Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PEMIKIRAN KETATANEGARAAN ALI ABDUL RAZIQ

Disusun Untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester

Mata Kuliah: Pemikiran Ketatanegaraan Islam

Dosen Pengampu: Prof. Moh. Najib, M.Ag.

Nama : Syakira Ainun NB


NIM : 1203030119

KELAS 6C

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI ISLAM SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahka Rahmat serta
hidayah -Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Pemikiran Ketatanegaraan Ali Abdul Raziq” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari dituliskanya makalah ini ialah untuk memenuhi tugas
Ujian Akhir Semester dari Pak. Prof. Moh. Najib, M.Ag. pada mata kuliah Pemikiran
Ketatanegraan Islam. Selain itu, makalah ini juga dibuat untuk menambah wawasan
kita semua tentang Pemikiran Ketatanegaraan Ali Abdul Raziq bagi pembaca dan
juga bagi saya selaku penulis.
Saya mengucapkan terimakasih kepada Bapak. Prof. Moh. Najib, M.Ag.
selaku dosen mata kuliah Pemikiran Ketatanegaraan Islam yang telah memberika
tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan idang
studi yang saya tekuni.
Saya juga berterimakasih kepada semua pihak yang telah membagi Sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan sara yang membangun akan kam nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Garut, 29 Juni 20223

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................................1
A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 3
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................... 4
A. Bografi Ali Abdul Raziq ....................................................................................... 4
B. Karya-Karya Ali Abdul Razaq .............................................................................. 5
C. Pemikiran Ketatanegaraan Ali Abdul Razaq .........................................................6
BAB III PENUTUP ..................................................................................................... 12
A. Kesimpulan ..........................................................................................................12
B. Saran .................................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tidak ada kesepakatan antara para pemerhati Islam tentang apakah ajaran
Islam memiliki pengaruh pada negara atau hal-hal yang berkaitan dengan politik
Islam. Dalam konteks ini, dua istilah ini berkaitan erat: khilafah dan imamah.
Meskipun keduanya berasal dari sumber yang sama, Al-Qur'an, namun istilah ini
digunakan dalam praktik politik Islam oleh dua kelompok yang dianggap
berseberangan secara politik, Sunni dan Syi'ah.
Setelah Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah mengambil alih kekuasaan
Islam, istilah "Khalifatullah fi al-ardh" muncul. Azyumardi Azra menyatakan
bahwa istilah tersebut menunjukkan upaya absolutisme kekuasaan, sehingga
menunjukkan bahwa kekuasaan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah adalah
kekuasaan legal, atau bahkan kekuasaan suci yang mutlak.Dalam bahasa Arab,
kata "khilafah" merupakan kata benda verbal yang mensyaratkan adanya subjek
atau pelaku aktif yang disebut "khalifah." Oleh karena itu, kata "khilafah"
mengacu pada serangkaian tindakan yang dilakukan oleh khalifah. Jadi, tanpa
khalifah, khilafah tidak akan ada.1
Ganai mengatakan bahwa secara literal, "khilafah" berarti mengganti yang
lebih dahulu. Secara teknis, khilafah adalah lembaga pemerintahan Islam yang
berlandaskan pada Al-Qur'an dan Al-Hadits dan berfungsi untuk menegakkan ad-
din (agama) dan memajukan syari'ah. Berdasarkan pandangan ini, muncul
gagasan bahwa Islam mencakup din wa addaulah (agama dan negara).
Kata "khalifah" berasal dari akar kata "kh-l-f", yang berarti "mengganti,
mengikuti, atau datang setelah". Dua bentuk jamak dari kata ini adalah al-
Khulafa' dan khalaif. Menurut Quraisyh Shihab, setiap kata memiliki arti yang
sesuai dengan konteksnya. Misalnya, dalam QS al-Baqoroh/2: 30, Allah
menggunakan kata tunggal untuk menjelaskan pengangkatan Nabi Adam 'a.s.
sebagai khalifah, sedangkan dalam QS Shad:26, Allah menggunakan kata jamak
untuk menjelaskan pengangkatan Nabi Daud 'a.s. sebagai khalifah2.
Mereka telah menyelidiki ayat-ayat Al-Qur'an dan Sunnah Rasul Allah
SAW tentang bagaimana Islam berhubungan dengan negara. Dalam penelitian
mereka, ada dua sisi yang bertentangan. Sebagian besar ulama berpendapat
bahwa Islam memiliki ajaran yang berkaitan dengan negara. Pendapat ini
mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak hanya berfungsi sebagai Nabi
dan Rasul tetapi juga sebagai kepala negara Madinah.
Setelah Rasul Allah meninggal, Abu Bakar Siddik r.a. dan alKhulafa' al-
Rasyidin lainnya menjalankan pemerintahan dengan sistem negara khilafah.
Rasyid Ridha dan beberapa ulama al-Azhar Mesir adalah contoh orang yang
berpendapat seperti itu. Prinsip-prinsip politik Islam digunakan untuk
mendukung pendekatan sejarah tersebut. Oleh karena itu, umat Islam harus
mengikuti sistem kekhalifahan.

1
Dahrun Sajadi “Pemikiran ‘Ali‘Abd Al-Raiq Tentang Islam Dan Negara”. Ar-Risalah : Jurnal Studi Agama Dan
Pemikiran Islam Vol. 14 No. 1 (Desember 2022) hlm. 34
2
Dahru Sajadi, Loc. Cit

1
Pendapat kedua, yang diwakili oleh minoritas ulama, adalah bahwa Islam
tidak memberikan doktrin tentang kenegaraan. Selain itu, pendapat ini didukung
oleh fakta bahwa Nabi Muhammad SAW hanya berfungsi sebagai Rasul Allah
dan menyampaikan ajaran agama; dia tidak pernah menjabat sebagai kepala
negara Madinah atau mendorong pembentukan negara. Setelah Rasul Allah SAW
wafat, Abubakar r.a. dan khalifah lainnya menggantikan posisinya sebagai nabi;
mereka tidak melakukan tugas kenabian atau kerasulan, tetapi hanya memimpin
nabi dalam hal keduniaan. Selain itu, pendapat ini didasarkan pada kenyataan
bahwa ayat-ayat al-Qur'an dan Sunnah yang merinci tugas kenabian tidak
memasukkan tugas keduniaan lainnya, termasuk tugas politik. Karena itu, sistem
negara khalifah tidak didasarkan pada ajaran agama dan tidak perlu
dipertahankan. Selain itu, tidak ada hambatan untuk membentuk negara yang
memiliki sistem khilafah yang serupa. Ali Abdul Raziq (1888-1966) adalah salah
satu orang yang mencetuskan pendapat ini.3
Ulama pertama yang menentang khilafah adalah Ali "Abd al-Raziq." Ia
menetapkan batas antara wilayah al-Rasul dan al-Hakim, wilayah ruhiyyah dan
maddiyah, zu'ama' diniyyah dan zu'ama' siyasiyah, dan zu'ama' al-dakwah dan
zu'ama' al-malik, tilka li al-din wa hadzihi li al-dunya. Ketika Khilafah Turki
Utsmani runtuh pada awal abad ke-20, penentangan "Abd al-Raziq terhadap
sistem khilafah ini mendapat semangat baru. Sejarah mencatat bahwa ini adalah
kerajaan Islam terakhir di dunia yang menerapkan sistem khilafah. Setelah
keruntuhannya, Turki berubah menjadi sebuah republik.
Ali "Abd al-Raziq sangat berani dalam mempertahankan pendapatnya
tentang khilafah, terutama ketika ia menyatakan bahwa agama Islam tidak
mewajibkan mendirikan negara dengan sistem khilafah. Selain itu, dia
menyatakan bahwa tanggung jawab Rasulallah hanya bersifat ukhrowi, bukan
duniawi. Oleh karena itu, ia percaya bahwa Rasul hanyalah utusan Tuhan yang
ditugaskan untuk mengajarkan Islam kepada orang-orang yang beragama Islam.
Dia kemudian banyak dikecam dan bahkan "diblack list" oleh para "ulama" Mesir
karena pendapat dan argumennya.
Ali "Abd al-Raziq tidak hanya membuat argumen itu, tetapi dia juga
berani menafsirkan dalil-dalil al-Qur'an yang digunakan oleh sebagian besar
ulama Islam yang mendukung khilafah sebagai dasar. Salah satu contohnya
adalah frasa "ulil amri" yang ditemukan di QS al-Nisa'/4: 26. Berkiblat pada
mufassir terkemuka seperti al-Baidhawi dan al-Zamakhsyari, mereka berpendapat
bahwa yang dimaksud dengan kata "ulil amri" di dalam ayat tersebut bukan
khilafah atau imamah, tetapi lebih dari itu adalah "ulama" atau shahabat Nabi.
Selain itu, ia menolak gagasan bahwa Nabi Muhammad SAW mendirikan negara
Islam di Madinah. Jelas bahwa dia berpendapat bahwa Nabi Muhammad
hanyalah Rasul Allah yang diutus untuk menyebarkan agama Islam, bukan
sebagai kepala negara atau pemimpin politik Madinah.4
Karya Ali "Abd al-Razqi" Al-Islam wa Ushul al-Hukm menguraikan
pemikirannya tentang khilafah secara mendalam, dan banyak para "ulama" lain
menanggapinya. Ada kemungkinan bahwa sebagian besar respons yang dia
terima berasal dari ketidaksetujuan mayoritas "ulama" terhadap ide-ide dan
karyanya tersebut. Meskipun demikian, ia tidak mengakui bahwa karya tersebut

3
Ibid, hlm. 35
4
Ibid, hlm. 35

2
merupakan hasil kerja tangannya sendiri sampai akhir hayatnya. Bahkan Maryam
Jameela mengatakan bahwa karya tersebut merupakan hasil akhir dari atmosfer
yang suram, kental akan pesimisme, dan penyakit inferiority-complex (rendah
diri) yang disebabkan oleh penjajahan asing pada orang Muslim. Maka saya
mencoba menyampaikan pendapatnya tentang ketatanegaraan dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Siapa Ali Abdul Raziq?
2. Apa saja Karya Ali Abdul Raziq?
3. Apa Pemikiran Ali Abdul Razik tentang ketatanegaraan?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Siapa Ali Abdul Raziq
2. Untuk mengetahui apa saja Karya Ali Abdul Raziq
3. Untuk Mengetahui Pemikiran Ali Abdul Razik tentang ketatanegaraan

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Bografi Ali Abdul Raziq
Syekh Ali Abdul al-Raziq adalah nama lengkapnya. Dia lahir di daerah
pertanian di provinsi Menia pada tahun 1888. Ali Abdul Raziq dan keluarganya
adalah keluarga terkenal yang tinggal di as-Said, yang juga mencakup area al-
Mania. Menurut Putra (2019), keluarga Ali Abdul Raziq dianggap sebagai
keluarga feudal yang kaya. Salah satu pejabat penting di pinggiran kota adalah
Hasan Pasha, juga dikenal sebagai Abdul Raziq Pasha Sr, ayah Ali. Keluarganya
aktif dalam politik. Ayahnya terlibat dalam politik, dan pada tahun 1907 dia
menjabat sebagai wakil ketua Partai Hizbu al-Ummah. Partai al-Ashrar al-
Dusturiyah mendapat sokongan kuat dari Hizbu al-Ashrar al-Ummah setelah
revolusi 1919. Hassan Ali Abdul Raziq, saudara Syekh Ali Abdul Raziq, adalah
pendiri partai ini. Ali Abdul Raziq adalah adik kandung dari intelektual Mesir
terkenal dengan teori filsafat Islam Mustafa Abdul Raziq, yang juga belajar ilmu
agama sejak kecil. Beberapa intelektual Mesir konvensional menganggap Ali
bersama Mustafa Kemal Ataturk, yang dianggap lebih buruk dan lebih berbahaya
daripada tokoh sekuler Turki.5
Desa Kuttab adalah tempat Ali Abdul Raziq memulai pendidikannya. Ia
pergi ke luar negeri untuk belajar di Lembaga Pendidikan Al-Azhar pada usia
sepuluh tahun bersama teman Muhammad Abduh Syekh Ahmad Abu Thatwah.
Muhammad Abduh dan Syekh Abu Thatwah mewarisi pengetahuan dari guru
besar Syekh Jamaluddin alAfghani. Ia belajar di Universitas Mesir (sekarang
dikenal sebagai Universitas Kairo). Ia mengikuti kuliah di Program Studi Sastra
Arab Universitas Al-Azhar pada tahun 1910, pada usia 22 tahun. Ia juga banyak
belajar tentang sastra arab dari Profesor Santillana, seorang sejarawan dan filsuf.
Ia menerima gelar Alimiyyah dari Universitas Mesir pada tahun 1911, dan mulai
belajar di sana. Selama perjalanan intelektualnya pada tahun 1912, Ali, yang
berusia 24 tahun, memilih untuk kuliah di Universitas Oxford di Inggris dengan
fokus studi ekonomi dan politik. Selama tinggal di Inggris, ia banyak membaca
dan menekuni teori Barat, terutama teori politik, termasuk karya Thomas Hobbes
dan John Locke. Pengalaman dan pengetahuan yang dia pelajari di Eropa
mungkin sangat memengaruhi pemikirannya, terutama tentang rasionalitas
berpikir dan kebebasan berbicara, yang merupakan karakteristik dari masyarakat
Barat. Ketika dia kembali ke Mesir pada tahun 1914—tepatnya pada usia 26
tahun—dia menggunakan gagasan ini.6
Pada tahun 1915, pada usia 27 tahun, ia memulai karirnya sebagai hakim
di pengadilan agama Mesir, termasuk di wilayah Alexandria, dan sebagai menteri
wakaf Mesir. Karirnya berlanjut, Iad dipercaya untuk mengajar sejarah Islam dan
sastra Arab di Universitas Al-Azhar cabang Alexandria. Terakhir, ia mengajar
sastra Arab di Akademi Bahasa Arab. Sebagai hakim di Alexandria, ia meneliti
sejarah keadilan dan pemerintahan Islam. Pada tahun 1925, pada usia 37 tahun,
dia menerbitkan hasil penelitiannya dalam buku yang disebut Al-Islam wa Usul
al-Hukm: Bahs fi alKhilafah wa al-Hukumah fi al-Islam (Islam dan Pokok-pokok
Pemerintahan: Kajian Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam). Buku ini
5
Bara, U. A., Muliadi, M., & Rusliana, I. (2022). Studi Komparatif Pemikiran Filsafat Politik Ali Abdul Raziq dan
Rashid Rida mengenai Khilafah. Jurnal Riset Agama, 2(3), 166–181. https://doi.org/10.15575/jra.v2i3.19439
6
Ibid hlm. 169

4
memberikan informasi tentang Ali Abdul Raziq dalam bidang Siyasah Fiqh.
Saudara kandungnya, Mustafa Abdul Raziq, tinggal di Paris dan pernah menjadi
Rektor Al Azhar dari tahun 1945 hingga 1947. Apapun kehebatannya, Ali Abdul
Raziq akhirnya menjalani sisa hidupnya dengan keraguan. Ini karena dia terus
menulis ide-idenya dalam karya yang diterbitkan.
B. Karya-Karya Ali Abdul Razaq
Karya Ali Abd al-Raziq seringkali kontroversial, bahkan membuatnya dipecat
dari jabatannya. Berikut adalah beberapa karyanya:
1) Al-Islâm wa Ushûl al-Hukm: Ba‟ts fî Al-Khilâfah wa Al-Hukûmah fî AlIslâm
(Islam dan Prinsip-prinsip Pemerintahan)
Buku ini diterbitkan di Kairo pada tahun 1925. Buku ini merupakan
hasil penelitiannya tentang lembaga khalifah, yang dibukukan pada saat ia
masih menjabat sebagai hakim di Mahkamah Syariah Al-Azhar7.
Teori politik Islam tentang negara dan khilafah disajikan dalam buku
ini. Ali Abdul raziq berpendapat bahwa agama Islam harus dibebaskan dari
khilafah yang dibangun oleh kaum Muslim selama ini, serta dari kekuatan
dan kejayaan yang mereka bangun. Khilafah tidak termasuk dalam rencana
agama atau takdir tentang urusan kenegaraan. Namun, ia hanyalah rencana
politik yang tidak berhubungan dengan agama. Tidak pernah ada agama
yang mengakui, menolak, memerintahkan, atau melarang hal itu. Namun,
pengalaman, rasionalitas, dan aturan politik memungkinkan kita untuk
menentukannya. Dengan cara yang sama, pembentukan militer,
pembangunan kota, dan struktur administrasi negara tidak terkait dengan
agama. Untuk menentukan mana yang terbaik, akal sehat dan pengalaman
manusia diperlukan8.
Ali Abd al-Raziq, yang tidak percaya pada pembentukan negara Islam,
percaya bahwa Muhammad diutus ke Arab untuk meningkatkan moralitas
mereka. Tugas utama Nabi adalah mendistribusikan risalah kenabian yang
berisi pesan moral. Saat Nabi mendirikan kota Madinah, ia tidak menentukan
jenis pemerintahan yang harus digunakan, dan bahkan tidak meminta para
khalifah, penerusnya, untuk membuat sistem politik tertentu. Akibatnya, Ali
percaya bahwa keinginan sebagian orang Islam untuk membentuk dan
mendirikan negara Islam tidak dapat dipisahkan dari sejarah Nabi. Ali juga
mengatakan bahwa warna negara "Islami" hanyalah ijtihad politik para
sahabat sepeninggal Nabi.
Ali melakukan penelitian dan meyakininya, terutama setelah melihat
perbedaan dalam sistem pemilihan khalifah di antara para sahabatnya. Selain
itu, bukankah sistem khilafah Umayyah dan Abbasiyyah hanyalah pilihan
politik sebagian anggota klan tersebut? Dia menulis, "Khilafah, yang oleh
sebagian orang dianggap sebagai keharusan mutlak, ternyata merupakan
struktur sejarah yang dimulai pada masa Abu Bakar dan dimatangkan oleh
Bani Umayyah dan Abbasiyyah".

7
Muhammad iqbal, Pemikiran Politik Islam Dari masa klasik Hingga Indonesia Kontemporer , (Jakarta: Kencana,
2015) hlm. 115
8
Debri Koeswoyo, Makalah: “Pembaharuan Pemikiran Ali Abd Al Raziq Di Mesir Dan Dunia Islam” (Riau, UIN
Sunan Syarif Kasim, 2017) hlm. 6

5
Selain itu, buku Ali Abd al-Raziq menentang gagasan bahwa Islam
telah menetapkan otoritas politik atau pemerintahan tertentu, yang
membuatnya dipecat dari jabatannya sebagai hakim. Buku yang
mengandung tanggapan tegas ini sebagian besar berbicara tentang
menentang sistem khilafah. Pada saat itu, Rasyid Ridha dan rekan-rekannya
sangat bersemangat untuk mempersiapkan muktamar besar Islam di Kairo, di
mana mereka akan membahas dan mendorong masalah khilafah. Ulama juga
menanggapi buku ini dengan negatif karena momennya tidak tepat. Oleh
karena itu, menurut Munawir Sjadzali, Rasyid Ridha memainkan peran yang
signifikan dalam kampanye yang berakhir dengan ulama AlAzhar mengutuk
dan mengusir Ali Abd al-Raziq.
2) Min Atsâr Musthâfâ „Abd Al-Râziq dan Al-Ijmâ‟ fî Al-yarîah AlIslâmiya
Studi Ali Abd al-Raziq tentang kehidupan dan karya saudaranya
Musthafa Abdurraziq dikenal sebagai Min Atsâr Musthâfâ „Abd Al-Râziq,
yang diterbitkan pada tahun 1957 di Kairo, dan Al-Ijmâ‟ fî Al-yarîah Al-
Islâmiyah25 diterbitkan pada tahun 1947 di Kairo.9
Selain karya Thâhâ Husain, Fî Al-Syi‟r Al-Jâhilî, yang diterbitkan
pada tahun 1926, karya Ali Abd al-Raziq (Al-Islâm wa Ushûl al-Hukm)
dianggap melontarkan tantangan besar terhadap keabsahan Islam sebagai
sebuah agama oleh ulama dan orang-orang Muslim. Penghapusan sistem
khalifah oleh Mustafa Kemal Attaturk, pemimpin pemerintah Turki, pada
tahun 1924, adalah peristiwa yang mendorong studi Ali Abd ar-Raziq ini.10
Al-Raziq dianggap lebih buruk dan berbahaya dari Mustafa Kemal
Attaturk oleh beberapa ulama Mesir tradisional. Kedua tokoh ini hidup
bersama dan berbagi ideologi politik. Mayoritas orang Muslim menghina
kedua tokoh Islam itu. Sangat beruntung bagi Ataturk bahwa, sebagai
pemimpin negara, ia dapat menerapkan keyakinannya dengan bebas di Turki.
sementara rakyat Mesir mengecam dan menghina al-Raziq.
Banyak orang Islam merasa terancam oleh meningkatnya penetrasi
kolonial Barat, seperti Inggris dan Perancis, setelah Perang Dunia I. terutama
setelah Kesultanan Utsmaniah runtuh. Bagi kaum Muslim, keruntuhan itu
menunjukkan kelemahan politik Islam.
C. Pemikiran Ketatanegaraan Ali Abdul Razaq
Pemikiran Ali Abd al-Raziq adalah dasar dari pergeseran paradigma
dalam filsafat Islam, yang sering mengarah pada pemikiran Islam yang lebih
berorientasi pada politik dan negara. Perubahan dan pergeseran ini disebabkan
oleh pergeseran perspektif Islam dan metode yang digunakan oleh tokoh-tokoh
filsafat Islam kontemporer dari perspektif tokoh-tokoh filsafat Islam sebelumnya.
Para filsuf terdahulu sebenarnya memengaruhi dan menciptakan sebagian besar
pola pikir modern.
1. Pemikiran Ali Abdul Razaq

9
John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World , (Bandung: Mizan 2002), hlm.6
10
Albert Hourani, Pemikiran Liberal Dunia Arab, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 295

6
Buku ‘Ali ‘Abd al-Raziq berjudul Al-Islam wa Uhsul al-Hukm itu
setebal 103 halaman. Dia bagi menjadi tiga kitab. Masing-masing kitab
terdiri dari tiga bab. Dalam bagian pertama (halaman 1-38) ia uraikan
tentang definisi khilafah atau lembaga khalifah beserta ciri-ciri khususnya.
Kemudian dipertanyakan tentang dasar anggapan bahwa mendirikan
pemerintahan dengan pola khilafah itu merupakan suatu keharusan (agama),
dan akhirnya dikemukakan bahwa baik dari segi agama maupun dari segi
rasio, pola pemerintahan khilafah itu tidak perlu. Dalam bagian kedua
(halaman 39-80) ia menguraikan tentang pemerintahan dalam Islam, tentang
perbedaan antara risalah atau misi kenabian dengan pemerintahan, dan
akhirnya disimpulkan bahwa risalah kenabian itu bukan pemerintahan dan
bahwa agama itu bukan negara. Dalam bagian ketiga (halaman 81-103) ia
menguraikan tentang khilafah atau lembaga khalifah dan pemerintahan
dalam lembaga sejarah. Dalam hal ini ‘Ali ‘Abd al-Raziq berusaha
membedakan antara mana yang Islam dan mana yang Arab, serta mana yang
agama dan mana yang politik11.
Konsep ideologis utama dari 'Ali' Abd al-Raziq adalah bahwa tidak ada
hubungan antara agama dan politik (negara) secara keseluruhan. Mengenai
status Nabi Muhammad SAW hanya sebagai Utusan Allah SWT, bukan
sebagai raja atau sultan. Sebagian besar orang Islam percaya bahwa
Rasulullah SAW mendirikan negara baru di Madinah, yang disebut sebagai
"Negara Madinah".12 Mereka percaya bahwa Nabi Muhammad SAW
memiliki segalanya untuk umat Islam, termasuk menjadi pemimpin agama
dan bangsa. Namun, mereka percaya bahwa Nabi Muhammad SAW
hanyalah utusan Allah SWT untuk menyampaikan ajaran agama kepada
umat. Dia tidak bermaksud untuk mendirikan negara. Nabi Muhammad
SAW tidak memiliki kuasa, negara, atau pemerintahan duniawi. Meskipun
kerasulannya sangat penting, tugasnya adalah mendirikan "Negara Madinah".
Nabi Muhammad tidak mendirikan pemerintahan dalam arti politik atau
sejenisnya. Nabi Muhammad SAW hanyalah seorang nabi, seperti nabi-nabi
sebelumnya, yang tidak pernah meminta pengikutnya untuk mendirikan
negara atau pemerintahan. Ia juga mencontohkan Isa bin Maryam sebagai
utusan bagi orang-orang yang menganut agama Nasrani daripada sebagai
raja. Seperti yang ditunjukkan dalam Injil pasal 22, ayat 21, Yesus berkata
kepada pengikutnya bahwa mereka harus mengikuti Kaisar.13
'Ali' Abd al-Raziq menggarisbawahi pendapatnya dengan mengutip
ayat-ayat al-Qur'an, antara lain Surat al-Isra/17:54, "...jangan jadikan kamu
sebagai wali wali mereka", Surat al-Furqan/25 :56, "...kutus saja engkau
sebagai utusan dan pemberi peringatan", QS al-Syura/42:48, "...kuutuslah
engkau sebagai penjaga bagi mereka Tugasmu tak lain adalah menerbitkan
selebaran..." , dan Surat al-Ghasyiyah/88:21-22, “Maka berilah nasehat,
karena sesungguhnya kamu hanyalah seorang penasehat. . Kamu tidak
berhak atas mereka.” Setelah mengutip puluhan ayat Alquran, dia
mengklaim, dalil tersebut menunjukkan bahwa tidak ada perbuatan Nabi

11
H. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara (Jakarta: UI-Press, 1990), h,139-140.
12
Ali ‘Abd al-Raziq, Al-Islam wa Ushul al-Hukm, Mesir, 1344. H/1925 M, h.49
13
Ibid hlm. 50

7
selain menyampaikan risalah Allah SWT kepada manusia, dan tidak ada
tanggung jawab apakah dia melakukan apa yang dia katakan atau tidak. .
Tentang Khilafah. Menurut 'Ali' Abd al-Raziq, diyakini bahwa model
pemerintahan dalam Islam adalah sistem Khilafah dengan kekuasaan
tertinggi dan mutlak terletak pada kepala negara/pemerintahan bergelar
khalifah. Ia bertindak sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW dan berhak
mengatur kehidupan baik agama maupun dunia, sehingga setiap orang wajib
menaatinya.
Menurut 'Ali' Abd al-Raziq, tidak ada agama yang melarang umat
Islam bersaing dengan negara lain dalam bidang ilmu sosial maupun ilmu
politik. Umat ​ ​ Islam bebas meninggalkan sistem lama (khilafah), dan
menciptakan aturan-aturan kekuasaan (modern) dan aturan negara yang
sesuai dengan kebutuhan mereka, mengikuti pengalaman negara-negara lain
(negara-negara ini) yang berkembang di Barat).
Pemikiran 'Ali' Abd al-Raziq ini muncul pada saat umat Islam
diresahkan oleh tindakan Mustafa Kemal Atatürk (1881-1938); Presiden
Turki pertama setelah negara itu menjadi Republik menghapuskan Khilafah
(Ottoman) pada tahun 1924. Seolah-olah buku 'Ali' Abd al-Raziq yang
diterbitkan pada tahun 1925 memuji dan memperkuat penghapusan tersebut.
ulama' sebagai model negara Islam. Tokoh-tokoh seperti Muhammad
Rashid Ridha saat ini serta tokoh-tokoh al-Azhar dan “ulama” lainnya
sedang mempersiapkan Konferensi Islam Akbar (Kongres) di Kairo di
tengah ambisi untuk menghidupkan kembali sistem khilafah di dunia
Muslim. Porsi Rashid Ridha cukup besar dibandingkan 'Ali' Abd al-Raziq
yang berakhir dengan dikucilkannya dari Majelis 'Ulama'14.
Muhammad Umarah (ahli hukum Mesir) dalam bukunya yang
berjudul Al-Islam wa alUshul al-Hukm li 'Ali' Abd al-Raziq (Islam dan
prinsip-prinsip pemerintahan menurut 'Ali' Abd al-Raziq) telah menyatakan
bahwa kitab 'Ali Abd al-Raziq mendapat banyak perhatian dan kritik dari
'ulama' Mesir, ia bahkan dipaksa oleh 'ulama' Mesir bersalah menjadi kafir,
sehingga pada pertemuan dewan besar 'ulama' al-Azhar pada 12 Agustus,
Tahun 1925, dihadiri oleh 24 'ulama', orang memutuskan bahwa isi kitab
'Ali' Abd al-Raziq bertentangan dengan ajaran Islam. Sebagai hasil dari
pertemuan besar 'ulama' al-Azhar, diputuskan juga untuk memberhentikan
hakim dan melarangnya memegang jabatan pemerintahan. Pada bulan Mei
1926, para "ulama" Mesir yang dipimpin oleh rektor al-Azhar mengadakan
kongres kekhalifahan yang memutuskan, sistem kekhalifahan adalah bagian
integral dari Islam, tetapi lembaga tersebut tidak dapat dibuat hanya pada
waktu yang tepat, dan seorang khalifah akan dipilih oleh majelis perwakilan
Muslim.
'Ulama' Mesir mengalami kesulitan memojokkan 'Ali' Abd al-Raziq
dan pikirannya, tetapi dia tetap pada posisinya. Ketika peserta pertemuan
'Ulama' Mesir ditanya apakah 'Ali' Abd al-Raziq bersedia membagi agama
Islam menjadi dua bagian dan mengeluarkan hukum-hukum agama tentang
urusan dunia agama, guru atau bukan? Apakah ini berarti menghilangkan
sebagian ayat Alquran dan sunnah Nabi dari ajaran Islam? Dia menjawab,
14
H. Munawir Sjadzali, Op.Cit, Hlm. 139

8
dia tidak pernah mengatakannya, tidak ada dalam bukunya dan tidak pernah
memberikan pidato yang serupa atau mirip, dia juga mengungkapkan bahwa
Nabi Tri banyak memberikan aturan dan hukum umum tentang masalah
kehidupan dan pekerjaan orang15.
Pemikir Muslim Yahudi Margaret Marcus (Maryam Jamelah) dari
Lahore menyebut 'Ali' Abd al-Raziq seorang pemberi pengaruh Kristen.
Padahal, sejak awal, Islam dimaksudkan sebagai gerakan umat dengan
masyarakat yang bersatu di bawah kepemimpinan yang terorganisir. Pokok-
pokok ajaran Islam seperti zakat, jihad bahkan salat berjamaah serta
beberapa larangan yang tidak bisa ditegakkan tanpa kekuatan politik
merupakan dalil dan pembuktian yang tidak bisa dipungkiri. 'Ali' Abd al-
Raziq dan para pengikutnya di Barat lebih memilih Islam hanya sebagai
teologi, filosofi teoretis atau mimpi kosong yang tidak membutuhkan
pemenuhan. Setidaknya mereka berniat melemahkan komunitas muslim16.
Pemikiran 'Ali' Abd al-Razqi terus berkembang, bahkan sampai ke
Indonesia. Hal ini ditunjukkan dalam kontroversi antara Pak Natsir dan Ir.
Soekarno pada tahun 1940-an tentang penerapan syariat Islam di Indonesia.
Soekarno (Presiden pertama Republik Indonesia) sebagai seorang nasionalis,
pada tahun berpendapat bahwa agama tidak boleh didukung oleh negara dan
ia mendukung pandangan Kemal Pasja Cs bahwa pendapat 'Ali' Abd al-
Raziq tentang pemisahan urusan agama dan negara. Natsir menuding
Soekarno tidak bisa membaca buku 'Ali' Abd al-Raziq secara langsung
karena tidak bisa berbahasa Arab. Soekarno hanya membaca 4 sampai 5
baris terjemahan The Islamic Mode karya Max Mejerhof. Menurut Natsir,
tak satu baris pun dalam buku 'Ali' Abd al-Raziq setebal 103 halaman itu
bisa digunakan untuk memperkuat atau membela aksi Kemal Pasja di Turki17.
Munawir Sjadzali juga menuduh 'Ali' Abd al-Raziq tidak konsisten
dalam beberapa hal. Misalnya, mengakui Nabi bertindak sebagai kepala
negara tetapi tidak mengikuti pola dan standar tertentu. Artinya tidak ada
pemerintahan, hanya mengikuti perkembangan zaman. Kemudian, terkait
pidato Isa ibn Maryam, 'Ali' Abd al-Raziq lupa bahwa masyarakat al-Masih
saat itu diduduki oleh penguasa asing dan penganut agama yang berbeda
ambang batas. 'Ali' Abd al-Raziq juga lupa bahwa begitu seseorang masuk
Islam, semua aturan Islam yang disebut Syariah berasal dari wahyu. Untuk
menjamin penerapan aturan tersebut, pemimpin berkewajiban untuk
memaksakan aturan tersebut kepada mereka yang ingin menolaknya. Inilah
yang dilakukan Nabi..
2. Risalah Bukan Pemerintahan, Agama Bukan Negara
Pada bagian kedua buku Ali Abd al-Raziq dijelaskan tentang
pemerintahan, dan akhirnya disimpulkan bahwa risalah kenabian bukanlah
pemerintahan dan agama bukanlah negara. Dan pada bagian ketiga dan
terakhir, dijelaskan tentang khilafah atau sejarah lembaga dan pemerintahan
khalifah. Dalam kaitan ini, Ali Abd al-Raziq mencoba membedakan apa itu
15
M. Natsir, Capita Selecta, cet. Ketiga (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm 485
16
Dahrun Sajadi, op.cit, hlm. 42
17
Ibid. Hlm. 43

9
negara Arab, apa itu agama, dan apa itu politik. Untuk menemukan jawaban
ada tidaknya pemerintahan dalam Islam, Ali Abd al-Raziq menulis buku ini
(Al-Islâm wa Ushûl al-Hukm)18.
Ali Abd Al-Raziq menyajikan argumen yang agak intens dalam
pamfletnya. Sebagai hakim Syariah (hukum Islam) dan dosen di
Universitas Al-Azhar di Kairo, Ali Abd al-Raziq berpendapat bahwa Islam
tidak menetapkan bentuk pemerintahan tertentu, dan karena itu
mengizinkannya, umat Islam membentuk pemerintahan yang demokratis. .
Garis pemikiran ini telah digunakan untuk mengkritik klaim Kekhalifahan
oleh Raja Mesir setelah penghancuran Kekhalifahan Utsmaniyah pada tahun
192419.
Namun, argumen ini dibingkai secara umum, sehingga menentang
pandangan holistik tentang Islam yang mencakup baik spiritualis maupun
politisi. Ali Abd al-Raziq telah dipecat sebagai hakim dan dosen, bahkan
telah dikritik oleh modernis Islam, seperti Rashid Ridha. Di luar Mesir,
bukunya memicu perdebatan sengit di dunia Muslim dan kontroversial
hingga hari ini.
Keutamaan risalah tersebut terlihat dari risalah Nabi SAW yang
memuat berbagai topik yang tidak pernah disinggung oleh para nabi
sebelumnya karena diutus untuk menyeru. Tuhan memilihnya untuk
menyatukan umat manusia, dan Tuhan memerintahkannya untuk
memperkenalkan semua orang, dan dialah yang menyempurnakan dakwah
agama, agar tetap lembut dan konflik dihindari, dan semua agama sampai
kepada Tuhan. Tesis ini memberinya kedewasaan bawaan yang luar biasa
yang harus dicita-citakan oleh manusia. Wujud otoritas sosiologis, yang
merupakan batas dari apa yang dipilih oleh para rasul dan dukungan Tuhan
yang memadai, akan konsisten dengan dakwah yang agung dan umum ini.
Dan itu tertuang dalam hadits yang mulia: Kepada Allah. Allah tidak akan
pernah menghalang-halangimu‖" Karena tanpa bersikap arogan sebagai anak
cucu Adam, saya agungkan Tuhan saya"
Bagi Ali Abd al-Raziq, wahyu yang disampaikan kepada Nabi adalah
sebuah kekuasaan yang lebih besar dan lebih penting daripada kekuasaan
pemimpin duniawi, tetapi kekuasaan ini mempunyai watak yang sama sekali
berbeda. Menurut teori ini, berhadapan dengan rezim yang dikenal, misalnya
monarki, terdapat sebuah kekuasaan yang mempunyai kekuasaan yang
mempunyai sifat istimewa, yakni kekuasaan para Nabi yang tidak dapat
dibandingkan dengan rezim kemanusiaan apapun.Untuk tujuan ini, otoritas
Nabi Saw adalah karena adanya Risalah, suatu otoritas umum; perintah-
perintahnya kepada umat Islam dipatuhi; dan pemerintahannya bersifat
menyeluruh. Tidak ada orang yang memegang pemerintahan dapat mencapai
bahkan melampaui otoritas Nabi Saw., dan memiliki bentuk kepemimpinan
atau otoritas yang imaginer dibandingkan Rasulullah Saw. Bahkan
pemerintahan umat Islam setelahnya.

18
Albert Hourani, Pemikiran Liberal Dunia Arab, (Jakarta : Freedom Institute, 2004) hlm. 297

19
Albert Hourani, Arabic Thought in The Liberal Age (London: Oxford University Press, 1962),
hlm. 184-92

10
Jika demikian alasannya, hal itu memungkinkan bagi otoritas seorang
Rasul melampaui umatnya untuk memiliki tingkatan-tingkatan, bahwa Nabi
Muhammad juga seharusnya memiliki hak untuk menguji otoritas tertinggi
dari semua utusan-utusan Allah, memerintahkan kepatuhan yang tertinggi,
kemudian memiliki kekuatan nubuwwah dan otoritas Risalah, serta kejujuran
yang telah ditakdirkan Allah untuk ditegakkan dalam dakwah terhadap
perbuatan yang salah dan menjauhinya. Kekuatan ini datang dari surga, dari
Tuhan, yang wahyunya dikirim oleh malaikat. Kekuasaan suci ini
diperuntukkan bagi mereka yang percaya bahwa itu ditahbiskan oleh nabi,
itu tidak berarti kerajaan atau mirip dengan kekuasaan raja dan (status)
sultan pada tahun Inilah panggilan kepemimpinan yang nyata di mata Tuhan
dan penyampaian pesannya bukanlah kepemimpinan yang bersifat
pemerintahan. Ini adalah tesis dan agama dan pemerintahan kenabian, bukan
sultan.
Dengan demikian, kita menyaksikan keberadaan kesultanan yang
sangat tidak biasa, yang ingin diabaikan oleh mereka yang ingin
mengingkari bahwa nabi Allah Muhammad SAW adalah pemilik kekuasaan
politik (political authority) dan sekaligus pemerintahan politik (political
government). Satu lagi pikiran menghakimi tersisa. Pandangan ini
mengatakan bahwa Muhammad hanyalah seorang nabi Tuhan. Pada tahun ,
dia mengabdikan dirinya hanya untuk menyebarkan agama dalam arti yang
paling murni, tanpa keinginan untuk kekuasaan sementara (sementara).
Karena dia tidak pernah mengungkapkan pendapatnya tentang penunjukan
atau perintah atas nama negara bagian mana pun. Padahal, tugas kenabian
(ahad) itu sendiri menuntut nabi untuk mendapatkan keunggulan di antara
umatnya. Suatu bentuk kekuasaan atas rakyatnya dalam artian tidak
berurusan dengan seorang raja atau pendirian suatu kerajaan.
Karena tugasnya sebagai nabi untuk menyampaikan risalah agama dan
menarik orang untuk mengikutinya, dia harus memiliki kesempurnaan fisik
sampai batas tertentu, yaitu tidak boleh memiliki cacat fisik apa pun dan
benar-benar sehat, jika tidak, dia akan dijauhi orang. Selain itu, dia harus
memiliki wibawa yang membuatnya mudah bergaul dan berinteraksi dengan
orang lain.

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Terlepas dari kelemahan-kelemahan argumentasi Raziq, gagasan yang
dikembangkannya tentang khilafah merupakan kajian yang sangat menarik dan
menantang. Studi historis yang dilakukannya untuk menolak lembaga khilafah
merupakan ajakan kepada umat Islam agar tidak terlalu mengistimewakan
pandangan dan pendapat masa lalu, apalagi menjadikan sebagai bagian dari
ajaran agama. Umat Islam harus bersikap terbuka dan realistis menghadapi
kenyataan yang terjadi di dunia Islam dan mencari terobosan baru yang lebih
dapat diterima untuk konteks kekinian.
Terlepas pula dari pandangan para pengkritiknya, secara substansial ada
beberapa aspek dari pemikiran Raziq yang perlu mendapat tempat untuk
dielaborasi dan direkonstruksi untuk kepentingan studi politik Islam
kontemporer.Sekularisasi memang berbahaya bagi eksistensi sebuah agama,
terlebih Islam. Tetapi, sisi sekularisasi yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa
sekularisasi menjamin sebuah kekuasaan yang tegak di atas kepentingan agama
apapun, dan pada titik inilah pemikiran Raziq menemukan relevansinya dalam
konteks kehidupan politik yang pluralistik.
Ali Abd al-Raziq bukan tidak memiliki perasaan persatuan dan bukan
seperti yang dituduhkan sebagian orang bahwa ia ingin menerapkan gagasan
sekularisme Barat terhadap Islam. Sebagai seorang ‗alim al-Azhar yang luas
pengetahuan agamanya dan sebagai seorang intelektual yang pernah mengecap
pendidikan Barat serta berpengalaman melihat negara-negara lain selain Mesir,
alRaziq tentunya memiliki wawasan dan pertimbangan yang matang hingga ia
mengeluarkan ijtihad kontroversial itu.
Pengetahuan sejarahnya yang mendalam membuatnya merasa sangat
yakin bahwa sistem politik yang berlaku sepanjang sejarah Islam bukan cuma
satu. Ia sangat bergantung dan dipengaruhi oleh penguasa yang memegang
pemerintahan. Apa yang disebut khilafah oleh setiap penguasa memiliki makna
dan implikasi politisnya masing-masing yang berbeda antara satu khalifah
dengan lainnya.Perbedaan ini hanya bisa dipahami bahwa penerapan sistem
pemerintahan yang disebut khilafah itu berasal dari ijtihad dan pendapat yang
terbaik dari para pemegang kekuasaan dalam sistem tersebut. Karenanya, sistem
itu tidak bisa disebut sebagai sistem ―islami‖ dengan pengertian bahwa model
politik dan segala implikasinya yang diterapkan dalam kelembagaan khilafah
berasal dari Islam. Bahkan pernyataan seperti ini, menurut Abd al-Al-Raziq, bisa
sangat berbahaya. Khususnya jika sebuah khilafah berjalan tidak sesuai dengan
nilai-nilai dasar Islam, seperti despotisme dan kesewenang-wenangan yang
terjadi pada sebagian pemerintahan dinasti Umayyah, Abbasiyyah, dan
Utsmaniyyah.
Karenanya, pernyataan bahwa Islam tidak memiliki sistem politik tertentu
bagi kaum Muslim, dalam pandangan al-Raziq, menjadi positif, karena hal itu
berarti menyelamatkan Islam dari pengalaman-pengalaman politik negatif yang
terjadi sepanjang sejarah Islam. Pendapat itu sekaligus menempatkan Islam
sebagai agama agung yang memberikan ruang bagi manusia untuk berkreasi bagi
urusan dunia mereka. Ar-Raziq mengkritik sebagian ulama yang memuji khalifah

12
sebagai satu-satunya penguasa yang memiliki kekuasaan mutlak, yang suci dan
yang dianggap sebagai wakil Tuhan. Karena itu, penolakan terhadap khalifah
adalah penolakan terhadap kesucian dan perintah Allah. Padahal, perintah Islam
sendiri adalah bahwa pemimpin harus dipilih dari kalangan umat (ummah), dipuji
oleh umat, dan diwariskan kepada keturunannya oleh umat. Tidak ada yang
mengatakan bahwa pemimpin diangkat menurut ayat atau hadits Nabi. Dengan
demikian, kepercayaan dan pujian yang berlebihan kepada khalifah, seperti yang
dilakukan umat Islam di masa lalu, sesungguhnya bukanlah sikap yang
bersumber dari ajaran Islam yang murni. Tapi itu berasal dari Romawi, Persia
atau dinasti besar yang ada sebelum Islam.
B. Saran
Penulis menyadari masih banyak kekurangan didalam Menyusun bahkan
mengambil materi untuk melengkapi isi materi dari makalah ini. Oleh karena itu,
dimohon kepada para pembaca agar memberikan kritik yang membangun agar
dalam penyusunan makalah untuk kedepannya lebih baik lagi

13
DAFTAR PUSTAKA
Bara, U. A., Muliadi, M., & Rusliana, I. (2022). Studi Komparatif Pemikiran Filsafat
Politik Ali Abdul Raziq dan Rashid Rida mengenai Khilafah. Jurnal Riset Agama,
2(3), 166–181. https://doi.org/10.15575/jra.v2i3.1943
Dahrun Sajadi “Pemikiran ‘Ali‘Abd Al-Raiq Tentang Islam Dan Negara”. Ar-Risalah :
Jurnal Studi Agama Dan Pemikiran Islam Vol. 14 No. 1 (Desember 2022) hlm.
34
Debri Koeswoyo, Makalah: “Pembaharuan Pemikiran Ali Abd AlRaziq Di Mesir
Dan Dunia Islam” (Riau, UIN Sunan Syarif Kasim, 2017)
H. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara (Jakarta: UI-Press, 1990) Ali ‘Abd al-
Raziq, Al-Islam wa Ushul al-Hukm, Mesir, 1344. H/1925 M,
Hourani, Albert, Arabic Thought in The Liberal Age (London: Oxford University
Press, 1962)
Hourani, Albert, Pemikiran Liberal Dunia Arab, (Bandung: Mizan, 2004)
Hourani, Albert, Pemikiran Liberal Dunia Arab, (Jakarta : Freedom Institute, 2004)
John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World , (Bandung:
Mizan 2002)
M. Natsir, Capita Selecta, cet. Ketiga (Jakarta: Bulan Bintang, 1973)
Muhammad iqbal, Pemikiran Politik Islam Dari masa klasik Hingga Indonesia
Kontemporer , (Jakarta: Kencana, 2015)

14

Anda mungkin juga menyukai