Anda di halaman 1dari 10

HUKUM PERIKEMANUSIAAN INTERNASIONAL ( H P I )

( Internasional Humaniterian Law )


Definisi :
HPI adalah bagian dari hukum internasional yang memberikan perlindungan terhadap
anggota angkatan perang yang luka, sakit, dan tidak dapat lagi ikut dalam peperangan serta
penduduk sipil yang tidak ikut berperang. Selain itu juga mengatur metode perang.
Maksud dan tujuan adanya HPI :
Mengatur perang yang terjadi lebih manusiawi, bila perang itu tidak terhindarkan,
menentukan orang orang yang tidak ikut dalam peperangan atau tidak dapat lagi ikut dalam
peperangan hendaknya dianggap manusia biasa yang patut dihargai dan diperlakukan secara
manusiawi.
Sasaran penyerangan hanya boleh dilakukan terhadap obyek militer dan bukan obyek sipil.
HPI sangat erat kaitannya dengan Palang Merah, dimulai dengan lahirnya Konvensi Jenewa
1864 ( pertama ). Konvensi Jenewa telah dilengkapi dan diperbaiki pada tahun 1906, 1928,
1949 dan 2 protokol ditambahkan pada konvensi tersebut ditahun 1977.
4 konvensi Jenewa 1949 :
Konvensi I : Perlindungan terhadap korban angkatan perang di darat yang luka
dan sakit, petugas kesehatan serta petugas dibidang agama.
Konvensi II : Perlindungan terhadap korban angkatan perang di laut, petugas
kesehatan,
petugas agama serta kapal perang yang kandas.
Konvensi III : Perlindungan terhadap tawanan perang.
Konvensi IV : Perlindungan terhadap orang orang sipil di masa perang.
Karena ke 4 Konvensi tersebut belum mencakup perlindungan terhadap semua penderita
yang diakibatkan oleh pertikaian, maka pada tahun 1977 dikeluarkan 2 protokol :
Protokol I : diterapkan pada konflik bersenjata internasional.
Protokol II : diterapkan pada konflik non internasional.
Tiap negara di dunia ikut mengesahkan dan menyetujui konvensi tersebut. Sekarang lebih
dari 160 negara telah ikut menjadi peserta Konvensi Jenewa tahun 1942.
HPI perlu disebarluaskan :

Sesuai ketentuan, negara penandatanganan Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol I dan II
1977, mentaati dan menjamin, bahwa isi Konvensi tersebut diketahui dengan sebaik
baiknya terutama oleh angkatan perang, Dinas Kesehatan dan Rohaniawan ( golongan ini
mempunyai hak dan kewajiban dalam Konvensi Jenewa ). Masyarakat dan penduduk sipil
juga harus memahami HPI ini, agar mereka juga mengetahui hak hak serta kewajiban
dimasa pertikaian bersenjata. Kegiatan perikemanusian Palang Merah untuk menolong dan
melindungi korban perang merupakan hak dan kewajiban dibawah ketentuan Konvensi
Jenewa 1949. Kegiatan ini harus semata mata bertujuan menolong korban perang sebagai
manusia, terlepas dari pertimbangan politik atau militer. Untuk itu PMI turut menyebar
luaskan HPI, terutama untuk kalangan PMI, yang dilakukan bersama dengan penyebarluasan
prinsip prinsip Palang Merah.
Suka Komentari

a.
b.
c.

a.
b.
c.
d.

a.
b.
c.

a.
b.
c.

Muchlis Glory Glory ManUnited menyukai ini.

SEJARAH HPI
Pada awalnya ada aturan tidak tertulis berdasarkan kebiasaan yang mengatur tentang
sengketa bersenjata.
Perjanjian Bilateral (Kartel) dengan rincian aturan yang berbeda-beda mulai
diberlakukan
Tahun 1864 Konferensi Diplomatik, yang dihadiri 16 Negara
Definisi :
Hukum Perikemanusiaan Internasional membentuk sebagian besar dari Hukum Internasional
Publik dan terdiri dari peraturan yang melindungi orang yang tidak atau tidak lagi terlibat
dalam persengketaan dan membatasi alat dan cara berperang di masa sengketa bersenjata.
HPI mengatur hal-hal sebagai berikut :
Perlindungan terhadap anggota angkatan perang yang luka, sakit baik dari pihak musuh
maupun tentara dari pihak sendiri.
Perlindungan terhadap penduduk sipilkhususnya yang diduduki oleh pihak musuh.
Mengatur cara memulai perang dngan sah.
Mengatur pembatasan-pembatasan alat dan cara-cara perang sehingga tidak menjadi perang
bebas.
Tujuan HPI :
Apabila terpaksa terjadi perang maka HPI mengatur agar perang dan akibat yang ditimbulkan
lebih manusiawi. Maksudnya bahwa dalam perang ada batasan tertentu, seperti :
Sasaran perang hanya obyek militer
Obyek sipil,pemukiman penduduk dan sebagainya tidak boleh diserang
Tidak boleh / dilarang untuk menggunakan alat maupun senjata perang tertentu, seperti
senjata nuklir,biologi dan kimia.
Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949
Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 terdiri dari empat konvensi yang sebelumnya telah
mengalami beberapa kali penyempurnaan.
Keempat Konvensi tersebut adalah sebagai berikut :
Konvensi I
: Perlindungan terhadap angkatan perang di darat yang terluka dan sakit,
para dokter, perawat serta petugas di bidang agama.
Konvensi II
: Perlindungan kepada para korban,orang sakit, petugas kesehatan
dan petugas agama dari angkatan laut serta kapal perang yang kandas.
Konvensi III
: Perlindungan terhadap tawanan perang

d.

1.

2.
3.

4.

5.

6.
7.

Konvensi IV
: Perlindungan terhadap orang-orng sipil di masa perang ataupun
pendudukan.
Dalam keempat konvensi tersebut telah dicantumkan mengenai pertolongan, namun dalam
pengembangannya dilengkapi dengan ketentuan tambahan yang isinya lebih luas daripada
Konvensi Jenewa 1949, yang disebut dengan protokol tambahan yang disahkan dalam suatu
Konferensi Diplomat tanggal 8 Juni 1977, yaitu :
Protokol I
: Pertolongan diterapkan pada pertikaian bersenjata Internasional ( diikuti 157
negara )
Protokol II : Pertolongan yang diterapkan pada pertikaian bersenjata non internasional
( diikuti 150 negara )
Protokol III
: (2005) pengesahan dan pengakuan Lambang Kristal Merah sebagai
Lambang keempat dalam Gerakan.
Aturan Dasar HPI :
ICRC telah memformulasikan tujuh aturan yang mencakup inti dari Hukum Perikmanusiaan
Internasional. Aturan-aturan ini tidak memiliki kekuatan hukum seperti sebuah perangkat
hukum internasional dan tidak dimaksudkan untuk menggantikan perjanjian-perjanjian yang
berlaku.
Orang yang tidak atau tidak dapat lagi mengambil bagian dalam pertikaian patut
memproleh penghormatan atas hidupnya, atas keutuhan harga diri dan fisiknya. Dalam setiap
kondisi mreka harus dilindungi dan diperlakukan secara manusiawi, tanpa pembedaan
berdasarkan apapun.
Dilarang untuk membunuh atau melukai lawan yang menyerah atau yang tidak dapat
lagi ikut serta dalam pertempuran.
Mereka yang terluka dan yang sakit harus dikumpulkan dan dirawat oleh pihak
bertikai yang menguasai mereka. Personilmedis, sarana medis, transportasi medis dan
peralatan medis harus ilindungi. Lambang Palang Merah atau Bulan Sabit Merah di atas dasar
putih adalah tanda perlindungan atas personil dan obyek trtentu dan harus dihormati.
Kombatan dan penduduk sipil yang brada dibawah penguasaan pihak lawan berhak
memperoleh penghormatan atas hidup, harga diri,hak prribadi, keyakinan politik, agama
dan keyakinan lainnya. Mereka harus dilindungi dari segala bentuk kekrasan ataupun balas
dendam. Mereka berhak berkomunikasi dengan keluarganya serta berhak menerima bantuan.
Setiap orang berak atas jaminan peradilan dan tak seorangpun dapat dituntut untuk
bertanggungjawab atas suatu tindakan yang dilakukannya. Tidak seorangpun dapat dijadikan
sasaran penyiksaan fisik maupun mental atau hukuman badan yang kejam yang merendahkan
martabat ataupun perlakuan lainnya.
Tidak satu pun pihak bertikai maupun anggota angkatan bersenjatanya mempunyai hak
tak terbatas untukmemilih cara dan alat berperang. Dilarang untuk menggunakan alat dan
cara berperang yang berpotensi mengakibatkan penderitaan dan kerugian yang tak prlu.
Pihak bertikai harus selalu membedakan antara penduduk sipil dan kombatan dalam
rangka melindungi penduduk sipil dan hak milik mereka. Penduduk sipil baik secara
keseluruhan maupun perseorangan tidak boleh diserang.

HPI (HIMPUNAN PERIKEMANUSIAAN INTERNASIONAL)

Hukum Perikemanusiaan Internasional-I


Wira smk negeri 1 waarureja kamis, 25 april 2013
Apa yang dimaksud dengan Hukum Perikemanusiaan Internasional?
Hukum Perikemanusiaan Internasional adalah seperangkat aturan yang karena alasan
kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian bersenjata. Hukum ini
melindungi mereka yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam pertikaian dan membatasi caracara dan metode peperangan. Hukum Perikemanusiaan Internasional adalah istilah yang
digunakan oleh Palang Merah Indonesia untuk Hukum Humaniter Internasional (International
Humanitarian Law). Istilah lain dari Hukum Humaniter Internasional ini adalah Hukum
Perang (Law of War) dan Hukum Konflik Bersenjata (Law of Armed Conflict).
Darimana asal Hukum Perikemanusiaan Internasional?
Hukum Perikemanusiaan Internasional adalah bagian dari hukum internasional. Hukum
internasional adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara. Hukum internasional
dapat ditemui dalam perjanjian-perjanjian yang disepakati antara negara-negara sering
disebut traktat atau konvensi dan secara prinsip dan praktis negara menerimanya sebagai
kewajiban hukum.
Dalam sejarahnya hukum perikemanusiaan internasional dapat ditemukan dalam aturanaturan keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia. Perkembangan modern dari hukum
tersebut dimulai pada abad ke-19. Sejak itu, negara-negara telah setuju untuk menyusun
aturan-aturan praktis, berdasarkan pengalaman pahit atas peperangan modern. Hukum itu
mewakili suatu keseimbangan antara tuntutan kemanusiaan dan kebutuhan militer dari
negara-negara. Seiring dengan berkembangannya komunitas internasional sejumlah negara di
seluruh dunia telah memberikan sumbangan atas perkembangan hukum perikemanusiaan
internasional. Dewasa ini hukum perikemanusiaan internasional diakui sebagai suatu sistem
hukum yang benar-benar universal.
Kapan Hukum Perikemanusiaan Internasional berlaku?
Hukum perikemanusiaan internasional hanya berlaku pada saat terjadi pertikaian bersenjata.
Hukum tersebut tidak dapat diterapkan pada kekacauan dalam negeri seperti tindakantindakan kekerasan yang terisolasi. Hukum perikemanusiaan internasional juga tidak
mengatur apakah suatu negara dapat menggunakan kekuatan (militernya) karena hal ini diatur
oleh aturan berbeda (namun sama pentingnya) yaitu hukum internasional yang terdapat dalam
Piagam PBB. Hukum perikemanusiaan internasional hanya berlaku pada saat suatu konflik
dimulai dan berlaku sama kepada semua pihak tanpa memandang siapa yang memulai
pertikaian.
Hukum perikemanusiaan internasional membedakan antara pertikaian bersenjata
internasional dan pertikaian bersenjata internal (dalam negeri). Pertikaian bersenjata
internasional adalah pertikaian yang sedikitnya melibatkan dua negara. Pertikaian seperti itu
tunduk pada aturan yang lebih luas termasuk diatur dalam empat Konvensi Jenewa dan
Protokol Tambahan pertama. Aturan yang lebih terbatas berlaku bagi pertikaian bersenjata

internal-khususnya yang ditetapkan dalam Pasal 3 dari setiap ke-empat Konvensi Jenewa dan
Prokokol Tambahan kedua. Namun di dalam pertikaian bersenjata internal, seperti halnya
dalam pertikaian bersenjata internasional, semua pihak harus mematuhi hukum
perikemanusiaan internasional.
Adalah penting untuk membedakan antara hukum perikemanusiaan internasional dengan
hukum hak asasi manusia. Meski beberapa aturan dari keduanya ada yang sama, kedua
hukum ini telah berkembang secara terpisah dan terdapat dalam perjanjian yang berbeda.
Secara khusus hukum hak asasi manusia, tidak seperti hukum perikemanusiaan internasional,
berlaku pada masa damai dan banyak aturannya mungkin ditangguhkan selama suatu
pertikaian bersenjata berlangsung.
Hukum Perikemanusiaan Internasional mengatur hal hal sebagai berikut
-Perlindungan terhadap anggota angkatan perang yang luka, sakit baik dari pihak musuh
maupun tentara dari pihak sendiri.
-Perlindungan terhadap penduduk sipil khususnya yang diduduki oleh pihak musuh.
-Mengatur cara memulai perang dengan sah.
-Mengatur pembatasan-pembatasan alat dan cara-cara perang sehingga tidak menjadi perang
bebas.
Tujuan Hukum Perikemanusiaan Internasional
Apabila terpaksa terjadi perang maka HPI mengatur agar perang dan akibat yang ditimbulkan
lebih manusiawi. Maksudnya bahwa dalam perang ada batasan tertentu, seperti :
-Sasaran perang hanya obyek militer.
-Obyek sipil,pemukiman penduduk dan sebagainya tidak boleh diserang.
-Tidak boleh / dilarang untuk menggunakan alat maupun senjata perang tertentu, seperti
senjata nuklir,biologi dan kimia.
Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949
Terdiri dari empat konvensi yang sebelumnya telah mengalami beberapa kali
penyempurnaan. Keempat Konvensi tersebut adalah sebagai berikut :
-Konvensi I
Perlindungan terhadap angkatan perang di darat yang terluka dan sakit, para dokter, perawat
serta petugas di bidang agama.
-Konvensi II
Perlindungan kepada para korban,orang sakit, petugas kesehatan dan petugas agama dari
angkatan laut serta kapal perang yang kandas.
-Konvensi III
Perlindungan terhadap tawanan perang.
-Konvensi IV
Perlindungan terhadap orang-orng sipil di masa perang ataupun pendudukan.
Dalam keempat konvensi tersebut telah dicantumkan mengenai pertolongan, namun dalam
pengembangannya dilengkapi dengan ketentuan tambahan yang isinya lebih luas daripada
Konvensi Jenewa 1949, yang disebut dengan protokol tambahan yang disahkan dalam suatu
Konferensi Diplomat tanggal 8 Juni 1977, yaitu :
-Protokol I
Pertolongan diterapkan pada pertikaian bersenjata Internasional ( diikuti 157 negara ).
-Protokol II
Pertolongan yang diterapkan pada pertikaian bersenjata non internasional (diikuti 150
negara).

-Protokol III
(2005) pengesahan dan pengakuan Lambang Kristal Merah sebagai Lambang keempat dalam
Gerakan.
Aturan Dasar Hukum Perikemanusiaan Internasional
ICRC telah memformulasikan tujuh aturan yang mencakup inti dari Hukum Perikmanusiaan
Internasional. Aturan-aturan ini tidak memiliki kekuatan hukum seperti sebuah perangkat
hukum internasional dan tidak dimaksudkan untuk menggantikan perjanjian-perjanjian yang
berlaku.
1. Orang yang tidak atau tidak dapat lagi mengambil bagian dalam pertikaian patut
memperoleh penghormatan atas hidupnya, atas keutuhan harga diri dan fisiknya.
Dalam setiap kondisi mereka harus dilindungi dan diperlakukan secara manusiawi,
tanpa pembedaan berdasarkan apapun.
2. Dilarang untuk membunuh atau melukai lawan yang menyerah atau yang tidak dapat
lagi ikut serta dalam pertempuran.
3. Mereka yang terluka dan yang sakit harus dikumpulkan dan dirawat oleh pihak
bertikai yang menguasai mereka. Personil medis, sarana medis, transportasi medis dan
peralatan medis harus lindungi. Lambang Palang Merah atau Bulan Sabit Merah di
atas dasar putih adalah tanda perlindungan atas personil dan obyek tertentu dan harus
dihormati.
4. Kombatan dan penduduk sipil yang berada dibawah penguasaan pihak lawan berhak
memperoleh penghormatan atas hidup, harga diri, hak pribadi, keyakinan politik,
agama dan keyakinan lainnya. Mereka harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan
ataupun balas dendam. Mereka berhak berkomunikasi dengan keluarganya serta
berhak menerima bantuan.
5. Setiap orang berhak atas jaminan peradilan dan tak seorangpun dapat dituntut untuk
bertanggungjawab atas suatu tindakan yang dilakukannya. Tidak seorangpun dapat
dijadikan sasaran penyiksaan fisik maupun mental atau hukuman badan yang kejam
yang merendahkan martabat ataupun perlakuan lainnya.
6. Tidak satu pun pihak bertikai maupun anggota angkatan bersenjatanya mempunyai
hak tak terbatas untuk memilih cara dan alat berperang. Dilarang untuk menggunakan
alat dan cara berperang yang berpotensi mengakibatkan penderitaan dan kerugian
yang tak perlu.
7. Pihak bertikai harus selalu membedakan antara penduduk sipil dan kombatan dalam
rangka melindungi penduduk sipil dan hak milik mereka. Penduduk sipil baik secara
keseluruhan maupun perseorangan tidak boleh diserang. Penyerangan hanya boleh
dilakukan semata-mata kepada obyek militer.

Asas-asas Hukum Humaniter Internasional


In Introduction to IHL on November 15, 2008 at 6:43 pm

Oleh : Arlina Permanasari


Hukum Humaniter atau dikenal juga dengan nama Hukum Perang atau Hukum Sengketa
Bersenjata, mengandung asas-asas pokok yaitu asas kepentingan militer (military
necessity), asas perikemanusiaan (humanity) dan asas kesatriaan (chivalry). Ketiga asas
ini selalu melandasi aturan-aturan yang terdapat di dalam hukum humaniter.
Seorang ahli bernama Kunz menyatakan bahwa laws of war, to be accepted and to be
applied in practice, must strike the connect balance between, on the one hand, the principle
of humanity and chivalry; and the other hand, military interest.[1]
Jadi, walaupun Hukum Humaniter mengatur peperangan itu sendiri akan tetapi
pengaturannya tidak dapat hanya semata-mata mengakomodir asas kepentingan militer dari
pihak yang bersengketa saja, melainkan pula harus mempertimbangkan ke dua asas lainnya.
Demikian pula sebaliknya, aturan-aturan Hukum Perang tidak mungkin hanya
mempertimbangkan aspek kemanusiaan dari peperangan itu tanpa mempedulikan aspekaspek operasi militer. Tanpa adanya keseimbangan dari ke tiga asas-asas ini, maka mustahil
akan terbentuk aturan-aturan mengenai Hukum Perang.
Berikut ini akan dijelaskan masing-masing asas tersebut :
A. Asas Kepentingan Militer (Military Necessity)
Asas ini mengandung arti bahwa suatu pihak yang bersengketa (belligerent) mempunyai hak
untuk melakukan setiap tindakan yang dapat mengakibatkan keberhasilan suatu operasi
militer, namun sekaligus tidak melanggar hukum perang.[2]
Asas kepentingan militer ini dalam pelaksanaannya sering pula dijabarkan dengan adanya
penerapan prinsip pembatasan (limitation principle) dan prinsip proporsionalitas
(proportionally principle).
a. Prinsip Pembatasan (Limitation Principle)
Prinsip pembatasan adalah suatu prinsip yang menghendaki adanya pembatasan
terhadap sarana atau alat serta cara atau metode berperang yang dilakukan oleh pihak yang
bersengketa, seperti adanya larangan penggunaan racun atau senjata beracun, larangan
adanya penggunaan peluru dum-dum, atau larangan menggunakan suatu proyektil yang dapat
menyebabkan luka-luka yang berlebihan (superfluous injury) dan penderitaan yang tidak
perlu (unnecessary suffering); dan lain-lain.

Pada ilustrasi di samping, penggunaan tank untuk menghancurkan sasaran militer


diperbolehkan, karena merupakan senjata yang biasa dipakai atau senjata konvensional;
sedangkan penggunaan racun, senjata beracun (kimia) pada latar belakang gambar [termasuk
senjata biologi atau nuklir (senjata non-konvensional)] tidak dapat dibenarkan karena sifatnya
yang dapat mengakibatkan kemusnahan secara massal tanpa dapat membedakan antara objek
sipil dan sasaran militer.
b. Prinsip Proporsionalitas (Proportionality Principle)
Adapun prinsip proporsionalitas menyatakan bahwa kerusakan yang akan diderita
oleh penduduk sipil atau objek-objek sipil harus proporsional sifatnya dan tidak berlebihan
dalam kaitan dengan diperolehnya keuntungan militer yang nyata dan langsung yang dapat
diperkirakan akibat dilakukannya serangan terhadap sasaran militer. Perlu ditegaskan bahwa
maksud proporsional di sini BUKAN berarti keseimbangan.
Ilustrasi di samping dapat menggambarkan prinsip ini, di mana untuk mengancurkan dua
orang musuh yang membawa senapan mesin, maka tidak perlu dikerahkan satu divisi kavaleri
berupa tank-tank, karena hal tersebut tidak hanya dapat mematikan ke dua musuh tersebut,
namun sekaligus juga dapat menghancurkan penduduk sipil dan objek-objek sipil di
sekitarnya.
Prinsip pembatasan dicantumkan di dalam Pasal 22 dan 23 Hague Regulations (Lampiran
dari Konvensi Den Haag IV, 1907, atau Regulasi Den Haag), yang berbunyi the rights of
belligerents to adopt means of injuring the enemy is not unlimited atau hak dari Belligerents
dalam menggunakan alat untuk melukai musuh adalah tidak tak terbatas (jadi maksudnya
=terbatas). Adapun batasan-batasan tersebut, termasuk ke dalamnya penjabaran prinsip
proporsionalitas, dicantumkan lebih lanjut secara rinci di dalam Pasal 23.
B. Asas Kemanusiaan (Humanity)
Berdasarkan asas ini, maka pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan asasasas kemanusiaan, di mana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat
menimbulkan luka-luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu, [3] sebagaimana
tercantum di dalam Pasal 23 ayat(e).
Berperang memerlukan persenjataan, itu sudah pasti. Yang menjadi masalah adalah
bagaimana menggunakannya secara manusiawi. Pasti mungkin kita akan protes, bagaimana
bisa?? Penggunaan senjata sudah pasti tidak manusiawi, senjata sudah tentu menimbulkan
luka dan menyebabkan kematian. Lantas, apa yang dimaksud dengan Pasal ini?
Nah, itu tiada lain disebabkan adanya asas kemanusiaan (humanity) yang menjadi landasan
pembentukan ketentuan tersebut. Memang dalam peperangan, keterpaksaan untuk melakukan
melukai musuh atau melakukan pembunuhan menjadi sesuatu yang SAH secara hukum

apabila dilakukan oleh orang yang berhak untuk ikut serta dalam pertempuran (yakni
kombatan) dan ditujukan kepada suatu sasaran yang memang merupakan sasaran militer
(military objectives). Jika seorang prajurit dalam peperangan membunuh tentara musuh di
medan pertempuran dengan M-16, maka itu adalah hal yang biasa. Akan tetapi, jika ia
memakai M-16 berisi peluru yang dikikir ujungnya, maka cara tersebut akan dianggap
sebagai pelanggaran Hukum Perang. Mengapa? bukankah musuhnya toh mati juga? (baca :
korban tidak akan merasakan bedanya ditembak dengan peluru yang dikikir/tidak dikikir).

(1) contoh peluru dumdum


Nah, disinilah letak perlunya asas kemanusiaan di dalam melakukan metode berperang, yaitu
tetap memperlakukan manusia secara manusiawi baik ketika peperangan berlangsung, dan
bahkan setelah suatu pihak menjadi korban. Perlu ditegaskan bahwa penggunaan peluru yang
dikikir ujungnya, akan menimbulkan efek melebar di dalam tubuh sehingga
mengakibatkan luka sobekan yang tidak beraturan dan mengakibatkan hancurnya jaringan
tubuh manusia. Peluru yang demikian

(2) Peluru biasa & peluru dumdum


disebut pula peluru dum-dum (dum-dum bullets; karena diproduksi pertama kali di kota
Dumdum, dekat Kalkuta, India), atau peluru yang memiliki efek mengembang dalam tubuh
(expanding bullets), sehingga Hukum Humaniter sudah melarang penggunaan peluru jenis ini
dalam Deklarasi III tahun 1809. Itulah sebabnya, Regulasi Den Haag melarang penggunaan
alat dan cara berperang yang dapat menimbulkan luka-luka yang berlebihan dan
penderitaan yang tidak perlu. Jika membunuh dengan peluru biasa dapat mengakibatkan
kematian seorang musuh; maka mengapa pula harus mengkikirnya sehingga jasad korban
menjadi hancur dan tidak dapat dikenali? Itulah penderitaan yang tidak perlu
(Insya Allah akan disampaikan pula penjelasan mengenai expanding bullet / dum-dum
bullet pada kategori lainnya).
C. Asas Ksatriaan (Chivalry)
Asas ini mengandung arti bahwa di dalam suatu peperangan, kejujuran harus diutamakan.
Penggunaan alat-alat yang ilegal atau bertentangan dengan Hukum Humaniter serta cara-cara
berperang yang bersifat khianat dilarang.[4]
Asas kesatriaan tergambar di dalam hampir semua ketentuan Hukum Humaniter. Sebagai
contoh, mari kita lihat Konvensi Den Haag III (1907) mengenai permulaan perang (the
commencement of hostilities). Berdasarkan Pasal 1 Konvensi III ini, ditentukan bahwa

peperangan tidak akan dimulai tanpa adanya suatu peringatan yang jelas sebelumnya
(previous and explicit warning), baik dalam bentuk pernyataan perang (declaration of war)
beserta alasannya, atau suatu ultimatum perang yang bersyarat (ultimatum with conditional
declaration of war).
Nah, tentu secara logika aturan ini rasanya tidak masuk akal. Bukankah kelihatannya suatu
pihak dapat memenangkan peperangan jika ia menyerang secara diam-diam ketika pihak
musuh lengah atau secara mendadak tanpa pemberitahuan lebih dahulu? Namun pada
kenyataannya, aturan Hukum Humaniter justru menentukan sebaliknya. Hal ini tidak lain
adalah refleksi dari asas kesatriaan yang tercermin di dalam Konvensi Den Haag III.
Contoh lain dapat dilihat pada ketentuan Pasal 23 Lampiran Konvensi Den Haag IV yang
disebut juga Regulasi Den Haag (Hague Regulations). Kita ambil salah satu contoh saja,
yaitu Pasal 23 ayat(c) yang menetapkan bahwa seorang kombatan dari pihak negara yang
bersengketa dilarang membunuh atau melukai musuh yang telah menyerah, atau yang tidak
mampu melakukan perlawanan lagi.
Ketentuan ayat di atas, jika diperhatikan selintas, juga rasanya tidak masuk akal. Bukankah
lebih mudah untuk memenangkan pertempuran jika pihak musuh dibunuh, dilukai atau dibuat
tidak berdaya selagi ia menyerah atau tak mampu lagi bertempur? Namun, ternyata aturan
Hukum Humaniter menentukan sebaliknya.
Oleh karena itu, seandainya saja tidak diterapkan asas kesatriaan dalam pembentukan
ketentuan-ketentuan Hukum Humaniter, maka sudah hampir pasti peperangan akan
berlangsung dengan sangat brutal dan keji. Jika sudah ada aturannya saja perang masih
menyisakan kekejian, maka bagaimanakah pula jadinya jika perang berlangsung tanpa
aturan?
Sumber :
[1]Kunz, Joseph, The Changing Law of National, 1968, hal 873, sebagaimana dikutip dalam
Haryomataram, Hukum Humaniter, Rajawali, Jakarta, 1984, hal. 34.
[2]Dictionary of Military and Associated Terms, US Department of Defence, 2005, dapat
diakses pada http://usmilitary.about.com/od/glossarytermsm/g/m3987.htm
[3]Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999, hal. 11.
[4] Ibid.

Anda mungkin juga menyukai