Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

IMAM HAMBALI
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Studi Hukum Islam

Disusun oleh:

Fadilatul Khoiroh [21602021007]


Diana Istiqomah Aris [21606021018]

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM RADEN RAHMAT MALANG
2022

i
Kata Pengantar

Assalamu'alaikum wr.wb
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah SWT yang Maha Pengasih dan
Penyayang. Beliau memberikan kepada hamba-hamba-Nya rahmat dan karunia-Nya
berupa kesediaan dan kesempatan untuk menyelesaikan tugas makalah ini. Kami
berharap makalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Sholawat dan salam kita
panjatkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, yang menjadi syafaat kita
di hari kiamat nanti. Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas mengikuti mata kuliah
“Studi Hukum Islam”. Dibawah bimbingan dosen kami Ibu Dosen A Fahrurrozi, S.H.I,
M.Hiyang akan digunakan sebagai tugas kelompok untuk mata kuliah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan -
kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi. Mengingat kemampuan yang
dimiliki penulis. Olehkarena itu, keterbatasan waktu dan kemampuan kami,maka kritik
dan saran yang membangun senantiasakami harapkan semoga makalah inidapat berguna
bagi pihak lainyang berkepentingan pada umumnya.

10 Oktober 2022

Penulis

2
Daftar Isi

Kata Pengantar...........................................................................................................................2

Daftar Isi.....................................................................................................................................3

BAB I.........................................................................................................................................4

Pendahuluan...............................................................................................................................4

1.1 Latar Belakang.................................................................................................................4


1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................................6
1.3 Tujuan Penulisan.............................................................................................................6
BAB II........................................................................................................................................7

PEMBAHASAN........................................................................................................................7

2.1 Biografi Singkat Imam Ahmad Bin Hanbal....................................................................7


2.3 Latar Belakang Metode Ahmad Ibn Hanbal dan Mazhab Hanbali...............................10
2.4 Perkembangan Fikih Mazhab Hanbali............................................................................6
2.5 Bentuk-bentuk Pandangan Fiqih dan Ushul Fikih Mazhab hambali ............................17
2.6 Pengaruh Mazhab Hambali dan Pemikiran Ibnu Taimiyyh dalam Paham Salafi......18
2.7 Wujud Kemoderenan dalam Mazhab Hambali........................................................21
BAB III.....................................................................................................................................25

PENUTUP................................................................................................................................25

3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................25
3.2 DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................26

3
BAB I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Fikih adalah kemampuan menalar suatu dalil sehingga menghasilkan hukum.
Menurut Ibnu Taimiyah, fikih adalah kemampuan memahami yang terbaik dari dua
kebaikan atau yang terburuk dari dua keadaan. Seorang fakih adalah yang mampu
memahami keinginan Allah swt. lewat dalil-dalil ilahiyah dan menerapkannya dalam
kondisi kemasyarakatan. Terdapat korelasi yang kuat antara hukum-hukum normatif
yang dikandung oleh dalil dengan kondisi sosial suatu masyarakat, dan bagi seorang
fakih hal itu merupakan pertimbangan dalam penalarannya.1

Imam Ahmad bin Hambal adalah salah seorang fakih yang hidup di abad ke-3
hijriah, fatwa dan pendapat-pendapat fikihnya tidak luput dari kondisi yang ada di
sekelilingnya. Hal itu merupakan penjabaran dari dalil dan kaidah-kaidah usul fikih
yang telah pernah disampaikan oleh ulama Islam yang ada sebelumnya, seperti Abu
Hanifah, Malik bin Anas dan al-Syafi’i rahimahumullahu di samping kaidah yang
Imam Ahmad cetuskan sendiri. Abad ke-2 hingga ke-5 hijriah adalah merupakan
zaman keemasan ilmu pengetahuan, khususnya disiplin ilmu syar’i.

Masing-masing dari bidang fikih, hadis, tafsir Al-Qur’an dan Bahasa Arab
yang mengalami perkembangan yang sangat pesat. Tadwin (pengumpulan) dan ta’lif
(penulisan) atau kodifikasi ilmu pengetahuan begitu gencar, di bidang fikih berdiri
empat mazhab besar yaitu Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah di
samping mazhab fikih lainnya seperti Rahawiyah, Sauriyah dan lain-lain. Di bidang
hadis, terdapat al-Bukhari dan Muslim bin al-Hajjaj yang menghimpun hadis-hadis
sahih, di bidang tafsir Al-Qur’an terdapat Abu Ja’far al-T{abari, di bidang Nahwu
terdapat ‘Amru bin Us\man al-Fa>risi> atau yang terkenal sebagai Si>bawaih.
Perkembangan ilmu pengetahuan ini juga diliputi oleh pergolakan politik di kalangan
Bani Umayyah dan Bani ‘Abba>siyah.

Sekalipun Bani ‘Abba>siyah memimpin khilafah pada abad ke-3. Namun,


perselisihan di kalangan mereka sendiri juga tetap sengit. Perseteruan antara dua

1
Yasir Muhammad.S>Thi,MA, Kitab Musnad Ahmad Ibn Hanbal, vol 12, no 2, Desember 2013, hal 165

4
saudara al-Amin dan al-Ma’mun menjadi warna tersendiri pada rezim tersebut, hingga
akhirnya dimenangkan oleh al-Ma’mun yang dilantik menjadi khalifah pada tahun
198 H. Keadaan politik menjadi lebih stabil sejak khilafah dijabat oleh al-Ma’mun,
namun pada saat yang sama terjadi pergolakan lain, yaitu di bidang teologi. Khalifah
al-Ma’mun adalah pendukung pemikiran Muktazilah yang lebih mengedepankan
logika dari dalil syar’i dalam segala hal, khususnya dalam persoalan teologi (akidah).
Hal ini mendapat penentangan keras dari para ulama Ahli sunah waljamaah sebab
pemikiran tersebut sangat sering bertentangan dengan konsep akidah yang dalilnya
begitu jelas di dalam Al-Qur’an atau hadis. 2 Contohnya adalah sifat al-Kala>m, di
dalam Al-Qur’an sifat al-Kala>m adalah salah satu sifat Allah swt. seperti yang
terdapat pada

Q.S. al-Nisa’4: 164,

ۚ‫صصْ ٰنهُ ْم َعلَ ْي َك ِم ْن قَ ْب ُل َو ُر ُساًل لَّ ْم نَ ْقصُصْ هُ ْم َعلَ ْي َك ۗ َو َكلَّ َم هّٰللا ُ ُموْ ٰسى تَ ْكلِ ْي ًما‬
َ َ‫َو ُر ُساًل قَ ْد ق‬

Terjemahnya: Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung. Kaum
Muktazilah menolak sifat al-Kala>m dengan dalih bahwa Allah swt. tidak serupa
dengan makhluk-Nya. Jika Allah swt. memiliki sifat al-Kala>m, maka berarti Ia serupa
dengan manusia yang memiliki sifat berbicara. Kaum Muktazilah menolak lafaz-lafaz Al-
Qur’an sebagai firman Allah swt., tetapi mereka menganggapnya sebagai makhluk ciptaan
Allah swt. Hal ini ditentang sangat keras oleh para ulama Ahli sunah waljamaah pada saat itu,
termasuk Ahmad bin Hambal rah}imahumullahu. Mazhab Hambali merupakan kumpulan dari
pemikiran-pemikiran fikih dan fatwa-fatwa Imam Ahmad bin Hambal. Hasil ijtihad tersebut
dibangun atas pandangan-pandangan usul fikih terhadap dalil yang terdapat di dalam Al-
Qur’an dan hadis, seperti: pemakaian hadis mursal (riwayat seorang tabi’i langsung dari
Rasulullah saw.).

Ijtihad fikih tersebut tidak dapat lepas dari kondisi sosial yang ada di
sekelilingnya, sebab salah satu syarat atas seorang fakih adalah mengetahui realitas
masyarakatnya dalam penerapan suatu hukum. Ketidakpedulian terhadap realitas
masyarakat akan membuat fatwa atau ijtihad seorang ulama tidak sempurna dan
cenderung keliru, demikian pula ijtihad yang dilontarkan ke tengah masyarakat dan
tidak menjaga realitas yang terjadi, akan cenderung menimbulkan kontroversi dan
kondisi yang kontra produktif. 2

2
Rahmat Abd Rahman, Latar belakang sosial lahirnya mazhab hambali, vol 1,no 3, 2020, Bustanul Fuqaha:
Jurnal bidang hukum islam, Sekolah tinggi ilmu islam dan Bahasa arab (STIBA) mMakassar, hal 506

5
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah lahirnya madzab
2. Ruang lingkup madzab fiqih
3. Bagaimana perkerbangan fiqih madzab
4. Apa bentuk pandangan fiqih dan ushul fiqih
5. Apa bentuk perkembangan madzab di era modern

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui sejarah lahirnya madzab
2. Untuk megetahui ruang lingkup madzab fiqi
3. Untuk mengatahui perkembangan fiqih madzab
4. Untuk mengetahui bentuk pandangan fiqih dan ushul fiqih
5. Untuk mengetahui perkembangan madzab di era modern

6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Biografi Singkat Imam Ahmad Bin Hanbal


Imam Ahmad bin Hanbal adalah seorang mujtahid besar, ahli hadis dan ahli
fikih, pendiri mazhab Hanbali–mazhab keempat dalam khasanah pemikiran fikih
Islam Sunni. Nama lengkapnya Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad ibn Hanbal ibn
Hilal ibn Asad alSyaibaniy al-Bagdady. Dia lebih dikenal dengan sebutan Ahmab ibn
Hanbal. Penisbatan namanya kepada kakeknya-bukan kepada ayahnya mungkin
karena kakeknya lebih terkenal daripada ayahnya. Baik dari jalur ayahnya, maupun
dari jalur ibunya, Ahmad berasal dari keturunan Arab Bani Syaibany dari Kabilah
Rabi'ah Adnaniyah.3

Pada awalnya keluarga Ahmad tinggal di Basrah. Kemudian kakeknya pindah


ke Khurasan menjadi wali Sarkhas pada masa Umayyah. Kakeknya kemudian terlibat
dalam perjuangan bani Abbas merebut kekhalifahan dari tangan bani Umayyah. Ayah
Ahmad aktif sebagai seorang tentara daulah Abbasiyah dan tinggal di Maru (Marwin).
Ketika isterinya mengandung, Ahmad, dia pindah ke Bagdad. Di kota Bagdadlah
Ahmad dilahirkan pada bulan Rabi'ul awal 164 H.

Ahmad lahir dalam keluarga yang sederhana. Ayahnya meninggal dunia ketika
Ahmad masih kecil, sehingga tanggung jawab pemelihraannya berada di pundak
ibunya. Kesederhanaan hidup tidaklah menyurutkan tekad Ahmad untuk menuntut
ilmu dan menempa diri. Ahmad mendapatkan pendidikan pertamanya di kota
Baghdad. Kota Baghdad ketika itu adalah pusat perkembangan ilmu pengetahuan dan
kebudayaan, di samping sebagai pusat pemerintahan daulah Abbasiyah, di kota
tersebut terdapat pakar-pakar di bidang syari'ah, qiraat, tasawuf, bahasa, filsafat, dan
sebagainya.

Atas kemauan sendiri ditambah dengan dorongan dari keluarganya, Ahmad


memilih menekuni bidang ilmu-ilmu agama, khususnya ilmu hadis dan fikih. Di
samping itu, dia juga menghafal Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa. Dia
mendapati dua kecenderungan yang berkembang ketika itu, yaitu manhaj al-fiqh dan
manhaj al-hadis. Pada mulanya Ahmad mempelajari fikih ahl al-ra'yi dari al-Qadhi
3
Muhammad Yasir.S.Thi,MA, Kitab Musnad Ahmad ibn Hanbal, vol 12,no 2, Desember 2013, hal 165

7
Abu Yusuf, murid Imam Abu Hanifah. Tetapi tampaknya dia lebih cenderung
mempelajari hadis, sehingga ketika berguru kepada Abu Yusuf, Ahmad lebih
memperhatikan aspek hadisnya.

Kecintaan Ahmad kepada hadis mendorongnya untuk melakukan rihlah


(perjalanan) mencari hadis. Ahmad menemui syaikh-syaikh hadis di berbagai daerah
untuk menerima periwayatan hadis. Dia mulai mempelajari hadis di Baghdad tahun
179 H. Ketika masih berumur 15 tahun. Selama tujuh tahun dia menekuni hadis di
kota ini dengan menemui lebih dari 20 orang syaikh hadis, antara lain Hasyim ibn
Basyir. Tahun 186 H, dia belajar ke Bashrah. Setahun kemudian dia pergi ke Hijaz.
Selanjutnya dia melakukan perjalanan lagi ke Bashrah, Kufah, Hijaz dan Yaman.
Tercatat sebanyak lima kali Ahmad berkunjung ke Bashrah dan lima kali pula ke
Hijaz. Ketika pergi ke Mekah, Ahmad bertemu untuk pertama kalinya dengan Imam
Syafi'i dan Ahmad langsung berguru kepadanya tentang fikih dan ushul fikih. Pertemuan
selanjutnya antara mereka terjadi ketika Syafi'i berkunjung ke Baghdad.

Setelah setahun menuntut ilmu dan memiliki perbendaharaan ilmu yang kaya,
terutama tentang hadis dan fikih, Ahmad mendirikan majelis sendiri di kota Baghdad
ketika usianya telah mencapai 40 tahun. Dia mulai berijtihad sendiri, mengeluarkan
fatwa dan mengajari murid-muridnya. Batas usia 40 tahun dipandangnya sebagai
ukuran kematangan pribadi dan pengetahuan seseorang. Rasulullah saw. diangkat
menjadi rasul ketika berumur 40 tahun dan Imam Abu Hanifah mulai mendirikan
majelis sendiri setelah mencapai usia tersebut. Meskipun demikian bukan berarti
Ahmad sama sekali tidak mengeluarkan fatwa dan mengajarkan ilmu sebelum
berumur 40 tahun. Dia telah juga melakukan kegiatan tersebut secara terbatas dan
tanpa mendirikan majelis sendiri.

Di dalam menuntut dan mengajarkan ilmu, Ahmad lebih percaya kepada dan
mengandalkan catatan dibandingkan dengan hafalan, meskipun semua orang
mengakui kekuatan daya hafalannya. Para muridnya dilarang menulis hadis kecuali
setelah dipastikan berasal dari catatannya. Akan tetapi Ahmad melarang mencatat
fatwa-fatwanya dan fatwa-fatwa orang lain. Kebijakan Ahmad ini mungkin sebagai
sikap hati-hati terhadap banyaknya paham dan fatwa yang menyimpang ketika itu.
Oleh karena itu, tidak ada koleksi fatwa Ahmad yang ditulis sendiri maupun yang
didiktekan kepada muridnya.

8
Di samping menghasilkan karya di bidang fikih dan hadis, Imam Ahmad juga
menyampaikan pemikiran-pemikiran di bidang lain seperti di bidang aqidah dan
politik. Pemikiran dan pendiriannya tentang Alquran sebagai kalam Allah yang qadim
menyebabkan dia disiksa dan dipenjara pada masa pemberlakukan mihnah pada masa
khalifah al-Ma'mun, al-Mu'tashim, dan al-Watsiq. Ketiga khalifah itu menyetujui
pendapat Mu'tazilah tetang kemakhlukan Alquran dan memaksakan pendapatnya kepada
4
umat Islam, terutama para qadhi dan ulama.

Ahmad Ibn Hanbal menikah dan memiliki dua orang putra yang terkenal
dalam bidang hadis yaitu Salih dan Abdullah. Kedua putranya banyak menerima hadis
dari sang ayah dan memasukkan sejumlah hadis kedalam kitab Musnad ayahnya.
Ahmad Ibn Hanbal seorang ilmuwan yang produktif. Dia banyak menulis kitab-kitab,
diantaranya adalah kitab al-’Ilal, al-Tafsir, anNasikh wa al-Mansukh, az-Zuhd, al-
Masa`il, Fadho`il as-Sahabah, alFara`id, al-Manasik, al-Imam, al-Asyribah, Tha’at
al-Rasul, ar-Ra’d ala al-Jahmiyyah dan kitabnya yang paling agung dan termasyhur
yaitu Musnad Ahmad Ibn Hanbal.

Imam Ahmad adalah seorang ulama yang memiliki integritas. Sebagaimana


beberapa komentar para ulama yang menggambarkan kedhabitan sosok Imam Ahmad,
di antaranya adalah:

1. Abu Zur’ah menyatakan bahwa imam Amad Ibn Hanbal adalah seorang yang
hafal sejuta hadis yang sanggup ia diktekkan melalui hafalannya. Sehingga
para ulama’ memasukkannya ke dalam daftar “Amirul mukminin fi al-hadist”.
2. Asy-Syafi’I menyatakan bahwa Ketika saya keluar dari Bagdad, saya tidak
meninggalkan seorang yang lebih afdhal , lebih alim, lebih wara’ dan lebih
takwa, dia adalah Ahamad Ibn Hanbal.
3. Ibn Hibban menyatakan bahwa dia adalah ahli fiqh ,penghafal hadis yang
meyakinkan, selalu menjauhi perbuatan haram, senantiasa menjaga ibadahnya
sekalipun harus menerima cambukan, sehingga Allah melindunginya dari
bid’ah dan menjadikannya sebagai imam yang diikuti, Ia menolak mengatakan
bahwa al-Qur’an adalah makhluk, hingga ia dicambuk dan dipenjara. Baginya
penjara merupakan dapur tukang besi, lalu keluar sebagai emas murni.

4
Marzuki, Ahmad Bin Hambal (Pemikiran Fikih dan Ushul Fikihnya), vol 2, no 2, Agustus 2005, Jurnal hunafa

9
4. Hajjaj Ibn Asy-sya’ir Rahimatullah berkata: “Kedua mataku tidak pernah
melihat ruh yang ada disuatu jasad yang lebih utama (afdhal) berbanding
Ahmad Ibn Hanbal.”
5. Abu Bakr Ibn Abi Daud as-Sijistani Rahimatullah berkata: “Tidak ada di
zaman ahmad ibn hanbal orang yang seumpamanya.”
6. Abu Zur’ah rahimatullah berkata “Ahmad Ibn Hanbal hafal setuja hadist’.5

2.2 Latar Belakang Metode Ahmad Ibn Hanbal dan Mazhab Hanbali
Pada tahun 195 H sampai 197 H Ahmad belajar fiqh dan ushul fiqh pada
Imam Syafi’ie yang pada waktu itu berada di Hijaz.13 Di Hijaz pula ia belajar pada
Imam Malik dan Imam al-Laits bin Sa’ad al-Misri. Dalam pencarian hadis ia juga
pergi ke Yaman, Kepada Abdurraziq bin Haman, dan kedaerah-kedaerah lain seperti
Khuras.

Mazhab Hambali adalah nisbah kepada Imam Ahmad bin Hambal dan
merupakan hasil-hasil ijtihad fikih dan fatwa-fatwa semasa hidupnya.
Pandanganpandangan tersebut mulai Imam Ahmad sampaikan ketika berusia 40 tahun
yaitu di tahun 204 H. 6Ahmad mengangap Imam Syafi’ie sebagai guru besarnya, oleh
karena itu dalam pemikiran ia banyak di pengaruhui oleh Imam Syafi’ie. Hal ini juga
bisa diketahui dari kata-kata Ahmad bin Hanbal ketika ia sudah menjadi Imam yang
besar: Apabila saya ditanya tentang sesuatu yang tidak saya jumpai kabar (yakni hadis
dan atsar sahabat) yang menjelaskannya, maka saya berpegang kepada pendapat
Imam Syafi’ie. Karena besarnya pengaruh imam Syafi’ie pada pemikiran Ahmad bin
Hanbal sampai-sampai al-Tabari pernah tidak mau mengangapnya sebagai fuqaha
atau mujtahid dan menganggapnya muttabi’ periwayat hadis dan bertaklid.

Pemikiran fikih Imam Ahmad sangat dipengaruhi oleh kedalaman


pengetahuannya tentang hadis. Hadis menempati posisi sentral, di samping Alquran
dalam mazhab fikihnya. Dia menentang keras pendapat yang berdasarkan kepada
Alquran semata dengan mengabaikan hadis. Tetapi bukan berarti Imam Ahmad
bersikap pesimis dalam menerima hadis. Hadis-hadis diseleksinya dengan ketat,
terutama hadis-hadis hukum. Hadis-hadis yang tidak berkaitan langsung dengan
masalah hukum, dia memperlonggar seleksi penerimaannya. Imam Ahmad dapat
5
Karim Abdul, Manhaj Imam Ahmad Ibn Hanbal dalam kitab musnadnya, vol 1,no 2, september 2015, STAIN
Kudus, jawa tengah, indonesiaHal 356
6
Rahmat Abn. Rahman, Latar belakang ssosial lahirnya mazhab hambali, vo 1, no 3, 2020, Bustanul Fuqaha
jurnal bidang hukum islam, Sekolah tinggi ikmu islam dan Bahasa arab (STIBA) makassar,Hal 587

10
menerima hadis dha’if sebagai hujjah dalam masalah fadha'il al-'amal, selama
kedhaifannya bukan karena perawinya pembohong. Abdul Wahab, salah seorang
murid Imam Ahmad, menggambarkan keluasan pengetahuan Ahmad tentang hadis
dan intensitas penggunaan hadis dalam fatwa-fatwa Imam Ahmad dengan berkata:
"Saya belum pernah melihat orang seperti Ahmad. Dia ditanya mengenai 60.000
masalah, lalu dia jawab dengan haddatsana … ahkbarana….". Maksudnya Ahmad
menjawab semua masalah tersebut dengan memakai hadis.

Imam Syafi’i juga pernah menyatakan kepada Ahmad ibn Hanbal dan para
ahli hadis.”Kalian lebih tahu tentang hadis dan khabar daripada aku, maka apabila
shahih beritahulah aku” Karya yang monumental,Musnad Ahmad juga lebih banyak
memuat hadis, sementara Imam Syafi’ie adalah percampuran keduanya. Bisa
dikatakan posisi Ahmad berada antara Imam Syafi’ie dan Imam Maliki. Dengan
demikian meskipun ia banyak dipengaruhi oleh Imam Syafi’ie, banyak pula warna-
warna Maliki dalam fiqihnya. Dalam metodenya ia banyak mengunakan deduksi,
namun itu berarti menafikan bahwa ia juga mengunakan induksi. Dia juga
menggunakan qiyas, istishan,istihhsab, dan juga punya kecendrungan tekstualitas
serta mengembalikan masalah kepada hadis dan asar. Mungkin karena kecendrungan
dia kepada hadis, sehingga ia mendapatkan julukan sebagai penghulu para ulam salaf.7

Ahmad berprinsip bahwa fatwa harus berdasarkan dalil-dalil yang bisa


diterima dan dipertanggungjawabkan. Dia menentang fatwa tanpa dasar yang kuat
atau fatwa yang berdasarkan pemikiran saja. Ahmad menasihati murid-muridnya:
“jauhilah memsberi fatwa dalam masalah yang tidak ada tuntutannya". Abu Bakar
al-Marwazy murid Ahmad pernah menanyakan suatu masalah yang belum jelas bagi
Ahmad sendiri. Ahmad secara terus terang menjawab: "saya belum mengetahui".

Ahmad memiliki metode sendiri dalam menginstimbathkan hukum.


Metodologi fikih Ahmad dapat disarikan dari fatwa-fatwa fikih yang disampaikan
murid dan pengiktunya. Ibnu Qayyim dalam kitabnya I'lam al-Muqqi'in menjelaskan
lima dalil yang menjadi dasar istimbath hukum Ahmad, yakni 1) Nash (Alquran dan
Sunnah marfu'ah), 2) Fatwa sahabat yang tidak ada perselisihan di antara mereka, 3)
Fatwa sahabat yang diperselisihkan di antara mereka, 4) Hadis Mursal dan hadis
dha'if, dan 5) Qiyas. Dalil-dalil tersebut digunakan dengan urutan prioritas.

7
Yasir Muhammad, Kitab musnan ahmad ibn Hanbal, vol 12,no 2, Desember 2013, jurnal hunafaHal 166

11
1. Nash alqur’an dan sunnah
Alquran dan Sunnah disebutkan secara bersamaan dan pada tempat
yang sejajar di peringkat pertama urutan sumber dan dalil hukum. Keduanya
mempunyai hubungan timbal balik yang erat. Kehujjahan sunnah ditetapkan
melalui aqidah, sementara itu sunnah sendiri merupakan penjelasan bagian
Alquran. Meskipun demikian pada hakekatnya sunnah ditempatkan pada
peringkat kedua.
Apabila Ahmad menemukan nash dalam Alquran atau sunnah, maka
ditetapkan hukum berdasarkan dalil tersebut. Dia tidak mempertimbangkan
dalil lain yang mungkin memiliki perbedaan dalam penunjuk hukum dengan
nash-nash tersebut, meski berupa fatwa sahabat sekalipun. Misalnya, Ahmad
tidak menerima fatwa Mu'az bin Jabal dan Mua'awiyah yang membolehkan
seorang muslim mewarisi harta orang kafir, sebab bagi Ahmad sudah cukup
jelas dan shahih hadis yang melarang hubungan kewarisan antara muslim dan
kafir karena perbedaan agama

2. Fatwa sahabat
Apabila para sahabat mengeluarkan fatwa tentang suatu masalah
hukum dan tidak terdapat perbedaan pendapat di antara mereka, maka Ahmad
menerimanya sebagai sumber dan dalil hukum setelah al-Qur'an dan Sunnah.
Meskipun tidak terdapat perbedaan pendapat, Ahmad tidak menyebutnya
sebagai ijmak. Ahmad lebih suka menyebutnya dengan fatwa sahabat.
Ketika Ahmad tidak menemukan fatwa sahabat seperti di atas, Ahmad
mencari fatwa yang diperselisihkan di kalangan sahabat dengan memiliki
fatwa yang lebih sesuai dengan Alquran dan Sunnah. Pada hakekatnya Ahmad
juga memakai fatwa tabi'in apabila tidak ditemukan fatwa yang dikemukakan
sahabat.

3. Hadist mursal dan hadis dha’if


Dalil dan sumber hukum selannjutnya menurut Ahmad adalah hadis
mursal dan hadis dha'if. Ahmad membagi tingkatan hadis ditinjau dari kualitas
perawinya kepada hadis shahih dan hadis dha'if. Hadis dha'if yang dimaksud
Ahmad tidak sama dengan hadis dha'if dalam pengertian ilmu hadis yang
membagi hadis kepada, hasan dan dha'if. Hadis dha'if versi Ahmad dapat
dikelompokkan kepada hadis Hasan dalam kategorisasi hadis dalam ilmu
hadis dewasa ini.

12
Menurut Ibnu Qayyim, sebagaimana dikutip oleh Abu Zahra, hadis
dha'if pada versi Ahmad bukanlah hadis bathil atau hadis mungkar. Pada hadis
tersebut tidak ada kerusakan pada periwayatannya sehingga tidak boleh
dijadikan dalil hukum. Hadis dha'if yang dimaksud adalah hadis yang perawi-
perawinya tidak sampai kepada derajat tsiqah dan tidak pula jatuh kepada
iltiham (rusak/jelek). Sedangkan hadis mursal adalah hadis yang tidak
disebutkan perawinya pada tingkat sahabat.

4. Qiyas
Apabila Ahmad tidak menemukan dalil hukum dalam Alquran Sunnah,
fatwa sahabat dan tabi'in, serta hadis mursal dan hadis dha'if, maka Ahmad
menggunakan qiyas. Penggunaan qiyas ini dilakukan dalam keadaan terpaksa,
dalam arti tiada dalil-dalil lain seperti yang disebut di atas.
Di samping menggunakan ke lima dalil dan sumber hukum yang
dijelaskan Ibnu Qayyim di atas, menurut Abu Zahra, Imam Ahmad juga
menggunakan dalil atau sumber lain seperti ijmak, al-mashalih, istishlah, zara'i
dan istishlah. Abu Zahra mencoba mengemukakan pandangan Imam Ahmad
dalam penggunaan dalil-dalil dan sumbersumber hukum tersebut.

5. Ijma
Ijmak merupakan kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa tentang
suatu hukum syarah berdasarkan dalil-dalil dari Alquran dan Sunnah (dan juga
qiyas menurut sebagian fuqaha'). Ijmak dari segi lapangan hukumnya terbagi
dua. Pertama, ijmak tentang dasar-dasar kewajiban seperti jumlah raka'at
salat, puasa dan haji. Barang siapa yang mengingkari ijmak ini berarti
mengingkari masalah-masalah agama yang harus diketahui secara pasti dan
berarti telah keluar dari Agama. kedua, Ijmak di luar masalah-masalah di atas
seperti ijmak para sahabat tentang kewajiban membunuh orang yang murtad.
Ahmad membagi ijmak kepada dua, pertama, ijmak al-'ulya, yaitu ijmak para
sahabat. Ijmak ini bisa dijadikan hujjah karena sesuai dengan Alquran dan
sunnah shahihah, sebab tidak mungkin para sahabat mengingkari sunnah
sahihah, sedangkan mereka adalah perawi-perawi; kedua adalah pendapat
yang masyhur yang tidak diketahui ada yang menyalahinya, sehingga
disebutkan dengan istilah "ijma". Ahmad menolak pemberian istilah ijmak
terhadap kategori kedua ini, sebab bila kemudian diketahui ada pendapat yang
berbeda, maka batallah statusnya sebagai ijmak.

13
Tentang hal ini, putra Ahmad Abdullah menyampaikan ucapan
Ahmad: "Siapa yang mendakwakan, terjadinya ijmak, maka dia telah
berdusta. Sesungguhnya tabiat manusia adalah berbeda pendapat. Ada
pendapat yang diketahui dan ada pula yang belum diketahui oleh seseorang.
Untuk itu bila ditemui kesamaan pendapat yang masyhur, hendaklah katakan
"Saya belum mengetahui ada pendapat yang menentangnya".

6. Al-mashalih
Yang dimaksud adalah al-mashalih al-mursalah, yakni kemashlahatan
yang tidak ditemukan dalilnya dalam Alquran maupun sunnah. Ahmad
menerima al-mashalih al-mursalah sebagai dalil hukum, sebab menurutnya
para sahabat juga menggunakannya. Ahmad banyak menggunakan mashlah
dalam masalah al-siyasah alsyar'iyyah, misalnya memperberat hukuman bagi
orang yang meminum minuman keras pada siang hari di bulan Ramadan.
Kalangan Hanabilah mengikuti sikap Ahmad ini. Mereka antara lain berfatwa
bolehnya memakan pemilik rumah untuk menampung tuna wisma jika rumah
tersebut memungkinkan untung menampung tuna wisma tersebut.
Menurut Abu Zahra, al-mashlahah al-muraslah yang diambil Ahmad
sebagai dalil hukum pada dasarnya termasuk ke dalam bab qiyas yang telah
diperluas maknanya. Al-mashlahah al-mursalah di qiyaskan kepada al-
mashlah al-mu'tabarah pada fikih Islam umum yang tercakup dalam
keseluruhan nash, bukan dalam suatu nash tertentu. Oleh sebab itu,
penggunaannya sebagai dalil hukum dikemudiankan dari hadis mursal dan
hadis dha'if serta hanya digunakan dalam keadaan terpaksa.

7. Istihsan
Istihsan dalam mazhab Hanafi adalah penerapan hukum terhadap suatu
masalah yang belum ada hukumnya dengan mencari bandingannya dalam dalil
Alquran, sunnah, ijmak atau hukum darurat dengan cara berpaling dari qiyas
zhahir (nyata) kepada qiyas aqwa (lebih kuat). Menurut Abu Zahrah, tidak
mungkin Ahmad menolak istihsan, sebab proses pengambilan hukumnya tetap
berdasarkan nash, ijmak atau tunduk kepada hukum darurat.
Jika ditinjau dari mazhab Maliki, istihsan termasuk cara pengambilan
hukum berdasarkan mashlahah dengan cara berpaling dari kaedah yang sudah
tetap. Menurut Abu Zahrah, karena Ahmad juga menerima mashlahah sebagai
dalil hukum maka tidak mungkin mereka menentang istihsan.

14
8. Al-zari’ah
Zari'ah berarti washilah, yaitu atau perantara yang menghasilkan dan
menyebabkan terwujudnya suatu perbuatan hukum tertentu. Menurut Ahmad
dan pengikutnya, bilamana Syari' memerintahkan sesuatu, berarti juga
memerintahkan wasilahnya. Begitu pula bila Syari' melarang sesuatu, berarti
melarang wasilahnya. Dengan demikian zari'ah memainkan peranan penting
dalam pertimbangan hukum mazhab Hanbali.

9. Istihab
Istihsab adalah melanjutkan pemberlakuan hukum yang sudah
ditetapkan sampai ada dalil yang merubahnya. Mazhab Hanbali menggunakan
dalil ini dalam istimbath hukum. Misalnya mereka menggunakan kaidah fikih
dalam masalah-masalah aqad, syarat dan lain-lain.8

2.3 Perkembangan Fikih Mazhab Hanbali


Sebagaimana telah dikemukakan, Ahmad tidak membukukan fatwa-fatwa
fikihnya. Namun demikian, bukan berarti tidak ada karya tulis yang diterima dari
Ahmad. Ada beberapa kitab yang dikarang atau dinisbatkan kepada Ahmad, antara
lain; Musnad, Tafsir alQur'an, al-Nasikh wa al-Mansukh, al-Muqaddam wa al-
Muakhkhar, al-Qur'an, Jawabat al-Qur'an, al-Tarikh, Manasik al-Kabir, Manasik
al-Shagir, Tasauf al-Rasul, al-'Illah dan al-Sholah.

Oleh karena minimnya warisan tertulis fikih Ahmad, maka penyebaran


mazhab Hanbali lebih banyak dilaksanakan melalui kegiatan para murid dan
pengikutnya. Di antara Ahmad yang berjasa benar dalam pengembangan dan
penyebaran mazhab Hanbali adalah antara lain Shaleh dan Abdullah bin Ahmad ibn
Hanbal. Ahmad ibn Muhammad ibn Hani' Abu Bakar al-Atsran, Abd. Malik ibn
Hajjaj Abu Bakar al-Marwazi, Harab ibn Ismail al-Handhali al-Kirmani, dan
Ibrahim ibn Ishaq al-Harbi. Pada generasi selanjutnya muncul dua orang pengikut
Ahmad, yaitu Umar ibn al-Husein al-Khiraqi dan Abd al-Aziz bin Ja'far Ghulan al-
Kallal. Al-Khalal inilah yang paling berjasa mengodifikasi dan menyebarkan fikih
mazhab Hanbali. Al-Khallal menulis koleksi fikih mazhab Hanbali dalam suatu kitab
berjudul al-Jami' al-Kabir. Kitab ini terdiri dari 20 Juz. . Sayangnya, kitab ini masih
dalam bentuk manuskrip dan sekarang tersimpan di perpustakaan di Inggris. Kitab

8
Marzuki, Ahmad bin Hanbal(Pemikiran fikih dan ushul fiqih), vol 2, no 2, Agustus 2005, Stain datokarana pali,
jurusan syariah,jurnal hunafa, Hal 112

15
mazhab Hanbali yang terkenal lainnya adalah Mukhtasar al-Khiraqi, karya Abu
Qasim Umar ibn Husen ibn Hanbal. Buku ini banyak disyarah para ulama, antara
lain kitab syarah ibn Qudamah berjudul al-Mughni.

Ahmad, sesuai dengan tempat lahir kediamannya, menjadikan Baghdad


sebagai basis pengajaran dan penyebaran mazhabnya. Di kota yang terkenal dengan
kecenderungan terhadap aliran ra'yi ini, Ahmad justru menyebabkan fikih yang
berorientasi kepada hadis. Oleh sebab itu wajar jika pengikut mazhab Hanbali tidak
begitu banyak. Dari Baghdad, mazhab ini berkembang ke Syam dan Mesir. Pada
saat itu mazhab Hanbali sekarang tersebar di Jazirah Arab, Palestina, Syiria, dan
Iraq. Jumlah total penganutnya sekitar 10 juta orang menurut perhitungan tahun
1988.9

2.4 Bentuk-bentuk Pandangan Fiqih dan Ushul Fikih Mazhab hambali .


Dari pemaparan tentang latar belakang sosial pada era Imam Ahmad
tersebut, diperoleh secara lahiriah pandangan-pandangan fikih dan usul fikih Imam
Ahmad yang berkaitan dengannya, antara lain:

Hadis Mursal atau hadis yang diriwayatkan oleh tabi’in dari Rasulullah saw.
19 atau riwayat selain sahabat secara langsung dari Rasulullah saw.

Imam Ahmad bin Hambal menerima hadis jenis ini secara mutlak pada saat
mayoritas ulama fikih menolaknya jika bukan oleh tabi’in senior karena tidak
memenuhi syarat hadis sahih, yaitu ketersambungan sanad. Hadis mursal di
kalangan mayoritas ulama jika bukan riwayat tabi’in semisal Sa’id bin al-Musayyib
atau al-Hasan al-Basri adalah termasuk dalam kategori hadis lemah da’if. Alasan
yang disampaikan oleh Imam Ahmad adalah karena ketersambungan sanad hingga
kepada periwayat hadis yang saleh dan terpercaya masih lebih dapat diperpegangi
dari daya nalar, karena lebih berdasar dari sekedar menalar. Hal ini jika dipandang
dari sisi kondisi saat itu yang menunjukkan tersebarnya pemikiran-pemikiran
berbahaya atau tekanan pemerintah yang begitu represif terhadap pandangan Ahli
sunah waljamaah khususnya di bidang teologi, merupakan pendapat yang benar.

Berbilangnya pendapat Imam Ahmad dalam suatu permasalahan fikih.

9
Marzuki, Ahmad bin Hanbal(Pemikiran fikih dan ushul fiqih), vol 2, no 2, Agustus 2005, Stain datokarana pali,
jurusan syariah,jurnal hunafa, Hal 116

16
Mazhab Hambali terkenal di dunia fikih sebagai mazhab yang memiliki
pendapat lebih dari satu pada setiap permasalahan. Kadang-kadang dalam suatu
permasalahan yang diperselisihkan oleh para fuqaha terdapat pendapat Imam Ahmad
di setiap kelompok yang berbeda. Hingga di dalam mazhab Hambali sendiri terdapat
buku-buku yang secara khusus membahas tentang pendapat fikih Imam Ahmad yang
paling kuat dan benar, seperti buku karangan ‘Ali bin Sulayman al-Mardawi (817-
885 H) yang berjudul al-Insaf Fi Ma’rifah al-Rajih Min al-Khilaf ‘Ala Mazhab al-
Imam Ah{mad bin Hambal.

Menurut Dr. Manna’ al-Qattan hal, hal ini dikarenakan perubahan ijtihad
Imam Ahmad dalam suatu permasalahan, sehingga murid-muridnya menyampaikan
berdasar pengetahuan mereka terhadap pendapat gurunya, atau sebab lain adalah
sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah bahwa kadang-
kadang Imam Ahmad meriwayatkan pendapat-pendapat sahabat Rasulullah saw.
yang meskipun akhirnya Imam Ahmad memilih salah satu darinya sebagaimana
prinsip dalam mazhab Hambali, namun murid-murid yang mendengarkannya
terkadang menyimpulkan pilihan yang lain sehingga semua menyandarkannya
kepada Imam Ahmad.

Penyampaian (sebab) tersebut telah memberi gambaran pada semua bahwa


kondisi sosial betapa pun itu turut andil pada pengaruh perkembangan mazhab.
Terjadinya perubahan ijtihad adalah paling sering disebabkan oleh perubahan sosial
masyarakat (‘urf) dan biasanya adalah bersifat penerapan dalil. Sedangkan
banyaknya asar (pendapat-pendapat sahabat) yang disampaikan oleh Imam Ahmad
menunjukkan kekayaan beliau terhadap sisi ini dalam setiap permasalahan dan hal
itu disebabkan oleh berkembang dan mudahnya akses terhadap ilmu pengetahuan.10

2.5 Pengaruh Mazhab Hambali dan Pemikiran dalam Paham Salafi.


Dalam kaitannya dengan paham Salafi, maka hampir tidak ada satu kitab
maupun tulisan yang disampaikan oleh kaum Salafi kecuali merujuk kepada Imam
Ahmad bin Hanbal.

Ulama yang tergabung dalam Hai‟ah Kibar Ulama di Saudi Arabia telah
menetapkan mazhab Hanbali sebagai mazhab resmi pemerintah. Sehingga dalam

10
Rahmat Abn. Rahman, Latar belakang sosial lahirnya mazhab hambali, vol 1, no 3, Jurnal hukum islam,
Sekolah tinggi ilmu islam dan Bahasa arab (stiba) makassar, indonesia,Hal 514

17
pelaksanaan ibadah, mazhab Hanbali menjadi rujukan. Hal ini dapat dilihat dalam
tata cara shalat di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi yang tidak membaca qunut
subuh. Demikian pula dalam pelaksanaan ibadah haji dan umrah.

Akan tetapi tidak semua pendapat mazhab Hanbali yang didirikan oleh Imam
Ahmad dapat diterima atau diamalkan oleh pengikut paham Salafi dalam praktek
ibadah. Terdapat beberapa permasalahan yang berseberangan dengan pendapat
Imam Ahmad. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa permasalahan berikut ini:

1. Qadha Shalat wajib yang ditinggalkan dengan sengaja. Menurut imam Ahmad
bahwa shalat yang ditinggalkan dengan sengaja wajib diganti (qadha), bahkan
tidak sah shalat sunnat seseorang yang masih memiliki shalat qadha. Dalam
permasalahan qadha shalat ini, pendapat Ibnu Taimiyyah yang perpegangi
oleh Salafi bukan pendapat Imam Ahmad di atas. Adapun pendapat Ibnu
Taimiyyah yaitu tidak ada qadha shalat dan cukup dengan bertaubat dan ke
depan tidak meninggalkan shalat lagi.
2. Membaca al-Qur'ân dan Adab dalam ziarah di perkuburan; menurut Imam
Ahmad bahwa membaca al-Qur'ân di perkuburan hukumnya boleh. Adapun
adabnya adalah ketika memasuki perkuburan maka hendaklah seseorang itu
membacakan ayat Kursi dan surah al-Ikhlas sebanyak tiga kali. Berikut
pernyataannya:
Artinya: dan tidak mengapa membaca al-Qur'ân di atas kuburan. Telah
diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwasanya ia berkata: “Jika kamu memasuki
perkuburan, maka bacalah ayat Kursi dan tiga kali surah al-Ikhlas. Kemudian
berdoalah: “ya Allah, sampaikanlah pahala bacaan ini kepada penghuni
perkuburan ini”.
3. Transfer (kirim) pahala bacaan al-Qur'ân kepada orang yang telah meninggal
dunia. Menurut Imam Ahmad bahwa bacaan al-Qur'ân jika diniatkan kepada
orang yang telah meninggal dunia maka pahalanya akan sampai. Berikut
pernyataan beliau:
Artinya: Tidaklah makruh membaca (al-Qur'ân) di atas kuburan dan di
perkuburan akan tetapi hukumnya mustahab (baik). Berdasarkan hadis yang
diriwayatkan Anas berkata; “siapa yang memasuki perkuburan dan membaca
surah Yâsîn maka akan diringankan atas mereka (penghuni kuburan) pada
hari itu dan baginya pahala sejumlah mereka diperkuburan itu dari

18
kebaikan”. Selain itu, berdasarkan riwayat shahih dari Ibnu Amr bahwasanya
ia berwasiat manakala ia dikebumikan hendaklah dibacakan di sisinya awal
surah al-Baqarah dan akhirnya. Berdasarkan itu pula Imam Ahmad menarik
pendapatnya yang semula mengatakan hukumnya makruh Imam Ahmad
berkata: “Setiap mayat maka sampailah kepadanya setiap kebaikan,
berdasarkan nash dalil tentang hal itu dan dikarenakan umat Islam
berkumpul di setiap kota sambil membacakan dan menghadiahkan (pahala
bacaan mereka) kepada orang yang telah wafat dari mereka tanpa ada yang
menentangnya. Maka perbuatan itu merupakan ijma‟ (kesepakatan)”11

Satu catatan menarik yang sayang untuk dilewatkan adalah kecintaan Imam
Ahmad bin Hanbal terhadap Imam Syâf’î. Imam Ahmad sangat memuliakan Imam
Syafi’i. Beliau senantiasa mendoakan guru kesayangannya itu dalam shalatnya
selama 40 tahun. Berikut pernyataan Imam Ahmad sebagaimana yang dinukilkan
Imam al-Baihaqy.

Artinya: Imam Ahmad bin Hanbal berkata: Sesungguhnya aku berdoa kepada
Allah untuk Imam Syâfi‟î dalam shalat ku selama empat puluh tahun. Aku berkata
dalam doaku: Ya Allah ampunilah aku dan kedua orangtuaku serta (ampunilah)
Muhammad bin Idris Syâfi‟î. Tiadalah seorangpun diantara mereka yang sangat
mengikuti hadis Rasulullah saw melebihinya (Syâfi’î).

2.6 Wujud Kemoderenan dalam Mazhab Hambali


Konsistensinya yang begitu kuat terhadap fiqh sahabat juga dapat dilihat
dalam menempatkan urutan sumber hukum ketika melakukan istinbath seperti yang
dinyatakan oleh Salim Ali al-Saqafi bahwa Ahmad bin Hanbal dan para pengikutnya
sangat konsisten menempatkan fatwa dan fiqh para sahabat sebagai sumber hukum
setelah menggunakan nushusus syariat dari sepuluh dasar istinbath yang dilakukan
oleh Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya, ia menempatkan fiqh sahabat sebagai
dasar yang kedua.

Kenyataan di atas menegaskan bahwa pemikiran fiqh sahabat pada masa awal
mempengaruhi sistem ijtihad yang dibangun oleh Ahmad bin Hanbal. Sebagain
literatur menyebutkan bahwa di samping sangat konsisten dalam penggunaan fatwa

11
Ardiansyah, pengaruh mazhab hanbali dan pemikiran ibnu taimiyah dalam paham salafi, vol 2,no 2, 2013,
Analitica islamica

19
sahabat, Ahmad bin Hanbal juga dikenal sebagain orang yang keras pemikirannya
pada zamannya karena ia dikenal sebagai pembela hadis. Hal ini dapat dilihat dari
cara-caranya dalam memutuskan hukum, ia tidak suka menggunakan akal kecuali
dalam keadaan yang sangat darurat dan terpaksa serta sebatas tidak ditemukan hadis
yang menjelaskannya. Keteguhannya dalam menggunakan hadis sampai pada
penggunaan hadis mursal dan hadis dhaif.

Bagi Ahmad bin Hanbal, penggunaan hadis mursal dan hadis dhaif lebih
selamat dari pada menggunakan akal dan qiyas. Penggunaan hadis mursal dan dhaif
ia tempuh setelah tidak dijumpai ada hadis lain yang setingkat, atau tidak ada
pendapat sahabat dan tidak ada pula kesepakatan sahabat yang menentangnya.
Karena konsistensinya yang begitu kuat dalam mempertahankan hadis sebagai
hujjah dan sistem ijtihadnya, Ahmad bin Hanbal dapat dikategorikan sebagai ahlu
fiqh yang cenderung beraliran ahlu hadis yang jika dihubungkan dengan jalur
sebelumnya, maka ia akan sampai kepada jalur Imam Malik dan aliran ahli hadis di
kalangan sahabat.

Mengacu pada uraian di atas dapat dipahami bahwa unsur-unsur kemodernan


dalam pemikiran Imam Hanbal adalah keberaniannya dalam membedakan dan
membangun pendapat fiqhnya sendiri dan membentuk pondasi pemikiran baru yang
tidak dipengaruhi oleh pemikiran gurunya (Imam al-Syafi’i). Unsur lain dari
kemodernannya adalah pernyataan-pernyataan tentang dialektika pemikiran yaitu
Unsur pemikiran moderat Ahmad bin Hanbal dapat dilihat dari beberapa
pernyataannya tentang dialektika pengetahuan dan toleransi berpikir. Ia menyatakan
bahwa janganlah kamu mengikuti aku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, al-
Syafi’i, al-Auza’i dan al-Tsauri tetapi ambillah dari mana mereka mengambil. Pendapat
Auza’i, pendapat Malik dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat dan ia
bagiku adalah sama, sedangkan alasan hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar. Barang
siapa yang menolak hadis Rasululah, sesungguhnya ia telah berada di tepi kehancuran

Selanjutnya, unsur kemodernan Mazhab Hanbali semakin dipertegas oleh


pemikiran dua tokoh terkenal dalam sejarah fiqh Islam, yaitu Ibnu Taimiyyah dan
Ibnu Qayyim al-Jauzi. Ide-ide pembaharuan Ibn Taimiyah terfokus pada masalah
fiqh dan teologi di mana ia menemukan kesalahan sebagian umat Islam dalam
melakukan interpretasi terhadap fiqh atau hukum Islam sehingga yang benar menjadi

20
salah dan begitu juga sebaliknya. Selain itu ia juga melihat bahwa perkembangan
Islam di berbagai bidang, terutama fiqh, teologi, politik dan tasawuf mengalami
ketidaktentuan sehingga tidak terkontrol dan berkembanglah neo-fiqh, neo-kalam,
dll. Karena itulah menurut Ibn Taimiyah, sebagaimana dikutip oleh Fazlurrahman,
diperlukan suatu langkah untuk kembali kepada Alquran dan hadis karena banyak
dari kebenaran telah ditinggalkan sedangkan kesalahan banyak diambil sehingga
kebenaran dan kesalahan tercampur. Selain itu juga diperlukan ijtihad karena para
ahli fiqh tidak lagi melakukan karya ilmiyah setelah adanya imam mazhab yang
empat dan fiqh pun menjadi bentuk opini yang memburuk di tangan orang-orang
yang setengah tahu. Karena fatwa-fatwanya yang dianggap radikal dalam
memberantas khurafat, Ibn Taimiyah kurang disenangi yang menyebabkannya
dijebloskan ke penjara. Ibn Taimiyah kembali ke Syira dan meneruskan ide-ide
pembaharuaannya tersebut hingga meninggal pada 1328 M. Zainal Abidin Ahmad
menyebutkan bahwa Ibn Taimiyah selama 16 tahun hingga wafatnya pekerjaannya
adalah keluar masuk penjara.

Sementara Ibnu Qayyim al-Jauzi menjelaskan metodologi pembaharuan


pemkiran Hanbali dengan menyatakan bahwa mazhab Hanbali dibangun di atas lima
pilar, yaitu;

1) Alquran dan sunnah. Jika ia menemukan nas ia akan menggunakannya dalam


berfatwa dan tidak menggunakan yang lain, tidak mendahulukan pendapat
sahabat daripada hadis shahih atau amalaln penduduk Madinah atau lainnya
tidak pula logika, kiyas atau ketidaktahuan adanya nas yang menentangnya
yaitu apa yang dinamakan ijma’
2) Fatwa Sahabat. Imam Ahmad bin Hanbal menjadikan fatwa sahabat sebagai
standar hukum nomor tiga setelah Alquran dan sunnah karena menurutnya
fatwa sahabat diambil dari hadis shahih. Dalam hal ini ulama yang banyak
mengeluarkan fatwa adalah Umar bi al-Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah
bin Abi Mas’ud, Abbbdullah bin Abbas, Zaid bin Tsabit, Sayyidah Aisyah
serta Abu Bakr, Usman bin Affan, Muaz bin Jabal, Sa’ad bin Abi Waqqas,
Thalhah bin ABi Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Abdullah bin Umar dan
Salman al-Farisi adalah sahabat yang tidak terlalu banyak mengeluarkan
fatwa.

21
3) Qiyas. Jika tidak ada nas dari Alquran dan sunnah atau pendapat sahabat atau
hadis mursal atau hadis dhaif maka beliau baru mengambil kiyas tetapi dalam
hal ini Imam Hanbali hanya mengambil kiyas yang berasal dari ulama
terdahulu. Selain itu, beliau juga menggunakan hadis mursal dan hadus dhaif
jika tidak ada dalil yang menguatkannya dan didahulukan daripada kiyas.
Hadis mursal, hadis dhaif. Adapun hadis dhaif menurut Imam Hanbal
bukanlah hadis batil atau munkar atau perawinya yang diutuduh dusta serta
tidak boleh diambil hadisnya namun yang beliau maksud dengan kandungan
hadis dhaif adaah orang yang belum mencapai derajat siqah tetapi tidak
sampai dituduh berdusta dan jika memang demikian maka iapun bagian dari
hadis shahih.
4) Istishab. Yaitu melangsungkan keberlakuan ketentuan hukum yang ada
sehingga terdapat ketentuan dalil yang mengubahnya. Istishab yang dimaksud
baik berupa istishab akli (melangsungkan keberlakuan hukum akal menegani
kebolehan atau bebas asal pada saat tidak dijumpai dalil yang mengubahnya)
dan istishab syar’I (melangsungkan keberlakuan hukum syara berdasarkan
suatu dalil dan tidak ada dalil yang mengubahnya.
5) Sad az-Zara’i. Maksudnya adalah menghambat dan menghalagi dan
menyumbat segala hukum yang menuju kerusakan atau maksiat. Tujuan dari
metode ini adalah menarik kemaslahatan dan menjauhi kerusakan. Pada
awalnya perbuatan yang dimaksud tidak memiliki hukum tetapi apabila
dibiarkan akan menjerumuskan manusia kedalam perbuatan dosa seperti
permainan yang lazimnya berujung pada perjudian.

Memperhatikan tempat-tempat pelaksanaan ibadah haji di Makkah dan


sekitarnya, tempat tawaf-sai besusun, pelebaran-peluasan tempat bermalam di Mina
adalah bukti nyata pembaharuan spektakuler dalam mazhab Hanbali. Pemerintah
Arab Saudi mengambil mazhab Hanbali, sebagai mazhab resmi kerajaan-negara.12

12
H.M. Mawardi djalaliddin, Unsur Kemoderenan dalam mazhab Ibn Hanbal, vol 6,no 1, juni 2017,Fakultas
syariah dan hukum universitas islam negeri (UIN) Alauddin makassar,Hal 22

22
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Imam Ahmad bin Hanbal adalah seorang mujtahid besar, ahli hadis dan ahli fikih,
pendiri mazhab Hanbali–mazhab keempat dalam khasanah pemikiran fikih Islam Sunni.
Kecintaan Ahmad kepada hadis mendorongnya untuk melakukan rihlah (perjalanan) mencari
hadis. Ahmad menemui syaikh-syaikh hadis di berbagai daerah untuk menerima periwayatan
hadis. Pemikiran fikih Imam Ahmad sangat dipengaruhi oleh hadis dan keluasan
pengetahuannya tentang hadis. Hal ini terlihat jelas dari penempatan posisi hadis dalam ushul
fikihnya dan intensitas penggunaan hadis dan fatwa-fatwanya. Oleh sebab itu corak
pemikiran fikih Ahmad Ibn Hanbal disebut juga dengan fikih sunnah.

23
3.2 DAFTAR PUSTAKA

Rahmat Abd Rahman, Latar belakang sosial lahirnya mazhab hambali, vol 1,no 3, 2020,
Bustanul Fuqaha: Jurnal bidang hukum islam, Sekolah tinggi ilmu islam dan Bahasa arab (STIBA)
mMakassar,

Yasir Muhammad.S>Thi,MA, Kitab Musnad Ahmad Ibn Hanbal, vol 12, no 2, Desember 2013,

Marzuki, Ahmad Bin Hambal (Pemikiran Fikih dan Ushul Fikihnya), vol 2, no 2, Agustus 2005,
Jurnal hunafa
Karim Abdul, Manhaj Imam Ahmad Ibn Hanbal dalam kitab musnadnya, vol 1,no 2, september 2015,
STAIN Kudus, jawa tengah, indonesiaHal 356
Ardiansyah, pengaruh mazhab hanbali dan pemikiran ibnu taimiyah dalam paham salafi, vol
2,no 2, 2013, Analitica islamica

H.M. Mawardi djalaliddin, Unsur Kemoderenan dalam mazhab Ibn Hanbal, vol 6,no 1, juni
2017,Fakultas syariah dan hukum universitas islam negeri (UIN) Alauddin makassar,Hal 22

24

Anda mungkin juga menyukai