Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

Pertumubuan dan Dinamika Pemikiran Hukum Syi’ah


Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Hukum Islam
Dosen Pengampu : MUYASSAROH ZAINI,QH,M.Ag

Disusun Oleh Kelompok 13:


1.Lulu Ilmaknun
2.Izzatul Amni
INSTITUT AGAMA ISLAM HAMZANWADI LOMBOK TIMUR
FAKULTAS SYARI’AH PRODI AKHWAL SYAKHSIYAH
TAHUN AKADEMIK
2020/2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang yang telah
melimpahkan rahmat kepada kita semua sehingga Alhamdulillah kami telah menyelesaikan
makalah tentang “Pertumubuan dan Dinamika Pemikiran Hukum Syi’ah”
Makalah ini disusun dengan semaksimal mungkin dari berbagai refrensi untuk
memudahkan dalam proses belajar.Sehingga Alhamdulillah makalah ini selesai dengan tepat
waktu.Untuk itu jika ada kekurangan yang terdapat dalam makalah ini baik dalam
penyusunan kalimat atau bahasa saya minta maaf dan menerima kritikan atau saran dari
pembaca.

Penyusun.
DAFTAR ISI
COVER.............................................................................................................
KATA PENGANTAR......................................................................................
DAFTAR ISI....................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Syi’ah………………………………………….
B. Asal Usul Kemunculan Syi’ah.....................................................

C. Aliran-Aliran Syi’ah………………………………………
D. Metodologi Pemikiran Hukum Syi’ah Imamiyah dan Penerapannya
dalam Fiqih…………………………………
KESIMPULAN...............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
Pendahuluan
Islam merupakan agama yang rahmatan li al-‘Alamin. Di bawa oleh
seorang Nabi yang amin. Islam memberi penerangan bagi umat manusia dan
menuntunnya kepada jalan yang lurus. Ajaran Islam ini kemudian dengan
begitu cepat menyebar keseluruh penjuru dunia. Hal ini menimbulkan rasa iri
dan dengki dari umat lain, terutama dari kalangan Yahudi. Mereka berupaya
menebar kerusakan dan konspirasi untuk merusak Islam dengan berbagai
macam cara. Mereka berusaha 2membunuh Nabi dan menebarkan fitnah di
tengah umat Islam.
Pasca wafatnya Rasulullah, Islam terus berkembang ke berbagai wilayah Arab
dan bahkan ke luar Arab. Kekuasaan kaum muslimin semakin luas. Di saat itu
pula, berbagai persekongkolan muncul, terutama dari kaum Yahudi. Adalah
Abdullah Ibn Saba’, tokoh Yahudi yang masuk Islam pada masa Utsman bin
Affan. Ia mendapatkan celah kesempatan untuk melaksanakan rencananya
memperkeruh suasana kedamaian pada kaum muslimin, juga turut menyebarkan
fitnah di kalangan umat Islam.Pada masa Utsman muncul propaganda dan
konspirasi dari Yahudi membisikkan kepada sebagian kaum muslim bahwa Ali
merupakan orang yang sah menduduki khalifah. Maka munculah orang-orang
yang mengatakan bahwa Ali dan kedua putranya, Hasan dan Husain serta
keturunan Husain ra. adalah orang yang lebih berhak memegang khalifahan
Islam, daripada yang lain. Kekhalifahan adalah hak mereka berdua. Propaganda
ini menemukan tanah yang sangat subur di al-Mada’in, ibu kota Imperium
Persia, terlebih bahwa Husain telah menikahi putri Kaisar Persia, Yazdajir yang
singgasananya dihancurkan oleh pasukan Islam yang telah menang. Hal inilah
yang barang kali merupakan sebab terpusatnya para Imam Syi’ah, sejak imam
keempat, pada keturunan Husain dan disingkirkannya keturunan Hasan1.

Pertumubuan dan Dinamika Pemikiran Hukum Syi’ah


Pengertian Syi’ah
Menurut bahasa, Syi’ah berasal dari bahasa Arab Sya’a yasyi’u syi’an
syi’atan yang berarti pendukung atau pembela. Al-Fairuz Abadi menjelaskan
bahwa Syi’ah seseorang merupakan pengikut dan pendukungnya. Kelompok
pendukung ini bisa terdiri dari dua orang atau lebih, laki-laki maupun
perempuan. Arti Syi’ah secara bahasa terdapat dalam al-Qur’an, sebagaimana
firman- Nya:.)83 :Artinya :Dan di antara Syi’ahnya, adalah Ibrahim (QS. As-
Saffat: 83)2. Syi’ah Ali adalah pendukung dan pembela Ali, sementara Syi’ah
1
Saeed Ismaeeel Sieny, Titip Perselisihan Ulama Ahlussunnah dan Syi’ah (Malang: Genius Media, 2014), hlm. 2.
2
Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-Tafsir al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir (Bandung: Penerbit Pustaka,
1987), hlm. 119.
Mu’awiah adalah pendukung Mu’awiyah. Pada zaman Abu Bakar, Umar dan
Utsman kata Syi’ah dalam arti nama kelompok orang Islam belum dikenal.
Pada saat pemilihan khalifah ketiga setelah terbunuhnya Abu Bakar, ada yang
mendukung Ali, namun setelah umat Islam memutuskan untuk memilih Utsman
bin Affan, maka orang-orang yang tadinya mendukun Ali, akhirnya berbaiat
kepada Utsman termasuk Ali. Dengan begitu, belum terbentuk secara faktual
kelompok umat Islam bernama Syi’ah.3
Ketika timbul pertikaian dan peperangan antara Ali dan Mu’awiyah,
barulah kata Syi’ah muncul sebagai nama kelompok ummat Islam. Tetapi
bukan hanya pendukun Ali yang disebut Syi’ah, namun pendukung Mu’awiyah
pun disebut dengan Syi’ah, terdapat Syi’ah Ali dan Syi’ah Muawiyah. Nama ini
didapatkan dalam naskah perjanjian Tahkim, di situ diterangkan bahwa apabila
orang yang ditentukan dalam pelaksanaan tahkim itu berhalangan, maka diisi
dengan orang yang Syi’ah masing-masing dua kelompok. Namun pada waktu
itu, baik Syi’ah Ali maupun Muawiyah semuanya beralihan Ahlussunnah,
karena Syi’ah pada waktu hanya berarti pendukung dan pembela. Sementara
aqidah dan fahamnya, kedua belah pihak sama karena bersumber dari al-Qur’an
dan Sunnah Rasul. Sehingga Ali pun memberikan penjelasan bahwa
peperangan antara pengikutnya dan pengikut Muawiyah adalah semata-mata
berdasarkan ijtihad dan klaim kebenaran antara kedua kelompok yang bertikai
tersebut.4
Setelah mengalami perkembangan, Syi’ah kemudian menjadi madzhab
politik yang pertama lahir dalam Islam setelah terjadinya tahkim tersebut.
Setiap kali Ali berhubungan dengan masyarakat, mereka semakin menggumi
bakat-bakat, kekuatan beragama, dan ilmunya. Oleh sebab itu, para propagandis
Syi’ah mengeksploitasi kekaguman mereka terhadap Ali untuk
menyebarluaskan pemikiran-pemikiran mereka tentang dirinya. Ketika keturuan
Ali, yang sekaligus merupakan keturunan Rasulullah mendapatkan perlakuan
yang tidak adil dan perlakukan zalim serta banyak mengalami banyak
penyiksaan pada masa Bani Umayah, cinta mereka terhadap keturunan Ali
semakin mendalam. Mereka memandang bahwa Ahlul Bait ini sebagai syuhada
dan korban kezaliman. Dengan demikian, semakin meluas pula madzhab Syi’ah
dan pendukungnya pun semakin banyak.5 Maka, pada umumnya nama Syi’ah
dipergunakan bagi setiap dan semua orang yang menjadikan Ali berikut
keluarganya sebagai pemimpin secara terus menerus, sehingga Syi’ah itu
akhirnya khusus menjadi nama bagi mereka saja.6

3
Moh. Dawam Anwar, Mengapa Kita Menolak Syi’ah (Jakarta: Lembaga Pengkajian dan Penelitan Islam, 1998), hlm. 3.
4
Ibid., hlm. 3.
5
M. Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam (Jakarta: Logos, 1996), hlm. 35.
6
Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-Tafsir al-Qur’an……, hlm. 119.
Lebih lanjut, Abu Zahrah menjelaskan bahwa maksud dari Syi’ah kemudian
menyempit kepada pengikut Ali sehingga mereka berkeyakinan bahwa Ali
adalah khalifah pilihan Nabi Muhammad da ia adalah orang yang paling utama
(afdal) di antara para sahabat Nabi lainnya. Tampaknya di antara para sahabat
sendiri ada beberapa orang yang sependapat dengan Syi’ah tentang keutamaan
Ali atas sahabat Nabi yang lain. Di antara sahabat yang mengutamakan Ali atas
sahabat lainnya adalah: Ammar bin Yasir, Al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar
al-Ghiffari, Salman al-Farisi, Jabir bin Abdullah, Ubay bin Ka’ab, Hudzaifah,
Buraidah, Abu Ayyub al-Anshari, Shal Ibn Hanif, Utsman Ibn Hanif, Abu
Haitsam ibn al-Taihan, Abu al-Thufail Ammar ibn Wa’ilah, al-Abbas Ibn
Abdullah Muthalib dan anak-anaknya serta seluruh Bani Hasyim.7

Asal Usul Kemunculan Syi’ah


Menilik dari sejarahnya, ajaran Syi’ah berawal pada sebutan yang
ditujukan kepada pengikut Ali, yang merupakan pemimpin pertama ahl al-Bait
pada masa hidup Nabi sendiri. Kejadian-kejadian pada munculnya Islam dan
pertumbuhan Islam selanjutnya, selama dua puluh tiga tahun masa kenabian,
telah menimbulkan berbagai keadaan yang meniscayakan munculnya kelompok
semacam kaum Syi’ah di antara para sahabat Nabi.8
Akar permasalah umat Islam, termasuk munculnya madzhab Syi’ah
bermula dari perselisihan mereka terkait siapa yang paling layak menjadi
pemimpin setelah Rasulullah Saw. wafat. Sebab, Rasulullah sebelum wafat
tidak menentukan siapa yang akan menggantikannya sebagai pemimpin umat
dan negara. Sementara kaum muslimin sesudah wafatnya Rasul merasa perlu
mempunyai khalifah yang dapat mengikat umat Islam dalam satu ikatan
kesatuan. Sebelum dikebumikan kaum Anshar berkumpul di Bani Sa’idah.
Mereka berpendapat bahwa kaum Ansharlah yang paling layak menjadi
pengganti Rasul, lalu menyodorkan Sa’ad bin Ubadah sebagai pemimpin. Di
waktu yang sama, Umar mengajak Abu Bakar dan Abu Ubaidah bin Jarrah.
Ketiganya berangkat ke pertemuan kaum Anshar. Di hadapat kaum Anshar Abu
Bakar berpidato tentang keistimewaan kaum Anshar dan kaum Muhajirin, di
antaranya bangsa Arab tidak akan tunduk kecuali kepada kaum Muhajirin,
bahkan Allah dalam al-Qur’an mendahulukan kaum muhajirin daripada kaum
Anshar. Sesudah perdebatan persoalan pemimpin itu, kemudian secara aklamasi
kedua belah pihak memilih Abu Bakar menjadi pemimpin mereka. Dengan
demikian hilanglah perselisihan paham dan umat Islam kembali bersatu.9

7
.Ibid., hlm. 35.
8
M. Thabathaba’i, Islam Syi’ah: Asal Usul dan Perkembangannya (Jakarta: Temprint, 1989), hlm. 37.
9
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam (Jakarta: Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 104-105.
Permasalahan kemudian muncul, ketika saat itu Ali tidak turut hadir dalam
sidang tersebut. Setelah mendengar pembaiatan Abu Bakar, nampak ketidak
puasan Ali bin Abi Thalib. Belakangan orang-orang yang menjadi pengikut Ali,
Abu Bakar dan Umar menelikung Ali sebagai khalifah. Timbullah pendapat
bahwa yang berhak memegang khalifah adalah keluarga Nabi, dan Ali lah yang
paling pantas. Karena ia adalah menanti Rasul, orang yang paling besar
jihadnya, paling banyak ilmunya, keluarganya adalah seutama-utama keluarga
Arab. Namun demikian, akhirnya Ali turut membaiat Abu Bakar sesudah
beberapa waktu berlalu. Setelah 10Abu Bakar Wafat, khalifah dipegang oleh
Umar bin Khatab, banyak daerah yang bisa dikuasai pada masa Umar.
Setelah Umar bin Khattab terbunuh, Utsman didapuk menjadi khalifah.
Pada masa Utsman ini bani Umayyah mengambil manfaat untuk diri mereka
sendiri. Utsman merasakan bahwa Bani Umayyah benar-benar ikhlas dan
membantunya dengan penuh kejujuran. Lalu Utsman mengangkat banyak
pembantu dari Bani Umayyar. Masyarakat muslim melihat Utsman menempuh
jalan lain yang ditempuh dua khalifah sebelumnya. Munculah ketidak puasan
atas kepemimpinan Utsman sehingga Utsman akhirnya terbunuh.
Sayyidina Ali akhirnya dibaiat oleh sebagian besar kaum muslimin,
termasuk mayoritas kaum Muhajirin. Namun beberapa sahabat nabi yang
enggan membaiat Ali, yaitu Zubair dan Thalhah, dengan persetujuan Aisyah
keduanya menentang Ali dan berkecamuklah perang Jamal antara pasukan Ali
dan Pasukan Aisyah, Zubair dan Thalhah gugur dalam pertempuran tersebut. Di
sisi lain, Muawiyah dari keluarga Bani Umayyah yang menjadi Gubernur Syam
mempresur Ali untuk mengusut secara tuntas dan menghukup orang yang
membunuh Utsman. Atas ketidak puasan bani Umayyah ini, Muawwiyah
memberontak khalifah Ali. Terjadilah pertempuran di lembah Shiffin. Setelah
agak terdesak, dan hampir-hampir pasukan Ali memenangkan pertempuran,
Muawiyah menyuruh salah satu tentaranya untuk mengangkat mushaf di atas
lembing yang tinggi, sebagai tanda menyerah dan permintaan perdamaian.
Beberapa orang dari pasukan Ali merasa tidak puas atas keputusan damai
(tah}ki>m) tersebut, sebab mereka merasa pasukan Ali hampir menumpaskan
pasukan pemberontak.
Peristiwa tahkim ini tidak malah menyebabkan perdamaian antara dua belah
pihak, namum memunculkan faksi-faksi di tubuh umat Islam menjadi tiga (3)
kelompok:11
Kelompok Syi’ah, yaitu golongan yang memihak 1. pada Ali dan
kerabatnya dan berpendapat bahwa Ali dan keturunannyalah yang berhak
menjadi khalifah.
10
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid….., hlm. 106.
11
Ibid., hlm., 109.
Kelompok Khawarij, yaitu golongan yang menentang 2. Ali dan Muawiyah,
mereka berpendapat bahwa tahkim itu menyalahi prinsip agama.
Kelompok Murjiah, yaitu golongan yang 3. menggabungkan diri kepada salah
satu pihak dan menyerahkan hukum pertengkaran itu kepada Allah semata.
Kelompok Syi’ah di atas, mula-mula merupakan orang-orang yang mengagumi
Sayyidina Ali, sebagai pribadi dan kedudukan istimewa di sisi Rasulullah,
sehingga ia mempunyai pengaruh yang besar dan muncullah rasa cinta sebagian
kaum muslimin kepadanya. Sebagian sahabat yang sangat mencintainya
menganggap bahwa Ali merupakan sosok paling utama di antara para sahabat,
dan dialah yang paling berhak atas kedudukan khalifah daripada yang lainnya.
Namun, kecintaan itu telah bergeser menjadi fanatisme yang buta dua abad
selanjutnya. Sehingga menjadi perbedaan yang besar an esensial antara
pandangan sekelompok sahabat tersebut terhadap Ali ra. dengan prinsip-prinsip
yang dianut oleh kaum Syi’ah dua abad kemudian. Sebagai misal, kelompok
sahabat pecinta Ali tersebut tidak mungkin dinamai Syi’ah dalam artian istilah
yang dikenal sekarang. Meskipun mereka mencintai Ali melebihi kecintaan
kepada sahabat lainnya (termasuk kepada para khalifah sebelum Ali). Mereka
juga membaiat para khalifah yang telah disepakati oleh para sahabat pada waktu
itu.12
Berdasarkan penjelasan di atas, maka merupakan kekeliruan besar bagi
kaum Syi’ah yang fanatis yang menganggap bahwa sahabat-sahabat yang
sangat mencintai Ali merupakan pengikut Syi’ah sebagaimana pengikut-
pengikut Syi’ah yang sekarang ini dengan doktrin menghukumi kafir para
sahabat lainnya, seperti hampir menyerupai kaum ahlussunnah wa al-jama’ah.13

Aliran-Aliran Syi’ah
Dalam sekte Syi’ah terdapat beberapa kelompok, ada yang ekstrim
(gulat), moderat, dan ada juga yang liberal. Di antara kelompok yang ekstrim
ada yang menempatkan Sayyidina Ali pada derajat kenabian, bahkan ada yang
sampai mengangkat Ali pada derajat keTuhanan. Kaum Syi’ah, sejak menjadi
pengikut Ali sesudah peristiwa perang jamal dan shiffin, pasukan Ali terpecah
menjadi empat golongan:14
Kelompok pertama, Syi’ah yang mengikuti Sayyidina Ali., mereka tidak
mengecam para sahabat. Dalam diri mereka terdapat rasa cinta dan memuliakan
para sahabat Nabi Saw. mereka sadar betul bahwa yang mereka perangi adalah
saudara sendiri. Oleh sebab itu, mereka segera berhenti memerangi mereka,

12
Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-Tafsir al-Qur’an……, hlm. 121.
13
Ibid., hlm. 121.
14
14Slamet Untung, Melacak Historitas Syi’ah, Kontroversi Seputar Ahl al-Bayt Nabi (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2009), hlm. 158-159.
bahkan ketika terjadi tahkim mereka menerima keputusan-keputusan yang
dibuat oleh kelompok lainnya.
Kelompok kedua, mereka yang mempercayai bahwa Sayyidina Ali
memiliki derajat yang lebih tinggi daripada para sahabat lainnya. Kelompok ini
disebut tafdhiliyah. Ali memperingatkan mereka dengan keyakinan ini dan akan
menghukumi dera bagi para sahabat yang masih berkeyakinan tersebut.
Kelompok Syi’ah sekarang, mereprentasikan kelompok ini.
Kelompok ketiga, yang berpendapat bahwa semua sahabat Nabi adalah
kafir dan berdosa besar. Mereka disebut Saba’iyah, mereka adalah para
pengikut Abdullah bin Saba’.
Kelompok keempat, kelompok gulat, yaitu mereka yang paling sesat,
paling bid’ah di antara empat kelompok di atas. Mereka berpendapat bahwa
Allah telah masuk pada diri Nabi Isa.
Sementara, Abu Zahrah menjelaskan bahwa kelompok ekstrim yang karena
keekstrimannya telah keluar dari Islam, sementara kelompok Syi’ah dewasa ini
menolak untuk memasukkan mereka dalam golongan madzhabnya. Di antara
aliran-aliran Syi’ah itu adalah sebagai berikut:
1. Aliran Syi’ah Saba’iyah
Aliran Syi’ah Saba’iyah adalah pengikut Abdullah bin Saba’ seorang
Yahudi dari suku al-Hirah yang masuk Islam. Ia termasuk yang paling keras
menentang Utsman dan para pejabatnya. Banyak pemikiran sesat yang
disebarluaskan secara bertahap oleh Abdullah bin Saba’. Temanya adalah
mengenai Ali bin Abu Thalib. Ia mengembangkan pemikiran di tengah-tengah
masyarakat sebagaimana di muat dalam Taurat, setiap Nabi mempunyai
penerima wisatnya, dan Ali adalah penerima wasiat Muhammad. Ketika Ali
terbunuh, Abdullah berusaha merangsang kecintaan rakyat kepada Ali dan
perasaan menderita karena kehilangan Ali dengan cara menyebarkan
kebohongan-kebohongan. Di antaranya, bahwa yang terbunuh bukanlah Ali,
namun setan yang menyerupai Ali, sedangkan Ali naik ke langit sebagaimana
dinaikkannya nabi Isa ke langit. Yang lebih parah adalah keyakinan Sabaiyah
bahwa Tuhan bersemayam dalam diri Ali dan diri imam sesudah wafatnya.15
2. Aliran Ghurabiyah
Aliran Ghurabiyah ini keyakinannya tidak sampai menempatkan Ali
sebagai Tuhan, akan tetapi lebih memuliakan Ali ketimbang Nabi Muhammad.
Mereka beranggapan bahwa risalah kenabian seharunya jatuh kepada Ali,
namun Jibril salah menurunkan wahyu kepada Muhammad. Kelompok ini
disebut Ghurabiyah karena mereka berpendapat bahwa Ali mirip dengan Nabi
Muhammad, sebagaimana miripnya seekor burung gagak (ghurab), dengan
burung gagak lainnya. Pandangan aliran ini disanggah oleh Ibnu Hazim,
15
Abu Zahrah, Aliran Politik… hlm. 40
pandangan ini muncul karena ketidak tahuan mereka tentang sejarah dan
keadaan yang sebenarnya. Pada waktu Muhammad diangkat menjadi rasul Ali
masih kanak-kanak, belum pantas untuk mengemban risalah kenabian.16
3. Kaisaniyah
Penganut aliran Kaisaniyah ini adalah pengikut al- Mukhtar ibn ‘Ubaid
al-Tsaqa. Al-Mukhtar asal mulanya berasal dari kalangan khawarij, kemudia
masuk ke dalam kelompok Syi’ah yang mendukung Ali. Nama Kaisaniyah
berhubungan erat dengan nama Kaisan, yang menurut satu kalangan adalah
nama lain dari al-Mukhtar. Aliran ini mempunyai keyakinan ketidak tuhanan
para imam dari ahlul bait sebagaimana yang dianut aliran Saba’iyah, namun
didasarkan atas paham bahwa seroang imam adalah pribadi yang suci dan wajib
dipatuhi. Mereka percaya sepenuhnya akan kesempurnaan pengetahuannya dan
keterpeliharaannya dari dosa karena ia merupakan simbol dari ilmu Ilahi. Para
penganut aliran Kaisaniyah juga berkeyakinan adanya doktrin bada’, yaitu
keyakinan bahwa Allah mengubah kehendak-Nya sejalan dengan perubahan
ilmu-Nya, serta dapat memerintahkan suatu perbuatan kemudian
memerintahkan sebaliknya.

Metodologi Pemikiran
Hukum Syi’ah Imamiyah dan
Penerapannya dalam Fiqh

Sudah menjadi kelaziman dalam teori hukum Islam bahwa suatu produk
fiqh berangkat dari metodologi yang disebut ushul fiqh. Para ulama klasik
telah menghasilkan metode istinbath hukum yang berbeda satu sama lain, akan
tetapi dengan tujuan yang sama yaitu menghasilkan hukum Islam yang
dimungkinkan membawa kepada kemaslahatan. Lebih jauh usaha itu bertujuan
bagaimana suatu produk fiqh dapat diamalkan oleh umat.
Dari kajian-kajian terhadap metode istinbath yang ditawarkan oleh ulama,
maka permasalahan dalil hukum yang dipakai merupakan salah satu perdebatan.
Walaupun mereka sama-sama berdalil dengan al-Quran dan Sunnah, tetapi
kualitas pemahaman dan penerimaan bisa saja terjadi. Hal ini salah satunya
disebabkan oleh karena berbedanya pemahaman terhadap materi (teks) dan
periwayatansuatu hadis. Akibatnya suatu permasalahan hukum dipahami oleh
ulama dengan cara yang berbeda dan dalil yang berbeda. Konsekuensi dari
semua
itu adalah terjadinya produk hukum (fiqh) yang berbeda pula.
Salah satu contoh adalah tentang nikah mutah yang disepakati oleh jumhur
ulama sebagai nikah yang terlarang, sementara kelompok ulama Syi’ah
16
Ibid., hlm. 44.
menghalalkannya. Pengharaman nikah mutah oleh Jumhur ulama didasarkan
kepadaayat al-Quran dan hadis Nabi SAW serta riwayat dari sahabat,
sedangkan
kelompok ulama Syi’ah menghalalkannya juga berpegang kepada ayat al-Quran
dan hadis Nabi SAW. Dari contoh ini dapat dikatakan bahwa walaupun
sumber hukum yang dipakai sama, tetapi hukum yang dihasilkan berbeda.
Berkenaan dengan dasar pemikiran di atas, maka penulis mencoba untuk
melihat bagaimana sebuah metode istinbath dipakai dalam menghasilkan
hukum. Mengingat banyaknya metode istinbath yang ditawarkan oleh
ulama ushul fiqh, di sini penulis hanya akan membahas metode yang dipakai
oleh ulama Syi’ah Imamiyah, dalam hal ini secara khusus diarahkan kepada
kajian
terhadap kitDalil-dalil Istinbath Syi’ah Imamiyah Sebagaimana Ulama Jumhur,
Ulama Syi’ah juga menjadikan al-Quran,Sunnah,dan Ijmak sebagai sumber dan
dalil hukum dan menolak keberadaan qiyas. Kualitas pemahaman dan
perbedaan dalam menginterpretasikan sumber-sumber tersebut sering membuat
perbedaan hukum tidak hanya dengan kalangan ulama Syi’ah, tetapi juga antara
ulama yang tergabung dalam Jumhur.

Al-Quran
Dalam pemahaman ulama Syi’ah Imamiyah, al-Quran mempunyai makna
bathin yang berbeda dengan makna zhahirnya. Manusia biasa hanya mampu
memahami al-Quran dari sisi zhahir saja, sedangkan makna bathin hanya
mampu dipahami oleh para imam Syi’ah yang tidak bisa dijangkau oleh
manusia biasa. Dengan statemen ini maka setinggi apapun tingkat kemampuan
seorang mujtahid, tetapi mereka bukan termasuk imam-imam Syi’ah, maka
dalam pandangan mereka tidak akan mampu memahami makna bathin al-
Quran. Padahal untuk menetapkan suatu hukum terkadang tidak cukup hanya
dengan melihat zahir ayat saja.
Dari hal di atas, ulama Syi’ah Imamiyah membagi pemahaman al-Quran
kepada empat tingkatan:
1. Fahmul ibarah, yaitu pemahaman orang biasa
2. Fahmul isyarah, yaitu pemahaman oleh ulama yang mendalami ilmu
3. Fahmul latha`if al-ibarah, yaitu pemahaman yang dilakukan oleh para
wali
4. Fahmul Haqa`iq, yaitu pemahaman yang dikehendaki oleh Allh dan hanya
mampu dilakukan oleh para imam.3

As-Sunnah
Secara terminologi Sunni, Sunnah adalah apa-apa yang diriwayatkan dari
Nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun
pengakuan
dan sifat Nabi.4 Di kalangan Syi’ah, Sunnah adalah 5 ‫ او فعله او‬O‫قول المعصوم‬
‫ تقريره‬. Dengan demikian bagi mereka Sunnah bukan saja berasal dari perkataan,
perbuatan, dan ketetapan Nabi SAW saja, akan tetapi juga berasal dari
keturunan
Nabi melalui Fathimah dan Ali bin Abi Thalib, atau yang dikenal dengan
ahl al-bait.

Ijma’
Dalil selanjutnya yang dipakai oleh Syi’ah Imamiyah adalah ijma’.
Dalam
Definisi Jumhur ulama ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid di dunia
Islam
terhadap suatu kasus setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.7 Sedangkan
dalam rumusan Syi’ah, ijma’ adalah pendapat yang yang menurut riwayatnya
disepakati oleh imam yang ma’shum, dan bukan merupakan dalil yang berdiri
sendiri. Lebih jelasnya ijma’ bagi mereka sama dengan Sunnah mutawatir8
(tentunya sesuai dengan makna Sunnah dalam terminologi mereka). Oleh
karena
itu apa yang dianggap sebagai ijma’ dalam kelompok Jumhur ulama bagi
kelompok Syi’ah tidak dikategorikan ijma’. Jika yang dipahami oleh Jumhur
bahwa ijma’ adalah hasil ijtihad yang disepakati oleh seluruh mujtahid, bagi
mereka ijma’ adalah Sunnah yang disepakati oleh imam yang ma’shum. Dalam
istilah mereka sebagai dalil hukum ijma’ diistilahkan dengan 9 ‫هو دليل على الدليل‬
‫( على الحكم‬suatu dalil di atas dalil hukum).
Lebih lanjut dalam pemahaman mereka bahwa ijma’ tidak harus
disepakati
oleh banyak imam ma’shum. Sayyid al-Murtadha (guru al-Thusi, w.436 H)
mengatakan jika terjadi suatu kesepakatan terhadap sesuatu dan didalamnya ada
imam yang ma’shum, maka dapat dikategorikan ijma’ yang bernilai hujjah.10
Al-Dalil al-Aqliy
Dalil hukum selanjutnya yang dipergunakan oleh ulama Syi’ah adalah
adalah al-dalil al-aqliy. Dalam pemahaman Syi’ah al-dalil al-aqliy di sini tidak
sama dengan qiyas versi Sunni. Dalam kajian-kajian ushul fiqh klasik Syi’ah
memang tidak menempatkan al-dalil al-aqliy sebagai salah satu dalil hukum,
sebagaimana dinyatakan oleh Syekh al-Mufid (guru al-Thusi, w. 413 H).
Menurutnya ushul al-ahkam itu hanya tiga, yaitu al-Kitab, al-Sunnah
Nabawiyah,
dan perkataan para imam, akan tetapi lebih lanjut ia mengatakan bahwa al-dalil
al-aqliy adalah suatu metode yang dipakai dalam rangka memahami kehujjahan
al-Quran dan petunjuk hadis. Al-Thusi pun tidak mengemukakan al-dalil
alaqliy
dalam pembahasannya secara khusus. Ulama Syi’ah yang pertama
mengemukakan
al-dalil al-aqliy ini adalah Syaikh ibn Idris (w. 598 H). Dalam kitab al-Sara`ir
ia mengatakan bahwa jika tidak terdapat ketentuan dalam al-Quran, Sunnah,
dan Ijma’, maka pergunakanlah al-dalil al-aqliy. Akan tetapi ia juga tidak
menjelaskan bagaimana mengoperasionalkannya.
Penjelasan tentang al-dalil al-aqliy agak nampak dalam generasi ulama
Syi’ah selanjutnya, yaitu al-Muhaqqiq al-Haliy (w. 676 H). Dalam kitabnya
al-Mu’tabar ia membagi al-dalil al-aqliy kepada dua bentuk. Pertama, sesuatu
yang bisa dipahami dari teks (khitab), yaitu lahn al-khitab, fahwa al-khitab, dan
dalil al-khitab.13 Kedua, petunjuk yang didapatkan akal untuk menentukan
baik
dan buruk, dalam hal ini yang dimaksud adalah berpegang kepada al-bara`ah
al-ashliyah dan al-istishab.14 Jika dilihat dari dalil akal yang dipergunakan
agaknya memang benar bahwa aqal dipergunakan untuk memahami petunjuk
al-
Quran dan Sunnah dengan berpegang kepada zhahir teks. Karena mafhum
muwafaqah, mafhum mukhalafah, isyarat al-nash, dilalah al-nash, dan iqtidha’
al-nash merupakan berdalil secara zhahir dalam versi Syi’ah, maka agaknya
rumusan mereka tentang ini tidak jauh berbeda dengan ulama Sunni.
Al-Istishab dan Bara`ah al-Ashliyah
Metode ini adalah mengembalikan sesuatu kepada asalnya. Dalam istilah
ahli ushul adalah menetapkan hukum yang lama sebelum ada dalil atau
petunjuk yang mengubahnya.15 Jika segenap usaha pencarian dalil telah
dilakukan
dan tidak ada hasilnya, maka kesimpulan hukum yang diambil dengan
mengembalikan sesuatu kepada asalnya, yaitu ibahah.
Beberapa Rumusan Fiqh Syi’ah Imamiyah
Shalat Safar dan Hadhar
Shalat itu ada dua bentuk, yaitu fardhu dan sunnat. Shalat Fardhu
adakalanya
karena memang difardhukan secara mutlak dan adapula yang kefardhuannya
disebabkan oleh sesuatu.16 Secara mutlak seorang muslim wajib melaksanakan
shalat 5 kali sehari dan semalam, baik pada waktu safar maupun hadhar
(bermukim).17 Berbeda dengan ulama lainnya, ulama Syi’ah Imamiyah
mengatakan bahwa Islam bukan sebagai syarat wajib shalat, karena orang kafir
menurutnya juga dikhitab untuk itu. Oleh karena itu Islam hanya sebagai syarat
sah shalat. Untuk shalat hadhar, jumlahnya 17 rakaat (sama dengan pendapat
Jumhur ulama) dan ketika safar hanya 11 rakaat. Lebih lanjut al-Thusi merinci
sebagai berikut:
1. Shalat Zuhur, Ashar, dan Isya, masing-masing 4 rakaat ketika bermukim
dan 2 rakaat ketika safar
2. Shalat Magrib dan Subuh sama ketika bermukim dan safar. Dalam hal ini
pendapatnya juga sama dengan Jumhur ulama.Waktu-waktu Shalat Fardhu
Sebagaimana ulama lainnya al-Thusi juga menjelaskan waktu-waktu shalat
fardhu. Penjelasan tentang ini dapat dirinci sebagai berikut:
1. Waktu setelah tergelincir matahari adalah waktu zhuhur, ukurannya adalah
kira-kira melaksanakan shalat 4 rakaat dan setelah itu adalah waktu untukshalat
zhuhur dan Ashar sekaligus sampai bayang-bayang suatu benda sama panjang
dengan benda tersebut.
Dengan demikian dapat dijelaskan kembali bahwa bagi ulama Syi’ah
Waktu shalat itu dibagi kepada tiga, yaitu; pertama, waktu awal (waktu
utama), dan pada waktu ini hanya boleh dilaksanakan shalat tertentu saja,seperti
Zhuhur saja atau Ashar saja. Kedua, waktu ikhtiar, dan dalam waktu ini boleh
dilaksanakan dua shalat sekaligus seperti shalat Zhuhur dan Ashar. Ketiga,
waktu dharurah, yang mana pada waktu ini hanya boleh dilakukan shalat
tertentu saja seperti Zhuhur atau Ashar saja.
2. Waktu setelah terbenamnya matahari adalah waktu utnuk shalat maghrib
dan berakhir sampai hilangnya syafaq (mega) merah. Waktu Maghrib ini
dimulai setelah terbenamnya matahari seukuran melakukan shalat 3
rakaat.Apabila telah berlalu hal itu maka masuklah waktu Maghrib dan
Isya`sampai beberapa saat sebelum tengah malam sekedar melakukan shalat 4
rakaat. Pada saat itu habislah waktu Maghrib dan sisanya adalah waktu Isya`
sampai pertengahan malam.30 Dengan demikian waktu Isya` dimulai sejak
berakhirnya waktu utama Maghrib sampai pertengahan malam, dan waktu yang
dibolehkan untuk melakukan kedua shalat itu sampai terbit fajar. Dengan
demikian ketentuan waktu Maghrib dan Isya` ini sama dengan ketentuan waktu
Zhuhur dan Ashar.
3. Waktu shalat Subuh yang afdhal (utama) dimulai dari terbit fajar shadiq
sampai muncul terang di langit (tanda matahari akan terbit), dan berakhir
ketika matahari terbit.32 Agaknya dalam hal ini pendapat ulama Syi’ah sama
dengan pendapat ulama Jumhur.

Nikah Mutah
Nikah mutah adalah perjanjian nikah (aqad) yang ditentukan waktunya
dengan membayar mahar tertentu. Dalam hal ini al-Thusi mengatakan bahwa
ada syarat nikah mutah, yaitu harus jelas batasan waktunya dan harus
disebutkan
maharnya ketika aqad. Jika dua syarat itu tidak diikuti maka nikahnya
tidak sah. Lebih lanjut ia menambahkan bahwa kedua syarat itu sekaligus
membedakannikah mutah dengan nikah dawam. Pembahasan lebih lengkap
tentang
nikah mutah ini tidak terdapat dalam kitab al-Mabsuth, akan tetapi dijabarkan
lebih luas dalam kitab al-Nihayah33 yang juga merupakan karya al-Thusi.
Selanjutnya ulama Syi’ah mengatakan bahwa tujuan nikah secara mutlak
adalah untuk memelihara diri, dan ini akan terwujud baik dengan melakukan
nikah dawam dan mutah. Dengan nikah mutah akan terpelihara kehormatan

KESIMULAN
Dari pembahasan di atas ada beberapa hal yang dapat disimpulkan:
-Fairuz Abadi menjelaskan bahwa Syi’ah . secara bahasa adalah seseorang
pengikut dan pendukungnya. Sementara, maksud dari Syi’ah yang terkenal
adalah para pengikut Ali sehingga mereka berkeyakinan bahwa Ali adalah
khalifah pilihan Nabi Muhammad dan ia adalah orang yang paling utama
(afdal) di antara para sahabat Nabi lainnya.
-Kaum Syi’ah, sejak menjadi pengikut Ali sesudah . peristiwa perang Jamal dan
Shiffin, pasukan Ali terpecah menjadi empat golongan: a) Syi’ah yang
mengikuti Sayyidina Ali, mereka tidak mengecam para sahabat. Dalam diri
mereka terdapat rasa cinta dan memuliakan para sahabat Nabi Saw. mereka
sadar betul bahwa yang mereka perangi adalah saudara sendiri. b) Mereka yang
mempercayai bahwa Sayyidina Ali memiliki derajat yang lebih tinggi daripada
para sahabat lainnya. Kelompok ini disebut tafdiliyah. Ali memperingatkan
mereka dengan keyakinan ini dan akan menghukumi dera bagi para sahabat
yang masih berkeyakinan tersebut. Kelompok Syi’ah sekarang, mereprentasikan
kelompok ini. c) kelompok yang berpendapat bahwa semua sahabat Nabi adalah
kafir dan berdosa besar. Mereka disebut Saba’iyah, mereka adalah para
pengikut Abdullah bin Saba’. d) Kelompok gula>t, yaitu mereka yang paling
sesat, paling bid’ah di antara empat kelompok di atas. Mereka berpendapat
bahwa Allah telah masuk pada diri Nabi Isa.
Kelompok Syi’ah paling moderat adalah Zaidiyah, 3. kelompok ini lebih lebih
dekat dengan paham Ahlussunnah wal Jama’ah. Sebab mereka tidak
mengangkat para imam kepada derajat kenabian, bahkan tidak sampai
mendekati itu. Menurut mereka, para imam perupakan manusia paling utama
setelah Nabi Muhammad. Kelompok inijuga tidak mengkafirkan para sahabat,
khususnya mereka yang telah dibai’at Ali ra., mereka juga mengakui
1. Al-Thusi adalah ulama Syi’ah yang kuat berpegang kepada dalil-dalil nash,
baik al-Quran maupun Sunnah. Dalam ijtihad-ijtihadnya ia lebih mendahulukan
pemahaman zhahir ayat-ayat al-Quran daripada hadis-hadis yang dipandangnya
ahad, misalnya dalam menetapkan kewajiban qashar,
penentuan waktu shalat fardhu, nikah mutah dan kewarisan muslim terhadap
kafir.
2. Walaupun ada nash yang berbentuk lafaz al-amr (perintah), tidak selamanya
dipahaminyasebagai sesuaatu yang wajib, misalnya hadis tentang perintah
menghadirkan saksi dalam kasus luqathah. Menurutnya perintah (al-amr)
tersebut dapat dipalingkan maknanya dari wajib dengan berpedoman kepada
al-Quran tentang urusan amanah yang tidak memerlukan saksi.
3. Ijtihadnya dalam masalah hukum mengikuti metode istinbath ulama Syi’ah
yang mengambil Sunnah dan ijma’ sesuai dengan terminologi Syi’ah.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, Jakarta: Logos, 1996.
Anwar, Moh. Dawam, Mengapa Kita Menolak Syi’ah, (Jakarta: Lembaga
Pengkajian dan Penelitan Islam, 1998.
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, Jakarta:
Pustaka Rizki Putra, 2009.
Asy-Syahrstani, al-Milal wa an-Nihal, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t.
Faudah, Mahmud Basuni, Tafsir-Tafsir al-Qur’an: Perkenalan dengan
Metodologi Tafsir, Bandung: Penerbit Pustaka, 1987.
Jafri, M., Awal dan Sejarah Perkembangan Islam Syi’ah Dari Saqifah sampai
Imamah, Bandung: Pustaka Hidayah, 1995.
A. Rachman, Asymuni, 1985. Ushul Fiqh Imamiyah, Cet. 1. Yogyakarta: Bina
Usaha
Al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhan, 1974. Mabahits al-Kitab wa al-Sunnah
min ‘Ilm al-Ushul. Damaskus: Mathba’ah al-Ta’awuniyah
Al-Hafid, Ibn Rusyd, [t. th]. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid.
Juz 1. Semarang: Maktabah Usaha Keluarga
Al-Khomeini, Sayyid Ruhullah, [t.th]. Tahrir al-Wasilah, juz 2. Qum,
Muassasah
al-Nasyar al-Islami
Al-Muzhaffar, Syekh Ridha, 1967. Ushul Fiqh, cet. 2. Najaf, Dar al-Nu’man
Al-Subhani, Ja’far, 1414 H. al-I’tisham bi al-Kitab wa al-Sunnah Dirasah
Munasthah fi Masa`il Fiqhiyyah Muhimmah, cet. 1. Qum, Muassasah
al-Imam al-Shadiq
Al-Thusi, Syaikh al-Tha`ifah Abu Ja’far Muhammad bin Hasan bin Ali, [t. th].
al-Mabsuth Fi Fiqh al-Imamiyyah, juz 1, juz 2, juz 3, juz 4. Taheran, al-
Maktabah al-Murtdhayyah Li Ihya` al-Atsar al-Ja’fariyyah
Al-Zuhaili, Wahbah, 1989. al-
Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Cet 3, juz 1. Damaskus:
Dar al-Fikr
_________,
1986. Ushul al-Fiqh al-Islami. Cet 1, juz 1. Damaskus, Dar al-
Fikr,
Beik, Muhammad Khudhari, 1988. Ushul al-Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr
Mughniyyah, Muhammad Jawad, 2001. Fiqh Imam Ja’far Shadiq, terj. Samsuri
dkk, judul asli, Fiqh al-Imam Ja’far al-Shadiq ‘Aradh wa Istidlal, cet. 2.
Jakarta: Lentera
Murata, Sachiko, 2001. Lebih Jelas Tentang Mutah Perdebatan Sunni dan
Syiah,
cet. 1. Jakarta: Raja Grafindo
Musthafa, Muhammad ibn Musthafa, 2003. Ushul wa al-Tarikh al-Firaq al-
Islamiya., TTP
Syalabi, Muhammad Musthafa, 1986. Ushul al-Fiqh al-Islami. Juz 1. Beirut:
Dar al-Nahdhah al-Arabiyyah
Syarifuddin, Amir, 1997. Ushul Fiqh I, cet. 1. Jakarta: Logos
Zahrah, Muhammad Abu, [t.th]. Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah. Juz 2.
Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi

Anda mungkin juga menyukai