
yang berhak menggantikan Nabi.1

Minoritas Syiah merasa bahwa peran ini harus terus dimainkan oleh keluarga Nabi
dan karena itu mendukung Ali bin Abi Thalib. Mereka menganggap kepemimpinan Ali
bin Abi Thalib adalah dengan pengangkatan (ta'yin) dan surat wasiat (nash). Mereka
yang mendukung Ali bin Abi Thalib disebut kelompok Syiah.2 Para ulama berbeda
pendapat tentang keberadaan Syiah dalam sejarah. Menurut Abu Zahrah, Syiah mulai
muncul dalam sejarah pada akhir pemerintahan Utsman bin Affan. Apalagi aliran ini
tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Namun, Watt
menyatakan bahwa Syiah lahir ketika terjadi perang yang dikenal dengan Perang Shiffin
antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah. Dalam pertempuran itu, pasukan Ali bin Abi
Thalib diperintahkan untuk dibelah dua oleh Ali bin Abi Thalib sebagai tanggapan atas
usul arbitrase Muawiyah, salah satu kelompok yang mendukung posisi Ali bin Abi
Thalib disebut Syi'ah dan kelompok lainnya yang disebut Syi'ah. menolak jabatan Ali bin
Abi Thalib disebut Khawarij.

1
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), 89-90.
2
Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam, (Jakarta: AMZAH, 2014), 176.

2
Bertentangan dengan pandangan di atas, Syiah berpendapat bahwa kebangkitan
Syiah terkait dengan isu pergantian Nabi Muhammad SAW (khilafah). Mereka menolak
kekhalifahan Abu Bakar Umar bin Khattab dan Utsman bin 'Affan karena menganggap
hanya Ali bin Abi Thalib yang berhak menggantikan Nabi.

Kedudukan Ali bin Abi Thalib dalam pandangan Syiah sejalan dengan isyarat yang
diberikan oleh Nabi Muhammad SAW semasa hidupnya. Pada awal kenabian, ketika
Muhammad diperintahkan untuk berdakwah kepada kerabatnya, Ali bin Abi Thalib
adalah orang pertama yang menerimanya. Saat itu, Nabi bersabda bahwa orang pertama
yang memenuhi panggilannya adalah penerus dan ahli warisnya. Selain itu, Ali bin Abi
Thalib merupakan sosok yang menunjukkan perjuangan dan pengabdian yang luar biasa
selama masa kenabian Muhammad.

Bukti sahnya Ali bin Abi Thalib sebagai pengikut Nabi adalah kasus Ghadir
Khum. Nabi dikatakan telah memilih Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya di depan
orang banyak yang mengikutinya di padang pasir yang disebut Ghadir Khum, dalam
perjalanannya dari Mekah ke Madinah dalam perjalanan pulang dari haji terakhirnya.
Dalam hal ini, Nabi tidak hanya mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin
umum umat (walyat-i ammali), tetapi juga menjadikan setiap orang, seperti Nabi,
sebagai walinya (wali).

Berlawanan dengan harapan mereka, ketika Nabi meninggal dan jenazahnya


terbaring tidak terkubur, anggota keluarga dan sahabatnya sibuk mempersiapkan
pemakaman dan pengaturan pemakamannya. Para sahabat dan pengikut Ali bin Abi
Thalib pergi ke masjid tempat jemaah berkumpul untuk menghadapi hilangnya
pemimpin secara tiba-tiba setelah mendengar tentang aktivitas kelompok lain. Golongan
ini kemudian menjadi mayoritas, ia melangkah lebih jauh dan dipilih menjadi seorang
muslim dengan sangat tergesa-gesa dengan tujuan menjaga kesejahteraan umat dan
menyelesaikan permasalahan mereka saat itu. Mereka melakukan ini tanpa berkonsultasi
dengan ahl al-bait. Keluarga atau teman-temannya sibuk dengan pemakaman dan tidak
mengatakan sepatah kata pun kepada mereka. Maka para sahabat Ali bin Abi Thalib
menghadapi situasi yang tidak bisa diubah.3

3
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, op. cit., hlm. 113.

3
Berdasarkan realitas tersebut, menurut kalangan Syi'ah, muncul sikap di kalangan
sebagian umat Islam yang menentang khilafah dan menolak mayoritas dalam masalah
agama tertentu. Mereka mengklaim bahwa Ali bin Abi Thalib adalah penerus Nabi dan
penguasa agama yang sah. Mereka percaya bahwa semua hal spiritualitas dan agama
harus menunjukkan ini dan mengajak orang untuk mengikutinya. Itu kemudian disebut
Syiah. Tapi seperti yang dikatakan Nasr, alasan utama kebangkitan Syiah terletak pada
kenyataan bahwa kemungkinan ini ada dalam wahyu Islam, jadi harus dipahami.

B. TOKOH – TOKOH SYI’AH

Pada umumnya aliran-aliran Syi'ah yang ada sekarang di dunia Islam


seperti di Iran, Irak, Pakistan negara-negara lain, adalah golongan yang
membawa Syi'ah Imamiyah.Aliran meyakini bahwa hanya ada 12 (dua belas
orang) imam yang wajib diikuti,mereka itu adalah;
1. 'Ali bin Abi Thalib

2. Hasan ibn 'Ali

3. Husain ibn 'Ali

4. 'Ali Zain al-Abidin

5. Muhammad al-Baqir

6. Ja'far al-Shadiq

7. Musa al-Kazhim

8. Ali al-Ridha

9. Muhammad al-Jawwad

10. Ali al-Hadi

11. Hasan al-Askariy

12. Muhammad al-Mahdi4


Mazhab Imam juga sepakat bahwa Ali bin Abi Thalib adalah penerima wasiat Nabi
Muhammad melalui nash. Mereka sepakat bahwa al-awshiyâ setelah "Ali" adalah
keturunan Fathimah, yaitu al-Hasa dan kemudian al-Husain. Tetapi mereka tidak setuju
bahwa manusia menjadi al-awshiyâ setelah keduanya. Beberapa mengklaim bahwa

4
Huzaemah Tahido Yanggo, op. cit., hal. 38.

4
mereka terbagi menjadi lebih dari tujuh puluh kelompok, yang terbesar di antaranya
adalah Itsna 'Asyariyah dan Isma'iliyyah5.

Para pendukung Imamiyyah Itsna “Asyriyyah” saat ini menempati wilayah-


wilayah di Irak, Iran, Syria, Libanon dan beberapa negara lainnya. Hampir setengah dari
pengikutnya berada di Irak. Mereka hidup sesuai dengan ajaran aliran mereka di 'aqidah,
peraturan sipil, hukum waris, wasiat, wakaf, zakat dan semua bidang ibadah. Kelompok
ini bisa hidup berdampingan dengan anggota sekte Sunni.

Seperti mazhab imamiyyah lainnya, Imamiyyah Itsna 'Asharyiyyah meyakini


bahwa imam memiliki otoritas suci yang diterimanya dari wasiat Nabi Muhammad.
Dengan demikian, bukan hanya kebijaksanaan, tetapi seluruh tindakan Imam dalam
memimpin umatnya didasarkan pada kehendak Nabi Muhammad. Oleh karena itu perlu
diperjelas kekuasaan dan batas-batasnya dalam legislasi dan pembuatan undang-undang.

Pada awalnya, dua belas ulama Syiah imaamiyah melakukan ijtihad mengikuti
metode pembuatan hukum Imam Syafi'i, namun seiring berjalannya waktu mereka
menciptakan fiqh dan beristinbath sendiri dengan cara mereka sendiri. Mereka ijtihad
menggunakan maslahat bukan qiyas. Contoh fikih mazhab Syi'ah Dua Belas Imamiyah
seperti:6

1. Tidak boleh sujud di atas apa yang selain tanah dan tumbuh-tumbuhan
(rumput). Jadi tidak shah shalat kalau sujud diatas wol, kulit dan lain-lain
(menggunakan sajadah waktu sujud).
2. Istinja' dengan batu khusus pada buang air besar saja, tidak boleh digunakan
untuk istinja' dari kencing.
3. Tidak sah mengusap kepala dalam wudhu' kecuali denan sisa air yang masih
melekat di tangan ketika membasuh kedua belah tangan. Jika orang berwudhu'
membasahi lagi tangannya untuk mengusap kepalanya, maka wudhu'nya tidak sah,
meskipun ia telah melap tangannya, ia harus mengulangi wudhu'nya.
4. Laki-laki berzina dengan seorang perempuan yang masih mempunyai suami,
maka haram selama-lamanya baginya untuk menikahinya, meskipun suaminya telah
menceraikannya.

5
Mohammad Ali al-Saiyis, Tarikh al-Fiqh al-Islamy, (Kairo: Daar al-Thiba'ah Muhammad Ali Shabih,
1970), hal. 173-180.
6
Huzaemah Tahido Yanggo, op. cit., hal. 150

5
5. Membolehkan nikah mut'ah.
6. Mengharamkan nikah dengan wanita Kitabiyah.
7. Dan lain-lain.

C. POLA POLITIK SYI’AH

Syiah muncul sebagai reaksi atas mayoritas kelompok Sunni yang mendominasi
percaturan politik Islam sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW. Mereka menemukan
bahwa yang memiliki kekuatan untuk menjalankan kekuasaan politik setelah wafatnya
Nabi adalah “Ali bin Abi Thalib, suami Fatimah binti Rasulullah” dan keturunannya,
sebagaimana dalam Hadits Ghadir Khum di atas. Selain hadits tersebut, kelompok Syi'ah
juga menghadirkan hadits lain yang menegaskan adanya wasiat Nabi dari Kekhalifahan
Ali. Beberapa hari sebelum Nabi wafat dan kesehatannya menurun, Nabi meminta bahan
tulisan kepada para sahabat di sekitarnya. “Bawakan aku pena. Saya menyampaikan
pesan kepada Anda agar Anda tidak melakukan kesalahan di kemudian hari setelah
kematian saya, "kata Nabi." Tetapi Umar menolak, mengklaim bahwa penyakit Nabi
terlalu parah. “Kitab Allah cukup bagi kami,” kata Umar. Lalu orang-orang ribut karena
perkataan Umar. Melihat situasi ini, Nabi menjadi marah dan memerintahkan semua
orang untuk pergi.7

Golongan syiah mengklaim bahwa Nabi meminta alat tulis yang akan menyebut
Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya. Oleh karena itu, berdasarkan kedua hadits
tersebut, mereka menuduh Abu Bakar dan Umar telah merampas hak kekhalifahan Ali
bin Abi Thalib. Itulah yang selalu mereka perjuangkan, baik ketika Ali masih hidup
maupun setelah kematiannya. Tak heran, persoalan Imat menjadi persoalan prinsip bagi
kaum Syi'ah.8

Dalam perkembangan selanjutnya, sekte Syiah ini terpecah menjadi puluhan


bagian atau sekte. Pembagian ini antara lain disebabkan oleh perbedaan pendapat mereka
tentang sifat imam: apakah mereka ma'shum (dilindungi dari dosa) atau tidak, dan
perbedaan definisi imam pengganti. Pada kasus pertama, misalnya, pandangan bahwa
“Ali bin Abi Thalib dan ulama lainnya adalah ma‟shum, sebagaimana kasus Nabi SAW,

7
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 40. Al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari, (Kairo: Dar al-Fikr, t.tp.), Jilid 1, h. 4.
8
Pandangan ini dianut antara lain oleh sekte Isma'iliyah dan Itsna 'Asyariyah. Sementara sekte Zaidiyah
berpendapat bahwa imamah (hak kekhalifahan) tidaklah mutlak milik 'Ali. Wasiat Nabi

6
diikuti Imamiyah dan Isma‟iliyah, sedangkan sekte kedua, Zaidiyah, berpendapat
demikian. .tidak ma'shum. Mengganti Imam sebagian golongan mengangkat Zaid bin
'Ali, sebagian yang lain tidak setuju dan mengangkat sebagian yang lain sebagai Imam
mereka.

Di antara sekian banyak sekte Syiah dapat dikelompokkan menjadi moderat,


ekstrim dan antara dua kutub.9 Kaum moderat cenderung menganggap Ali sebagai
"orang biasa". Mereka juga bisa menerima kekhalifahan Abu Bakar dan Umar.
Kelompok ekstremis menganggap Ali bin Abi Thalib sebagai manusia super. Mereka
menganggap Ali sebagai nabi yang statusnya lebih tinggi dari apa yang dilihat Nabi
Muhammad sendiri. Bahkan di antara kelompok ini ada yang menganggap 'Ali sebagai
titisan Tuhan. Kelompok ketiga melihat Ali bin Abi Thalib sebagai pewaris sah posisi
khalifah (Imam) dan menuduh Abu Bakar dan Umar merebutnya. Namun, mereka tidak
menganggap Ali sebagai nabi lebih penting dari Nabi Muhammad sendiri, apalagi titisan
Tuhan.10

Namun di antara mereka semua, Syiah tetap memiliki tiga sekte penting dan
berpengaruh, yaitu Zaidiyah, Isma'iliyah (Sab'iyah), dan Imamiyah (Itsna 'Asyariyah).
Kajian ini hanya mengkaji gagasan ketiga sekte tersebut karena mereka mungkin
mewakili pemikiran politik Syiah. Tapi sebelum melangkah lebih jauh, itu hanya
menunjukkan kualitas seorang pendeta. Oleh karena itu, mereka dapat menerima
kekhalifahan Abe Bakar dan Umar, yang juga memiliki sifat-sifat yang diwarisi dari
Nabi. Pembuatan film di masa depan akan mengungkapkan pandangan Zaidiyah dengan
tepat. Mengenai pemikiran politik, pertama-tama perlu dijelaskan posisi mereka.
perbedaan dalam pengangkatan seorang imam.

Semua sekte mengakui Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali, Hussein bin Ali dan Ali
Zain al-Abidin sebagai imam mereka. Namun setelah Ali Zain al-Abidin, mereka
berbeda pendapat tentang definisi imam. Beberapa dari mereka memilih Zaid ibn 'Ali
sebagai Imam. Sekte ini dikenal sebagai Zaidiyah. Kelompok lain memilih putra lain dari
'Ali Zain al-'Abidin, bernama Muhammad al-Baqir, sebagai imam mereka. Setelah al-
Baqir, imam mereka adalah Ja'far al-Sadiq. Mereka kembali tidak setuju dengan

9
Penjelasan rinci tentang sekte-sekte Syi'ah dapat dilihat pada Moojan Momen, Shi'i Islam, 23-60 dan
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzähib al-Islamiyah, (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi ttp.), h. 35-53.
10
Muhammad Iqbal,fiqih siyasah, (Jakarta : 2018) h.132

7
penunjukan Imam setelah Ja'far al-Sadiq. Beberapa kelompok bernama Isma'il bin Ja'far.
Sekte ini dikenal dengan nama Ismailiyah. Kelompok lain bernama Musa al-Kazim.
Setelah Musa al-Kazim, imam mereka berturut-turut adalah Ali al-Ridha, Muhammad al-
Taqi, Ali al-Hadi, Hasan al-Askari dan Muhammad al-Mahdi. Nama sekte itu adalah
Imamiyah atau Itsna 'Asyariyah. Mereka disebut Imamiyah karena subjek Imam adalah
bagian dari iman mereka, sedangkan mereka disebut Itsna 'Asyariya karena mereka
mengakui 12 Imam yang memimpin mereka. Untuk kejelasan, lihat diagram di halaman
berikutnya.

Sebagaimana dijelaskan di atas, Imamah (suksesi) adalah masalah prinsip bagi


pengikut Syiah. Mereka beranggapan bahwa yang berhak menjadi Imam (Khalifah)
untuk menggantikan Nabi SAW setelah wafatnya adalah 'Ali bin Abi Thalib. Namun
mereka berbeda pendapat tentang pengangkatan Ali sebagai khalifah, apakah
berdasarkan wasiat Nabi atau tidak. Menurut Zaidiyah, Nabi tidak mengatakan bahwa
"Ali adalah orang yang menggantikannya, apalagi menggantikannya." Dia hanya
menyebutkan sifat-sifat yang memenuhi syarat para pengikutnya, yaitu, kesalehan,
pengetahuan, asketisme, keberanian, dan kemurahan hati. “Ali pantas mendapatkan
posisi ini karena semua kualitas tersebut terkonsentrasi pada kepribadian Ali.

Berdasarkan pendapat ini, mereka dapat menerima kepemimpinan khalifah Abu


Bakar dan 'Umar. Menurut mereka, Ali memang Imam yang afdhal (lebih baik ). Tetapi
jika orang-orang menginginkan dan memilih Abu Bakar dan 'Umar, yang merupakan
imam yang kurang afdhal (mafdhûl) di mata mereka, mereka dapat
menerimanya.Menurut Zaid bin 'Ali, imam sekte Zaidiyah, sifat-sifat yang ditunjukkan
Nabi. dalam wasiatnya tidak ada atribut yang harus ada secara lengkap untuk diangkat
menjadi imam. Atribut ini hanya sebagian saja. Namun, jika orang-orang setuju untuk
menunjuk seorang Imam, bahkan jika dia tidak memiliki semua kualitas dasar seorang
Imam, dia harus dipatuhi. Oleh karena itu, Imam Zaid ibn 'Ali dapat menyetujui
kekhalifahan Abu Bakar dan Umar dan tidak mengkafirkan keduanya. 11 Oleh karena itu,
mazhab Zaidiyah meyakini bahwa pengangkatan imam dilakukan atas kesepakatan umat
Islam dan bukan atas perintah atau kehendak langsung Nabi. Meskipun mazhab
Ismailiyah dan Imamiyah meyakini bahwa hidayah umat Islam setelah wafatnya Nabi
SAW didasarkan pada ketetapan Nabi sendiri melalui wasiatnya, bukan hanya sifat-sifat

11
I Muhammad Iqbal,fiqih siyasah, (Jakarta : 2018) h.135

8
Imam. Dalam wasiat ini, Nabi secara khusus menyebutkan nama Ali sebagai penerima
hidayah Islam. Oleh karena itu, mereka menuduh Abu Bakar dan Umar telah merampas
hak kekhalifahan dari Ali bin Abi Thalib.

Mengenai sifat imam, aliran Zaidiyah berpendapat bahwa imam bukanlah ma'shûm
(bebas dari dosa dan kesalahan). Imam, seperti orang lain, bisa membuat kesalahan dan
dosa. Mazhab Isma'iliyah dan Imamiyah menganggap Imam ma'shum. Kedua sekte ini
berbeda hanya dalam pemahaman mereka tentang makna ma'shûm. Menurut Isma'iliyah,
Imam adalah ma'shum dalam arti segala perbuatannya tidak mungkin salah. Jika Imam
melakukan dosa atau kesalahan menurut pendapat umum, maka tidak menjadi dosa bagi
Imam. Menurut mereka, Nabi Muhammad melihat bahwa dia membuat wahyu dan
syariat, ada yang tertulis dan ada yang tersirat. Nabi menyampaikan makna sastra kepada
umat Islam pada umumnya. Akan tetapi, makna yang dimaksud itu tidak hanya
disampaikan kepada orang-orang tertentu saja, yaitu Imam Ali bin Abi Thalib dan para
imam turun-temurun lainnya, sehingga mereka menganggap para imam adalah orang-
orang yang mengetahui makna lahiriah ajaran Islam (Al-Quran dan Hadits).12 seperti
yang diajarkan nabi. Mungkin bagi orang awam, takwil ulama dalam masalah Islam
adalah apa yang dilakukannya berdasarkan makna tersirat (inner meaning) yang
diketahui melalui ajaran Nabi. Oleh karena itu, tidak jarang seorang imam menafsirkan
ayat jauh dari makna sebenarnya.

Adapunbagi Imamiyah , kema'shuman imam artinya menjaga imam dan dosa serta
kesalahannya. Menurut mereka, imam sebagai pengganti nabi tidak hanya harus
mengatur masyarakat dengan adil, tetapi juga harus mampu menafsirkan syariah secara
menyeluruh. makna yang seharusnya. Untuk itu, imam harus diangkat oleh “surga”
berdasarkan perintah nashsh berupa wasiat nabinya. Oleh karena itu, masalah imam,
menurut Imamiyah, terkait dengan bidang atau otoritas spiritual dalam menafsirkan
rahasia al-Qur'an dan syariat. Jika imam mereka bukan ma'shum, meskipun ia
memainkan peran yang menentukan dalam urusan agama, mereka membiarkan
kebingungan dalam urusan agama. Jika mereka yang diikuti tidak lepas dari kebingungan
dan kesalahan, itu berarti mereka mengikuti Imam palsu. Oleh karena itu, Imamiyah
berpendapat bahwa imam harus dilindungi dari dosa dan kesalahan.

12
Muhammad Iqbal,fiqih siyasah, (Jakarta : 2018) h.136

9
Selain sekte Zaidiyah, pengikut Syiah juga percaya pada doktrin okultisme Imam.
Menurut sekte Isma' iliyah, imam mereka ada yang terlihat dan ada yang tersembunyi.
Imam yang terlihat adalah tujuh orang, seperti pada silsilah di atas. Sepeninggal imam
al-zahir ketujuh (Ism'ail ibn Ja'far al-Sadiq), ada tujuh imam lagi yang namanya
dirahasiakan demi keselamatan mereka. Baru ketika mereka kuat, Imam 'Ubaidillah al-
Mahdi mendirikan dinasti Fathimiyah pada tahun 969 M. Meskipun sekte Imamiyah
meyakini bahwa Imam mereka yang bersifat blackbird atau klenik (tersembunyi) adalah
Muhammad al-Mahdi al-Muntazhar. Imam kedua belas ini bersembunyi di sebuah gua di
Samarra, Irak pada tahun 874 ketika ia masih kecil. Imam Muhammad al-Mahdi
memimpin Syiah dari tempat persembunyiannya melalui perwakilannya. Syiah
Imamiyah mempercayai okultisme dua imam, yaitu ghaib shughra (cadar kecil) yang
terjadi antara tahun 874 dan 941 Masehi. dan ghaib kubraan (penyembunyian besar)
yang terjadi setelah itu sampai sekarang.

Selama periode okultisme, Imam terus membimbing kaum Syiah melalui


perwakilannya. Saat itu ada empat orang imam pembantu yang masih berhubungan
dengan Imam Muhammad al-Mahdi. Mereka adalah 'Usman al-'Amri, Abu Ja'far
Muhammad ibn 'Usman al-'Amri, Abu al-Qasim Husein ibn Ruh al-Nawbakhti dan Abu
al-Husein 'Ali ibn Muhammad al-Samarri. Bagi Syi'ah Imamiyah, keempat pribadi ini
biasanya disebut sebagai Imam Kedua Belas, Bâb (jama': Abwâb), Safir (jama': Sufara'),
atau Na'ib (jama': Nuwwâb).13 Melalui perwakilan dari empat Imam inilah Imam
berkomunikasi dengan Muslim Syiah.

Mereka bertanya tentang Islam dan hal lainnya. dari Muslim Syiah ke imam,
kemudian membawa pesan atau tanggapan imam kembali ke komunitas mereka,
biasanya secara lisan, meskipun terkadang secara tertulis. Setelah kematian keempat
wakil imam ini, terjadi penyembunyian besar-besaran. Muslim Syiah percaya bahwa
Imam al-Mahdi tidak mati, tetapi Tuhan menyembunyikannya dari mata orang-orang.

Kadang-kadang imam mereka menampakkan diri kepada orang-orang suci (saleh)


baik saat bangun maupun tidur14.Hanya setelah akhir zaman Imam al-Mahdi akan
kembali ke bumi untuk menegakkan kebenaran, persamaan dan keadilan. Inilah yang

13
Ibid., h. 163-165
14
Ibid., h. 165

10
selalu mereka nantikan (raj'ah)15. Oleh karena itu, ajaran al-mahdi dan al-rajah sangat
erat kaitannya dengan Syi'ah. Kedua ajaran ini seperti dua sisi mata uang yang tidak
dapat dipisahkan satu sama lain. Secara sosiopolitik, ada beberapa faktor yang
mempengaruhi pembentukan doktrin Syiah ini.

Pertama, para imam Syiah, kecuali Ali bin Abi Thalih, tidak pernah memiliki
kekuasaan politik. Mereka leb memperlihatkan sosoknya sebagai tokoh yang memiliki
integritas dan kesalehan yang tinggi. Mereka tidak memiliki pengalaman praktis dala
memerintah dan menangani permasalahan politik yang riil. Ketika mereka melihat
realitas politik tidak sesuai dengan nilai-nilai keislaman sebagaimana mereka inginkan,
maka mereka mengembangkan doktrin ke-ma'shum-an imam, sebagai pemimpin yang
ideal. Namun ini hanya berada pada tataran ide saja, karena imam-imam mereka belum
pernah teruji kualitasnya dalam percaturan politik.

Kedua, fakta bahwa sebagian pengikut Syiah berasal dari Iran juga merupakan
paradigma pemikiran Syiah. Ketika orang Persia masuk Islam, kebiasaan menghormati
raja dan menganggapnya sebagai orang suci diperkenalkan ke dalam doktrin Syiah. Ini
terlihat ketika mereka melihat seseorang yang tidak berdosa (tidak bersalah) sebagai
seorang imam. Bahkan di kalangan ekstrimis Syiah, Imam Ali adalah titisan Tuhan, lebih
tinggi dari Nabi Muhammad sendiri. Dalam masyarakat Arab sendiri, pengertian ini
merupakan sesuatu yang asing.

Ketiga, pengalaman pahit yang selalu dialami kaum Syiah di kancah politik juga
mempengaruhi perkembangan doktrin al-mahdi al-muntazhar yang membebaskan
mereka dari penderitaan. Itu sebabnya mereka selalu menunggu kedatangannya. Baik di
bawah penguasa Bani Umayyah maupun Bani Abbasiyah, mereka adalah minoritas yang
selalu diperlakukan, diburu, dan dianiaya oleh penguasa. Menjadi lemah, kelompok
Syiah berjuang melawan kekuatan penguasa yang tidak adil melalui gerakan bawah
tanah. Ini mereka lakukan di bawah kepemimpinan imam. Untuk menyelamatkan
pendeta mereka dari ancaman pihak berwenang, mereka menyembunyikannya dan
mengembangkan doktrin menutupi pendeta. Hanya ketika waktunya tepat, pendeta akan
kembali memimpin mereka untuk menggulingkan kekuatan tirani ini. Secara psikologis,
penderitaan panjang kelompok Syiah membuka peluang berkembangnya doktrin al-
mahdi al-muntazhar dan raj'ah yang mereka anggap sebagai penyelamat penderitaan

15
Ibid., h. 165-167

11
panjang. Setidaknya itu bisa menghibur dirinya sendiri dan meringankan sebagian dari
penderitaan mereka.

Dalam perkembangan modern, 'Ali Syari'ati memberikan doktrin Intizhâr


interpretasi baru yang lebih "hidup". Menurutnya, Intizar bukanlah konsep yang
mengharuskan kaum Syiah bersikap pasif terhadap penguasa zalim, menunggu
kedatangan Imam yang akan membebaskan mereka. Dalam dua konsep ini, menurut
tafsir 'Ali Syari'at', Syi'ah harus aktif dengan berbagai cara untuk melawan segala bentuk
kesewenang-wenangan dan tirani penguasa. Intizhâr berarti menolak dan menolak
keadaan umat Islam yang jatuh saat ini. Intizhâr berarti perjuangan melawan kejahatan,
penindasan, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Intizhâr juga merupakan
perjuangan konstan untuk kebebasan dan keadilan.36 Tafsir Ali Syari'at ini menjadi
semangat yang menyulut keberhasilan revolusi Islam Iran pada Februari 1979 yang
dipimpin oleh Ayatollah Khomeini.16

D. SYI’AH SAAT INI

Berdasarkan perjalanan sejarahnya, masyarakat Syiah di Indonesia dapat


digolongkan ke dalam empat generasi utama, yaitu: Generasi pertama Syiah datang ke
Indonesia sejak awal masuknya Islam di Indonesia, yaitu melalui para penyebar Islam
awal. Orang Persia tinggal di Gujarat. Syiah pertama kali tiba di Aceh. Raja pertama
Kerajaan Samudra Pasai Aceh, Marah Silu, menganut Islam versi Syiah dengan nama
Malikul Saleh. Tokoh agama terkemuka Hamzah Fansuri dan Syamsuddin bin Abdullah
Samatrani, Nuruddin ar-Raniry, Burhanuddin dan Ismail bin Abdulla juga mendukung
penyebaran Syiah di Aceh.

Namun pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsan, kekuasaan kerajaan di


Aceh berada di tangan ulama Sunni (Sunni), sehingga kelompok Syi'ah tidak lagi
muncul, malah memilih berdakwah secara taqiyah17. Pada tahap awal penyebaran syiah,
tidak banyak terjadi bentrokan dengan kelompok lain dalam perkembangan syiah karena
pola dakwahnya. Prinsip Taqiyah digunakan untuk menghindari tekanan dari penguasa.
Pada periode pertama, hubungan antara Sunni dan Syiah di Indonesia umumnya sangat
baik dan bersahabat, tidak seperti negara lain seperti Pakistan, Irak, atau Arab Saudi.

16
Ahmad Amin, Dhuha al-Islám, (Kairo:Maktabah al-Nahdhah al-Mishniyah, t.tp.), h. 231
17
Tempo. Co. Cerita Jalaluddin Rahmat Soal Syiah Indonesia Bagian I-5.
Http://Www.Tempo.Co/Reat/New/2012/09/03/173427062. Diakses: 24 Maret 2023 pukul 20:10 WIB

12
Meskipun demikian, pernah terjadi kasus pembunuhan Hamzah Fansuri karena
dituduh menyebarkan konsep waḥdat al-wujûd18. Pada generasi kedua, sebelum
pecahnya revolusi Iran tahun 1979, sudah ada Syi'ah di Indonesia, baik imamiyyah,
zaidiyyah maupun isma'iliyyah. Mereka menyimpan kepercayaan ini hanya untuk diri
mereka sendiri dan keluarga yang sangat terbatas, oleh karena itu mereka memiliki sikap
yang sangat eksklusif, tidak ada semangat untuk menyebarkan pemahaman kepada orang
lain.19

Generasi ketiga didominasi oleh kaum intelektual yang sebagian besar berasal dari
perguruan tinggi. Mereka tertarik pada Syiah sebagai alternatif pemikiran Islam, dan
lebih tertarik pada pemikiran Syiah daripada ritual atau yurisprudensinya. Secara sosial,
generasi ini terdiri dari kalangan menengah ke atas, mahasiswa dan peneliti. Dalam hal
mobilitas, banyak dari mereka memiliki akses ke hubungan Islam internasional. Namun,
sebagian besar lebih radikal dalam ideologi20.

Pada generasi keempat, kelompok ini mulai mempelajari fikih Syi'ah, tidak hanya
dari segi pemikiran, tetapi mereka juga mulai berkonflik dengan kelompok lain, dan
mereka sangat antusias terhadap penyebaran ajaran Syi'ah, dan prestasi intelektualnya
menurun karena mereka disibukkan dengan fikih, mengingat generasi kedua, fokus
pemikirannya bukanlah Syi'ah sejati. Dan berusaha memposisikan dirinya sebagai wakil
asli ideologi Syi'ah atau pemimpin Syi'ah di Indonesia.21

Dalam kajian lebih lanjut, penyebaran syiah di Indonesia sejak awal Islam telah
banyak memberi warna keagamaan di Indonesia. Banyak ritual Islam Indonesia yang
diakui dipengaruhi oleh ajaran Syiah. Ritual dan tradisi Syiah memiliki pengaruh yang
mendalam di masyarakat Muslim Indonesia, tidak hanya di kalangan Syiah itu sendiri,
tetapi juga di kalangan Sunni. Salah satunya adalah amalan perayaan 10 Muharram yang
biasa diperingati oleh kaum Syiah untuk memperingati terbunuhnya Husain bin Ali, cucu
Nabi Muhammad. Hussein meninggal dalam perang Kabala pada tanggal 10 Muharram
61 H.22

18
Abbas, Sirojuddin. I‟itiqad Ahlussunnad Wal-Jama‟ah. Hlm.138
19
Tim Penulis Mui Pusat, Mengenal Dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah Di Indonesia, (Gema Insani,
Depok, T-Th), Hlm.87
20
Tim Penulis Mui Pusat, Mengenal Dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah Di Indonesia, Hlm.88
21
Tim Penulis Mui Pusat, Mengenal Dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah Di Indonesia, Hlm.89
22
M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam, (Kencana, Jakarta, 2014), Hlm.164

13
Perayaan 10 Muharram dipandang sebagai ritual sakral oleh kelompok Syiah dan
juga berkembang di beberapa komunitas Muslim di luar Syiah di Indonesia. Misalnya,
ada festival serupa yang disebut "tabot tebuang". Di Pariaman, Sumatera Barat, ada
perayaan "ritual tabuik". Jika diperhatikan, tabot atau tabuik berasal dari kata bahasa
Arab tabut, kotak. Kotak kata diwakili oleh peti mati sebagai simbol peti mati para
pendeta Syiah yang dibunuh secara brutal selama pemerintahan Bani Umayyah.23

23
empo. Co. Cerita Jalaluddin Rahmat Soal Syiah Indonesia Bagian I-5.
Http://Www.Tempo.Co/Reat/New/2012/09/03/173427062. Diakses: 24 Maret 2023 pukul 20:10 WIB

14
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Syiah dalam bahasa berarti pengikut, pengikut, partai atau kelompok, sedangkan
secara terminologi sebagian umat Islam yang dalam bidang spiritual dan keagamaan
selalu merujuk kepada keturunan Nabi Muhammad SAW atau orang yang disebut ahlul.
Nama Syiah pertama kali diambil dari pengikut Ali (Syi'ah Ali), yang merupakan
pemimpin pertama ahl al-bayt pada masa Nabi Muhammad SAW. Pengikut Ali bin Abi
Thalib yang disebut Syiah adalah Abu dzar Al-Ghiffari, Miqad bin al-Aswad dan
Ammar bin Yasir.

Syiah muncul sebagai reaksi atas mayoritas kelompok Sunni yang mendominasi
percaturan politik Islam sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW. Dalam perkembangan
selanjutnya, sekte Syiah ini terpecah menjadi puluhan bagian atau sekte. Pembagian ini
antara lain disebabkan oleh perbedaan pendapat mereka tentang sifat imam: apakah
mereka ma'shum (dilindungi dari dosa) atau tidak, dan perbedaan definisi imam
pengganti. Namun di antara mereka semua, Syiah tetap memiliki tiga sekte penting dan
berpengaruh, yaitu Zaidiyah, Isma'iliyah (Sab'iyah), dan Imamiyah (Itsna 'Asyariyah).

Masyarakat syiah yang ada di Indonesia dapat digolongkan menjadi 4 generasi


yaitu:

1. Generasi pertama Syiah datang ke Indonesia sejak awal masuknya Islam di


Indonesia, yaitu melalui para penyebar Islam awal.
2. Generasi kedua, Sebelum pecahnya revolusi Iran tahun 1979, sudah ada Syi'ah di
Indonesia, baik imamiyyah, zaidiyyah maupun isma'iliyyah.
3. Generasi ketiga didominasi oleh kaum intelektual yang sebagian besar berasal dari
perguruan tinggi.
4. Generasi keempat, kelompok ini mulai mempelajari fikih Syi'ah, tidak hanya dari
segi pemikiran, tetapi mereka juga mulai berkonflik dengan kelompok lain, dan
mereka sangat antusias terhadap penyebaran ajaran Syi'ah, dan prestasi
intelektualnya menurun karena mereka disibukkan dengan fikih, mengingat
generasi kedua, fokus pemikirannya bukanlah Syi'ah sejati.

15
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Sirojuddin. I‟itiqad Ahlussunnad Wal-Jama‟ah. Hlm.138


Ali al-Saiyis Mohammad, Tarikh al-Fiqh al-Islamy, (Kairo: Daar al-Thiba'ah Ali
Shabih Muhammad, 1970), hal. 173-180.
Amin Ahmad, Dhuha al-Islám, (Kairo:Maktabah al-Nahdhah al-Mishniyah, t.tp.),
h. 231
Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam, (Jakarta: AMZAH,
2014), 176.
Muhammad Iqbal,fiqih siyasah, (Jakarta : 2018) h.132
Muhammad Iqbal,fiqih siyasah, (Jakarta : 2018) h.135
Muhammad Iqbal,fiqih siyasah, (Jakarta : 2018) h.136
Muhammad Iqbal,fiqih siyasah, (Jakarta : 2018) h.136
Penjelasan rinci tentang sekte-sekte Syi'ah dapat dilihat pada Moojan Momen, Shi'i
Islam, 23-60 dan Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzähib al-
Islamiyah, (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi ttp.), h. 35-53.
Rozak Abdul dan Anwar Rosihon , op. cit., hlm. 113.
Rozak Abdul dan Anwar Rosihon, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2011), 89-90.
Syafii Maarif Ahmad, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1986), h.
40. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Kairo: Dar al-Fikr, t.tp.), Jilid 1, h. 4.
Tahido Yanggo Huzaemah , op. cit., hal. 150
Tahido Yanggo Huzaemah, op. cit., hal. 38.
Tempo. Co. Cerita Jalaluddin Rahmat Soal Syiah Indonesia Bagian I-5.
Http://Www.Tempo.Co/Reat/New/2012/09/03/173427062. Diakses: 24
Maret 2023 pukul 20:10 WIB
Tempo. Co. Cerita Jalaluddin Rahmat Soal Syiah Indonesia Bagian I-5.
Http://Www.Tempo.Co/Reat/New/2012/09/03/173427062. Diakses: 24
Maret 2023 pukul 20:10 WIB
Tim Penulis Mui Pusat, Mengenal Dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah Di
Indonesia, (Gema Insani, Depok, T-Th), Hlm.87
Tim Penulis Mui Pusat, Mengenal Dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah Di
Indonesia, Hlm.88

16
Tim Penulis Mui Pusat, Mengenal Dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah Di
Indonesia, Hlm.89
Yusuf M. Yunan, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam, (Kencana, Jakarta, 2014),
Hlm.164

17

Anda mungkin juga menyukai