Anda di halaman 1dari 3

Jihad Kontemporer

Shohibul Anshor Siregar

Agenda pertama jihad kontemporer adalah “perang” terhadap segenap bentuk


kejahatan, baik berupa rencana maupun tindakan, dalam penggunaan terminologi
“jihad”. Teror verbal yang berlangsung selama ini telah memaksa orang menjadi ragu
atas pakem kehidupannya sendiri, karena dengan menyimpangkan terminologi jihad
tampaknya diinginkan korban komunitas besar. Komunitas besar itu hendak
disesatkan dan dikorbankan. Mereka tidak boleh dan tidak berhak tahu mengapa
mereka disesatkan dan dikorbankan. Itu terlalu mewah untuk mereka.

Sasaran perang dalam agenda ini bisa Negara. Bisa organisasi. Bisa orang perorang. Di
antara ketiganya sering ada kerjasama jahat yang tak boleh dikritik apalagi dilawan.
Mereka mampu menukangi legitimasi untuk segala tindakan pemberangusan. Jika
Negara dapat menjadi sasaran perang jihad kontemporer, itu hanyalah karena
menurut banyak orang, Alexander L George (1991), Noam Chomsky (2002) dan lain-
lain misalnya, negara pun bisa dan lazim pula digunakan oleh para penjahat yang
mengendalikannya untuk secara aktif melakukan kejahatan teror. Teror kepada
rakyat, baik di Negara itu sendiri, maupun di Negara lain. Mengapa Negara sampai
begitu buruk? Negara memang tak lain dari komoditas perebutan belaka, di antara
para pesaing yang siap menang dan menelan orang-orang kalah. Banyak yel-yel dan
idiomatik aneh-aneh bisa digunakan untuk memaksakan justifikasi penindasan. Itu
karena penindasan itu dianggap target awal untuk penguasaan atas hal-hal lebih besar,
lebih abadi, dan keterjaminan tak terusik.

Sekian lama terminologi jihad itu sengaja disimpangkan, dan secara peyoratif
memosisikan Islam tak hanya terbelakang dan tak berbudaya, tetapi juga jahat dan
tidak berhak atas sebuah pembelaan. Melihat data kejahatan yang berawal dari motif
buruk penggunaan terminologi jihad itu, rasanya dunia sudah tidak lagi memiliki
kesempatan untuk berfikir lurus. Dunia hanya didorong memikirkan kemenangan
yang terpilah secara tidak adil di antara warna kulit, di antara pemegang keyakinan
majemuk, di antara pemegang catatan sejarah (jajahan atau penjajah). Perbenturan di
antara sesama pendambanya terus difasilitasi, dengan pemolesan isyu keadilan global
dan pernak-pernik ungkapan dan kebijakan politik yang menindas. Di sinilah keadilan
tidak perlu diperdebatkan makna dan takarannya. Karena hak prerogatif mutlak
untuk memberi interpretasi hanya bagi pemenang.

Seruan Bin Laden. “Semua kejahatan dan dosa-dosa yang dilakukan oleh Amerika
adalah deklarasi yang jelas tentang perang terhadap Allah, Rasul-Nya, dan Muslim….
Jihad adalah kewajiban individu jika musuh menghancurkan negara-negara
Muslim….Adapun pertempuran untuk memukul mundur (musuh), itu ditujukan untuk
membela kesucian dan agama, dan itu adalah tugas. . . .” Kalimat itu dikutip sebagai
pernyataan Osama bin Laden Saat Deklarasi Dunia Front Islam untuk Jihad melawan
Yahudi dan Tentara Salib, 23 Februari 1998. Dengan itu, dan terutama setelah
perontokan menara Wolrd Trade Centre 2001, terminologi jihad pun semakin
kencang melahirkan industri baru. Industri permusuhan namanya. Mereka pandai
melahirkan uang dari sana, sembari memperbesar aliran darah yang dianggap wajib
ditumpahkan tanpa harus diperdebatkan.
Kata Michael Knapp (2003), terminologi jihad berarti perjuangan di jalan Allah atau
bekerja untuk tujuan mulia dengan tekad dan kesungguhan yang tidak mesti terkait
dengan perang sama sekali. Ia membedakannya dengan perang yang dilancarkan
Kristen abad pertengahan (perang salib). Betul, kata pensiunan intelijen militer ini,
terminologi jihad bagi umat Islam telah mempertahankan konotasi agama dan militer
ke dalam zaman modern. Berkembangnya penyimpangan terminologi jihad yang
segera diikuti oleh program war on terrorism sungguh dahsyat. Miliarder George
Soros angkat bicara dan mengkritik. Istilah war on terrorism itu metafora palsu,
katanya.

Tetapi ada yang harus dicatat dari Moshe Sharon. Profesor berkebangsaan Jahudi ini
mengaku sudah puluhan tahun mempelajari Islam. Islam itu, katanya, pada dasarnya
adalah agama yang dianut oleh semua nabi sejak Adam. Semua orang besar yang
dicatat oleh sejarah, adalah muslim. Pemahaman ini ia sebut sebagai Islamisasi sejarah
sekaligus Islamisasi geografi. Muhammad yang datang kemudian hanya proses
pembebasan. Tidak ada Islamic occupation, melainkan Islamic liberation. Jadi jika ada
orang Jahudi atau Kristen menuntut sesuatu berdasarkan koneksitas dan fakta sejarah
yang mereka fahami dengan Raja Daud, Raja Sulaiman, Raja Musa dan bahkan Jesus,
pada dasarnya mereka perlu disadarkan bahwa semua yang mereka upayakan itu
adalah fakta Islam dan keislaman.

Sejak dunia ini diciptakan, kata Moshe Sharon, hanya satu agama, yakni Islam.
Tentulah muslim yang faham akan membenarkan semua itu. Islam itu sangat besar,
berupa illegal system, baik dilihat sebagai pola hidup individual, keluarga, masyarajat
maupun Negara. Islam itu agama dunia, berbeda dengan yang lain yang terkait
dengan suku-bangsa tertentu. Islam berdasarkan wahyu adalah sebuah Negara dunia,
dan semua orang adalah warga di dalam Negara Islam dunia itu.

Jihad, tidaklah sesederhana yang Anda fahami dalam koran-koran sekarang, yakni
perang suci. Jihad itu sebuah upaya sungguh-sungguh merealisasikan kehendak Allah
dengan kekuatan fisik (tangan), dengan ucapan (lisan) dan dengan hati atau jiwa.
Jihad dengan jiwa begitu besar, pengendalian diri melawan syaiton. Betul ada sisi
jihad dengan tangan, tetapi jangan menyalahkan Islam karena Anda salah memahami
makna sesungguhnya jihad itu. Jihad dengan pedang malah jenis jihad kecil dibanding
dengan jihad menaklukkan hawa nafsu (diri sendiri).

Sekarang Anda mungkin menyaksikan dan berkesimpulan Islam itu tidak dalam posisi
superioritasnya yang dicita-citakan kitab sucinya, Alqur’an. Ini tidak bisa diterima.
Sistim Islam akan tetap berusaha untuk memperjuangkan wahyu untuk
menyelamatkan dunia. Islam mungkin Anda saksikan tak berbuat apa-apa yang cukup
signifikan. Kondisi ini adalah hudna, yakni kedaruratan ketika Islam tak memungkinan
untuk melancarkan usaha dan perjuangannya mencapai cita-cita.

Penutup. Jihad kontemporer yang mengawali pelurusan pemahaman dunia akan


melandasi pekerjaan yang dengan sendirinya akan pula lebih memudahkan untuk
diselesaikan, secara lokal maupun internasional. Mengaudit kondisi keterpurukan saat
ini sangat perlu, untuk selanjutnya menggarap semua yang terabaikan. Baik dalam
kawasan masalah-masalah keumatan, masalah-masalah kebangsaan, maupun masalah
kemanusiaan internasional yang kesemuanya berawal dari pelecehan atau
pemerkosaan atas konstruk keadilan.

Bagi Moshe Sharon, sesuai dengan pengertiannya, maka sesungguhnya tidak ada
kemungkinan menghentikan jihad itu. Jihad adalah sesuatu yang melekat secara abadi
dalam Islam. Jihad itu karakter Islam. Karena itu, bukan ketakutan yang patut
dikedepankan terhadap jihad Islam. Itu tidak perlu.

Para pemimpin yang secara demografis berada di tengah komunitas Islam kerap
memoles bahasa untuk meyakinkan siapa-siapa dan kekuatan mana saja yang
dianggapnya “musuh” untuk dapat memahami bahwa jihad itu hanyalah sebuah
karakter layaknya seorang pelajar yang mengerahkan semua tenaga dan upayanya
untuk menghadapai ujian di sekolah. Itu sudah betul dalam sebuah takaran minimalis.
Tetapi ia sudah salah berharap pihak yang dianggapnya “musuh” itu akan menerima
begitu saja. Tidak mungkin.

Shohibul Anshor Siregar


Naskah ini pertamakali diterbitkan oleh Harian Waspada
Medan, Senin, 11 Januari 2016, hlm C5

Anda mungkin juga menyukai