Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PEMIKIRAN POLITIK SYI’AH DAN PENGARUHNYA DALAM


PEMERINTAHAN ISLAM

Disusun Oleh:

Yusri Arafat (23052050013)

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. Romli, S.A., M.Ag.

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)


PASCASARJANA FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) RADEN FATAH
PALEMBANG

2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena
berkat ridha cinta dan kasih sayangnya yang tak terhingga serta limpahan rahmatnyalah
kita masih bisa merasakan nikmat iman, Islam, dan ihsan.

Shalawat dan bertangkaikan salam dan bercabangkan rasa kerinduan yang teramat
dalam tak henti terus tercurahkan kepada suri tauladan kita baginda Rasulullah nabi
Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam sebagai contoh panutan kita sebagai pengikutnya
hingga akhir zaman.

Alhamdulillahirobbil’alamin, kami dapat menyelesaikan dengan tepat waktu tugas


yang diberikan oleh dosen pengampuh untuk membuat makalah dalam mata Kuliah Fiqh
Siyasah dengan judul Pemikiran Politik Syi’ah Dan Pengaruhnya Dalam Pemerintahan
Islam.

Kami pun selaku penyusun masih menyadari bahwasanya makalah ini belum bisa
dikatakan sempurna sekali karena masih banyak terdapat kekhilafan didalamnya baik
disengaja maupun tidak. Oleh sebab itu, semua masukkan kritik dan saran dari para
pembaca sangat diperlukan sekali guna memperbaiki makalah ini selanjutnya. Akhir kata,
semoga makalah ini dapat berguna lagi bermanfaat bagi kita semua, Aamiin Yaa Robbal
Alaamiin.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Palembang, 4 November 2023

Penyusun

Yusri Arafat

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i

BAB I ................................................................................................................................. 1

PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ......................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................................................... 2

C. Tujuan Penulisan ...................................................................................................... 3

D. Metode Penelitian .................................................................................................... 3

BAB II ................................................................................................................................ 4

PEMBAHASAN ................................................................................................................ 4

A. Pemikiran politik Syi’ah dalam pemerintahan Islam ............................................... 4

B. Pengaruhnya politik Syi’ah dalam pemerintahan Islam .......................................... 7

BAB III .............................................................................................................................. 9

PENUTUP .......................................................................................................................... 9

A. Kesimpulan .............................................................................................................. 9

B. Saran......................................................................................................................... 9

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Syi’ah menurut bahasa pengertiannya adalah kelompok, golongan, sekte dan pengikut. Se-
dangkan menurut istilah, seperti pendapat Abu Hasan Al-Asyari bahwa Syi’ah adalah
kelompok atau golongan yang mendukung dan mengikuti Ali bin Abi Thalib, sekaligus
mendahulukan dan lebih mengutamakan Ali dari pada para sahabat yang lain, seperti Abu
Bakar, Umar dan Utsman.1

Kemunculan Syi’ah setidaknya ada beberapa faktor yang mempengaruhi Pertama, Syi’ah di
namakan pada orang-orang Islam yang tidak membaiat Abu Bakar ketika peristiwa Saqifah
karena meyakini Ali sebagai washi yaitu seseorang yang diangkat oleh nabi sebagai
penggantinya dan bertanggung jawab memimpin umat Muslim setelah kematian sang nabi.
Dari peristiwa Saqifah diketahui tidak semua umat Islam setuju dengan terpilihnya Abu
Bakar sebagai pemimpin. Selesai penguburan nabi, Fathimah tidak memberikan baiat kepada
Abu Bakar selama enam bulan. Termasuk suaminya, Ali, beserta cucu Rasulullah SAW.
Setelah wafat Fathimah, baru Ali memberikan baiat kepada Abu Bakar.

Salah satu nash yang diyakini kaum Syiah adalah hadis Ghadir Khum bahwa pada 18
Dzulhijjah 11 Hijriah, setelah melaksanakan haji terakhir (hajj al-wada) Nabi Muhammad
saw pergi meninggalkan Makkah menuju Madinah bersama 120 ribu umat Islam dan berdiam
pada satu tempat bernama Ghadir Khum. Di tempat ini Rasulullah saw khutbah dan di tengah
khutbah menggandeng tangan Ali bin Abi Thalib ra kemudian bersabda: “Barangsiapa
mengangkatku sebagai Maula maka Ali adalah Maulanya pula (ia mengulang sampai tiga
kali). Ya, Allah! Cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang-orang yang
memusuhinya. Bantulah orang-orang yang membantunya. Selamatkanlah orang-orang yang
menyelamatkannya dan jagalah kebenaran dalam dirinya ke mana pun ia berpaling (jadikan ia
pusat kebenaran).

Kedua, Syi’ah dinamakan pada umat Islam yang setia bersama Ali setelah peristiwa tahkim
(perundingan) yang mengakhiri Perang Shiffin. Dalam perang antara pasukan Muawiyah bin
Abu Sufyan melawan pasukan Khalifah Ali bin Abi Thalib, karena terdesak pihak Muawiyah

1
M.Quraish Shihab, Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan.., hlm. 66

1
mengajukan perundingan dengan mengacungkan mushaf al-Quran di atas tombak. Atas
desakan, Ali meminta Malik Asytar selaku komandan agar menghentikan serangan.

Masing-masing pihak sepakat untuk mengirimkan perwakilan dalam menyelesaikan


peperangan. Ali memilih Malik Asytar, tetapi sebagian orang yang berasal dari Arab badawi
menolak dan menyarankan Abu Musa Al Asyari sebagai wakilnya. Sedangkan Muawiyah
mengutus Amr bin Ash sebagai wakilnya. Keduanya melakukan perundingan di Daumah Al-
Jandal, Azruh, dengan waktu sekitar enam bulan (Shafar-Ramadhan 37 H.). Keduanya
sepakat untuk menurunkan jabatan kedua pemimpin kemudian memilih khalifah baru melalui
musyawarah. Abu Musa menjadi orang pertama yang naik ke mimbar dan menurunkan Ali
dari tampuk khalifah. Kemudian Amr bin Ash dengan tanpa diduga langsung mengukuhkan
Muawiyah sebagai khalifah tanpa menurunkannya terlebih dahulu.

Peristiwa itu membuat kecewa sebagian pengikut Khalifah Ali bin Abi Thalib. Mereka
meminta Khalifah Ali untuk membatalkannya. Saran mereka ditolaknya karena peristiwa
sudah terjadi. Akibat tidak ditanggapi, mereka memisahkan diri dan membentuk kelompok
sendiri yang disebut Khawarij. Sedangkan orang-orang Islam yang masih setia dengan Ali
disebut Syi’ah Ali.2

Dalam perkembangannya, Syi’ah Ali ini terbagi dalam golongan-golongan yang satu sama
lain memiliki perbedaan dalam kepemimpinan. Ada mazhab Syi’ah yang masih dalam ajaran
Islam dan ada pula yang dianggap menyimpang. Syi’ah yang masih termasuk dalam agama
Islam, menurut Allamah Muhammad Husein Thabathabai, adalah Imamiyah (Itsna
Asyariyah) Zaidiyah, dan Ismailiyah. Sedangkan yang menyimpang adalah Rafidhah, Ghulat,
dan Alawi.

Berdasarkan uraian di atas penulis akan membahas masalah dalam makalah ini yaitu; tentang
“Pemikiran Politik Syi’ah dan Pengaruhnya dalam Pemerintahan Islam”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pemikiran politik Syi’ah dalam pemerintahan Islam

2. Bagaimana pengaruhnya politik Syi’ah dalam pemerintahan Islam

2
Ahmad Syafii Maarif, dkk. 2015., Syi’ah, Sektarianisme, dan Geopolitik. Arus Pemikiran Islam dan Sosial,
hal. 36-38

2
C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pemikiran politik Syi’ah dalam pemerintahan Islam


2. Untuk mengetahui pengaruhnya politik Syi’ah dalam pemerintahan Islam

D. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library recearch) yang mengandalkan


sumber-sumber data tertulis. Data diperoleh dengan cara menelaah informasi yang berkaitan
dengan Syiah yaitu melalui buku-buku, Jurnal dan sumber lain dari internet yang mengulas
paham Syiah dalam ranah pemikiran politik Syi’ah dan pengaruhnya dalam pemerintahan
Islam; serta data-data sekunder yang diperoleh dari media internet. Analisis data dilakukan
secara kualitatif.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pemikiran politik Syi’ah dalam pemerintahan Islam

Pemikiran politik Syiah dalam pemerintahan Islam memiliki beberapa konsep penting yang
saling terkait dan mempengaruhi, seperti konsep Imamah, Taqiyyah, dan Wilayah al-Faqih.
Konsep ini dikembangkan oleh Imam Khomeini dan menjadi unsur paling penting dari
sistem pemerintahan Republik Islam yang digunakan Iran paska runtuhnya pemerintahan
Syah.

Kulfur Safawi berpendapat, konsep Imamah sama artinya dengan beriman kepada kedua
belas Imam yang suci dan setiap orang harus memuja dan memuliakannya dan mengikutinya
dan menjadikan mereka sebagai suriteladan dalam segenap perilaku individu dan sosial
mereka seorang Imam berhak menuntut ketaatan dari para pengikutnya kendatipun ia tidak
memiliki kekuasaan politis. Dalam hal ini terlihat jelas dalam kemampuan seorang Imam
untuk menginterpretasikan wahyu Ilahi secara otoritatif. Apa yang diputuskan para Imam,
wakil-wakil yang dapat membangkitkan suatu kepercayaan baik dikalangan biasa (awam)
maupun elit (alim) Syi’ah untuk mencapai otoritatif dalam kosmologi mereka yaitu sistem
keagamaan mereka.

Persoalan keimaman menurut Syi’ah harus bersandarkan kepada pokok-pokok dasar agama
yaitu iman kepada Allah, keadilan Allah dan Nabi-Nya, Iman kepada Rasulullah setelah itu
kepada Ali Ra. Iman kepada hari kebangkitan dan Iman kepada kedua belas Imam. Kata
Imam menurut mereka berarti pemimpin dan itu hanya ditujukan kepada kedua belas Imam
saja.3

Selanjutnya konsep Taqiyyah, awalnya Taqiyyah merupakan salah satu ajaran Syiah. Secara
etimologi, Taqiyyah berasal dari Bahasa Arab, ittaqā, yang artinya memelihara, takut
(Yunus, 2015, hal. 33). Virani dalam studinya mengidentikkan dengan kitmān atau
berbohong (Virani, 2011). Dari segi definitif, pihak internal Syiah mendefinisikannya
sebagai penjagaan seseorang atas dirinya dengan menampakkan sesuatu yang berlawanan
dengan apa yang ada dalam hatinya (Tim Ahlul Bait Indonesia: 2012:80). Sedangkan pihak
eksternal Syiah, antara lain, menurut Sulaiman, Taqiyyah sebagai suatu kondisi dimana

3
Hasby Sahid, Ilmu Kalam (Bandar Lampung: Gunung Pesagi, 1992), h. 15.

4
seseorang menyembunyikan agamanya atau amalan tertentu dalam situasi yang akan
menimbulkan bahaya sebagai akibat dari adanya tindakan pihak lain yang menentangnya
(Sulaiman, 2017) dan Virani mendefinisikannya dengan menyembunyikan sesuatu yang
sesungguhnya di hadapan publik, termasuk menyembunyikan keimanan (Virani, 2011).
Berdasarnya penjelasan ini maka inti dari Taqiyyah adalah tidak menampakkan atau
merahasiakan sesuatu yang sebenarnya untuk menjaga diri dan keimanannya sehingga hidup
menjadi bahagia. Dia tidak sekedar ajaran yang sifatnya normatif, tetapi dia juga sebuah
strategi yang sifatnya politis.4

Maksud Taqiyyah sebagai strategi politis karena ajaran ini menjadi populer saat komunitas
Syiah merahasiakan keberadaannya untuk menyelamatkan diri dari tindakan kekerasan dan
pengejaran yang dulu pernah dilakukan oleh penguasa Umayyah dan penguasa Abbasiyah.
Dicatat dalam sejarah bahwa meskipun Perang Shiffin telah selesai dan Muawiyah telah
memegang kendali pemerintahan Islam, dia dan pasukannya tetap menganggap kelompok
pendukung Ali bin Abi Thalib dan Ahlul bait adalah musuh utamanya. Tak mau
mendapatkan rintangan dalam menjalankan roda pemerintahan, Muawiyah dan
keturunannya memerangi pendukung dan keturunan Ali dengan kejam. Pertempuran
Karbala dan terbunuhnya al-Husain bin. Ali bin Abi Thalib di tangan Yazid bin Muawiyah
merupakan salah satu tragedi politik terbesar yang menyisakan trauma berkepanjangan dari
para pendukung Ali. Selanjutnya saat pemerintahan Bani Muawiyah jatuh di tangan Bani
Abbasiyah, ternyata perlakuan Bani Abbasiyah terhadap keturunan Ali tidak kalah
kejamnya. Bagai sebuah peribahasa, keluar dari mulut singa tetapi masuk ke mulut harimau.
Menghadapi pengalaman demi pengalaman yang pahit ini, Syi’ah berpendapat bahwa
mereka harus membentengi diri dengan Taqiyyah (Hasim, 2012; Madkour, 1995). Taqiyyah
dinilai kesewenang-wenangan dan kekejaman rezim otoritas yang berkuasa saat itu.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka sejatinya ajaran dan tradisi Taqiyyah pada awal ke-
lahirannya berkaitan dengan 2 (dua) faktor, yakni dalam rangka menjalankan ajaran agama
dalam perspektif Syiah sebagai faktor internal dan sebagai bentuk pertahanan diri melawan
penindasan sebagai faktor eksternal.5

4
Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan (Volume 9 Nomor 2 2021), h. 348
5
Ibid, h. 351

5
Kemudian Konsep Wilayah al-Faqih Wilayah al-faqih berasal dari dua kata bahasa Arab:
wilayah dan al-faqih. Wilayah adalah bentuk kata dari waliyyan yang berarti dekat dan
memiliki kekuasaan atas sesuatu. Secara teknis, wilayah berarti pemerintahan (rule),
supremasi, atau kedaulatan. Wilayah atau wala’ juga bisa berarti persahabatan, kesucian,
kesetiaan, atau perwalian. Adapun faqih atau fuqa-ha (fukaha) berarti orang yang ahli di
bidang hukum Islam.

Dalam karya tokoh Syiah, wilayah menunjukkan kesetiaan kepada pemerintahan imam dan
mengakui hak imam untuk memerintah. Dalam perkembangannya, konsep wilayah ini
dibagi dua pengertian: wilayah khassah (khusus) dan wilayah ‘ammah (umum). Ini
dimaksudkan un-tuk membedakan antara kekuasaan umum (atau hak) imam serta kekuasaan
absahnya sebagai qadhi (hakim) dan wali atas kasus khusus.

Pemikiran lain Kata wilayah mempunyai makna dasar berupa datangnya sesuatu kepada
sesuatu yang lain, tanpa perantara di antara keduanya sehingga menjadikan dekat tanpa
batas satu dengan lainnya (Mustafawi, tt: 7). Dari dasar makna ini muncullah beberapa
makna yang merujuk kepada kata tersebut antara lain kecintaan dan kekasih, penolong, yang
diikuti atau tauladan dan pemelihara atau pengendali.

Dalam pandangan Syi’ah, khususnya Ayatullah Khomeini (pemimpin Revolusi Islam Iran;
w. 1410 H/1989 M), fukaha memiliki hak untuk memimpin pemerintahan Islam selama
Imam Mahdi (imam kedua belas) gaib. Pada masa kegaiban itu, fukaha tentu saja yang
memenuhi syarat memiliki hak dan berperan selaku wakil Imam Mahdi.

Menurut Khomeini, fukaha memiliki otoritas atas penguasa. Untuk itu, jika menganut Islam,
maka penguasa harus tunduk kepada fukaha. Fukaha menjadi tempat bertanya bagi penguasa
mengenai masalah hukum dan aturan Islam, agar ia dapat menerapkannya di tengah umat.
Bagi Khomeini, penguasa sejati dan resmi adalah fukaha itu sendiri. Dengan kata lain,
fukaha menyandang tugas kepemimpinan agama sekaligus politik.

Khomeini menyebut delapan syarat yang harus dipenuhi oleh seorang fukaha jika hendak
memimpin pemerintahan Islam:

1. berpengetahuan luas di bidang hukum Islam;


2. berlaku adil dalam arti beriman dan berakhlak tinggi;
3. dapat dipercaya dan berbudi luhur;

6
4. jenius;
5. memiliki kemampuan administratif;
6. bebas dari pengaruh asing;
7. mampu mempertahankan hak bangsa, kemerdekaan, dan integritas teritorial tanah
Islam, sekalipun harus dibayar dengan nyata; dan
8. dapat menjalani hidup sederhana.

Dari definisi tentang faqih dan wilayah, dapat disimpulkan bahwa pemerintahan Islam
dalam konsep wilayah al-faqih adalah kepemimpinan tertinggi dipegang oleh seorang faqih
yang te-lah memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah disebutkan. Faqih atau ulama
yang memiliki otoritas untuk memimpin ummat yang berada dalam negara yang dia pimpin
selama periode keghaiban Imam al-Mahdi.

B. Pengaruhnya politik Syi’ah dalam pemerintahan Islam

Pada awalnya, dalam kurun waktu cukup lama, gerakan Syi’ah dapat dikatakan hanya sebagai
gerakan protes saja, kemudian menjadi paham, yang berkembang menjadi teologi, sosial dan
politik. Awalnya, protes itu berbentuk situasi sosial dan poltik, terutama dalam menghadapi
pihak penguasa (Sunni), setelah berlangsung lama, gerakan protes, berkembang menjadi
Madzhab. Ciri khasnya adalah institusi Imâmah atau kepercayaan masyarakat akan imam
yang ma’sûm.

Gerakan Syiah pertama kali berkembang di iran, rumah dan kiblat utama Syiah. Namun sejak
tahun 1979, persis ketika revolusi Iran meletus dan negeri ini dipimpin oleh Ayatullah
Khomeini dengan cara menumbangkan rejim Syah Reza Pahlevi, Syiah menyebar ke berbagai
penjuru dunia.

Pengaruh politik Syi’ah dalam pemerintahan Islam sangat besar, terutama di Iran. Konsep
Wilayah al-Faqih menjadi salah satu konsep politik Syi’ah yang paling terkenal dan memiliki
pengaruh besar dalam pembentukan negara Republik Islam Iran. Konsep ini mengakui
kebebasan individu, namun kebebasan tersebut harus diatur oleh hukum Islam dan menolak
segala bentuk penindasan dan tirani.6

Dalam menyebarkan paham keagamaannya, Syi’ah menggunakan beberapa cara. Diantaranya


adalah dengan mengatasnamakan dirinya dengan Madhzab Ahlul Bait. Dengan tampilan ini,

6
Fajar Historia: Genealogi Aliran-Aliran Politik Dalam Islam (Volume 4 Nomor 2, Desember 2020), hal. 68-79

7
Aliran Syi’ah lebih leluasa dalam mempengaruhi dan menyebarkan pahamnya terhadap
masyarakat luas yang pada umumnya adalah masyarakat awam. Cara yang kedua yaitu Aliran
syiah membuat doktrin dan ajaran yang disebut dengan Taqiyah. Seorang Syi’ah wajib
bertaqiyah di depan siapa saja, baik orang mukmin yang bukan Alirannya maupun orang kafir
atau ketika kalah beradu argumentasi, terancam keselamatannya serta di saat dalam kondisi
minoritas. Dalam keadaan minoritas dan terpojok, para tokoh Syi’ah memerintahkan untuk
meningkatkan taqiyah kepada pengikutnya agar menyatu dengan kalangan Ahlus Sunnah wal
Jama’ah.

Para ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa melakukan Taqiyah adalah
hukumnya mubah (boleh) sesuai yang terdapat dalam al-Quran dan as-Sunnah. Mubah disini
dapat dikategorikan apabila dalam keadaan terpaksa dan mengancam keselamatan jiwa.
Seperti ketika menghadapi kaum musrikin demi menjaga keselamatan jiwanya dari siksaan
yang akan menimpanya, atau dipaksa untuk kafir dan taqiyah ini merupakan pilihan terakhir
karena tidak ada jalan lain. Demikianlah doktrin taqiyah yang ditanamkan Syi’ah kepada para
pengikutnya yang telah menyalahi dan menyimpang dari ajaran Allah yang bersumber pada
al-Qur’an dan as-Sunnah.

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Paham Syi’ah muncul sangat erat hubungannya dengan perkembangan politik paska
meninggalnya Rasullah, mereka menolak kepemimpinan Abu Bakar, Umar bin
Khattab dan Utsman bin Affan. Menurut Syiah, Ali bin Abi Tholib adalah khalifah
resmi yang direbut kekuasaanya oleh pemimpin terdahulu.

2. Persoalan keimaman menurut Syi’ah harus bersandarkan kepada pokok-pokok dasar


agama yaitu iman kepada Allah, keadilan Allah dan Nabi-Nya, Iman kepada
Rasulullah setelah itu kepada Ali Ra. Iman kepada hari kebangkitan dan Iman kepada
kedua belas Imam. Kata Imam menurut mereka berarti pemimpin dan itu hanya
ditujukan kepada kedua belas Imam saja.

3. Pemikiran politik Syiah dalam pemerintahan Islam memiliki beberapa konsep penting
yang saling terkait dan mempengaruhi, seperti konsep Imamah, Taqiyyah, dan
Wilayah al-Faqih.

4. Syi’ah merupakan aliran mazhab politik dalam islam, mazhab ini lahir akhir pada
masa pemerintahan ustman, kemudian tumbuh dan berkembang pada masa Ali bin
Abi Thalib.

B. Saran

Diharapkan para pembaca juga melihat dari beberapa referensi menyangkut makalah ini, agar
dapat memberikan pengetahuan yang lebih baik. Adapun kekurangan dari makalah ini dapat
di kritik ataupun saran demi perkembangan ke depan.

9
DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Dr. H. Syamruddin Nasution, M.Ag. 2013., Sejarah Perdaban Islam. Yayasan Pusaka Riau.

Helmi Chandra, dkk. 2021., Pengaruh Politik Sunni dan Syi’ah Terhadap Perkembangan Ilmu
Hadis.

Ahmad Syafii Maarif, dkk. 2015., Syi’ah, Sektarianisme, dan Geopolitik. Arus Pemikiran
Islam dan Sosial.

Prof. Dr. A. Syalabi. 2000., Sejarah dan Kebudayaan Islam 1. Jakarta: Al-Husna Zikra.

A. Syarafuddin al-musawi.2000., Dialog Sunnah Syiah : surat menyurat antara Asy-Syaikh


Salim Al-Bisyri Al-Maliki, Rektor Al-Azhar, Mesir dan As-Sayyid Syarafuddin Al-Musawi
Al-Amili, ulama besar Syi’ah / Syarafuddin Al-Musawi ; penerjemah, Muhammad Al-Bagir.

Jurnal :

Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan. (Volume 9 Nomor 2. 2021).

Afini Nurdina Utami, Syaiful Anam, Ahmad Mubarak Munir: Pengaruh Pertentangan
Ideologi Sunni-Syi’ah Terhadap Hubungan Bilateral Arab Saudi-Iran di Timur Tengah. Vol.
4 No 1. January - June 2022.

Hasnah Nasution: Pemikiran Kalam Syi’ah Imamiyah Analytica Islamica. (Vol. 4, No. 1,
2015).

Abd. Kadir: Syi’ah dan Politik: Studi Republik Islam Ira. Jurnal Politik Profetik Volume 5
Nomor 1 Tahun 2015.

Gonda Yumitro: Pengaruh Pemikiran dan Gerakan Politik Syi’ah Iran di Indonesia. Vol. 2,
No. 2, Juli 2017.

Ahmad Atabik: Melacak Historitas Syi’ah Asal Usul, Perkembangan dan Aliran-Alirannya.
Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Volume 3, No. 2, Desember 2015.

MOH. HASIM: Syi’ah: Sejarah Timbul dan Perkembangannya di Indonesia. Jurnal “Ana-
lisa” Volume 19 Nomor 02 Juli - Desember 2012.

10

Anda mungkin juga menyukai