Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH HADIS AHKAM

HARTA WARISAN DAN BAGIAN AHLI WARIS

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Hadis Ahkam

Dosen Pengampu : Sifaul Amin, M.H.

Disusun Oleh:

Muhammad Anwarul Ihsan 33010180130

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA

2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I ...................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ........................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah...................................................................................... 1

C. Tujuan ......................................................................................................... 2

BAB II .................................................................................................................... 3

PEMBAHASAN .................................................................................................... 3

A. Pengertian Waris ........................................................................................ 3

B. Hadis tentang Waris .................................................................................. 4

C. Bagian-bagian Waris ................................................................................. 9

BAB III ................................................................................................................. 18

PENUTUP ............................................................................................................ 18

A. Kesimpulan ............................................................................................... 18

B. Saran ......................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 19

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum waris merupakan suatu hal yang penting dan mendapat perhatian

yang besar. Karena pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang

tidak menguntungkan bagi keluarga yang di tinggal mati pewarisnya. Banyak

permasalahan yang terjadi seputar perebutan warisan, seperti masing-masing ahli

waris merasa tidak menerima harta waris dengan adil atau ada ketidaksepakatan

antara masing-masing ahli waris tentang hukum yang akan mereka gunakan dalam

membagi harta warisan. Naluriah manusia yang menyukai harta benda (QS. Ali

Imran:14) tidak jarang memotivasi seseorang untuk menghalalkan berbagai cara

untuk mendapatkan harta benda tersebut, termasuk didalamnya terhadap harta

peninggalan pewarisnya sendiri.

Oleh karena itu, maka dalam pembagian warisan harus benar-benar adil

dan mempunyai dasar hukum baik dari Al-Qur’an maupun hadits.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah Pengertian Waris?

2. Apakah Hadis tentang Waris?

3. Bagaimana bagian-bagian Ahli Waris?

1
C. Tujuan

1. Memahami definisi Waris.

2. Memahami Hadis tentang Waris.

3. Memahami bagian-bagian Ahli Waris.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Waris

Kata mawaris berasal dari lafadz bahasa Arab yakni mirats. Bentuk

jama’nya adalah mawaris yang berarti harta peninggalan orang yang

meninggal dan hendak dibagikan kepada ahli warisnya.1 Dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata waris berarti orang yang berhak

menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal.2

Secara etimologi kata mirats mempunyai beberapa arti, di

antaranya: al-baqa' (‫ )البقاء‬, yang kekal; al-intiqal (‫)االنتقال‬ "yang

berpindah", dan al-mauruts (‫ )الموروث‬yang maknanya sama dengan at-

tirkah (‫ )التركة‬yaitu "harta peninggalan orang yang meninggal dunia".3

Dari pengertian warisan memperlihatkan adanya tiga unsur

penting, yaitu:

1
Aunur Rahim Faqih, Mawaris Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: UII
Press, 2017), hlm. 3.
2
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Edisi. III, (Jakarta: Balai Pustaka 2005), hlm. 1386.
3
Fatchur rahman, Ilmu waris, PT. Al-Ma‘arif, Bandung: 1994, hlm. 32.

3
1. Pewaris yaitu seseorang yang telah meninggal dunia dan

meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih

hidup.

2. Ahli waris yaitu sekumpulan orang atau kerabat yang ada

hubungan kekeluargaan dengan orang yang meninggal dunia dan berhak

mewarisi atau menerima harta peninggalan yang ditinggal oleh seorang

pewaris.

3. Harta warisan adalah harta peninggalan yang dapat dibagi secara

individual kepada ahli waris.4

Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta

hanya semata-mata karena adanya kematian. Dengan perkataan lain harta

seseorang tidak dapat beralih apabila belum ada kematian. Apabila

pewaris masih hidup maka peralihan harta tidak dapat dilakukan dengan

pewarisan.5

Kesimpulan dari definisi di atas warisan adalah sesuatu yang

ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia, baik berupa benda

bergerak maupun benda tidak bergerak, atau dengan kata lain adalah

4
Departemen Agama RI, Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum, (Jakarta:
Depag, 2002.), hlm. 11.
5
Maryati Bachtiar, Hukum Waris Islam dipandang dari Persfektif Hukum
Berkeadilan Gender, (Jurnal Ilmu Hukum: Vol. 03, No. 01 2012) hlm. 13.

4
peralihan hak atas harta benda dari orang wafat kepada ahli waris yang

masih ada.6

B. Hadis Waris

a. Warisan Orang Yang Berhak.

‫حدثنا عبد االعلى بن حماد وهو النرسي حدثنا وهيب عن ابن طاوس‬

‫عن ابيه عن ابن عباس قال قال رسول للا صلى للا عليه وسلم‬

‫ رواه مسلم‬. ‫الحقوا الفرائض باهلها فما بقي فهو الولى رجل ذكر‬

Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Abdul A'la bin

Hammadyaitu An Narsi- telah menceritakan kepada kami Wuhaib dari

Ibnu Thawus dari Ayahnya dari Ibnu Abbas dia berkata: "Rasulullah

saw. bersabda: "Berikanlah harta warisan kepada yang berhak

mendapatkannya, sedangkan sisanya untuk laki-laki yang paling dekat

garis keturunannya". (H.R. Muslim)7

b. Larangan muslim mewarisi orang kafir

‫حدثنا سفيان عن الزهري عن علي بن حسين عن عمرو بن عثمان‬

‫عن اسامة بن زيد عن النبي صلى للا عليه وسلم قال ال يرث المسلم‬

‫رواه احمد‬. ‫الكافر وال الكافر المسلم‬

6
Muhammad Sabir Maidin, Hadis-hadis Hukum, (Gowa: Alauddin
University Press, 2020), hlm. 84.
7
Muslim bin Hajjaj al-Qusayriy al-Naisaburiy, Shahih Muslim, Juz III
(Bairut: Isa al-Baby al-Halaby waa al-Syurakah, 1395H/1955M), hlm. 1233.

5
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Az Zuhri dari

Ali bin Husain dari' Amru bin 'Utsman dari Usamah bin Zaid dari Nabi

saw. beliau bersabda: "Orang Muslim tidak mewarisi orang Kafir dan

orang Kafir tidak mewarisi orang Muslim". (H.R. Ahmad)8

Dengan merujuk pada Hadis diatas menunjukkan bahwa perbedaan

agama menyebabkan para pihak tidak berhak untuk saling mewarisi,

sebagimana juga dalam hal perkawinan apabila terjadi perkawinan

antara pemeluk agama yang berdeda maka perkawinanya dianggap

tidak sah.

Di dalam pasal 40 (c) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan

bahwa : Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria

dengan seorang wanita karena keadaan tertentu: Dan Berdasarkan

beberapa rumusan pasal dalam Kompilsi Hukum Islam maka dapat

dipahami bahwa perkawinan antara pihak yang berbeda agama tidak

sah menurut hukum Islam, karena perkawinannya tidak dilangsungkan

menurut ketentuan syari’at Islam, syarat dan rukunnya tidak terpenuhi

( tanpa ijab qabul ) menurut tatacara Islam.9

c. Larangan Saling Mewarisi Dua Pemeluk Agama Berbeda Agama.

8
Abdullah Muhammad bin Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad bin
Hanbal, Juz XXXVI, (Bairut: Dar al-Fikr, T.th), hlm. 76.
9
Ridwan Jamal, Kewarisan Bilateral Antara Ahli Waris yang Berbeda
Agama Dalam Hukum Perdata dan KHI, (Al-Syir’ah: Vol. 14,No. 01, 2016), hlm.
10-11.

6
‫حدثنا موسى بن اسمعيل حدثنا حماد عن حبيب المعلم عن عمرو بن‬

‫شعيب عن أبيه عن جده عبد للا بن عمرو قال قال رسول للا صلى‬

‫رواه داوود‬. ‫للا عليه وسلم ال يتوارث اهل ملتين شتى‬

“Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il telah menceritakan

kepada kami Hammad dari Habib Al Mu'allim, dari' Amr bin Syu'aib

dari ayahnya dari kakeknya yaitu Abdullah bin 'Amr ia berkata:

Rasulullah saw. bersabda :"Pemeluk dua agama yang berbeda tidak

saling mewarisi". (H.R. Abu Dawud)10

1. Penjelasan dan hikmah (Fiqh Hadis)

Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum

yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang

pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai

kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah,

istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas

saudara seayah atau seibu.

Jika ditilik pada sumber hukum Islam yaitu Al-Quran, maka tidak

ditemukan satu ayat pun yang secara jelas dan tegas melarang waris

beda agama. Namun jika ditilik pada sumber hukum Islam ke dua yaitu

Hadis, maka ditemukan dasar hukum yang secara jelas dan tegas

melarang waris beda agama ditemukan dalam hadis riwayat Bukhari,

10
Abu Sulaiman ibn ibn al-Asy’as al-Sijistaiy, Sunan Abu Dawud, Juz III
(Bairut: Dar al-‘Fikr 1968), hlm. 125.

7
bahwa Nabi saw. bersabda: ”Orang Muslim tidak mewarisi dari orang

Kafir, dan orang Kafir tidak mewarisi dari orang Muslim” (Shahih

Bukhari, Muslim, Tirmizi, Abu Dawud, Ibn Majah, Ahmad, Malik,

dan Ad-Darimi.

Menurut Ali dengan merujuk ke dalam khazanah fikih yang

menyebabkan seseorang berhak menerima harta waris adalah sebagai

berikut:

1) Kerabat hakiki (al-nasb), merupakan hubungan nasab seperti ibu,

bapak, anak-anak, saudara-saudara, para paman dan lain-lain.

Dijelaskan dalam QS.al-Anfal ayat 8: 2 yang berhak menerima warisan

adalah orang tua, anak dan orang-orang yang bernasab bagi mereka.

2) Pernikahan yang sah antara suami dan istri. Sekalipun sesudah

pernikahan belum terjadi persetubuhan atau berduaan di tempat sepi

(khalwat). Dan mengenai pernikahan yang batal atau fasid tidak berhak

menerima warisan.

3) Perbudakan, merupakan hubungan antara budak dan orang yang

memerdekakannya, apabila budak yang dimerdekakan tidak

mempunyai ahli waris berhak menghabiskan hartanya.11

2. Asbabul Wurud

Dari Jabir ibn ‘Abdullah katanya, isteri Sa’ad ibn al-Rabi’ datang

bersama dua anak perempuannya kepada Rasulullah saw. dan berkata,

11
Ali Parman, Kewarisan dalam Al-Qur'an Suatu Kajian Hukum dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 65.

8
Ya Rasulullah, ini dua orang anak perempuan Sa’ad. Ayahnya telah

syahid dalam Perang Uhud. Paman (saudara ayah) mereka telah

mengambil semua harta tanpa ada yang tersisa. Keduanya tidak akan

menikah (dilamar) sekiranya tidak mempunyai harta. Rasul menjawab,

Allah akan memberi keputusan. Lalu turun ayat kewarisan, Rasul

memanggil paman kedua anak tersebut dan berakata, berikan kepada

kedua orang anak perempuan Sa’ad (kemenekanmu) itu dua pertiga

(dari harta peninggalan Sa’ad), untuk ibu mereka seperdelapan dan

sisanya ambil untukmu.12

C. Bagian-bagian Ahli Waris

Menurut Hukum Islam, apabila seseorang meninggal dunia, maka

yang paling berhak untuk mendapatkan harta warisan yaitu:

1. Ashab al-furuud Golongan inilah yang pertama diberi bagian harta

warisan. (orang-orang yang telah ditentukan bagiannya dalam Al-Qur'an,

As-Sunnah, dan ijma').

2. Ashabat nasabiyah yaitu setiap kerabat (nasab) pewaris yang menerima

sisa harta warisan yang telah dibagikan. Bahkan, jika ternyata tidak ada

ahli waris lainnya, ia berhak mengambil seluruh harta peninggalan.

3. Penambahan bagi ashhabul furudh sesuai bagian (kecuali suami istri).

Apabila harta warisan yang telah dibagikan kepada semua ahli warisnya

12
Fakhr al-Din Muhammad ibn ‘Umar al-Tamimi al-Razi, Mafatih al-
Ghaib, Jilid IX (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000), hlm. 165.

9
masih juga tersisa, maka hendaknya diberikan kepada ashhabul furudh

masing-masing sesuai dengan bagian yang telah ditentukan.

4. Mewariskan kepada kerabat pewaris yang masih memiliki kaitan rahim

(tidak termasuk ashhabul furudh juga 'ashabah)

5. Bila pewaris tidak mempunyai ahli waris yang termasuk ashhabul

furudh dan 'ashabah, juga tidak ada kerabat yang memiliki ikatan rahim,

maka harta warisan tersebut seluruhnya menjadi milik suami atau istri.

Dengan demikian, istri memiliki seluruh harta peninggalan suaminya.

Begitu juga sebaliknya suami terhadap harta peninggalan istri yang

meninggal.

6. Ashabah karena sebab. Yang dimaksud para 'ashabah karena sebab ialah

orang-orang yang memerdekakan budak (baik budak laki-laki maupun

perempuan). Misalnya, seorang bekas budak meninggal dan mempunyai

harta warisan, maka orang yang pernah memerdekakannya termasuk salah

satu ahli warisnya, dan sebagai 'ashabah. Tetapi pada masa kini sudah

tidak ada lagi.

7. Orang yang diberi wasiat lebih dari sepertiga harta pewaris. Yang

dimaksud di sini ialah orang lain, artinya bukan salah seorang dan ahli

waris.

8. Jika dari semua gologan di atas tidak ada, maka harta tersebut diberikan

kepada bait al-mal (balai harta keagamaan) yang nantinya akan

dimanfaatkan untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum.13

13
Fatchur Rahman, Op. Cit., hlm. 9.

10
Berikut ini adalah bagian Masing-Masing Ahli Waris :

a. Anak laki-laki

Kemungkinan memperoleh warisan

1. Mendapatkan semua harta warisan, apabila tidak ada anak perempuan ,

ibu bapak, suami/istri

·2. Sebagai ashabah binafsih, setelah diambil bagian dzawil furudh. Dan

akan memperoleh seluruh sisa jika tidak ada anak perempuan. Bila ada

anak perempuan, maka bagiannya adalah dua kali bagian perempuan.

b. Cucu laki-laki dari anak laki-laki

Kemungkinan memperolah warisan

1. Jika tidak terhijab, ia sebagai ashabah binafsih; bisa memperoleh

seluruh warisan, jika tak ada cucu perempuan dari anak laki-laki; jika

ada cucu perempuan (dari laki-laki), bagiannya dua kali bagian cucu

perempuan.

2. Tidak memperoleh warisan (terhijab), bila ada anak laki-laki.

c. Bapak

Kemungkinan memperoleh warisan:

1. Dapat terhijab nuqshan

2. 1/6 bagian, jika ada ahli waris anak atau cucu laki-laki

3. 1/6 bagian ditambah ‘ashabah, jika ada anak perempuan atau cucu

perempuan

4. ’ashabah, jika tidak ada atau cucu baik laki-laki maupun perempuan

d. Kakek dari pihak bapak

11
Kemungkinan untuk memperoleh warisan:

1. Bisa berhijab hirman, jika ada bapak

2. 1/6 bagian jika ada anak atau cucu laki-laki

3. 1/6 bagian ditambah ‘ashabah, jika ada anak atau cucu perempuan

4. Sebagai ‘ashabah, apabila tidak ada anak/cucu laki-laki maupun

perempuan.

e. Saudara laki-laki sekandung

Kemungkinan memperoleh warisan:

1. Bisa terhijab hirman, jika ada anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak

laki-laki atau bapak

2. ashabah binafsih, bisa memperoleh seluruh sisa warisan.

3. 1/3 bagian jika lebih dari satu orang saudara baik laki-laki maupun

perempuan

f. Saudara laki-laki sebapak

Kemungkinan memperoleh warisan:

1. Bisa terhijab hirman, jika ada anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak

laki-laki, bapak, saudara laki-laki sekandung atau saudara perempuan

sekandung.

2. Ashabah binafsih.

3. 1/3 bagian jika lebih dari satu orang saudara sebapak baik laki-laki

maupun perempuan

g. Saudara laki-laki seibu

Kemungkinan memperoleh warisan:

12
1. Bisa terhijab hirman, jika ada anak laki-laki atau perempuan, cucu

laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki, bapak, kakek dari pihak

bapak.

2. 1/3 bagian jika terdiri dari dua orang atau lebih

3. 1/6 bagian jika hanya satu orang

h. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung, anak laki-laki dari

saudara sebapak, paman kandung, paman sebapak, anak laki-laki paman

sekandung, anak laki-laki paman sebapak.

Kemungkinan memperoleh warisan:

1. Bisa terhijab hirman

2. Bisa ‘ashabah binafsih

i. Suami

Kemungkinan memperoleh warisan:

1. Bisa terhijab nuqshan, jika ada anak atau cucu

2. 1/2 bagian jika tidak ada anak atau cucu

3. 1/4 bagian jika ada anak atau cucu

j. Anak perempuan

Kemungkinan memperoleh warisan:

1. Tidak dapat terhijab1/2 bagian jika hanya seorang dan tidak ada laki-

laki

2. 2/3 bagian jika lebih dari satu orang dan tidak ada anak laki-laki

3. ashabah bil ghairi jika ada anak laki-laki

k. Cucu perempuan dari anak laki-laki

13
Kemungkinan mendapat warisan:

1. Dapat terhijab hirman, jika ada anak laki-laki, dua anak perempuan

atau lebih

2. 1/2 bagian, jika hanya seorang, tidak ada cucu laki-laki, atau seorang

anak peerempuan.

3. 2/3 bagian, jika dua orang atau lebih dan tidak ada anak laki-laki atau

seorang anak perempuan.

4. 1/6 bagian, jika ada anak perempuan tapi tidak ada cucu laki-laki.

l. Ibu

Kemungkinan mendapat warisan :

1. Bisa terhijab nuqshan, jika ada anak, cucu atau dua orang saudara atau

lebih

2. 1/3 bagian, jika tidak ada anak, cucu, atau dua orang saudara atau lebih

3. 1/3 dari sisa, jika termasuk gharawain. Gharawain adalah jika ahli

waris terdiri dari suami, ibu dan bapak, atau istri, ibuk dan bapak.

4. 1/6 bagian jika ada anak, cucu atau dua orang saudara atau lebih

m. Nenek

Kemungkinan memperoleh :

1. Bisa terhijab hirman, jika ada anak, ibu atau bapak

2. 1/6 bagian ( untuk seorang atau dua orang nenek, jika tidak ada anak,

ibu atau bapak )

n. Saudara perempuan kandung

Kemungkinan mendapat warisan :

14
1. Bisa terhijab hirman, jika ada anak laki – laki, cucu laki – laki dari

anak laki – laki, bapak

2. 1/2 bagian, jika hanya seorang atau tidak ada anak, cucu perempuan

atau saudara laki – laki sekandung

3. 2/3 bagian, jika dua orang atau lebih dan tidak ada anak cucu

perempuan atau saudara laki – laki sekandung

4. Bisa ‘ashabah ma’al ghairi, jika tidak ada saudara laki – laki kandung,

tapi ada ahli waris anak perempuan atau cucu perempuan atau anak

dan cucu perempuan

o. Saudara perempuan sebapak

Kemungkinan memperoleh warisan :

1. Bisa terhijab hirman, jika ada anak laki – laki, cucu laki – laki, bapak,

dua orang atau lebih saudara perempuan kandung bersama anak/cucu

perempuan.

2. 1/2 bagian, jika seorang dan tidak ada saudara laki – laki, bapak anak,

cucu perempuan atau saudara perempuan sekandung.

3. 2/3 bagian, jika terdiri dari dua orang atau lebih dan tidak ada ahli

waris anak, saudara laki – laki sebapak atau saudara perempuan

kandung.

4. 1/6 bagian, jika ada seorang saudara perempuan kandung tetapi tidak

ada anak, cucu perempuan atau saudara laki – laki sebapak.

5. Ashabah bilghairi jika ada saudara laki – laki sebapak

15
6. Ashabah ma’al ghairi, jika tidak ada saudara laki – laki sebapak,

saudara perempuan kandung. Tapi ada ahli waris anak perempuan atau

cucu perempuan.

p. Saudara perempuan seibu

Kemungkinan memperoleh warisan :

1. Bisa terhijab hirman, jika ada anak laki – laki atau perempuan, cucu

laki – laki dari anak laki – laki, cucu perempuan dari anak laki – laki,

bapak atau kakek dari pihak bapak.

2. 1/3 bagian jika terdiri dari dua orang atau lebih

3. 1/6 bagian jika hanya seorang

q. Istri

Kemungkinan memperoleh warisan :

1. Bisa terhijab nuqshan, jika ada anak atau cucu

2. 1/4 bagian, jika ada anak atau cucu, baik laki – laki maupum

perempuan

3. 1/8 bagian jika ada anak atau cucu baik laki – laki maupun

perempuan.14

Kriteria ahli waris dan bagian-bagiannya sebagaimana dalam

rumusan fiqih seakan-akan sedikit berpihak kepada laki-laki. Tentunya ini

adalah suatu masalah karena seakan-akan ada pengistimewaan secara

berlebihan terhadap laki-laki, sedangkan perempuan tetap berada dalam

14
Abdul Manan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2006), hlm. 35-55.

16
posisi yang yang dinomorduakan. Jika dilihat lebih jauh maka

bertentangan dengan prinsip Al-Qur’an yang tidak membedakan antara

laki-laki dengan perempuan. Kalaupun dalam al-Qur’an terdapat prinsip

“Li al-Zhakari Mithlu Hazzi al-Unthayain” (laki-laki mendapatkan dua

bagian anak perempuan) maka tidak harus dipahami secara normatif.15

15
Muhammad Firdaus, Pembaharuan Hukum Waris Islam di Era
Kontemporer, (Istinbath: Vol. 14, No. 1, Juni 2015), hlm. 117.

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pemaparan materi diatas dapat pemakalah simpulkan warisan

merupakan segala sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah

meninggal dunia, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak

bergerak, atau dengan kata lain adalah peralihan hak atas harta benda dari

orang wafat kepada ahli waris yang masih ada.

Adapun penggolongan ahli waris ada bermacam-macam. Yakni

dari sebab menerima warisan, dan bagian yang diterima ahli waris. Semua

telah di tetapkan berdasarkan ketetapan syari’at Islam.

B. Saran

Dalam penyusunan makalah ini tidak lepas dari kekurangan dan

kelemahan khususnya penjelasan yang tumpul sehingga belum

menghasilkan sesuatu yang diharapkan secara maksimal. Oleh karena itu,

pemakalah mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga

dengan adanya makalah ini dapat membuat nilai pemakalah menjadi A dan

menambah juga wawasan bagi para pembaca.

18
DAFTAR PUSTAKA

Faqih, Aunur Rahim. 2017. Mawaris Hukum Waris Islam. Yogyakarta: UII Press.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi.

Ke. III, Jakarta: Balai Pustaka.

Rahman, Fatchur. 1994. Ilmu Waris. Bandung: Al-Maarif.

Departemen Agama RI. 2002. Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum. Jakarta:

Departemen Agama.

Bachtiar, Maryati. 2012. “Hukum Waris Islam dipandang dari Persfektif Hukum

Berkeadilan Gender.” Jurnal Ilmu Hukum: Vol. 03, No. 01.

Maidin, Muhammad Sabir. 2020. Hadis-hadis Hukum. Gowa: Alauddin

University Press.

al-Naisaburiy, Abu Muslim bin Hajjaj al-Qusayriy. 1395H/1955M. Shahih

Muslim, Juz III, Bairut: Isa al-Baby al-Halaby waa al-Syurakah.

Ibn Hanbal, Abdullah Muhammad bin Ahmad. T. Th. Musnad Ahmad bin Hanbal,

Juz. XXXVI. Bairut: Dar al-Fikr.

Jamal, Ridwan. 2016. “Kewarisan Bilateral Antara Ahli Waris yang Berbeda

Agama Dalam Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam.” Al-Syir’ah:

Vol. 14, No. 01.

Al-Sijistaiy, Abu Sulaiman ibn ibn al-Asy’as. 1968. Sunan Abu Dawud, Juz. III,

Cet. V. Bairut: Dar al-‘Fikr.

19
Parman, Ali. 1995. Kewarisan dalam Al-Qur'an Suatu Kajian Hukum dengan

Pendekatan Tafsir Tematik. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Al-Razi, Fakhr al-Din Muhammad ibn ‘Umar al-Tamimi. 2000. Mafatih al-Ghaib,

Jilid IX. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

Manan, Abdul. 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana

Firdaus, Muhammad. 2015. “Pembaharuan Hukum Waris Islam di Era

Kontemporer.” Istinbath: Vol. 14, No. 01.

20

Anda mungkin juga menyukai