Sesuai ketentuan, negara penandatanganan Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol I dan II
1977, mentaati dan menjamin, bahwa isi Konvensi tersebut diketahui dengan sebaik
baiknya terutama oleh angkatan perang, Dinas Kesehatan dan Rohaniawan ( golongan ini
mempunyai hak dan kewajiban dalam Konvensi Jenewa ). Masyarakat dan penduduk sipil
juga harus memahami HPI ini, agar mereka juga mengetahui hak hak serta kewajiban
dimasa pertikaian bersenjata. Kegiatan perikemanusian Palang Merah untuk menolong dan
melindungi korban perang merupakan hak dan kewajiban dibawah ketentuan Konvensi
Jenewa 1949. Kegiatan ini harus semata mata bertujuan menolong korban perang sebagai
manusia, terlepas dari pertimbangan politik atau militer. Untuk itu PMI turut menyebar
luaskan HPI, terutama untuk kalangan PMI, yang dilakukan bersama dengan penyebarluasan
prinsip prinsip Palang Merah.
Suka Komentari
a.
b.
c.
a.
b.
c.
d.
a.
b.
c.
a.
b.
c.
SEJARAH HPI
Pada awalnya ada aturan tidak tertulis berdasarkan kebiasaan yang mengatur tentang
sengketa bersenjata.
Perjanjian Bilateral (Kartel) dengan rincian aturan yang berbeda-beda mulai
diberlakukan
Tahun 1864 Konferensi Diplomatik, yang dihadiri 16 Negara
Definisi :
Hukum Perikemanusiaan Internasional membentuk sebagian besar dari Hukum Internasional
Publik dan terdiri dari peraturan yang melindungi orang yang tidak atau tidak lagi terlibat
dalam persengketaan dan membatasi alat dan cara berperang di masa sengketa bersenjata.
HPI mengatur hal-hal sebagai berikut :
Perlindungan terhadap anggota angkatan perang yang luka, sakit baik dari pihak musuh
maupun tentara dari pihak sendiri.
Perlindungan terhadap penduduk sipilkhususnya yang diduduki oleh pihak musuh.
Mengatur cara memulai perang dngan sah.
Mengatur pembatasan-pembatasan alat dan cara-cara perang sehingga tidak menjadi perang
bebas.
Tujuan HPI :
Apabila terpaksa terjadi perang maka HPI mengatur agar perang dan akibat yang ditimbulkan
lebih manusiawi. Maksudnya bahwa dalam perang ada batasan tertentu, seperti :
Sasaran perang hanya obyek militer
Obyek sipil,pemukiman penduduk dan sebagainya tidak boleh diserang
Tidak boleh / dilarang untuk menggunakan alat maupun senjata perang tertentu, seperti
senjata nuklir,biologi dan kimia.
Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949
Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 terdiri dari empat konvensi yang sebelumnya telah
mengalami beberapa kali penyempurnaan.
Keempat Konvensi tersebut adalah sebagai berikut :
Konvensi I
: Perlindungan terhadap angkatan perang di darat yang terluka dan sakit,
para dokter, perawat serta petugas di bidang agama.
Konvensi II
: Perlindungan kepada para korban,orang sakit, petugas kesehatan
dan petugas agama dari angkatan laut serta kapal perang yang kandas.
Konvensi III
: Perlindungan terhadap tawanan perang
d.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Konvensi IV
: Perlindungan terhadap orang-orng sipil di masa perang ataupun
pendudukan.
Dalam keempat konvensi tersebut telah dicantumkan mengenai pertolongan, namun dalam
pengembangannya dilengkapi dengan ketentuan tambahan yang isinya lebih luas daripada
Konvensi Jenewa 1949, yang disebut dengan protokol tambahan yang disahkan dalam suatu
Konferensi Diplomat tanggal 8 Juni 1977, yaitu :
Protokol I
: Pertolongan diterapkan pada pertikaian bersenjata Internasional ( diikuti 157
negara )
Protokol II : Pertolongan yang diterapkan pada pertikaian bersenjata non internasional
( diikuti 150 negara )
Protokol III
: (2005) pengesahan dan pengakuan Lambang Kristal Merah sebagai
Lambang keempat dalam Gerakan.
Aturan Dasar HPI :
ICRC telah memformulasikan tujuh aturan yang mencakup inti dari Hukum Perikmanusiaan
Internasional. Aturan-aturan ini tidak memiliki kekuatan hukum seperti sebuah perangkat
hukum internasional dan tidak dimaksudkan untuk menggantikan perjanjian-perjanjian yang
berlaku.
Orang yang tidak atau tidak dapat lagi mengambil bagian dalam pertikaian patut
memproleh penghormatan atas hidupnya, atas keutuhan harga diri dan fisiknya. Dalam setiap
kondisi mreka harus dilindungi dan diperlakukan secara manusiawi, tanpa pembedaan
berdasarkan apapun.
Dilarang untuk membunuh atau melukai lawan yang menyerah atau yang tidak dapat
lagi ikut serta dalam pertempuran.
Mereka yang terluka dan yang sakit harus dikumpulkan dan dirawat oleh pihak
bertikai yang menguasai mereka. Personilmedis, sarana medis, transportasi medis dan
peralatan medis harus ilindungi. Lambang Palang Merah atau Bulan Sabit Merah di atas dasar
putih adalah tanda perlindungan atas personil dan obyek trtentu dan harus dihormati.
Kombatan dan penduduk sipil yang brada dibawah penguasaan pihak lawan berhak
memperoleh penghormatan atas hidup, harga diri,hak prribadi, keyakinan politik, agama
dan keyakinan lainnya. Mereka harus dilindungi dari segala bentuk kekrasan ataupun balas
dendam. Mereka berhak berkomunikasi dengan keluarganya serta berhak menerima bantuan.
Setiap orang berak atas jaminan peradilan dan tak seorangpun dapat dituntut untuk
bertanggungjawab atas suatu tindakan yang dilakukannya. Tidak seorangpun dapat dijadikan
sasaran penyiksaan fisik maupun mental atau hukuman badan yang kejam yang merendahkan
martabat ataupun perlakuan lainnya.
Tidak satu pun pihak bertikai maupun anggota angkatan bersenjatanya mempunyai hak
tak terbatas untukmemilih cara dan alat berperang. Dilarang untuk menggunakan alat dan
cara berperang yang berpotensi mengakibatkan penderitaan dan kerugian yang tak prlu.
Pihak bertikai harus selalu membedakan antara penduduk sipil dan kombatan dalam
rangka melindungi penduduk sipil dan hak milik mereka. Penduduk sipil baik secara
keseluruhan maupun perseorangan tidak boleh diserang.
internal-khususnya yang ditetapkan dalam Pasal 3 dari setiap ke-empat Konvensi Jenewa dan
Prokokol Tambahan kedua. Namun di dalam pertikaian bersenjata internal, seperti halnya
dalam pertikaian bersenjata internasional, semua pihak harus mematuhi hukum
perikemanusiaan internasional.
Adalah penting untuk membedakan antara hukum perikemanusiaan internasional dengan
hukum hak asasi manusia. Meski beberapa aturan dari keduanya ada yang sama, kedua
hukum ini telah berkembang secara terpisah dan terdapat dalam perjanjian yang berbeda.
Secara khusus hukum hak asasi manusia, tidak seperti hukum perikemanusiaan internasional,
berlaku pada masa damai dan banyak aturannya mungkin ditangguhkan selama suatu
pertikaian bersenjata berlangsung.
Hukum Perikemanusiaan Internasional mengatur hal hal sebagai berikut
-Perlindungan terhadap anggota angkatan perang yang luka, sakit baik dari pihak musuh
maupun tentara dari pihak sendiri.
-Perlindungan terhadap penduduk sipil khususnya yang diduduki oleh pihak musuh.
-Mengatur cara memulai perang dengan sah.
-Mengatur pembatasan-pembatasan alat dan cara-cara perang sehingga tidak menjadi perang
bebas.
Tujuan Hukum Perikemanusiaan Internasional
Apabila terpaksa terjadi perang maka HPI mengatur agar perang dan akibat yang ditimbulkan
lebih manusiawi. Maksudnya bahwa dalam perang ada batasan tertentu, seperti :
-Sasaran perang hanya obyek militer.
-Obyek sipil,pemukiman penduduk dan sebagainya tidak boleh diserang.
-Tidak boleh / dilarang untuk menggunakan alat maupun senjata perang tertentu, seperti
senjata nuklir,biologi dan kimia.
Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949
Terdiri dari empat konvensi yang sebelumnya telah mengalami beberapa kali
penyempurnaan. Keempat Konvensi tersebut adalah sebagai berikut :
-Konvensi I
Perlindungan terhadap angkatan perang di darat yang terluka dan sakit, para dokter, perawat
serta petugas di bidang agama.
-Konvensi II
Perlindungan kepada para korban,orang sakit, petugas kesehatan dan petugas agama dari
angkatan laut serta kapal perang yang kandas.
-Konvensi III
Perlindungan terhadap tawanan perang.
-Konvensi IV
Perlindungan terhadap orang-orng sipil di masa perang ataupun pendudukan.
Dalam keempat konvensi tersebut telah dicantumkan mengenai pertolongan, namun dalam
pengembangannya dilengkapi dengan ketentuan tambahan yang isinya lebih luas daripada
Konvensi Jenewa 1949, yang disebut dengan protokol tambahan yang disahkan dalam suatu
Konferensi Diplomat tanggal 8 Juni 1977, yaitu :
-Protokol I
Pertolongan diterapkan pada pertikaian bersenjata Internasional ( diikuti 157 negara ).
-Protokol II
Pertolongan yang diterapkan pada pertikaian bersenjata non internasional (diikuti 150
negara).
-Protokol III
(2005) pengesahan dan pengakuan Lambang Kristal Merah sebagai Lambang keempat dalam
Gerakan.
Aturan Dasar Hukum Perikemanusiaan Internasional
ICRC telah memformulasikan tujuh aturan yang mencakup inti dari Hukum Perikmanusiaan
Internasional. Aturan-aturan ini tidak memiliki kekuatan hukum seperti sebuah perangkat
hukum internasional dan tidak dimaksudkan untuk menggantikan perjanjian-perjanjian yang
berlaku.
1. Orang yang tidak atau tidak dapat lagi mengambil bagian dalam pertikaian patut
memperoleh penghormatan atas hidupnya, atas keutuhan harga diri dan fisiknya.
Dalam setiap kondisi mereka harus dilindungi dan diperlakukan secara manusiawi,
tanpa pembedaan berdasarkan apapun.
2. Dilarang untuk membunuh atau melukai lawan yang menyerah atau yang tidak dapat
lagi ikut serta dalam pertempuran.
3. Mereka yang terluka dan yang sakit harus dikumpulkan dan dirawat oleh pihak
bertikai yang menguasai mereka. Personil medis, sarana medis, transportasi medis dan
peralatan medis harus lindungi. Lambang Palang Merah atau Bulan Sabit Merah di
atas dasar putih adalah tanda perlindungan atas personil dan obyek tertentu dan harus
dihormati.
4. Kombatan dan penduduk sipil yang berada dibawah penguasaan pihak lawan berhak
memperoleh penghormatan atas hidup, harga diri, hak pribadi, keyakinan politik,
agama dan keyakinan lainnya. Mereka harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan
ataupun balas dendam. Mereka berhak berkomunikasi dengan keluarganya serta
berhak menerima bantuan.
5. Setiap orang berhak atas jaminan peradilan dan tak seorangpun dapat dituntut untuk
bertanggungjawab atas suatu tindakan yang dilakukannya. Tidak seorangpun dapat
dijadikan sasaran penyiksaan fisik maupun mental atau hukuman badan yang kejam
yang merendahkan martabat ataupun perlakuan lainnya.
6. Tidak satu pun pihak bertikai maupun anggota angkatan bersenjatanya mempunyai
hak tak terbatas untuk memilih cara dan alat berperang. Dilarang untuk menggunakan
alat dan cara berperang yang berpotensi mengakibatkan penderitaan dan kerugian
yang tak perlu.
7. Pihak bertikai harus selalu membedakan antara penduduk sipil dan kombatan dalam
rangka melindungi penduduk sipil dan hak milik mereka. Penduduk sipil baik secara
keseluruhan maupun perseorangan tidak boleh diserang. Penyerangan hanya boleh
dilakukan semata-mata kepada obyek militer.
apabila dilakukan oleh orang yang berhak untuk ikut serta dalam pertempuran (yakni
kombatan) dan ditujukan kepada suatu sasaran yang memang merupakan sasaran militer
(military objectives). Jika seorang prajurit dalam peperangan membunuh tentara musuh di
medan pertempuran dengan M-16, maka itu adalah hal yang biasa. Akan tetapi, jika ia
memakai M-16 berisi peluru yang dikikir ujungnya, maka cara tersebut akan dianggap
sebagai pelanggaran Hukum Perang. Mengapa? bukankah musuhnya toh mati juga? (baca :
korban tidak akan merasakan bedanya ditembak dengan peluru yang dikikir/tidak dikikir).
peperangan tidak akan dimulai tanpa adanya suatu peringatan yang jelas sebelumnya
(previous and explicit warning), baik dalam bentuk pernyataan perang (declaration of war)
beserta alasannya, atau suatu ultimatum perang yang bersyarat (ultimatum with conditional
declaration of war).
Nah, tentu secara logika aturan ini rasanya tidak masuk akal. Bukankah kelihatannya suatu
pihak dapat memenangkan peperangan jika ia menyerang secara diam-diam ketika pihak
musuh lengah atau secara mendadak tanpa pemberitahuan lebih dahulu? Namun pada
kenyataannya, aturan Hukum Humaniter justru menentukan sebaliknya. Hal ini tidak lain
adalah refleksi dari asas kesatriaan yang tercermin di dalam Konvensi Den Haag III.
Contoh lain dapat dilihat pada ketentuan Pasal 23 Lampiran Konvensi Den Haag IV yang
disebut juga Regulasi Den Haag (Hague Regulations). Kita ambil salah satu contoh saja,
yaitu Pasal 23 ayat(c) yang menetapkan bahwa seorang kombatan dari pihak negara yang
bersengketa dilarang membunuh atau melukai musuh yang telah menyerah, atau yang tidak
mampu melakukan perlawanan lagi.
Ketentuan ayat di atas, jika diperhatikan selintas, juga rasanya tidak masuk akal. Bukankah
lebih mudah untuk memenangkan pertempuran jika pihak musuh dibunuh, dilukai atau dibuat
tidak berdaya selagi ia menyerah atau tak mampu lagi bertempur? Namun, ternyata aturan
Hukum Humaniter menentukan sebaliknya.
Oleh karena itu, seandainya saja tidak diterapkan asas kesatriaan dalam pembentukan
ketentuan-ketentuan Hukum Humaniter, maka sudah hampir pasti peperangan akan
berlangsung dengan sangat brutal dan keji. Jika sudah ada aturannya saja perang masih
menyisakan kekejian, maka bagaimanakah pula jadinya jika perang berlangsung tanpa
aturan?
Sumber :
[1]Kunz, Joseph, The Changing Law of National, 1968, hal 873, sebagaimana dikutip dalam
Haryomataram, Hukum Humaniter, Rajawali, Jakarta, 1984, hal. 34.
[2]Dictionary of Military and Associated Terms, US Department of Defence, 2005, dapat
diakses pada http://usmilitary.about.com/od/glossarytermsm/g/m3987.htm
[3]Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999, hal. 11.
[4] Ibid.