Anda di halaman 1dari 9

Hukum Humaniter Internasional (HHI)

Atau Hukum Perikemanusiaan Internasional (HPI)

Hukum Perikemanusiaan Internasional adalah sebuah cabang dari perlindungan bagi


korban perang dan mengenai pembatasan atas alat (sarana) dan metode (cara) bertempur
dalamn  sengketa bersenjata internasional ataupun non internasional. HPI dikenal pula
dengan beberapa nama lain, yaitu Hukum Perang (the Law of War), Hukum Sengketa
Bersenjata (the Law of Armed Conflict), atau Hukum Humaniter Internasional (International
Humanitarian Law).

Tujuan HPI:

1. Memberikan perlindungan kepada mereka yang tidak terlibat, atau tidak lagi terlibat,
dalam pertempuran, yaitu penduduk sipil, tentara yang menjadi korban luka, sakit,
korban kapal karam, dan tawanan perang
2. Mengatur penggunaan alat dan cara bertempur, dan
3. Membatasi serta meringankan penderitaan yang diakibatkan oleh perang

Latar belakang HPI berkaitan erat dengan sejarah Gerakan Palang Merah dan Bulan
Sabit Merah Internasional. Ide yang dituangkan oleh Jean Henry Dunant dalam bukunya
“Kenangan dari Solferino” melahirkan sebuah komite yang kemudian dikenal dengan nama
Komite Internasional Palang Merah (The International Committee of the Red Cross and Red
Crescent atau ICRC).

Atas prakarsa komite tersebut, Pemerintah Swiss mengadakan konferensi diplomatik pada
tahun 1864 di Jenewa. Konferensi ini melahirkan perjanjian internasional yang dikenal
dengan nama Konvensi Jenewa 1864. Konvensi yang pada waktu itu mengikat 12 negara
tersebut berisi sejumlah ketentuan tentang pemberian bantuan kepada anggota bersenjata
yang terluka atau sakit tanpa membeda-bedakan mereka berdasarkan kebangsaan.

Konvensi-Konvensi Jenewa 1949

 Konvensi Jenewa I : tentang perbaikan keadaan anggota angkatan perang yang terluka
dan sakit di medan pertempuran darat
 Konvensi Jenewa II : tentang perbaikan keadaan anggota angkatan perang di laut yang
terluka, sakit dan korban kapal karam
 Konvensi Jenewa III : tentang perlakuan terhadap tawanan perang
 Konvensi Jenewa IV : tentang perlindungan orang-orang sipil di waktu perang

Protokol-Protokol Tambahan 1977


 Protokol Tambahan I : perlindungan korban sengketa bersenjata internasional
 Protokol Tambahan II : perlindungan korban sengketa bersenjata non-internasional

Selain perjanjian-perjanjian internasional tersebut, instrumen HPI juga meliputi:

 Konvensi Den Haag 1907: tentang penggunaan alat dan cara bertempur
 Konvensi Den Haag 1954: tentang perlindungan terhadap benda budaya pada masa
sengketa bersenjata
 Konvensi Senjata Kimia 1993: tentang pelarangan senjata kimia
 Konvensi Ottawa 1997: tentang pelarangan ranjau darat anti personel
 Statuta Roma 1998: tentang pembentukan Mahkamah Pidana Internasional
(International Criminal Court)

 
Orang-Orang yang dilindung HPI

 Prajurit yang terluka, sakit, dan yang menjadi korban kapal karam di medan
pertempuran
 Tawanan perang dan mereka yang telah meletakkan senjata atau telah menyerah
 Personil kesehatan angkatan bersenjata
 Personil keagamaan angkatan bersenjata
 Orang-orang yang dicabut kebebasannya sebagai akibat dari konflik
 Penduduk sipil, terutama perempuan, anak-anak, dan lansia
 Petugas Organisasi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (ICRC, perhimpunan
nasional, dan IFRC)

 
Ketentuan-Ketentuan Dasar HPI

 Mereka yang tidak atau tidak dapat lagi mengambil bagian dalam pertempuran berhak
untuk dihormati jiwa serta mental dan fisiknya. Dalam keadaan apapun mereka harus
dilindungi dan diperlakukan secara manusiawi tanpa diskriminasi
 Mereka yang sakit dan terluka harus dirawat oleh pihak yang menguasainya. Petugas
medis, transportasi dan peralatan medis serta rohaniawan harus dilindungi Lambang
Palang Merah atau Bulan Sabit Merah di atas dasar putih adalah tanda pembeda bagi
petugas dan sarana medis serta rohaniawan dan harus dihormati
 Tentara dan orang sipil ditangkap dan berada di bawah kekuasaan pihak lawan berhak
untuk dihormati jiwanya, martabat, hak-hak Pribadi dan hak politik, agama atau
keyakinan-keyakinan lainnya. Mereka berhak untuk menerima bantuan dan bertukar
kabar dengan keluarganya
 Setiap orang harus memperoleh jaminan keadilan yang mendasar. Tidak seorangpun
dapat dijatuhi hukuman tanpa melalui proses pengadilan
 Pihak-pihak yang bersengketa atau anggota dari angkatan bersenjata tidak memiliki
hak tidak terbatas untuk memilih alat dan metode berperang. Dilarang menggunakan
sarana atau metode peperangan yang dapat menyebabkan penderitaan berlebihan dan
kerugian yang tidak perlu
 Pihak-pihak yang bersengketa harus membedakan antara kombatan dan penduduk
sipil, antara objek-objek militer dan objek-objek sipil. Penyerangan hanya dapat
dilakukan terhadap kombatan dan objek-objek militer. Penduduk sipil dan objek sipil
seperti rumah tinggal, bendungan, pembangkit listrik, suplai air minum, gudang
makanan, rumah Ibadan dan sarana sipil lainnya tidak boleh diserang
 Serangan yang mengakibatkan kerusakan yang luas dan berkepanjangan terhadap
lingkungan hidup juga dilarang.

Keikutsertaan Indonesia dalam Perjanjian-perjanjian Internasional di Bidang HPI

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi-konvensi Jenewa 1949 melalui Undang-


Undang No. 59 tahun 1958. Disamping itu, Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi
beberapa instrumen lain di bidang Hukum Perikemanusiaan Internasional, yaitu:

 Konvensi tentang Perlindungan Benda Budaya 1954 dan protokolnya


 Konvensi tentang Larangan Penggunaan Senjata Kimia 1993
 Konvensi tentang Larangan Penggunaan Senjata Biologi 1972

Implementasi HPI di Indonesia

Beberapa langkah pengimplementasian HPI telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia,


antara lain dengan adanya keputusan-keputusan sebagai berikut:

 Penetapan PMI sebagai satu-satunya Organisasi Kepalangmerahan sebagaimana


tertuang dalam Keppres No. 25 Tahun 2950 dan pemberian tugas-tugas kemanusiaan
kepada PMI pada waktu terjadi bencana dan peperangan melalui Keppres No. 264
Tahun 1963 dan Undang Undang Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Kepalangmerahan
 Pemakaian/penggunaan tanda dan kata-kata Palang Merah yang tertuang dalam
Peraturan Penguasa Perang Tertinggi No. 1 Tahun 1962
 Pemberian mandat kepada Pantap Hukum Humaniter yang bertugas mempersiapkan
undang-undang dan peraturan-peraturan untuk implementasi Konvensi-konvensi
Jenewa melalui Keputusan Menteri Kehakiman No. C-35.PR.09.03 Tahun 1980.
 Upaya penyebarluasan HPI di kalangan TNI, POLRI, dan instansi pemerintah lainnya
dan juga di kalangan PMI bekerjasama dengan ICRC
Di dalam hal penegakan HPI, ada beberapa putusan pengadilan di Indonesia yang
menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa yang dianggap terlibat dalam pelanggaran prinsip
Hukum Perikemanusiaan Internasional, antara lain dalam proses pengadilan Ad Hoc HAM
kasus Timor Timur tahun 1999.

A MEMORI OF SOLFERINO
Diposting oleh pmi | Okt 26, 2013 | Info Markas PMI | 0  |     

“UN SOUVENIR DE SOLFERINIO”/ A MEMORI OF SOLFERINO yang


artinya Kenang-kenangan dari Solferino” sebuah buku yang dirilis pada tahun 1862, yang menceritakan
betapa tragisnya akibat perang yang terjadi pada tahun 1859 yang terjadi di Solferino Itali Utara, antara
pasukan Prancis dan Itali sedang bertempur melawan pasukan Austria, dimana pada saat itu dinas medis
militer kewalahan dalam menangani korban perang yang mencapai 40.000 orang.
Buku yang di gagas dan ditulis oleh seorang warga swiss yakni Jean Henry Dunant yang selanjutnya pada
masa ke masa beliau disebut sebagai Bapak Palang Merah Sedunia, dalam buku tersebut beliau
mengajukan 2 gagasan yang pertama yakni membentuk organisasi kemanusiaan internasional yang dapat
dipersiapkan pendiriannya pada masa damai untuk menolong prajurit yang terluka dimedan perang, yang
kedua gagasan Jean Henry Dunant yaitu mengadakan perjanjian International guna melindungi prajurit
yang cedera dan sukarelawan serta organisasinya yang menolong saat terjadinya perang.

Setelah dua gagasan yang tertuang dalam buku tersebut tersebar tepatnya pada tahun 1863 ternyata
mendapat tanggapan luar biasa dan membuat empat orang yang diantaranya General Dufour,Dr.
Theodore,Dr.Luis Appia serta Gustave Moyner ikut bergabung dengan Jean Henry dunant untuk
mengembangkan gagasan tersebut selanjutnya mereka berlima membentuk Komite Internasional Palang
Merah atau yang lebih dikenal dengan nama International Commite Of the Red Cross ( ICRC ).

Berdasarkan gagasan pertama didirikanlah sebuah organisasi Sukarelawan disetiap negara yang bertugas
membantu dinas medis angkatan darat pada waktu perang. Organisasi tersebut sekarang disebut LRCS
(Loague Of The Red Cross Society) atau LPPMI (Liga Perhimpunan Palang Merah) yang dibentuk tanggal
5 Mei Tahun 1919. Tahun 1992 berubah menjadi Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit
Merah.

Palang Merah dalam pengabdiannya ke masyarakat mempunyai tugas baik dimasa perang ataupun damai
diantaranya :
1. Membantu Jawatan Kesehatan angkatan Perang
2. Memberi Pertolongan pada waktu perang pada waktu damai
3. Membangkitkan perhatian umum terhadap azas dan tujuan Palang Merah
4. Menyebarluaskan Cita-cita Palang Merah Berdasarkan Prikemanusiaan
5. Menyiapkan tenaga dan sarana Kesehatan/bantuan lainnya untuk menjamin kelancaran tugas Palang
Merah.
6. Memberi bantuan dan pertolongan pertama dalam setiap musibah/kecelakaan.
7. Menyelenggarakan PMR
8. Turut memperbaiki kesehatan rakyat
9. Membantu Mencari Korban Hilang (TMS).

LAMBANG DAN SEJARAHNYA


Dalam perkembangannya ada Tiga macam Lambang Palang Merah yang resmi diakui Internasional :
1. Palang Merah diatas warna dasar putih adalah kebalikan dari bendera Swiss sebagai lambang yang
diakui untuk menghormati negara Swiss atau kewarganegaraan Dunant.( 1864 )

2. Bulan sabit Merah diatas warna dasar putih digunakan dinegara Arab ( 1876 )3. Singa dan Matahari
Merah diatas warna dasar putih digunakan dinegara Iran.

3. Pada Konferensi Internasional yang ke-29 tahun 2006, sebuah keputusan penting lahir, yaitu
diadopsinya Lambang Kristal Merah sebagai Lambang keempat dalam Gerakan dan memiliki status yang
sama dengan Lambang lainnya yaitu Palang Merah dan Bulan Sabit Merah

Pada penggunaannya Lambang memiliki fungsi yang diantaranya digunakan sebagai Tanda Pengenal,
Lambang tersebut harus dalam ukuran kecil, berfungsi pula untuk mengingatkan bahwa institusi di atas
bekerja sesuai dengan Prinsip-prinsip Dasar Gerakan. Pemakaian Lambang sebagai Tanda Pengenal juga
menunjukan bahwa seseorang, sebuah kendaraan atau bangunan berkaitan dengan Gerakan. Untuk itu,
Gerakan secara organisasi dapat mengatur secara teknis penggunaan Tanda Pengenal misalnya dalam
seragam, bangunan, kendaraan dan sebagainya. Penggunaan Lambang sebagai Tanda Pengenal pun harus
didasarkan pada undang-undang nasional mengenai Lambang untuk Perhimpunan Nasionalnya.

Lambang digunakan sebagai tanda pelindung, Lambang tersebut harus menimbulkan sebuah reaksi
otomatis untuk menahan diri dan menghormati di antara kombatan. Lambang harus selalu ditampakkan
dalam bentuknya yang asli. Dengan kata lain, tidak boleh ada sesuatupun yang ditambahkan padanya –
baik terhadap Palang Merah, Bulan Sabit Merah ataupun pada dasarnya yang putih. Karena Lambang
tersebut harus dapat dikenali dari jarak sejauh mungkin, ukurannya harus besar.

Sesuai dengan konvensi jenewa bahwa dalam satu Negara Hanya boleh dipergunkan Satu Lambang.
Sedangkan untuk di Negara Indonesia sendiri sesuai dengan Keputusan Presiden tanggal 16 januari 1950
No. 25/1950 tentang pengesahan berdirinya PMI, serta pengakuan Palang Merah Indonesia oleh
International Commite Of The Red Crossdan menjadi anggota ke 68 pada tahun 1950. Pemaparan aturan
dan dasar hukum tentang lambang di suatu Negara telah jelas menjawab keprihatian kita khususnya di
Indonesia yang dimana masih ada lembaga atau organisasi tertentu yang menggunakan lambang lain selain
Palang Merah

Sejarah PMI

Sejarah lahirnya
gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Internasional adalah pada tanggal 24 Juni 1859 di kota
Solferino, Italia Utara, pasukan Perancis dan Italia sedang bertempur melawan pasukan Austria
dalam suatu peperangan yang mengerikan. Pada hari yang sama, seorang pemuda warganegara
Swiss, Henry Dunant , berada di sana dalam rangka perjalanannya untuk menjumpai Kaisar Perancis,
Napoleon III. Puluhan ribu tentara terluka, sementara bantuan medis militer tidak cukup untuk
merawat 40.000 orang yang menjadi korban pertempuran tersebut. Tergetar oleh penderitaan
tentara yang terluka, Henry Dunant bekerjasama dengan penduduk setempat, segera bertindak
mengerahkan bantuan untuk menolong mereka. Beberapa waktu kemudian, setelah kembali ke
Swiss, dia menuangkan kesan dan pengalaman tersebut kedalam sebuah buku berjudul “Kenangan
dari Solferino”, yang menggemparkan seluruh Eropa. Dalam bukunya, Henry Dunant mengajukan dua
gagasan:

 Pertama, membentuk organisasi kemanusiaan internasional , yang dapat dipersiapkan


pendiriannya pada masa damai untuk menolong para prajurit yang cedera di medan
perang.
 Kedua, mengadakan perjanjian internasional guna melindungi prajurit yang cedera di
medan perang serta perlindungan sukarelawan dan organisasi tersebut pada waktu
memberikan pertolongan pada saat perang.
Pada tahun 1863, empat orang warga kota Jenewa bergabung dengan Henry Dunant untuk
mengembangkan gagasan pertama tersebut. Mereka bersama-sama membentuk “Komite
Internasional untuk bantuan para tentara yang cedera”, yang sekarang disebut Komite
Internasional Palang Merah atau International Committee of the Red Cross (ICRC).

Dalam perkembangannya kelak untuk melaksanakan kegiatan kemanusiaan di setiap negara


maka didirikanlah organisasi sukarelawan yang bertugas untuk membantu bagian medis
angkatan darat pada waktu perang. Organisasi tersebut yang sekarang disebut Perhimpunan
Nasional Palang Merah atau Bulan Sabit Merah.

Berdasarkan gagasan kedua, pada tahun 1864, atas prakarsa pemerintah federal Swiss
diadakan Konferensi Internasional yang dihadiri beberapa negara untuk menyetujui adanya
“Konvensi perbaikan kondisi prajurit yang cedera di medan perang”. Konvensi ini kemudian
disempurnakan dan dikembangkan menjadi Konvensi Jenewa I, II, III dan IV tahun 1949
atau juga dikenal sebagai Konvensi Palang Merah . Konvensi ini merupakan salah satu
komponen dariHukum Perikemanusiaan Internasional (HPI) suatu ketentuan internasional
yang mengatur perlindungan dan bantuan korban perang.

SEJARAH PMI
Berdirinya Palang Merah di Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak masa sebelum Perang
Dunia Ke-II. Saat itu, tepatnya pada tanggal 21 Oktober 1873 Pemerintah Kolonial Belanda
mendirikan Palang Merah di Indonesia dengan nama Nederlands Rode Kruis Afdeling Indie
(Nerkai), yang kemudian dibubarkan pada saat pendudukan Jepang.

Perjuangan untuk mendirikan Palang Merah Indonesia sendiri diawali sekitar tahun 1932.
Kegiatan tersebut dipelopori oleh Dr. RCL Senduk dan Dr Bahder Djohan. Rencana tersebut
mendapat dukungan luas terutama dari kalangan terpelajar Indonesia. Mereka berusaha keras
membawa rancangan tersebut ke dalam sidang Konferensi Nerkai pada tahun 1940 walaupun
akhirnya ditolak mentah-mentah. Terpaksa rancangan itu disimpan untuk menunggu
kesempatan yang tepat. Seperti tak kenal menyerah, saat pendudukan Jepang, mereka
kembali mencoba untuk membentuk Badan Palang Merah Nasional, namun sekali lagi upaya
itu mendapat halangan dari Pemerintah Tentara Jepang sehingga untuk kedua kalinya
rancangan itu harus kembali disimpan.

Tujuh belas hari setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, yaitu pada tanggal 3
September 1945, Presiden Soekarno mengeluarkan perintah untuk membentuk suatu badan
Palang Merah Nasional. Atas perintah Presiden, maka Dr. Buntaran yang saat itu menjabat
sebagai Menteri Kesehatan Republik Indonesia Kabinet I, pada tanggal 5 September 1945
membentuk Panitia 5 yang terdiri dari: dr R. Mochtar (Ketua), dr. Bahder Djohan (Penulis),
dan dr Djuhana, dr Marzuki, dr. Sitanala (anggota). Akhirnya Perhimpunan Palang Merah
Indonesia berhasil dibentuk pada 17 September 1945 dan merintis kegiatannya melalui
bantuan korban perang revolusi kemerdekaan Republik Indonesia dan pengembalian tawanan
perang sekutu maupun Jepang. Oleh karena kinerja tersebut, PMI mendapat pengakuan
secara Internasional pada tahun 1950 dengan menjadi anggota Palang Merah Internasional
dan disahkan keberadaannya secara nasional melalui Keppres No.25 tahun 1959 dan
kemudian diperkuat dengan Keppres No.246 tahun 1963. Kini jaringan kerja PMI tersebar di
30 Daerah Propinsi / Tk.I dan 323 cabang di daerah Tk.II serta dukungan operasional 165
unit Transfusi Darah di seluruh Indonesia.

Peran PMI adalah membantu pemerintah di bidang sosial kemanusiaan, terutama tugas
kepalangmerahan sebagaimana dipersyaratkan dalam ketentuan Konvensi-Konvensi
Jenewa 1949 yang telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia pada tahun
1958 melalui UU No 59.

tugas pokok Palang Merah Indonesia (PMI) adalah membantu pemerintah Indonesia di


bidang sosial kemanusiaan terutama tugas-tugas kepalangmerahan yang meliputi:
Kesiapsiagaan Bantuan dan Penanggulangan Bencana, Pelatihan Pertolongan Pertama
untuk Sukarelawan, Pelayanan Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat, Pelayanan
Transfusi Darah.

PERAN DAN TUGAS PMI

Peran PMI adalah membantu pemerintah di bidang sosial kemanusiaan, terutama


tugas kepalangmerahan sebagaimana dipersyaratkan dalam ketentuan Konvensi-
Konvensi Jenewa 1949 yang telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia
pada tahun 1958 melalui UU No 59.

Tugas Pokok PMI :

 Kesiapsiagaan bantuan dan penanggulangan bencana


 Pelatihan pertolongan pertama untuk sukarelawan
 Pelayanan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat
 Pelayanan transfusi darah ( sesuai dengan Peraturan Pemerintah no 18 tahun
1980)

Anda mungkin juga menyukai