Anda di halaman 1dari 21

SYI’AH

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teologi Islam


Dosen Pengampu: H.Imam Masrur M.Th.I

Penyusun:

Muhammad Sulthon Dewani NIM. 21201241

Astrida Kristanti NIM. 21201246

Sinta Khuriatul Fadila NIM. 21201250

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS


TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil „alamin kami ucapkan kehadirat Allah Swt. atas segala
rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak
lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah
memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya. Shalawat serta salam
semoga selalu terlimpahkan kepada baginda Nabi Muhammad Saw. dan semoga
kita semua mendapat syafaat beliau di akhirat kelak. Aamiin.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teologi Islam
dengan judul “Syia‟ah”. Selain itu, makalah ini bertujuan untuk memberikan
wawasan kepada pembaca tentang Syi‟ah.
Tim penyusun mengucapkan terima kasih kepada Bapak H. Imam Masrur
M.Th.I selaku dosen pengampu mata kuliah Teologi Islam. Ucapan terima kasih
juga disampaikan kepada anggota kelompok tujuh yang telah membantu
terselesainya makalah ini.
Penyusun tentu menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan.
Untuk itu, penulis berharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk
perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat untuk
pembaca.

Kediri, 20 April 2022

Tim penyusun

ii
DAFTAR ISI

SYI’AH.....................................................................................................................i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 1
C. Tujuan ................................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3
A. Definisi Syiah ..................................................................................................... 3
B. Sejarah Kemunculan & Perkembangan Aliran Syi‟ah ....................................... 4
C. Pemikiran Teologi dalam Aliran Syi‟ah ............................................................. 6
D. Bentuk Kontekstualisasi Pemikiran Syiah di Indonesia ................................... 11
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 16
A. Kesimpulan ....................................................................................................... 16
B. Saran ................................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 18

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Syiah secara bahasa berarti pengikut, partai, atau kelompok, sedangkan
secara termonologis istilah ini dikaitkan dengan sebagian kaum muslim yang
dalam bidang spiritual dan keagamaan merujuk pada keturunan Nabi
Muhammad Saw. Syi‟ah yang dimaksudkan adalah suatu golongan dalam
Islam yang beranggapan bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. adalah orang
yang berhak sebagai khalifah pengganti Nabi, berdasarkan wasiatnya.
Sedangkan Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Utsman bin
Affan adalah penggasab (perampas) kedudukan khalifah.
Syi‟ah mendapat banyak pengikut khususnya selama pemerintahan
Amawiya. Seperti yang ditunjukkan oleh Abu Zahrah, ini adalah konsekuensi
dari perlakuan kejam dan kejam pemerintah ini terhadap Ahlul Jerat, misalnya
Yazid Ibn Mu'awiyah meminta tentaranya, yang dikendarai oleh Ibn Ziyad,
untuk memenggal Ali di Karbala. Dalam sejarah disebutkan bahwa setelah
kepala Ali dieksekusi ia dibawa ke hadapan Yazid Ibn Mu'awiyah memukuli
tongkatnya di atas cucu Nabi, yang berkali-kali dicium oleh Nabi sewaktu
kecil.
Kebiadaban seperti yang digambarkan di atas, membuat beberapa umat
Islam mengidentifikasikan diri dengan kekejaman Ahlul Snare atau kelompok
Dakwah dan tertarik untuk mengikuti aliran Syi‟ah, atau memiliki rasa kasihan
yang mendalam terhadap kemalangan yang menimpa Ahlu Al-Lure.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian Syi‟ah?
2. Bagaimana Sejarah kemunculan & perkembangan aliran Syi‟ah?
3. Bagaimana Pemikiran Teologi dalam aliran Syi‟ah?
4. Bagaimana bentuk dan konstektualisasi pemikiran Syi‟ah di Indonesia?

C. Tujuan
1. Mendeskripsikan pengertian Syi‟ah.

1
2. Mendeskripsikan sejarah kemunculan dan perkembangan aliran Syi‟ah.
3. Mendeskripsikan pemikiran teologi dalam aliran Syi‟ah.
4. Mendeskripsikan bentuk dan kontekstualisasi pemikiran Syi‟ah di
Indonesia.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Syiah
Syi‟ah secara bahasa berarti pengikut, partai, atau kelompok, sedangkan
secara termonologis istilah ini dikaitkan dengan sebagian kaum muslim yang
dalam bidang spiritual dan keagamaan merujuk pada keturunan Nabi
Muhammad Saw. atau orang yang disebut sebagai ahl-bait. Poin penting dalam
doktrin Syi‟ah adalah pernyataan bahwa segala petunjuk agama itu bersumber
dari Ahl Al-Bait. Mereka menolak petunjuk-petunjuk keagamaan dari para
sahabat yang bukan Ahl Al-Bait atau para pengikutnya. Syi‟ah yang
dimaksudkan adalah suatu golongan dalam Islam yang beranggapan bahwa
Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. adalah orang yang berhak sebagai khalifah
pengganti Nabi, berdasarkan wasiatnya. Sedangkan Khalifah Abu Bakar as-
Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan adalah penggasab
(perampas) kedudukan khalifah.1
Menurut Thabathbai, istilah Syi‟ah untuk pertama kalinya ditujukan pada
para pengikut Ali (Syi‟ah Ali), pemimpin pertama Ahl Al-Bait pada masa Nabi
Muhammad Saw. Para pengikut Ali yang disebut Syi‟ah itu diantaranya adalah
Abu Dzar Al-Ghiffari, Miqad bin Al-Aswad, dan Ammar bin Yasir.
Pengertian bahasa dan terminologis diatas hanya merupakan dasar yang
membedakan Syi‟ah dengan kelompok Islam yang lain. Di dalamnya belum
ada penjelasan yang memadai mengenai Syi‟ah berikut doktrin-doktrinnya.
Meskipun demikian, pengertian diatas merupakan titik tolak penting bagi
mazhab Syi‟ah dalam mengembangkan dan membangun doktrin-doktrinnya
yang meliputi segala aspek kehidupan, seperti Imamah, Taqiyah, Muth‟ah, dan
sebagainya.2

1
Sahilun A Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangan,
(Jakarta: PT RajaGfindo Persada), h. 72.
2
Abdul Rozak & Rasihul Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2011), h. 89.

3
B. Sejarah Kemunculan & Perkembangan Aliran Syi’ah
Mengenai kemunculan Syi‟ah dalam sejarah, terdapat perbedaan pendapat
di dalam kalangan para ahli. Menurut Abu Zahrah, Syi‟ah mulai muncul pada
masa akhir pemerintahan Usman bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang
pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Adapun menurut Watt, Syi‟ah
baru benar-benar muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan
Mu‟awiyah yang dikenal dengan Perang Siffin. Dalam peperangan ini sebagai
respon atas penerimaan Ali terhadap arbitrase yang ditawarkan Mu‟awiyah,
pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung
sikap Ali kelak disebut Syi‟ah dan kelompok lain yang menolak sikap Ali,
kelak disebut Khawarij.3Sementara itu, dugaan keterlambatan Ali dalam
membaiat khalifah Abu Bakar sebagai latar belakang munculnya sikap
tasyayyu‟ dapat ditempatkan sebagai bibit yang memicu munculnya front ini.
Bagi para pendukun Ali peristiwa saqifah menjadi peristiwa krusial yang
menandai perampasan hak kekhilafahan Ali oleh Abu Bakar yang didukung
oleh para elit saat itu. Di sisi ini ada dua pemahaman yang berbeda dimana
pihak yang pro-Ali mengklaim ada nash tentang wasiat kepemimpinan setelah
Rasulullah Saw. yang dialamatkan kepada Ali bin Abi Thalib. Pada sisi yang
lain latar belakang ini juga terasa kuat karena dalam pemahaman dan
keyakinan kaum Syi‟ah sampai hari ini muncul keberpihakan kepada Ali bin
Abi Thalib. Pada sisi inilah nantinya dapat dipahami munculnya ahlulbait dan
pengikut lainnya.
Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan pengikut lainnya menjadikan
perbedaan pandangan yang tajam antara Syi‟ah dan Sunni dalam penafsiran Al-
Qur‟an, Hadits dan mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh
perawi Hadits dari Muslim Syi‟ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait,
sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan. Tanpa
memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi‟ah mengakui otoritas Imam
Syi‟ah sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam Syi‟ah
berbeda dalam siapa pengganti para imam saat ini.

3
Abdul Rozak & Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV.Pustaka Setia), h. 112.

4
Di kalangan penganut Syi‟ah, konsep dukungan kepada Ali bin Abi Thalib
menjelma menjadi dukungan terhadap Ali sebagai yang paling berhak untuk
kekuasaan politik saat itu. Selain argumen teks tentang Hadits Ghadir Khum,
kapasitas imam Ali dipandang memiliki dua keutamaan berupa “ishmah dan
„ilm. Ilmu yang dimiliki imam Ali disinyalir tidak hanya ilmu zahir tetapi juga
ilmu batin. Ia bisa mengetahui zahir dan batinnya Al-Qur‟an, semua rahasia
diketahuinya, dan semua itu ia peroleh dari Nabi Muhammad SAW.
Dukungan kepada Ali bin Abi Thalib ini kemudian secara berkelanjutan
sampai kepada anak-anak dan keturunannya berdasarkan mekanisme pewarisan
(wiratsah) dan penunjukan (ta‟yin). Dengan demikian inti tentang Syi‟ah
adalah persoalan dukungan kuat kepada imam Ali dan keturunannya sebagai
orang-orang suci yang memiliki „ishmah dan keluasan ilmu yang dimiliki oleh
sahabat-sahabt lainnya. Dukungan ini pula yang kemudian dikaitkan dengan
konsep Ahlul Bait (keluarga Nabi) yang harus dilindungi dan dijaga harkat,
martabat, dan kehormatannya. Pada titik ini juga terdapat hadits yang sangat
populer dikalangan Syi‟ah terkait keutamaan Ahlul Bait.
Dengan demikian, jelaslah esensi Syiah adalah dukungan dan kepercayaan
yang begitu kuat tentang keluarga Nabi Muhammad (yaitu para Imam Syiah)
sebagai sumber pengetahuan terbaik tentang Al-Qur‟an dan Islam, guru tentang
Islam setelah Nabi Muhammad, dan pembawa serta penjaga terpercaya dari
tradisi Sunnah. Secara khusus, Muslim Syi‟ah berpendapat bahwa Ali bin Abi
Thalib adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad, yang berbeda
dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Muslim Sunni. Muslim Syi‟ah
percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi dan perintah
Nabi berarti wahyu dari Allah SWT.
Pada perkembangannya, Syiah mengalami beberapa perpecahan.
Sebagaimana Sunni juga mengalami beberapa pergeseran mazhab. Pergeseran-
pergeseran ini kemudian melahirkan berbagai varian Syiah Lima atau disebut
Syi‟ah Zaidiyyah, Syi‟ah Tujuh atau disebut Syi‟ah Ismailiyyah, Syi‟ah Dua
Belas dan Syi‟ah Ghulat Sesat. Sebagai gambaran awal, pada tulisan ini akan

5
diurai secara singkat varian-varian tersebut dengan konsep dan ajaran-
ajarannya.4

C. Pemikiran Teologi dalam Aliran Syi’ah


Syi‟ah mendapat banyak pengikut khususnya selama pemerintahan
Amawiya. Seperti yang ditunjukkan oleh Abu Zahrah, ini adalah konsekuensi
dari perlakuan kejam dan kejam pemerintah ini terhadap Ahlul Jerat, misalnya
Yazid Ibn Mu'awiyah meminta tentaranya, yang dikendarai oleh Ibn Ziyad,
untuk memenggal Ali di Karbala. Dalam sejarah disebutkan bahwa setelah
kepala Ali dieksekusi ia dibawa ke hadapan Yazid Ibn Mu'awiyah memukuli
tongkatnya di atas cucu Nabi, yang berkali-kali dicium oleh Nabi sewaktu
kecil.
Kebiadaban seperti yang digambarkan di atas, membuat beberapa umat
Islam mengidentifikasikan diri dengan kekejaman Ahlul Snare atau kelompok
Dakwah dan tertarik untuk mengikuti aliran Syiah, atau memiliki rasa kasihan
yang mendalam terhadap kemalangan yang menimpa Ahlu Al-Lure.
Menurut para ahli sejarah, peristiwa duka Husain di Karbala merupakan
pendorong utama terbentuknya Syi'ah secara umum, karena musibah ini istilah
Syi'ah umumnya tidak disandingkan dengan nama-nama tertentu seperti
sebelumnya Syi'ah Ali, Syi'ah Husain, namun cukup dengan Syi'ah dan sebagai
bukti ini membawa perlindungan dari para ahli seperti perkembangan: At-
Tawwabut, Kaisaniah.5
Dalam pergantian peristiwa berikutnya, Syiah serta berjuang untuk
kekhalifahan dari Perangkap Ahlul sebelum Amawiyah dan Abbasiyah, juga
menggambarkan ajaran mereka sendiri. Sejauh filsafat, mereka memiliki lima
andalan keyakinan, khususnya Tauhid (keesaan Tuhan); Nabuwwah (iman
akan kenabian); Ma'ad (keyakinan akan alam semesta yang agung); Imamah
(iman akan kehadiran imamah yang merupakan hak ahl al-trap); dan Adl
(Keadilan Ilahi).
1. Keyakinan Syiah tentang Imam mereka

4
Nunu Burhanuddin, Ilmu Kalam Tauhid menuju Keadilan, (Depok: Prenamedia Group), h. 51-53.
5
Fadil Su‟ud Ja‟fari, “ISLAM SYI‟AH: Telaah Pemikiran Habib Husein al-Habsyi”, (Malang:
UIN-Maliki Press, 2010), hlm. 37.

6
Mereka sependapat bahwa para nabi dan imam Syi‟ah adalah ma'sum
(menjauhkan diri dari dosa), baik dari dosa kecil maupun dosa besar.
Demikian pula, mereka juga sepakat bahwa tawalli (membantu menteri) dan
tabarri (meninggalkan musuh) adalah wajib, baik itu dilakukan dengan
ucapan, perbuatan, atau keyakinan. Dengan cara seperti itu, beberapa
pengikut dari kelompok Syiah Zaidiyyah tidak setuju dengan mereka.
Kaum Syiah berkeyakinan bahwa keduabelas orang Imam tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Ali bin Abi Thalib
b. Hasan bin Ali
c. Husain bin Ali
d. Ali bin Husain
e. Muhammad bin Ali f. Ja‟far bin Muhammad
f. Musa bin Ja‟far h. Ali bin Musa
g. Muhammad bin Ali
h. Ali bin Muhammad
i. Husain bin Ali
Ayatollah Khomeini (imam Syi‟ah) mengatakan bahwa Imam memiliki
posisi yang sangat baik, posisi terhormat dan inisiatif keseluruhan, di mana
seluruh dunia bergantung pada wilayah dan kekuasaannya. Lebih jauh lagi,
bahwa Imam kita memiliki tempat yang tidak dapat dicapai oleh para utusan
suci muqarrabin atau para nabi yang diutus. Bagi individu-individu yang
tidak memiliki kepercayaan pada dua belas pendeta, mereka dianggap
sebagai orang yang tidak berguna atau pendiam.
Sementara mereka menyalahkan Imam kedua belas mereka atas apa
yang tidak dikenali oleh para Imam yang sebenarnya, khususnya
mengetahui yang tersembunyi, dan bahwa para Imam melibatkan tingkat
yang paling tinggi di antara umat manusia, Syi‟ah menyangkal apa yang
Allah ungkapkan kepada Nabi Muhammad. harmoni tiba pada masalah

7
dunia lain seperti pembentukan langit dan bumi, sifat-sifat surga dan api
neraka.6
Ulama mereka sangat luar biasa. Mereka sok sampai-sampai para kiai
mengetahui segala sesuatu yang samar-samar, padahal bukan sesuatu yang
pasti dan bisa dibuktikan. Namun, mereka pikir mereka tidak berkomitmen
untuk menerima dan mengakui wawasan baru tentang hal-hal gaib dan
supranatural, yang dapat ditunjukkan dari Rasulullah.7 Perdebatan-
perdebatan yang nyata dan padat, seperti penolakan terhadap Al-Qur'an dan
hadits-hadits yang sahih, tentang kejadian-kejadian di langit dan bumi, dan
tentang surga dan kutukan. Namun kami menerima bahwa segala sesuatu
yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad. itu hanyalah sebuah artikulasi yang
didorong oleh antusiasme namun sebuah kata yang terbuka.8
2. Kitab-Kitab Suci Syi‟ah
a. Al-Aqo‟id al-Islamiyah
b. Al-Fiqh „ala al‟Madhahib al-Khamsah
c. Al-Halaqat
d. Fiqh Istidlali
e. Al- Mantiq
f. Bidayah al-Hikmah
3. Keyakinan Syi‟ah tentang Taqiyyah
Taqiyyah yang dicirikan oleh salah satu tokoh Syi‟ah kontemporer
adalah "setiap wacana atau perbuatan yang Anda lakukan yang tidak sesuai
dengan keyakinan Anda, untuk menjauh dari kerusakan untuk hidup Anda,
harta benda, atau untuk menjaga kehormatan Anda.9
Bahkan masyarakat Syi'ah pun berpikir dalam Furu' al-Kafi Kitab al-
Janaiz, bahwa Nabi telah menyelesaikannya, khususnya ketika seorang
bajingan bernama Abdullah wadah Ubay wadah Salul menendang ember,
ketika Nabi datang untuk memohon kepada Tuhan untuknya , kemudian,

6
K.H. Abdurrahman Navis dkk, “Risalah Ahlussunnah Wal Jama‟ah: Dari Pembiasaan Menuju
Pemahaman dan Pembelaan Akidah- Amaliah NU”, (Surabaya: Khalista, 2012), hlm. 39.
7
Ibid., h 40.
8
Sayyid Muhibbuddin al-Khatif, “Mengenal Pokok-Pokok Ajaran Syi‟ah Al-Imamiyah dan
Perbedaannya Dengan Ahlussunnah”, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1984), hlm. 39.
9
Syaikh Abdullah bin Muhammad, “Menyingkap Hakikat Aqidah Syi‟ah, (Makassar: Jaringan
Pembelaan Terhadap Sunnah, 2009), hlm. 35.

8
Umar menceritakan kepadanya, “Bukankah Allah telah melarangmu untuk
melakukan itu (tetap di atas sisa penipuan ini), kemudian, pada saat itu,
Nabi menjawab, “Masalahmu, apakah kamu punya ide apa yang saya baca?
Sesungguhnya aku berkata, "Ya Allah, isi mulutnya dengan api dan isi
kuburnya dan masukkan dia ke dalam api."10
Rasanya tidak pantas rekan-rekan nabi memandangnya dengan rasa
kasihan sementara nabi mencaci makinya. Syi‟ah mengatakan, taqiyyah
adalah komitmen, organisasi Syiah tidak akan tinggal tanpanya dan mereka
menyampaikan inti dan baut taqiyyah secara lugas dan terselubung dan
muamalah dengan taqiyyah terutama dalam keadaan berbahaya.
Dalam keadaan khusus ini, taqiyyah diperbolehkan dalam Islam untuk
melindungi diri sendiri dan Islam dari bahaya musuh untuk mengikuti
pelajaran Islam sehingga dapat disampaikan dan diakui di masa depan.
Menurut Hamid Enayat, yang dikutip oleh Attamamimy dalam bukunya,
bahwa sepanjang keberadaan Islam, taqiyyah bukan hanya "infrastruktur
penahan" dari sekolah Syi‟ah, tetapi juga para imam dari kalangan
Ahlussunnah Wal Jama'ah. ketika dihadapkan pada keadaan yang dapat
melemahkan daya dukung sekolahnya, mereka tidak segan-segan untuk
melakukan taqiyyah.11
4. Kelompok-kelompok Syi‟ah
Tandan Syiah diisolasi dalam lebih dari satu cara, termasuk masalah
penunjukan imam (khilafah) setelah Nabi Muhammad. Seperti yang
ditunjukkan oleh mereka, pengaturan khalifah tidak sepenuhnya diatur
dalam Al-Qur'an dan hadits, atau pada akhirnya masih di udara oleh
Rasulullah. Meskipun demikian, dalam hal tertentu, mereka bervariasi
dalam penilaian. Perbedaan-perbedaan ini pada akhirnya mengarah pada
perintah di dalam kelompok Syi‟ah, termasuk yang menyertainya:
a. Syiah Sabaiyah, yaitu Syi‟ah yang mengikuti Abdullah bin Saba.
b. Syiah Kaisaniah, yaitu Syi‟ah yang mengikut Mukhtar bin Ubai as
Saqafi. Golongan ini tidak mempercayai adanya ruh Tuhan dalam tubuh

10
Ibid., hlm. 36.
11
Attamimy, “SYI”AH: Sejarah, Doktrin, dan Perkembangan di Indonesia”, (Yogyakarta: Graha
Guru Printika, 2009), hlm. 87.

9
Saidina „Ali, tetapi mereka yakin seyakin-yakinya bahwa Imam-Imam
orang Syi‟ah adalah ma‟shum (sama dengan nabi-nabi) dan masih
keturunan wahyu.
c. Syi‟ah Imamiyah, yaitu Syi‟ah yang meyakini bahwa Nabi Muhammad
saw telah menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai imam dengan jelas dan
tegas. Tidak meyakini kepemimpinan Abu Bakar, Umar dan Utsman.
d. Syi‟ah Isma‟iliyah, yaitu Syi‟ah yang meyakini hanya 7 orang imam,
yang pertama Saidina Ali dan akhirnya jabatan imamah tersebut pindah
kepada anak Ja‟far ash-Shadiq yang bernama Isma‟il.
e. Syi‟ah Zaidiyah, yaitu Syiah yang mempercayai kepemimpinan Zaid bin
Ali bin Husain bin Ali, setelah kepemimpinan Husain bin Ali.
f. Syi‟ah Qaramithah, yaitu kaum Syi‟ah yang menafsirkan al-Qur‟an
sesukan hati mereka.12
5. Tokoh-Tokoh Syiah Terdahulu Maupun Belakangan
Semua kitab Syi'ah masa lalu seperti al-Kafi, al-Istibshar, al-Ihtijaj,
Man La Yahdluru al-Faqih dan lain-lain, memuat tuduhan dan predikat 65
"zhalim" atas Abu Bakar ra, Umar ra, Utsman ra dan para sahabat yang
menegakkan kekhalifahan mereka, ada kesepakatan antara perintis Syi'ah
sebelumnya dan para pemimpin Syi'ah kemudian.34 Angka-angka itu antara
lain sebagai berikut:
a. Murtadla al-Asykari, menyebutkan sebuah hadits (palsu) yang
menyatakan bahwa tiga khulafa‟ sebelum Sayyidina Ali adalah “para
imam sesat dan perintis yang mengajak ke neraka”, dalam pengantarnya
pada kitab “Ashlu al-Syi‟ah wa Ushuliha” halaman 14.
b. Muhammad Ridla al-Mudzaffar dalam bukunya “Aqaid al-Imamiyah”
pada bab “Aqidatuna fi al-Dakwah ila al-Wahdah al-Islamiyah”, halaman
110, menyisipkan kalimat “Wa‟I‟tida-uhu bi Ghashbihim li Haqqihi”
(S.Ali percaya bahwa 3 khalifah sebelum dia telah merampas haknya).
c. Ibrahim al-Musawiy al-Zanjani, dalam bukunya “Aqaid al-Imamiyah”
halaman 15-58, penuh dengan penjelasan serupa.

12
K.H. Abdurrahman Navis dkk, “Risalah Ahlussunnah Wal Jama‟ah: Dari Pembiasaan Menuju
Pemahaman dan Pembelaan Akidah- Amaliah NU”, (Surabaya: Khalista, 2012), hlm. 44.

10
d. Muhammad Husein Ali Kasyif al-Ghita dalam “Ashlu al-Syi‟ah wa
Ushuliha”, dalam bahasa diplomatik, ia menulis bahwa jika S. Ali tidak
ingin berjanji setia kepada para khalifah ini, itu bisa mengakibatkan
tindakan berbahaya mereka. Islam bahkan mendobrak Islam dari dasar-
dasarnya. (Ashlu al-Syiah wa Ushuliha, halaman 47)
e. Khumini, pemimpin revolusi Syi'ah di Iran dan bukunya "Kasyfu Asrar",
dengan bahasa yang arogan, banyak melontarkan kritik pedas, terutama
terhadap S. Abu Bakar dan S. Umar. Misalnya menuduh kedua khalifah
tidak memperhatikan Islam dan Al-Qur'an, kecuali hanya untuk
kepentingan dan kepemimpinan duniawi dan mereka telah berani
menambah dan mengurangi Al-Qur'an” (Kasyfu Asrar, halaman 131).
f. Habib Husein al-Habsyi, dalam bukunya yang berjudul “Sunnah-Syi‟ah
dalam Ukhuwa Islamiyah”. Itulah sanggahan al-Habsyi terhadap “Dua
Wajah Berhadapan” oleh Abu Hasan Ali al-Nadwi. Al-Habsyi sangat
menyayangkan pendapat al-Nadwi dalam bukunya13

D. Bentuk Kontekstualisasi Pemikiran Syiah di Indonesia


Keberhasilan revolusi Islam di Iran (1979) yang terinspirasi oleh doktrin-
doktrin faham Syi‟ah, dalam banyak hal telah menghembuskan angin
perubahan dalam tata perpolitikan dunia. Tidak hanya perubahan di dalam
negeri Iran sendiri, revolusi itu juga memberikan pengaruh yang tidak sedikit
pada negara-negara di semenanjung Arab dan Asia termasuk Indonesia. Buah
pikiran tokoh-tokoh di balik Revolusi Islam Iran, seperti Ayatullah Rohullah
Khomeini, Syahid Muthahari, Ali Syari‟ati, dan Allamah Thabathaba‟i menjadi
mutiara yang menarik perhatian para cendekiawan Islam. Ide mereka menjadi
rujukan pemikiran politik alternatif di kalangan cendekiawan muslim dunia,
termasuk pemikiran politik Islam di Indonesia14.
Masuknya karya-karya pemikir Syi‟ah di Indonesia menjadi oase baru bagi
intelektual Syi‟ah menjadi perdebatan yang tidak pernah terputus untuk dikaji.

13
Fadil Su‟ud Ja‟fari, “ISLAM SYI‟AH: Telaah Pemikiran Habib Husein al-Habsyi”, (Malang:
UIN-Maliki Press, 2010), hlm. 86.
14
Moh. Hasim, “Syi‟ah: Sejarah Timbul dan Perkembangannya di Indonesia”, Fondatia: Jurnal
Analisis, vol. 19 (Desember, 2012), hlm. 149.

11
Pemuda-pemudi di kalangan kampus begitu antusias untuk mendiskusikan
pemikiran-pemikiran Syi‟ah.
1. Sejarah Syi‟ah Masuk ke Indonesia.
Secara kultural masuknya Syi‟ah ke Indonesia bersamaan dengan
kedatangan Islam ke Nusantara melalui jalur perdagangan dan dakwah
menggunakan strategi taqiyah. Setelah terjadi Revolusi Islam Iran tahun
1979 baru kemudian menggunakan gerakan yang bersifat intelektual.
Setelah kehadiran alumnus Qum, gerakan Syi‟ah mulai mengembangkan
Fiqh Syi‟ah, sehingga munculah lembaga-lembaga Syi‟ah. Islam Syi‟ah
masuk ke Nusantara melalui empat fase yaitu:
a. Fase pertama.
Syi‟ah sudah masuk ke Indonesia sejak masa awal masuknya Islam
ke Indonesia melalui para penyebar Islam awal, yaitu melalui orang-
orang Persia yang tinggal di Gujarat dan Aceh menjadi wilayah pertama
kedatangan Syi‟ah di Indonesia. Pada tahun 173 H atau 800 M sebuah
kapal dagang tiba di Bandar Peurlak dari teluk Kambey (Gujarat) yang
membawa 100 orang muslim terdiri dari bangsa Arab, Persia dan India
dipimpin oleh Nakhoda Khalifah semuanya orang-orang Syiah.
Menurut Aboebakar Atjeh bahwa Islam yang pertama kali masuk ke
Nusantara adalah Islam Syi‟ah15. Pada awal masuknya Islam, Syiah
sangat berperan dalam membentuk kebudayaan muslim di Aceh. Bukti
terhadap hal tersebut didasarkan pada peninggalan Syiah yang masih ada
sampai saat ini, baik berupa kebiasaan, budaya maupun kerajaan Islam.
Budaya tersebut antara lain penghormatan terhadap ahlulbait, ritual-ritual
agama, seperti peringatan kematian Sayyidina Husein di Karbala pada
tanggal 10 Muharram dan adanya sastra Melayu Klasik.
Menurut Hamzah Alwi al-Habsyi, Syi‟ah masuk ke Indonesia
bersamaan dengan kedatangan Islam pertama ke Indonesia dengan
merujuk pada bukti sejarah batu nisan makam Maulana Malik Ibrahim di
Gersik yang ada tanda-tanda Syi‟ah, yaitu tulisan ayat kursi yang disertai
nama Nabi dan sahabat Ali, berbeda dengan makam para Wali yang
15
Aboebakar Atjeh, Aliran Syi‟ah di Nusantara, vol. 1 (Jakarta: Islamic Research Institut, 1977),
hlm. 27.

12
biasanya hanya bertuliskan empat nama sahabat saja. Dengan
menggunakan taqiyah sebagai cara orang-orang Syi‟ah dalam
menyebarkan ajarannya, maka sulit untuk memperkirakan jumlah
pengikut Syi‟ah di Indonesia16.
b. Fase kedua
Pada fase kedua ini penyebaran Syi‟ah di Indonesia dimulai sejak
Revolusi Iran meletus pada tahun 1979. Banyak orang yang menjadi
Syi‟ah karena didorong oleh intelektualitas orang-orang Syi‟ah.
Perpindahan orang-orang muslim yang pada awalnya penganut Sunni
Indonesia menjadi Syi‟ah banyak terjadi dikalangan mahasiswa dan
dosen. Nabhan Husain seorang staf Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
mengatakan bahwa dakwah Islam di kampus-kampus yang sedang
marak-maraknya pada tahun 1970-an dan 1980-an telah mendorong
banyaknya mahasiswa tertarik mempelajari Syi‟ah.
Aspek lain yang menarik dari orang-orang Syi‟ah bahwa Syi‟ah
menawarkan cara berpikir yang rasional dan kritis. Pada tahun 1970-
1980- an terjadi persaingan sengit antara Liberalisme dengan
Komunisme dan antara Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat
dengan Blok Timur dibawah pimpinan Uni Soviet sekarang Rusia. Oleh
karena itu, Syi‟ah bagi para mahasiswa merupakan sebuah alternatif
terhadap berkembangnya isme-isme tersebut.
c. Fase ketiga.
Ditandai dengan adanya pembukaan pengajian-pengajian Syi‟ah di
berbagai daerah. Selain pengajian, mereka juga menerbitkan buku-buku
Syi‟ah baik dalam bidang pemikiran dan filsafat, tokoh-tokoh Syi‟ah
maupun buku-buku fiqih. Menurut Jalaluddin Rakhmat, bahwa orang-
orang yang tertarik dengan ajaran Syi‟ah tidak terbatas pada orang-orang
dari lingkungan perguruan tinggi, tetapi lebih beragam, bahkan orang
yang dalam istilah “tidak begitu terpelajar”.
Pada tahun 1995 terdata ada 40 yayasan Syi‟ah yang telah berdiri di
Indonesia dan 25 diantaranya berada di Jakarta. Sebuah jurnal di Jakarta
16
Rifa‟i Abubakar, “Pergulatan Syiah Dalam Kontelasi Politik Keagamaan di Indonesia”, vol. 1
(Yogyakarta: SUKA-Press, 2020), h. 183.

13
pernah mendata orang-orang yang memeluk Syi‟ah di Indonesia pada
tahun 1995 yang diperkirakan ada 20.000 orang yang melaksanakan
ajaran Syi‟ah secara total.
Pada masa pemerintahan Orde Baru gerakan Syi‟ah masih diawasi
dan dikontrol dengan baik. Kemudian peralihan Orde Baru ke Orde
Reformasi telah membuka peluang besar bagi berkembangnya Syi‟ah di
Indonesia.
d. Fase keempat.
Perkembangan Syi‟ah pada fase ini adalah bahwa orang-orang Syi‟ah
semakin menampakkan identitas mereka ditengah kehidupan sosial
masyarakat Indonesia dengan mendirikan organisasi massa secara resmi
pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, yaitu Ikatan Ahlulbait
Indonesia (IJABI) pada tanggal 1 Juli 2000 di Bandung. Sebagai sebuah
organisasi kemasyarakatan IJABI resmi terdaftar melalui Surat
Keputusan Nomor 127 Tahun 2000/D.1 Departemen Dalam Negeri
Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan
Perlindungan Masyarakat.
Sebagai sebuah ormas Syi‟ah, IJABI mengalami perkembangan yang
sangat pesat di tengah masyarakat Islam Indonesia yang mayoritas Sunni.
Sampai dengan tahun 2008 IJABI telah memiliki sekitar 2.500.000 (Dua
juta lima ratus ribu) orang anggota yang terdapat di 84 cabang dan 145
sub-cabang IJABI yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia.
2. Aliran Syi‟ah di Indonesia.
Aliran Syi‟ah yang hidup dan berkembang di Indonesia adalah aliran
Syi‟ah Imamiyah Itsna „Asyariyah yang dianut secara pribadi-pribadi.
Keyakinan tersebut hidup dalam masyarakat Indonesia dengan tingkat
adaptasi yang amat tinggi. Syi‟ah di Indonesia belum pernah memberikan
catatan sejarah yang membuktikannya sebagai sebuah mazhab Islam
agresif serta ekspansif. Pribadi-pribadi yang menganut Syi‟ah selain
berasal dari keluarga Syi‟ah tetapi boleh jadi sebelumnya dari keluarga

14
Sunni, namun bukan hasil dari suatu agresifitas yang memaksakan
terjadinya perpindahan mazhab tersebut17.
Perkembangan Syi‟ah di Indonesia selanjutnya berupa pelembagaan
lewat berbagai yayasan yang juga dalam catatannya tidak menimbulkan
persoalan di tengah masyarakat Sunni, bahkan memberikan sumbangan
penting misalnya dalam pengembangan pendidikan dan dakwah Islam
liwat sekolah atau pesantren serta buku-buku. Ringkasnya, Syi‟ah di
Indonesia adalah komunitas Islam yang damai sebagaimana Sunni yang
sejak semula masuk ke Indonesia. Syi‟ah juga memiliki eksistensi di ruang
publik sebagai aliran terkoordinir secara baik.
Syi‟ah di Indonesia memosisikan diri mereka sebagai bagian integral
dari bangsa ini dan bangga menjadi bagian dari bangsa yang besar. Karena
sifatnya yang dinamis, setiap orang Syi‟ah di Indonesia memiliki pilihan
masing-masing dalam hal politik. Satu hal yang pasti, Syi‟ah di Indonesia
bukan Syi‟ah Arab, bukan Syi‟ah Iran dan bukan pula Syi‟ah manapun
selain Syi‟ah Indonesia yang berkarakter, berbudi pekerti meng-Indonesia.
Sebagaimana Islam Sunni yang memiliki kegiatan ritual keagamaan,
orang-orang Syi‟ah juga mempunyai kegiatan ritual keagamaan. Orang-
orang Syi‟ah Indonesia aktif mengamalkan ritual keagamaan dalam
kehidupan mereka. Adapun kegiatan ritual keagamaan orang-orang Syi‟ah
adalah; Peringatan hari kematian atau kewafatan para imam dan ulama,
peringatan hari kelahiran Nabi dan para Imam Ahlulbait dan hari kematian
para Imam dan Ulama dilaksanakan secara meriah oleh kaum Syi‟ah, juga
mengadakan maktam (pernyataan ratap duka cita) sambil menyampaikan
dan mengingat keutamaan-keutamaan (manaqib) perilaku mereka yang
lurus dan peran-peran mereka yang bijaksana sebagaimana terekam dan
terwarisi dalam riwayat-riwayat sahih, juga al-Qur‟an yang menyebutkan
keutamaan Nabi SAW serta Nabi-Nabi yang lain memuji mereka dan
menarik perhatian untuk diikuti, dicontoh dan dijadikan sebagai
petunjuk18.

17
Siti Rohmah. dkk, “Teologi Islam”, vol. 1 (Malang: Madani Media, 2020), hlm. 93.
18
Rifa‟i Abubakar, “Pergulatan Syiah Dalam Kontelasi Politik Keagamaan di Indonesia”,
(Yogyakarta: SUKA-Press, 2020), h. 190.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Syi‟ah adalah persoalan dukungan kuat kepada imam Ali dan
keturunannya sebagai orang-orang suci yang memiliki „ishmah dan keluasan
ilmu yang dimiliki oleh sahabat-sahabt lainnya. Dukungan ini pula yang
kemudian dikaitkan dengan konsep Ahlul Bait (keluarga Nabi) yang harus
dilindungi dan dijaga harkat, martabat, dan kehormatannya. Pada titik ini juga
terdapat hadits yang sangat populer dikalangan Syi‟ah terkait keutamaan Ahlul
Bait.
Mengenai kemunculan Syi‟ah dalam sejarah, terdapat perbedaan pendapat
di dalam kalangan para ahli. Menurut Abu Zahrah, Syi‟ah mulai muncul pada
masa akhir pemerintahan Usman bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang
pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Adapun menurut Watt, Syi‟ah
baru benar-benar muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan
Mu‟awiyah yang dikenal dengan Perang Siffin. Dalam peperangan ini sebagai
respon atas penerimaan Ali terhadap arbitrase yang ditawarkan Mu‟awiyah,
pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung
sikap Ali kelak disebut Syi‟ah dan kelompok lain yang menolak sikap Ali,
kelak disebut Khawarij. Dan pada perkembangannya, Syiah mengalami
beberapa perpecahan. Sebagaimana Sunni juga mengalami beberapa
pergeseran mazhab. Pergeseran-pergeseran ini kemudian melahirkan berbagai
varian Syi‟ah Lima atau disebut Syi‟ah Zaidiyyah, Syi‟ah Tujuh atau disebut
Syi‟ah Ismailiyyah, Syi‟ah Dua Belas dan Syi‟ah Ghulat/Sesat.

16
Syi‟ah serta berjuang untuk kekhalifahan dari Perangkap Ahlul sebelum
Amawiyah dan Abbasiyah, juga menggambarkan ajaran mereka sendiri. Sejauh
filsafat, mereka memiliki lima andalan keyakinan, khususnya Tauhid (keesaan
Tuhan); Nabuwwah (iman akan kenabian); Ma'ad (keyakinan akan alam
semesta yang agung); Imamah (iman akan kehadiran imamah yang merupakan
hak ahl al-trap); dan Adl (Keadilan Ilahi).
Kebiadaban seperti yang digambarkan di atas, membuat beberapa umat
Islam mengidentifikasikan diri dengan kekejaman Ahlul Snare atau kelompok
Dakwah dan tertarik untuk mengikuti aliran Syi‟ah, atau memiliki rasa kasihan
yang mendalam terhadap kemalangan yang menimpa Ahlu Al-Lure.

B. Saran
Penyusun tentu menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan.
Untuk itu, penulis berharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca
untuk perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
untuk pembaca.

17
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Syaikh, “Menyingkap Hakikat Aqidah Syi‟ah, Jaringan Pembelaan


Terhadap Sunnah”, Jurnal Penelitian, (2009).
Abubakar Rifa‟i, “Pergulatan Syiah Dalam Kontelasi Politik Keagamaan di
Indonesia”, (2020), Vol. 1.
Al-Khalif Sayyid Muhibbuddin, “Mengenal Pokok-Pokok Ajaran Syi‟ah Al-
Imamiyah dan Perbedaannya Dengan Ahlussunnah”, Jurnal Penelitian,
1984.
Atjeh Aboebakar, Aliran Syi‟ah di Nusantara, vol. 1 (Jakarta: Islamic Research
Institut, 1977), Vol. 1.
Attamimy, SYI‟AH: “Sejarah, Doktrin, dan Perkembangan di Indonesia”, Jurnal
Penelitian, (2009).
Burhanuddin Nunu, Ilmu Kalam Tauhid menuju Keadilan, Depok: Prenamedia
Group, 2018.
Fadil Su‟ud Ja‟fari, “ISLAM SYI‟AH: Telaah Pemikiran Habib Husein al-
Habsyi”, Jurnal Penelitian, (2010).
Hasim Moh, “Syiah: Sejarah Timbul dan Perkembangannya di Indonesia,
Fondatia: Jurnal Analisis”, (Desember, 2012), Vol. 19.
Ja‟fari Fadil Su‟ud, “ISLAM SYI‟AH: Telaah Pemikiran Habib Husein al-Habsyi,
UIN-Maliki Press”, Jurnal Penelitian, (2010).
Nasir A Sahilun, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangan, Jakarta: PT Rajafindo Persada, 2012.
Navis Abdurrahman dkk, “Risalah Ahlussunnah Wal Jama‟ah: Dari Pembiasaan
Menuju Pemahaman dan Pembelaan Akidah- Amaliah NU”, Jurnal
Penelitian, (2012).
Rohmah Siti. dkk, “Teologi Islam”, (2020), Vol. 1.
Rozak Abdul & Rasihul Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011.

18

Anda mungkin juga menyukai