Anda di halaman 1dari 16

PENGERTIAN POLITIK SYIAH

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Sistem Politik Syiah
Dosen pengampu : Dr. Muhammad Syahminan M.A
Disusun oleh
Adetya Putri Arvia Wulandari (0404211007)
Alwalid Assyauqi (0404211002)

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya


sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami
mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Pada kesenpatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya


kepada dosen mata kuliah Sistem Politik Syiah yang telah memberikan tugas
terhadap kami. Kami juga ingin menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak
yang turut membantu dalam pembuatan makalah ini. Kami jauh dari sempurna. Dan
ini merupakan langkah yang baik dari studi yang sesungguhnya.

Oleh karena itu, keterbatasan waktu dan kemampuan kami, maka kritik dan
saran yang membangun senantiasa kami harapkan. Semoga makalah ini dapat
berguna bagi kami khususnya dan pihak lain yang berkepentingan pada umunya.

Medan, 5 Maret 2024

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

A. Latar belakang ..................................................................................... 1


B. Rumusan masalah ................................................................................ 1
C. Tujuan .................................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 2

A. Sejarah dan pengertian syiah ............................................................... 3


B. Sistem politik syiah ............................................................................. 6

BAB III PENUTUP ....................................................................................... 12

A. Kesimpulan ......................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Syi’ah dan politik seringkali diletakkan sebagai dua kata yang tidak
mungkin dipisahkan. Syi’ah dianggap lebih politis, Dilihat dari aspek
sejarahnya Syi’ah memang lahir sebab faktor politik, yakni menyangkut
masalah siapa yang berhak menggantikan kepemimpinan Nabi Muhammad
SAW sepeninggal beliau. Di kalangan umat Syi’ah hampir tidak dikenal
pemisahan antara agama dan politik, baik dalam tataran konseptual maupun
praktek politik. Setiap bentuk ritual keagamaan selalu dikaitkan dengan ritual
politik Siejauh mienyangkut sistiem politik dan modiel piemierintahan, Syi’ah
sieringkali dikritik siebab dianggap tidak diemokratis. Kritik siemacam ini
miemang dapat dimaklumi, siebab siebagaimana dikietahui, siecara historis
sistiem piemierintahan Syi’ah miengacu pada sistiem imamah, yakni suatu
doktrin politik yang mienyiebutkan bahwa piemierintahan Islam siepieninggal
Nabi SAW ialah hak mutlak ahlul bait (kieluarga Nabi SAW) yakni Ali bin Abi
Thalib dan sebelas keturunannya..1

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana sejarah syiah?
2. Bagaimana sistem politik syiah?

C. Tujuan
1. Untuk memahami sejarah syiah
2. Untuk memahami sistem politik syiah

1
Mehdi Muzaffari, Kekuasaan Dalam Islam, terj. Abdurrahman Ahmed (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1994), hal 40.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. SEJARAH DAN PENGERTIAN SYIAH


Setidaknya ada tiga pendapat lahirnya Syiah. Pertama, bahwa istilah
Syiah sudah dilekatkan oleh Rasulullah saw kepada Ali bin Abi Thalib ra dan
pengikutnya. Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab Tafsir Al-Durr al-Mantsur
meriwayatkan dari Ibnu ‘Asakir kemudian dari Jabir bin Abdullah bahwa Kami
sedang bersama Nabi Muhammad saw. Tidak lama kemudian Ali datang. Lalu
Nabi Muhammad saw bersabda, “Demi yang jiwaku berada digenggaman-Nya,
sesungguhnya ini (Ali) dan Syiahnya benar-benar orang yang menang di hari
kiamat.” Juga masih dari as-Suyuthi bahwa Ibn Abbas berkata, “Ketika turun
ayat, Sesungguhnya orangorang yang beriman dan beramal saleh, mereka
itulah sebaik-baik manusia; Rasulullah saw berkata kepada Ali: mereka adalah
engkau dan Syiahmu.”2

Kemudian Ath-Thabari dalam Tafsir At-Thabari menuliskan tentang


tafsir surah Al-Bayyinah [98] ayat 7 bahwa yang dimaksud sebaik-baik
makhluk adalah Ali dan Syiah Ali. Kalau dilacak ternyata hadis yang berkaitan
dengan Syiah Ali ini jumlahnya ada 15 riwayat. Dalam Al-Quran, istilah Syiah
digunakan pada 12 tempat16seperti dalam ayat “... dan sesungguhnya Ibrahim
itu benar-benar termasuk golongannya (syiatihi)” (QS AshShaffat ayat 83) dan
“... kemudian pasti akan kami tarik dari setiap golongan (syiah) siapa di
antara mereka yang sangat durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah” (QS
Maryam ayat 69).

Kedua, Syiah dilekatkan pada orang-orang Islam yang tidak membaiat


Abu Bakar ketika peristiwa Saqifah karena meyakini Ali sebagai washi. Dari
peristiwa Saqifah diketahui tidak semua umat Islam setuju dengan terpilihnya
Abu Bakar sebagai pemimpin.18 Selesai penguburan nabi, Fathimah tidak
memberikan baiat kepada Abu Bakar selama enam bulan. Termasuk suaminya,

2
Ahmad Sahidin, Memahami Sunni dan Syiah: Sejarah, Politik, dan Ikhtilaf, Jurnal
MAARIF, Vol, 10 No. 2, (2015), hal. 36.

2
Ali, beserta cucu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Setelah wafat
Fathimah, baru Ali memberikan baiat kepada Abu Bakar.

Salah satu nash yang diyakini kaum Syiah adalah hadis Ghadir Khum
bahwa pada 18 Dzulhijjah 11 Hijriah, setelah melaksanakan haji terakhir (hajj
al-wada) Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pergi meninggalkan
Makkah menuju Madinah bersama 120 ribu umat Islam dan berdiam pada satu
tempat bernama Ghadir Khum. Di tempat ini Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam khutbah dan di tengah khutbah menggandeng tangan Ali bin Abi
Thalib Radhiallahu Anhu kemudian bersabda: “Barangsiapa mengangkatku
sebagai Maula maka Ali adalah Maulanya pula (ia mengulang sampai tiga
kali). Ya, Allah! Cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang-
orang yang memusuhinya. Bantulah orang-orang yang membantunya.
Selamatkanlah orang-orang yang menyelamatkannya dan jagalah kebenaran
dalam dirinya ke mana pun ia berpaling (jadikan ia pusat kebenaran)”

Ketiga, Syiah dilekatkan pada umat Islam yang setia bersama Ali
setelah peristiwa tahkim (perundingan) yang mengakhiri Perang Shiffin.
Dalam perang antara pasukan Muawiyah bin Abu Sufyan melawan pasukan
Khalifah Ali bin Abi Thalib, karena terdesak pihak Muawiyah mengajukan
perundingan dengan mengacungkan mushaf al-Quran di atas tombak. Atas
desakan, Ali meminta Malik Asytar selaku komandan agar menghentikan
serangan.

Masing-masing pihak sepakat untuk mengirimkan perwakilan dalam


menyelesaikan peperangan. Ali memilih Malik Asytar, tetapi sebagian orang
yang berasal dari Arab badawi menolak dan menyarankan Abu Musa AlAsyari
sebagai wakilnya. Sedangkan Muawiyah mengutus Amr bin Ash sebagai
wakilnya. Keduanya melakukan perundingan di Daumah Al-Jandal, Azruh,
dengan waktu sekitar enam bulan (Shafar-Ramadhan 37 H.). Keduanya sepakat
untuk menurunkan jabatan kedua pemimpin kemudian memilih khalifah baru
melalui musyawarah. Abu Musa menjadi orang pertama yang naik ke mimbar
dan menurunkan Ali dari tampuk khalifah. Kemudian Amr bin Ash dengan

3
tanpa diduga langsung mengukuhkan Muawiyah sebagai khalifah tanpa
menurunkannya terlebih dahulu.

Peristiwa itu membuat kecewa sebagian pengikut Khalifah Ali bin Abi
Thalib. Mereka meminta Khalifah Ali untuk membatalkannya. Saran mereka
ditolaknya karena peristiwa sudah terjadi. Akibat tidak ditanggapi, mereka
memisahkan diri dan membentuk kelompok sendiri yang disebut Khawarij.
Sedangkan orang-orang Islam yang masih setia dengan Ali disebut Syiah Ali.

Islam syiah atau syiah adalah cabang islam terbesar kedua. Kaum syiah
percaya bahwa nabi islam, muhammad mengangkat ali bin abi thalib sebagai
pengggantinya dan imam setelah dia beberapa kali dalam hidupnya. Syiah
percaya bahwa Ali dan beberapa putra Muhammad, Ahlul Bait, harus
menggantikan Muhammad sebagai pemimpin spiritual dan politik islam,
mengajarkan syariah, dan memimpin ummah islam. Islam Syiah saat ini terbagi
menjadi dua kelompok utama yakni, dua belas imam dan ismailiyah,
diantaranya dua belas syiah adalah kelompok terbesar dan paling berpengaruh
di antara syiah.

Secara etimologi Syiah atau Syi’ah secara harfiah berarti mengikuti


orang atau kelompok lain dari orang atau kelompok lain. Dalam sejarah islam
kata syiah dalam arti dan leksikon aslinya, digunakan untuk pengikut orang
yang berbeda. Misalnya ia kadang-kadang disebut sebagai syiah ali bin abi
thalib dan kadang-kadang sebagai syiah muawiyah bin abu sufyan.

KEYAKINAN SYIAH

1. Imamah
Imamah adalah doktrin yang menekankan bahwa anggota tertentu
dari garis keturunan Nabi Muhammad berasal dari Tuhan sebagai
pemimpin spiritual dan politik dan pemandu umat islam setelah
kematian Muhammad. Imamah mengatakan bahwa para imam memiliki
pengetahuan dan otoritas ilahi serta menjadi bagian dari ahlul bait,
keluarga Muhammad.

4
2. Ismat
Ismat atau ismah (perlindungan) adalah konsep kepolosan yang
tidak dapat dirusak, kekebalan dari dosa, atau kesempurnaan moral
dalam teologi islam, dan yang sangat menonjol dalam syiah. Dalam
teologi syiah, ismah adalah salah satu karakteristik penting dari para
nabi, imam, dan malaikat. Ketika dikaitkan dengan manusia, ismah
berarti kemampuan untuk menghindari tindakan kemaksiatan, meskipun
memiliki kekatan untuk melakukannya. Masum adalah orang yang
bebas dari kesalahan dalam menuntun manusia kepada keimanan dalam
memahami ilmu ketuhanan, dan dalam hal-hal praktis.
3. Ghaibah
Ghaibah adalah salah satu kepercayaan khusus syiah, yang
menunjukkan penyembunyian dan kehidupan rahasia mahdi, imam
terakhir dan kedua belas. Dalam islam syiah mengacu pada keyakinan
bahwa mahdi, seorang laki-laki keturunan nabi muhammad, telah lahir
dan kemudian masuk ke dalam kegaiban, dan suatu hari ia akan muncul
bersama yesus dan menegakkan keadilan global.
4. Raj’ah
5. Wilayah fikih
Wilayah fikih adalah teori fikih syiah yang menyatakan sistem politik
yang sah selama tidak adanya imam masum.
Syiah memiliki lima pekara pokok atau rukun islam
1. Tauhid, bahwa Tuhan adalah Maha Esa
2. Al-Adl, bahwa Tuhan adalah Maha Adil
3. An-Nubuwwah, bahwa kepercayaan syiah meyakini keberadaan
para nabi sebagai pembawa berita dari Tuhan kepada umat manusia.
4. Al-Imamah, bahwa syiah meyakini adanya imam yang senantiasa
memimpin umat sebagai penerus risalah kenabian.
5. Al-Ma’ad, bahwa akan terjadinya hari kebangkitan

5
B. SISTEM POLITIK SYIAH
Ajaran-ajaran yang kita kenal saat ini sebagai ajaran Syiah Dua Belas
(itsna 'asyariyah), penganut imam keduabelas, atau Syiah Imamiyah belum
dikenal hingga abad ke-10 dan ke-11. Pada awalnya, yang disebut Syiah adalah
orang yang menolak Umayyah dan Abbasiyah sebagai pemimpin umat yang
sah, karena keduanya dianggap tidak beriman dan amoral. Alasan lainnya,
mereka meyakini bahwa sejak kematian Nabi, kepemimpinan telah di-
wariskan kepada Ali dan keturunannya. Mazhab-mazhab Syiah yang ada
meyakini berbagai opini yang berbeda, seperti tentang siapa yang seharusnya
menjadi imam pada masa tertentu, dan bagaimana memilih seorang imarn.
Satu-satunya persamaan adalah mereka meyakini bahwa imamah merupakan
suatu keniscayaan dalam keyakinan dan perilaku muslim.3
Dibandingkan dengan Sunni, Syiah lebih kecewa atas kegagalan
Abbasiyah dalam menjaga keadilan dan kepemimpinan sejati (imâmah).
Memiliki pemimpin nyata yang diakui dan diikuti adalah tujuan politik utama
bagi sebagian besar kelompok Syiah. Sampai itu terjadi, baik komunitas Islam
maupun kepemimpinan tidak disebut. Zaidiyah adalah kelompok Syiah yang
paling aktif melawan. Mereka berkomitmen pada pemberontakan bersenjata
(khurij, atau keluar), dan percaya bahwa pemimpin sebenarnya adalah mereka
yang memperoleh kekuasaan dengan cara ini.
Keyakinan seperti tersebut bukan lagi murni domain politik, tetapi telah
menjadi sistem dasar teologi Syiah yang sangat kental. Setiap pemikiran dan
akidah selalu disandarkan pada konsep Imamah. Lebih jelasnya, konsep
Imamah sendiri tidak pernah lepas dari cara-cara politik untuk
menegakkannya. Apa yang telah difatwakan oleh Imam Khomeini bahwa
usaha- usaha pendirian Negara Syiah merupakan bagian dari aplikasi iman
terhadap wilayah (keimamahan) merupakan salah satu bukti otentik yang tak
terbantahkan.4 Sehubungan dengan politik teologi, dan teologi politik Syiah
tersebut, sikap dan tindakan untuk memahami akidah Syiah merupakan sebuah

3
Tony Black, Pemikiran Politik Islam, (Jakarta; PT Serambi Ilmu Semesta, 2001), hal. 89-
103.
4
Kholili Hasib, Sunni Dan Syiah Mustahil Bersatu, (Bandung; Tafakur, 2014), hal. 22.

6
keniscayaan. Ia menjadi bentuk nyata bagi untuk menentukan sikap yang
sebenarnya sebagai bagian Ahlussunnah wal Jamaah.
Pandangan Sunni dan Syiah mengenai kepemimpinan agama, juga
termasuk otoritas politik, melibatkan berbagai konsepsi tentang sifat dasar
otoritas dan menggunakan beberapa metode argumentasi yang berbeda-beda.
Sebuah teori rasionalis tentang imamah muncul pertama kali dan diungkapkan
oleh seorang pengikut Syiah Zaidiyah, al-Qasim ibn Ibrahim (785-Madinah
860). Teori ini juga mengungkapkan argumen Jahwa otoritas politik merupakan
hal yang niscaya karena sifat manusia yang tidak sempurna:
“Hasrat terhadap seks dan makanan tertanam dalam diri semua
manusia, dan bila tidak ada seseorang yang membatasi atau menge- kangnya,
maka setiap orang akan saling berkelahi untuk memenuhi hasrat mereka.
Akibatnya, dunia akan hancur... Manusia mem- butuhkan pemandu yang
mengajarkan batasan-batasan ini kepada mereka, dan pemandu itu adalah
seorang Imam. Seorang imam juga berhak untuk menghukum orang-orang
yang tidak mematuhi- nya dan memberikan penghargaan kepada mereka yang
mematuhi- nya. Dengan cara inilah keamanan manusia akan terpelihara”
Komunitas Syiah Imamiyah berkembang di Iran dan Irak, terutama di
kawasan perkotaan dan antara para perajin. Dari pertengahan abad ke-9 sampai
pertengahan abad ke-11, kaum Imamiyah mengembangkan yurisprudensi
mereka sendiri, dengan doktrin khusus tentang Imam. Penulis mazhab
Baghdad, seperti al-Mufid (w. 1022), al-Murtadha (w. 1044), dan al-Tusi (w.
1067), menulis pada masa pemerintahan Buwaihi (sebelumnya Zaidiyah,
sekarang Imamiyah); al-Tusi meninggal ketika Bani Saljuk yang Sunni
mengambil alih kekuasaan. Kaum Syiah memiliki kumpulan hadis, atau ucapan
imam mereka, yang hampir sama dengan hadis Sunni.
Kaum Syiah, terutama Ismailiyah, membedakan makna zhāhir (harfiah,
eksoterik) dari båthin (esoterik). Menurut Imamiyah, seorang imam memiliki
pengetahuan lengkap tentang syariat, yang berasal dari Alquran dan hadis, yang
telah diwariskan dari satu imam ke imam berikutnya. Karena itu, pengetahuan
agama yang benar hanyalah yang diberikan oleh Iman atau wakilnya. Satu-
satunya pengetahuan yang dibutuhkan untuk menetapkan kebenaran (syariat)

7
adalah ajaran otoritatif (ta'lim) yang dibagikan oleh para imam dan murid-
murid mereka. Dibandingkan dengan hakim kaum Sunni, para hakim
Imamiyah memiliki kebebasan yang lebih besar untuk melakukan ijtihad
rasional (aql) selama masa "kegaiban mutlak".
Prinsip utama adalah pengakuan dan kesetiaan kepada imam yang telah
ditunjuk oleh imam sebelumnya. Fokus pemikiran politik dan teologi
Imamiyah adalah status, sifat, dan peran imam. Imam harus ada di setiap
zaman; kita mungkin tidak tahu di mana ia berada, tetapi ia pasti ada. Doktrin
yang tampaknya berasal dari Ja'far al-Shadiq dan muridnya Hisyam ibn al-
Hakam menyatakan bahwa imam adalah pewaris (washi) Nabi dan mewarisi
perannya. Ia memiliki kekuatan untuk mendukung. Ia adalah bukti terus
menerus dari wahyu Ilahi. Tuhan menjamin kualitas moral dan intelektualnya.
Peran pemimpin tidak lagi bertujuan meraih kekuasaan politik,
melainkan membimbing dan mengajarkan pengetahuan agama. Ia adalah
penguasa spiritual sejati; kekuasaannya diketahui melalui teman-teman
sejawatnya. Pada masa "kegaiban sementara", ia memerintah umat melalui
seorang wakilnya yang dikenal; tetapi saat ini, pada masa "kegaiban mutlak",
kita bahkan tidak tahu siapa wakil yang dimaksud. Karena itu, bimbingan
keagamaan disampaikan melalui yurisprudensi; konsekuensinya, para ulama,
khususnya para fukaha, untuk sementara ini merupakan pem- bimbing kita. Di
sini, terdapat kesejajaran dengan peran ulama pada kelompok Sunni; tetapi
dalam Syiah, para fukaha men- dapatkan peran khusus, yaitu untuk
mengembangkan hukum secara luas dan mendapatkan hasil yang dramatis,
khususnya pada masa Dinasti Safawiyah dan pada masa sekarang.
Para ulama Syiah, khususnya para fukaha, tidak hanya men- jadi ahli
legal-moral, namun juga merupakan wakil Imam yang tersembunyi. "Para
pemimpin sejati telah menyingkapkan (selubung) penilaian terhadap para
fukaha Syiah pada masa (kegaiban) itu, karena mereka tidak dalam posisi
menjalankannya secara pribadi (al-Tusi, dalam Lambton, 1981: 252). Karena
itu, para fukaha Syiah muncul untuk menjalankan otoritas yang secara
signifikan lebih besar daripada sejawat mereka, fukaha Sunni. Pandangan ini
membangkitkan cara pandang yang luar biasa terhadap politik. Bagi mereka,

8
penguasa saat ini (Khalifah Abbasiyah dan Sunni) adalah perampas kekuasaan.
Karena merekalah, imam sejati bersembunyi.
Mereka menyerukan, "Sepanjang para perebut kekuasaan masih
memerintah dan kaum beriman terus dianiaya, imam sejati dicegah untuk
menjalankan haknya, dan nyawanya terancam dalam bahaya. Karena itu, ia
tidak hanya dibolehkan, bahkan wajib menarik diri dari cengkeraman
pemimpin palsu yang tiran" (Halm, 1991: 55-56). Karena sebab inilah, Syiah
memisahkan diri dari negara dan menarik diri dari kehidupan komunal.
Realitas kekuasaan politik, yang tentangnya Syiah punya banyak pengalaman,
membuat penundaan aktivitas politik menjadi pilihan yang tepat. Di bawah
pemimpin yang tidak adil (yaitu pemimpin di luar Syiah), semua perjanjian
dalam urusan-urusan publik, pada prinsipnya terlarang. Keseluruhan sikap
mereka ini didasari oleh keyakinan-yang lahir dari banyak kegagalan revolusi
berdarah bahwa mereka harus menunggu takdir Allah. Artinya, mereka harus
bersikap non-partisipasi dan berserah diri.
Dengan demikian, sampai kembalinya Imam Keduabelas, orang harus
membiarkan tirani dan ketidakadilan pemerintah yang sedang berkuasa.
Namun, bila nyawa, keluarga, atau hartanya berada dalam bahaya, maka ia
diizinkan untuk menyembunyikan keyakinannya, atau bersikap taqiyyah
(pencegahan, kewaspadaan). Sikap tidak melawan dan konformisme publik ini
dimaksudkan untuk melindungi komunitas Syiah. Seseorang tidak harus
"meng- anjurkan kebaikan dan mencegah keburukan" bila tindakan itu
membahayakan nyawa seseorang atau seluruh komunitas Syiah. Syiah
melindungi keberadaan mereka dengan cara yang istimewa. Sikap taqiyyah ini
(menurut al-Tusi) membenarkan kerjasama dengan penguasa yang tidak adil
selama mereka tidak meme- rintahkan sesuatu yang bertentangan dengan
kebenaran. Bila nyawa terancam, maka seorang Syiah dibolehkan bekerjasama,
bahkan dalam hal yang bertentangan dengan kebenaran, selama ia tidak
diperintahkan untuk membunuh orang lain. Dalam keadaan apa pun, taqiyyah
tidak berlaku ketika ia diperintahkan untuk membunuh.
Sistem politik syiah memiliki konsep yang berbeda-beda berdasarkan
alirannya. Salah satu system yang popular di dalam syiah adalah wilayat al-

9
Faqih, yang diterapkan dinegara Republik Islam Iran. Wilayat al-Faqih adalah
system pemerintahan yang didasarkan pada keyakinan syiaah imamiyah, yang
menjadi mazhab resmi negara Iran dan ideologi negara. Dalam system ini,
kepemimpinan dilanjutkan oleh 12 imam, mulai dari Ali bin Abi Thalib hingga
imam terakhir Muhammad bin Hasan. Dalam system wilayat al-faqih, dalam
pandangan ayatullah Khomeini, menyatakan bahwa negara islam akan
menjamin keadilan sosial, demokrai yang sebenarnya dan kemerdekaan yang
murni. Agama Islam dan pemerintah Islam ialah fenomena Ilahiyah, yang
penggunaannya menjamin kebahagiaan di dunia dan akhirat.8 Sebuah sistem
pemerintahan yang mengamalkan hukum Tuhan, yang mendapat pengawasan
dari para ahli hukum agama (faqih), sebagaimana dalam praktek sistem Wilayat
al-Faqih, akan mengungguli semua sistem pemerintahan yang tidak adil di
dunia ini. Sebab dengan system pemerintahan ini maka umat islam akan
terhindar dari kesalahan dalam melaksanakan roda pemerintahan. Sistem
politik wilayat al-faqih membawa kepada teo-demokrasi, yaitu kombinasi dari
sitem teokratis dan demokrasi. Dalam system ini, ada assemblies faqih yang
terdiri dari ulama dan intelektual yang bertanggung jawab untuk memilih dan
mengawasi kinerja dan kebijakan faqih.
Di kalangan umat Syi’ah hampir tidak dikenal pemisahan antara agama
dan politik, baik dalam tataran konseptual maupun praktek politik. Setiap
bentuk ritual keagamaan selalu dikaitkan dengan ritual politik. Dengan kata
lain, hampir selalu ada dimensi sosio-politik dalam setiap upacara keagamaan.
Satu diantara contoh yang paling jelas ialah shalat Jum’at. Di Iran yang
bermazhab Syi’ah, shalat Jum’at sangat politis. Ayatullah Khomeini pernah
menegaskan bahwa selama gaibnya Imam al-Mahdi, shalat Jum’at tidak wajib,
melainkan hanya sunnah muakkad (sangat dianjurkan). Alasannya, shalat
Jum’at hanya wajib jika hukum Islam sudah ditegakkan dengan sempurna, dan
ini hanya bisa dilakukan oleh Imam Mahdi. Oleh sebab itu, selama berkuasanya
Dinasti Pahlevi, tidak ada shalat Jum’at di Iran. Sebaliknya, bagi umat Islam

10
bermazhab Sunni, shalat Jum’at tetap wajib bagaimana pun sistem yang
berjalan5.

5
M. Riza Sihbudi, Tinjauan Teoritis dan Praktis atas Konsep Wilayati Faqih, makalah
seminar mengenai Sistem Ketatanegaraan dan Politik dalam Prospektif Islam (Jakarta: 1993), hal
2

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Syiah meruapakan sebutan bagi kelompok pengikut atau pendukung Ali bin
Abi Thalib dan keturunannya. Syiah memiliki aliran aliran yang berkembang di
dalamnya. Politik syiah merujuk pada konsep politik yang dianggap penting
dalam syiah. Sistem politik syiah memiliki konsep yang berbeda beda pada setiap
alirannya. Namun, sistem politik yang mendominan dalam aliran syiah yang
diterapkan oleh negara iran yakni sistem politik wilayat al-faqih. Sistem ini
merujuk pada sistem teo-demokrasi. Sistem ini di dasarkan pada aliran syiah
imamah yang menjadi mahzab negara iran.

12
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Sahidin, 2015. Memahami Sunni dan Syiah: Sejarah, Politik, dan Ikhtilaf,
Jurnal MAARIF, Vol, 10 No. 2

Febirada aldo. 2022. Konsep sistem politik wilayah al-faqih dalam syiah imamiyah
dan relevansinya dengan demokrasi modern. Skripsi.

Kholili Hasib, 2014. Sunni Dan Syiah Mustahil Bersatu, Bandung; Tafakur, 2014
Mehdi Muzaffari,1994. Kekuasaan Dalam Islam, terj. Abdurrahman Ahmed
Jakarta:Pustaka Panjimas
M. Riza Sihbudi, 1993. Tinjauan Teoritis dan Praktis atas Konsep Wilayati Faqih,
makalah seminar mengenai Sistem Ketatanegaraan dan Politik dalam
Prospektif Islam, Jakarta
Safi’i Imam. 2019. Imamah dalam pemikiran politik syiah. Jurnal asy-syariah.
Vol.5 no.1

Tony Black, 2001. Pemikiran Politik Islam, Jakarta; PT Serambi Ilmu Semesta.

13

Anda mungkin juga menyukai