Anda di halaman 1dari 21

253

PENGANTAR HUKUM HUMANITER

BAB I
PENDAHULUAN

1. Umum. Militer (Prajurit TNI) merupakan suatu bagian masyarakat yang


memiliki tugas pokok khusus yang berbeda dengan masyarakat sipil di dalam sistem
ketatanegaraan suatu Negara. Tugas pokok militer sebagai unsur (kekuatan) utama
dalam melaksanakan pertahanan dan keamanan sebuah Negara, yaitu menegakkan
kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah dan melindungi segenap
bangsa dan tumpah darahnya dari setiap ancaman dan gangguan, baik yang datang
dari luar maupun dari dalam negeri. Jadi, setiap anggota militer memang dipersiapkan
dan dilatih untuk bertempur dan mengunakan kekerasan bersenjata untuk menghadapi
setiap serangan musuh yang ingin menguasai negara yang bersangkutan. Sesuai
ketentuan hukum internasional, peperangan antar Negara telah diatur didalam hukum
perang atau hukum sengketa bersenjata atau hukum humaniter, dengan maksud agar
apabila terjadi perang antar Negara, kerugian nyawa, harta benda maupun materiil
dan kerusakan lingkungan dapat ditekan seminimum mungkin, serta perang
dilaksanakan dengan cara-cara yang manusiawi untuk mengurangi kehancuran dan
penderitaan yang tidak perlu.

2. Maksud dan Tujuan.

a. Maksud. Penyusunan Bahan Ajaran ini dimaksudkan untuk dapat


digunakan sebagai pedoman bagi Gumil dalam menyampaikan materi
pelajaran Hukum Humaniter guna memperlancar kegiatan proses belajar
mengajar di Pusat Pendidikan Hukum Kodiklat TNI AD.

b. Tujuan. Agar Tamtama Siswa memahami tentang Hukum


Humaniter guna mendukung dalam pelaksanaan tugas.

3. Ruang Lingkup dan Sistematika. Pembahasan materi pelajaran Hukum


Humaniter, dengan sistematika sebagai berikut:

a. Pendahuluan.
b. Latar belakang.
c. Penentuan sasaran yang legal.
d. Perlakuan terhadap korban perang.
e. Tanda-tanda perlindungan.
f. Tugas dan tanggung jawab prajurit.
g. Evaluasi.
h. Penutup.
254

4. Pengertian-pengertian.

a. Hukum Sengketa Bersenjata mengatur hak dan kewajiban pihak


yang berperang. Hukum ini tidak dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan
tentang sah tidaknya penggunaan atau penggelaran angkatan bersenjata.
Hukum ini mengakui adanya sengketa bersenjata yang sedang berlangsung
tanpa melihat apa penyebabnya dan kemudian berusaha menentukan
batasan-batasan tentang jalannya perang dengan tujuan meringankan akibat
perang semaksimal mungkin. Dalam upaya mencapai tujuan mulia ini, hukum
ini menetapkan suatu keseimbangan antara kepentingan untuk melaksanakan
operasi militer secara efektif dengan kepentingan kemanusiaan yang
menetapkan bahwa penderitaan yang tidak perlu untuk mencapai maksud
militer harus dihindarkan.

b. Hukum Sengketa Bersenjata/ Hukum Humaniter:

1) Merupakan bagian dari Hukum Internasional Publik.

2) Mengatur hubungan antar Negara selama terjadinya


sengketa bersenjata.

3) Dimaksudkan untuk mengurangi sebanyak mungkin


penderitaan, kerugian dan kerusakan yang disebabkan oleh perang.

4) Memberikan kewajiban kepada setiap orang dalam Negara,


terutama para anggota angkatan bersenjata.
5) Namun tidak dimaksudkan untuk menghambat efisiensi
militer.

c. Hukum Sengketa Bersenjata tidak bertentangan dengan prinsip-


prinsip militer yang fundamental seperti penghematan penggunaan kekuatan,
kesederhanaan tindakan, pemusatan kekuatan, kesatuan tindakan dan
keleluasaan untuk melakukan manuver. Pemusatan kekuatan pada sasaran-
sasaran yang kritis dan jauh dari orang-orang atau benda yang mempunyai
sedikit atau sama sekali tidak mempunyai nilai militer, mempertimbangkan
kepentingan militer maupun kepentingan kemanusiaan.

5. Referensi.

a. Bahan Ajaran Hukum Humaniter, Direktorat Hukum TNI AD - ICRC,


2005.
255

b. Buku Bertempur Secara Benar, Direktorat Hukum - ICRC, 2001.


c. Terjemahan Konvensi Jenewa tahun 1949.
d. Hukum Humaniter Internasional (ICRC).

BAB II
LATAR BELAKANG

6. Umum. Di dalam masyarakat Internasional peperangan antar negara atau


sengketa bersenjata (armed conflict) telah diatur didalam hukum perang (the law of
war) atau hukum sengketa bersenjata (the law of armed conflict) atau hukum
humaniter (humanitarian law) dengan maksud agar apabila terjadi perang antar
negara, kerugian nyawa maupun materil dapat ditekan seminimal mungkin serta
perang dilaksanakan dengan cara-cara yang manusiawi. Hukum sengketa bersenjata
merupakan bagian dari hukum internasional publik. Hukum sengketa bersenjata
mengatur hak-hak serta kewajiban-kewajiban dari pihak-pihak yang bersengketa
(belligerent) serta mengatur perlindungan para korban perang apabila sengketa
bersenjata terjadi, apapun penyebabnya.

7. Sejarah Hukum Humaniter.

Asal mula hukum sengketa bersenjata dapat ditelusuri pada peperangan


Solferino tahun 1859 di Italia Utara yang mendorong Henry Dunant, seorang saudagar
berkebangsaan Swiss menulis suatu buku yang berjudul ”Kenang-kenangan dari
Solferino,” yang sangat berpengaruh terhadap masyarakat Eropa pada waktu itu,
mengenai bencana yang diakibatkan oleh peperangan. Dampak dari gagasan Henry
Dunant itu kemudian diimplementasikan dengan pembentukan organisasi Palang
Merah Internasional.

Pada tahun 1864 pemerintah Swiss, atas desakan organisasi Palang Merah,
mengadakan konferensi pertama tentang Hukum Humaniter Internasional. Konferensi
ini menghasilkan Konvensi Jenewa I mengenai Perbaikan Kondisi Prajurit yang
Terluka di Medan Pertempuran Darat dan ditandatangani oleh 16 negara.
Pengembangan Hukum Humaniter Internasional disempurnakan dalam konvensi-
konvensi berikutnya yang diselenggarakan tahun 1906, 1929, dan 1949 di Jenewa.
Pengembangan paling akhir terjadi pada tahun 1977 dengan diterimanya Protokol
Tambahan I pada Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Sengketa Bersenjata
Internasional dan Protokol Tambahan II pada Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang
Sengketa Bersenjata Non-Internasional, serta Protokol III Tahun 2005 tentang Tanda
Perlindungan Kristal Merah.
256

Komponen Hukum Humaniter Internasional dewasa ini terdiri dari ketentuan


Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa serta Hukum Gabungan antara Hukum Den
Haag dan Hukum Jenewa.

a. Hukum Den Haag.

Hukum Den Haag mengatur tentang cara melakukan pertempuran,


khususnya mengatur tentang alat dan cara (metode) berperang yang meliputi
pernyataan untuk memulai permusuhan (peperangan), cara melakukan
pertempuran, larangan dan pembatasan penggunaan senjata dalam perang,
konsep tentang wilayah pendudukan, perang di darat, perang di laut, perang
di udara dan netralitas.

Hukum Den Haag ini terdiri dari:

1) Deklarasi Den Haag tanggal 29 Juli 1899 tentang Peluru-


peluru yang mengembang.

2) Konvensi Den Haag III tanggal 18 Oktober 1907 tentang


Dimulainya Permusuhan.

3) Konvensi Den Haag IV tanggal 18 Oktober 1907 tentang


Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat.

4) Konvensi Den Haag V tanggal 18 Oktober 1907 tentang


Hak dan Kewajiban Negara dan Orang-orang Netral dalam
Peperangan di Darat.

5) Konvensi Den Haag VI tanggal 18 Oktober 1907 tentang


Status Kapal Dagang Musuh pada saat Pecah perang.

6) Konvensi Den Haag VII tanggal 18 Oktober 1907 tentang


Konvensi Kapal Dagang menjadi Kapal Perang.

7) Konvensi Den Haag VIII tanggal 18 Oktober 1907 tentang


Peletakan Ranjau Kotak Otomatis di Laut.

8) Konvensi Den Haag IX tanggal 18 Oktober 1907 tentang


Pemboman oleh Kapal Perang di Waktu Perang.

9) Konvensi Den Haag X tanggal 18 Oktober 1907 tentang


Penerapan Prinsip Konvensi Jenewa dalam Peperangan di Laut.
257

10) Konvensi Den Haag XI tanggal 18 Oktober 1907 tentang


Pembatasan-pembatasan tertentu berkaitan dengan Hak
Penangkapan dalam Perang di Laut.

11) Konvensi Den Haag XIII tanggal 18 Oktober 1907 tentang


Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di Laut.

12) Deklarasi Den Haag XIV tanggal 18 Oktober 1907 tentang


Larangan Pelepasan Proyektil dan Bahan Peledak dari Balon.

13) Rancangan Peraturan Perang di Udara yang dibuat oleh


suatu Komisi Ahli Hukum di Den Haag tahun 1923.

b. Hukum Jenewa.

Hukum Jenewa terdiri atas empat buah Konvensi, yaitu:

1) Konvensi Jenewa I tanggal 29 Agustus 1949 tentang


Perbaikan Kondisi Prajurit yang Luka dan Sakit dalam pertempuran
di darat.

2) Konvensi Jenewa II tanggal 29 Agustus 1949 tentang


Perbaikan Kondisi Prajurit yang Luka, Sakit dan Korban Kapal
Karam dalam pertempuran di Laut.
3) Konvensi Jenewa III tanggal 29 Agustus 1949 tentang
Perlakuan terhadap Tawanan Perang.

4) Konvensi Jenewa IV tanggal 29 Agustus 1949 tentang


Perlindungan Orang-orang Sipil di Waktu Perang.

Beberapa Konvensi dan Protokol yang dikeluarkan di Jenewa


mengatur larangan penggunaan senjata-senjata tertentu:

1) Protokol tentang Larangan Penggunaan di Waktu Perang


Gas Cekik, Gas Beracun dan Gas lainnya, dan mengenai Metode
Berperang dengan menggunakan Senjata Bakteri tanggal 17 Juni
1925.

2) Konvensi tentang Larangan atau Pembatasan Penggunaan


Senjata-senjata Konvensional tertentu yang menimbulkan cedera
258

yang berlebihan atau akibat yang membabi-buta tanggal 10 Oktober


1980, dengan empat buah Protokolnya, yaitu:

a) Protokol I tentang Fragmen-fragmen yang tak


dapat dideteksi.

b) Protokol II tentang Larangan atau Pembatasan


Penggunaan ranjau, Booby-traps dan alat-alat lainnya.
c) Protokol III tentang Larangan atau Pembatasan
Penggunaan Senjata-senjata Pembakar.

d) Protokol IV tentang Larangan Penggunaan


Senjata-senjata Laser yang mengakibatkan Kebutaan
permanen pada mata.

c. Hukum Gabungan Den Haag dan Hukum Jenewa.

Hukum gabungan ini terdapat dalam Konvensi Den Haag tahun 1954
tentang Perlindungan terhadap Benda-benda budaya dan Protokol Tambahan
pada Konvensi Jenewa 1949, yaitu Protokol Tambahan I tahun 1977 tentang
Sengketa Bersenjata Internasional dan Protokol Tambahan II tahun 1977
tentang Sengketa Bersenjata Non-Internasional, serta Protokol Tambahan III
tahun 2005 tentang Lambang Perlindungan Kristal Merah.

8. Tujuan.

a. Melindungi baik kombatan maupun non kombatan dari penderitaan


yang tidak perlu.
b. Menjamin penghormatan dan perlindungan hak-hak asasi tertentu
dari orang-orang yang jatuh atau berada dalam kekuasaan musuh.
c. Memungkinkan diakhirinya peperangan dalam waktu yang cepat
antara para pihak yang terlibat sengketa bersenjata dan dipulihkannya
perdamaian secepat mungkin.
d. Membatasi kekuasaan pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa
bersenjata berkaitan dengan sarana maupun cara yang digunakan dalam
peperangan.
e. Membatasi dan meringankan sebanyak mungkin bencana yang
ditimbulkan oleh peperangan, hal ini diperlukan untuk kepentingan taktik dan
pencapaian tugas pokok dengan persyaratan-persyaratan yang ditentukan
dalam prinsip-prinsip kemanusiaan.
259

9. Evaluasi.

a. Sebutkan empat buah konvensi Hukum Jenewa!


b. Sebutkan isi dari Hukum Den Haag!
c. Sebutkan tujuan dari Hukum Den Haag dan Jenewa!
d. Jelaskan apa yang diatur dalam Hukum Gabungan!

BAB III
PENENTUAN SASARAN YANG LEGAL

10. Umum. Sengketa-sengketa bersenjata pada zaman modern dewasa ini


menjadi semakin kompleks. Perkembangan-perkembangan teknis persenjataan
berkembang pesat dengan kekuatan, kecepatan, ketepatan, serta jangkauan dari
senjata-senjata yang bersifat menghancurkan yang sangat dahsyat, dan juga
penelitian di bidang teknologi persenjataan, terutama oleh negara-negara maju tidak
pernah berhenti berkembang seiring kemajuan zaman. Sehingga, perkembangan yang
alamiah dari alat dan cara yang digunakan dalam peperangan selanjutnya juga
menimbulkan kompleksitas dalam sengketa bersenjata. Dan pada gilirannya
diperlukan pengaturan mengenai larangan dan pembatasan penggunaan senjata,
serta mengeliminir kerusakan ikutan dan kerugian insidental yang tidak diinginkan dan
tidak diperlukan akibat penggunaan senjata-senjata tersebut.

11. Metode/ Cara Berperang.

a. Stratagems dan Gerak Tipu. Diperbolehkan melakukan gerak


tipu dalam peperangan dan penerapan langkah-langkah yang diperlukan
untuk mendapatkan informasi tentang musuh/ negara musuh. Gerak tipu
digunakan untuk memperoleh keuntungan dengan memperdaya pihak
musuh. Gerak tipu yang sah termasuk pendadakan, penyergapan, kamuflase,
perangkap, operasi pura-pura dan memutar-balikan informasi.

b. Perbuatan Licik (Perfidy). Perbuatan licik adalah dilarang.


Perbuatan licik yaitu memberikan keyakinan pada musuh, dengan maksud
mengkhianati keyakinan tersebut, sehingga pihak musuh meyakini akan
adanya hak atau kewajiban untuk memberikan perlindungan menurut hukum
perang, tetapi sesungguhnya perbuatan tersebut merupakan suatu khianat
perang. Perbuatan licik yaitu antara lain:

1) Berpura-pura bermaksud untuk melakukan perdamaian


dengan membawa bendera gencatan senjata atau menyerah.

2) Berpura-pura tidak berdaya karena luka atau sakit.


260

3) Berpura-pura berstatus sebagai orang sipil atau non-


kombatan.

4) Berpura-pura berada dalam status perlindungan dengan


menggunakan lambang, tanda dan simbol perlindungan atau
menggunakan seragam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau
Negara netral atau Negara lain yang tidak terlibat dalam sengketa.

c. Penggunaan Yang Tidak Benar dari Simbol dan Tanda


Perlindungan. Tidak dibenarkan menyalahgunakan dengan sengaja simbol
pembeda Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, bendera gencatan senjata
dan tanda perlindungan untuk benda-benda budaya serta tanda pembeda
yang dimiliki PBB. Dalam suatu sengketa bersenjata dilarang menggunakan
bendera, simbol militer, tanda pangkat atau badge atau seragam dari
Negara netral atau Negara lain yang tidak terlibat dalam sengketa. Juga
dilarang menggunakan bendera, simbol militer, tanda pangkat/budge atau
seragam dari pihak musuh pada saat melakukan penyerangan atau untuk
menjadikannya sebagai tameng, keuntungan, perlindungan atau menghambat
operasi militer. Setiap prajurit yang tertangkap sedang melakukan
pengumpulan keterangan intelijen (operasi intelijen), tetapi tidak
menggunakan seragam militer akan diperlakukan sebagai mata-mata, dan
diadili atas perbuatannya sebagai kriminal serta tidak mendapat status
tawanan perang.

d. Keharusan Memberi Tempat Berteduh/ Tempat Perlindungan


(Quarter).
Dilarang untuk mengeluarkan perintah tidak ada tawanan yang akan
dibawa, mengancam musuh dengan perintah “tidak ada tawanan“ atau
melakukan pertempuran dengan memerintahkan meniadakan sama sekali
tawanan.

e. Kelaparan dan Pemusnahan. Membuat kelaparan orang-orang


sipil sebagai cara dalam berperang dilarang. Obyek-obyek yang sangat vital
bagi kelangsungan hidup penduduk sipil seperti makanan, daerah pertanian,
peternakan, air minum instalasi irigasi tidak boleh diserang, dihancurkan atau
dirusak untuk tujuan agar penduduk sipil tidak bisa mempertahankan hidup
mereka. Benda instalasi tersebut diatas dapat diserang dan dihancurkan bila
benar-benar hanya digunakan untuk angkatan bersenjata.

f. Perlindungan Lingkungan Hidup. Setiap cara (metode)


berperang yang direncanakan, atau menyebabkan kerusakan lingkungan
261

hidup yang berat dan luas dan membahayakan kelangsungan atau timbulkan
kerusakan berat bagi kesehatan penduduk tidak diperbolehkan.

12. Alat/ Persenjataan.

a. Penggunaan senjata dalam konflik bersenjata adalah terbatas.


Artinya penggunaan senjata dibatasi dan harus sesuai dengan ketentuan-
ketentuan hukum humaniter dan perjanjian-perjanjian internasional mengenai
senjata. Pembatasan penggunaan senjata bertujuan untuk mencegah
terjadinya kerusakan yang berlebihan, penderitaan yang tidak perlu, serta
untuk mengurangi korban dan memperkecil kerugian dari pihak-pihak yang
bersengketa serta masyarakat sipil.

b. Penggunaan senjata yang dibenarkan dalam suatu sengketa


bersenjata yaitu bahwa senjata harus digunakan sesuai dengan
peruntukannya, dan senjata yang diperbolehkan dipergunakan dalam suatu
pertempuran dapat berubah menjadi tidak boleh dipakai atau digunakan
dalam pertempuran, apabila digunakan tidak sesuai dengan peruntukannya,
karena akan menimbulkan penderitaan yang berlebihan dan tidak perlu.
c. Senjata yang penggunaannya sah. Yaitu senjata yang tidak
menimbulkan penderitaan yang tidak perlu dan luka yang berlebihan.
Penggunaan senjata harus sesuai dengan tujuan pembuatannya.

d. Senjata yang dilarang untuk digunakan:

1) Senjata yang direncanakan, diperhitungkan atau


dimodifikasi untuk menyebabkan penderitaan yang berlebihan,
misalnya: anak peluru yang
ujung depannya digergaji, sehingga pecahannya menyebar didalam
organ tubuh dan sulit untuk diselamatkan; proyektil yang diisi dengan
pecahan kaca atau senjata tajam yang diberi racun.

2) Senjata-senjata yang menimbulkan luka karena


menggunakan fragmen-fragmen yang tidak terdeteksi dengan sinar
X di dalam tubuh manusia.

3) Proyektil kaliber kecil yang beratnya kurang dari 400 gram


tapi mengandung zat yang mudah meledak setelah mengenai tubuh.

4) Gas cekik, gas beracun atau gas lainnya.

5) Senjata biologi dan senjata kimia.


262

6) Senjata Nuklir dilarang digunakan karena menimbulkan


kerugian dan kerusakan yang sangat dahsyat serta bertentangan
dengan prinsip-prinsip dasar hukum humaniter.

e. Senjata yang sah tetapi dibatasi penggunaannya. Persenjataan


yang sah tetapi penggunaannya dibatasi, artinya boleh dipergunakan secara
benar dan tepat sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang telah
ditentukan dalam suatu perjanjian internasional, misalnya dalam Konvensi
tentang Senjata Konvensional Tertentu tahun 1980 dan Protokolnya.

1) Senjata pembakar yaitu senjata atau amunisi yang


dirancang untuk menimbulkan kebakaran, misalnya: penyembur api,
bom napalm. Pembatasan penggunaannya:
a) Dilarang digunakan untuk menyerang penduduk
sipil, perorangan atau obyek sipil dengan senjata pembakar
yang ditembakkan dari udara.

b) Dilarang digunakan untuk menyerang obyek militer


yang berlokasi di tengah pemukiman sipil dengan
menggunakan senjata pembakar yang ditembakkan dari
udara, terkecuali sasaran militer tersebut telah diisolir
(orang-orang sipil telah dievakuasi) dan dilakukan dengan
kehati-hatian guna mengurangi kerugian dan kerusakan
berlebihan terhadap kehidupan dan harta benda penduduk
sipil.

c) Dilarang digunakan untuk membakar hutan atau


tanaman yang rimbun, kecuali terdapat sasaran militer yang
tersembunyi di dalam hutan atau tanaman yang rimbun
tersebut.

2) Ranjau Laut. Lokasi penempatan ranjau laut harus dicatat,


tidak ditanam pada perairan netral.

3) Ranjau Darat. Batasan penggunaannya:

a) Tidak boleh digunakan secara membabi-buta, hal


ini dimaksudkan untuk menghindari kerugian yang
berlebihan dan jatuhnya korban yang tidak terlibat dalam
tindakan permusuhan, khususnya terhadap penduduk sipil,
263

bila dibandingkan dengan keuntungan militer yang ingin


dicapai.

b) Lokasi penanamannya harus dicatat.

4) Booby Traps tidak boleh diletakkan pada:

a) Gedung-gedung, bangunan-bangunan atau


tempat-tempat yang terdapat simbol perlindungan yang
diakui secara internasional, seperti Palang Merah
Internasional, benda cagar budaya, perlindungan
masyarakat, instalasi berbahaya, dll.
b) Mayat, korban luka atau orang sakit;
c) Kuburan, tempat kremasi atau pemakaman;
d) Fasilitas, peralatan, bahan pengobatan dan
angkutan kesehatan;
e) Mainan anak-anak;
f) Benda-benda yang bernilai keagamaan;
g) Makanan dan minuman;
h) Perlengkapan dan peralatan dapur;
i) Monumen sejarah, karya seni, dan tempat ibadah;
j) Hewan dan kulit binatang.

5) Pemboman, roket, misil hanya ditujukan terhadap sasaran-


sasaran militer yang jauh dari pemusatan pemukiman penduduk
sipil.

13. Penentuan Sasaran (Target).

a. Sasaran Militer (Military Objectives).

Merupakan obyek yang sah untuk diserang yaitu:

1) Anggota angkatan Bersenjata atau kombatan yang memiliki


kemauan dan kemampuan untuk bertempur, kecuali petugas dan
obyek-obyek kesehatan dan rohaniawan.
2) Lokasi markas, bangunan-bangunan dan kedudukan
Angkatan Bersenjata serta tempat penyimpanan perlengkapan dan
barang-barang militer.
3) Obyek-obyek lainnya:
264

a) Yang menurut sifat, lokasi, tujuan dan


penggunaannya memberikan kontribusi yang efektif
terhadap kegiatan militer.
b) Yang penghancuran, penguasaan atau netralisasi
dari obyek tersebut, sesuai kondisi yang ada saat itu,
memberikan keuntungan militer yang menentukan.

Keberadaan non-kombatan di dalam dan di sekitar suatu sasaran


militer tidak mengubah sifatnya bisa dianggap sebagai sasaran militer. Non-
kombatan yang berada dekat sasaran militer dan tidak menghindari bahaya
perang yang berlangsung akan menanggung resiko yang dihadapi oleh
sasaran militer tersebut. Namun demikian, pihak yang bertikai harus
memberikan perlindungan yang maksimal dan proporsional sesuai prinsip
pembedaan dalam ketentuan hukum humaniter, karena pada dasarnya
penduduk sipil adalah non-kombatan merupakan korban perang yang harus
dilindungi.

b. Sasaran Orang.

1) Kombatan.
2) Non-Kombatan.
a) Orang sipil.
b) Hors de Combat.
(1) Tawanan perang
(3) Prajurit yang luka dan sakit di medan tempur
darat dan di laut
(4) Pilot pesawat terbang yang terjun dengan
parasut dari pesawat yang mengalami kerusakan.
3) Personel kesehatan tidak boleh diserang bila sedang
melaksanakan tugasnya.
a) Personel kesehatan anggota angkatan bersenjata.
b) Personel kesehatan angkatan bersenjata
tambahan.
c) Anggota-anggota dari Organisasi pertolongan.
d) Personel kesehatan dan rohaniawan sipil.
4) Orang-orang yang bertugas menjaga benda cagar budaya.
5) Para tawanan perang diberi perlindungan seperti orang sipil
asalkan tidak melakukan tindakan yang merusak statusnya sebagai
sipil.
265

c. Sasaran Tempat.

1) Tempat-tempat yang dipertahankan.


2) Tempat-tempat yang tidak dipertahankan.
3) Lingkungan alam.
4) Daerah-daerah yang dilindungi.

d. Sasaran Benda.

1) Sasaran-sasaran militer.
2) Harta benda yang dilindungi.
a) Harta benda sipil atau milik sipil.
b) Perlindungan terhadap satuan dan tempat
perawatan kesehatan seperti rumah sakit.
c) Angkutan (transport) kesehatan.
d) Benda-benda budaya.
3) Pekerjaan dan Instalansi yang berbahaya.
4) Obyek yang sangat penting bagi kelangsungan hidup
penduduk sipil.

e. Simbol-simbol Perlindungan.

1) Simbol kesehatan dan keagamaan.


2) Simbol benda-benda budaya.
3) Pekerjaan dan Instalasi yang berbahaya.

14. Prinsip-prinsip Hukum Humaniter.

a. Prinsip-prinsip Dasar Dari Hukum Humaniter, yaitu:

1) Kepentingan Militer (military necessity).


Prinsip kepentingan militer menyatakan bahwa seorang
kombatan dibenarkan untuk melakukan tindakan yang tidak dilarang
menurut hukum internasional, yang sangat diperlukan agar musuh
menyerah secara total secepat mungkin. Kepentingan militer
mempersyaratkan pasukan tempur hanya melakukan tindakan-
tindakan yang perlu untuk merebut, menduduki atau menghancurkan
suatu sasaran militer yang sah. Kepentingan mliter mengijinkan
untuk membunuh kombatan musuh dan orang-orang lainnya yang
kematiannya tidak bisa dielakkan, memperbolehkan penghancuran
harta benda jika hal itu sangat diperlukan untuk kepentingan perang.
Penghancuran harta benda semata-mata merupakan pelanggaran
266

hukum internasional. Harus terdapat hubungan yang erat dan masuk


akal antara penghancuran harta benda dengan upaya untuk
mengalahkan pasukan musuh.

2) Penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering).


Prinsip ini melarang penggunaan sarana atau cara
berperang yang diperkirakan menimbulkan penderitaan yang
berlebihan. Penderitaan, cedera atau penghancuran yang sama
sekali tidak diperlukan untuk merebut, menguasai, menduduki atau
menghancurkan sasaran-sasaran militer yang sah tidak
diperbolehkan. Prinsip ini mempersyaratkan agar penderitaan yang
tidak perlu, cedera yang terjadi secara insidentil dan kerusakan
ikutan terhadap harta benda dihindarkan.

3) Prinsip Proporsionalitas (proportionality). Prinsip ini


berkaitan dengan pengurangan cedera yang terjadi secara insidentil
yang disebabkan operasi militer. Proporsionalitas mempersyaratkan
bahwa hilangnya nyawa dan kerusakan terhadap harta benda
sebagai akibat dari kegiatan operasi militer harus berimbang (tidak
berlebihan) dibandingkan dengan keuntungan militer yang
diperkirakan. Prinsip proporsionalitas tidak hanya mempersyaratkan
bahwa pihak yang melakukan serangan harus menilai tindakan
mereka dengan penuh kehati-hatian atau langkah pencegahan yang
harus diambil untuk mengurangi kerugian insidentil, tetapi juga harus
melakukan pilihan atas metode atau poros-poros serangan yang
paling tepat untuk mencapai kemenangan militer dengan tingkat
kehancuran yang sekecil mungkin.

b. Prinsip Pembedaan (distinction) atau Non Diskriminasi.


Walau prinsip pembedaan bukan merupakan prinsip dasar, tetapi
prinsip ini berkaitan dengan ketiga prinsip dasar diatas. Prinsip pembedaan
mengandung dua komponen. Pertama, pembedaan antara kombatan dan
non-kombatan, Kedua, pembedaan antara sasaran-sasaran militer yang sah
dengan obyek-obyek sipil. Operasi militer hanya ditujukan terhadap pasukan
angkatan bersenjata musuh dan obyek-obyek militer. Non-kombatan dan
obyek-obyek sipil harus dilindungi dari serangan karena mereka bukan
sasaran yang sah.

15. Evaluasi.

a. Sebutkan prinsip-prinsip dasar Hukum Humaniter!


b. Jelaskan tentang sasaran orang!
267

c. Jelaskan tentang sasaran benda!


d. Jelaskan tentang sasaran tempat!
e. Bagaimana cara penggunaan senjata yang dibenarkan dalam
sebuah pertempuran?
f. Sebutkan dan jelaskan senjata yang dilarang digunakan!
g. Sebutkan dan jelaskan senjata yang penggunaannya dibatasi!

BAB IV
PERLAKUAN TERHADAP KORBAN PERANG

6. Umum. Perlindungan terhadap korban perang diatur dalam Konvensi


Jenewa I tahun 1949 tentang Perbaikan Perawatan bagi Anggota-anggota Angkatan
Bersenjata di Darat; Konvensi Jenewa III tentang Perlindungan bagi oarang-orang sipil
dalam masa perang. Disamping ketentuan-ketentuan tersebut masalah perlindungan
korban perang juga diatur dalam Protokol Tambahan Jenewa Tahun 1977 tentang
Perlindungan bagi korban Sengketa Bersenjata Internasional dan non Internasional.
Konvensi Jenewa 1949 sudah diratifikasi menjadi undang-undang nasional yang
berlaku mengikat yaitu diundangkan dengan Undang-Undang R.I. Nomor 59 Tahun
1958 (Lembaga Negara tahun 1958 No.108), dengan demikian sebagai sebuah
konsekuensi bahwa ketentuan-ketentuan yang ada didalam Konvensi Jenewa 1949
harus dilaksanakan.

17. Orang-orang Yang Luka, Sakit dan Korban Kapal Karam.


Orang-orang yang luka dan sakit berarti setiap orang apakah ia militer atau
orang sipil, yang karena trauma, menderita penyakit atau gangguan fisik maupun
mental yang membutuhkan bantuan atau perawatan medis, serta yang tidak dapat lagi
terlibat dalam setiap tindakan pertikaian.Para korban kapal karam berarti setiap orang,
apakah ia berstatus anggota militer atau penduduk atau orang sipil, yang menjadi
korban kapal karam dari pendaratan darurat dilaut dari kapal atau pesawat udara.
Orang-orang ini tidak dapat dijadikan objek serangan. Para kombatan diharuskan
untuk mencapai dan mengumpulkan para korban kapal karam, orang-orang yang luka
dan sakit, serta menjamin perawatan yang memadai bagi mereka. Status korban kapal
karam akan tetap melekat sampai akhir pertolongan. Kemudian mereka yang ditolong
akan menjadi tawanan perang atau non kombatan.

18. Tawanan perang dan kombatan yang tertangkap. Status tawanan


perang diterapkan hanya kepada setiap kombatan musuh yang tertangkap dalam
suatu sengketa bersenjata internasional. Disini ketentuan-ketentuan dalam Konvensi
Jenewa III diterapkan secara penuh. Para kombatan yang jatuh ke tangan musuh pada
saat terlibat pada jenis konflik lainnya, berhak secara minimum atas jaminan-jaminan
perlindungan yang terdapat dalam pasal III ketentuan yang bersamaan pada
Konvnensi Jenewa 1949, dan Pasal 4 dan 6 dari Protokol Tambahan II Tahun 1977.
268

Hukum kebiasaan menyatakan bahwa para kombatan yang tertangkap adalah


merupakan tawanan perang pihak Negara musuh, bukan tawanan dari individu atau
atau satuan-satuan militer yang menangkap mereka.
19. Orang-orang Yang Meninggal dan Hilang. Prinsip-prinsip dasar mengenai
orang-orang yang meninggal dunia dan yang hilang baik orang tersebut anggota
angkatan bersenjata maupun penduduk sipil adalah berdasarkan atas hak keluarga
untuk mengetahui meninggalnya para kerabatnya mereka setiap saat, dan terutama
setelah pertikaian para pihak yang bersengketa harus melakukan setiap tindakan
untuk mencari dan mengumpulkan orang yang meninggal dunia dan mencegah
keadaan mereka menjadi busuk dan tidak dapat dikenali lagi. Di samping itu, segera
setelah keadaan memungkinkan atau pada saat akhir dari suatu pertempuran, setiap
pihak pihak yang bersenjata harus mencari orang-orang yang dilaporkan hilang oleh
pihak musuh.

20. Evaluasi.

a. Bagaimana perlakuan terhadap korban karam?


b. Bagaimana perlakuan terhadap tawanan perang dan komabatan
yang tertangkap?

BAB V
TANDA-TANDA PERLINDUNGAN

21. Umum. Tanda-tanda perlindungan sangat terkait dengan penentuan


sasaran. Tanda-tanda perlindungan dan tempat-tempat yang dilindungi, yang diakui
keberadaannya tidak boleh dijadikan sasaran serangan. Dalam Hukum Humaniter
penentuan sasaran (baik yang legal atau boleh diserang maupun ilegal atau yang tidak
boleh diserang) meliputi sasaran orang, sasaran tempat, dan sasaran benda.

22. Obyek-obyek Sipil. Obyek-obyek sipil berarti suatu objek


yang bukan merupakan sasaran militer. Obyek yang secara normal merupakan obyek
sipil, menurut situasi militer, dapat menjadi obyek militer (misalnya rumah atau
jembatan yang secara taktis digunakan oleh pihak yang bertahan dan oleh karenanya
merupakan suatu target serangan). Dalam hal terjadi keragu-raguan tentang apakah
suatu obyek yang secara normal ditunjuk untuk kepentingan atau tujuan sipil (misalnya
tempat beribadah, rumah penduduk, sekolah) merupakan obyek militer, maka obyek
tersebut harus dianggap sebagai obyek sipil.

23. Perlindungan Masyarakat. Kegiatan-kegiatan perlindungan


masyarakat adalah kegiatan perlindungan yang terorganisir dari penduduk sipil
terhadap bahaya akibat suatu pertempuran, dan dilindungi menurut hukum sengketa
bersenjata. Tanda pembeda dari perlindungan mayarakat adalah suatu segitiga biru
269

sama sisi diatas dasar berwarna orange: penduduk, kendaraan serta alat yang
memasang tanda ini tidak boleh diserang. Para petugas perlindungan masyarakat
dapat dipersenjatai dengan senjata ringan perorangan untuk perlindungan diri mereka
sendiri atau untuk memelihara ketertiban.

24. Benda - Benda Budaya.

Obyek-obyek yang mempunyai suatu nilai budaya tinggi, atau dicurahkan


untuk kepentingan keagamaan dari setiap nilai budaya seperti monument sejarah,
bangunan dan tema kesenian serta tempat beribadah yang merupakan suatu warisan
budaya atau warisan spiritual penduduk harus dilindungi. Imunitas obyek-obyek seperti
ini tidak dapat ditarik kembali, berlawanan dengan obyek-obyek budaya nilai obyek-
obyek demikian secara umum telah diakui dan tidak memerlukan latihan identifikasi
khusus.

Obyek-obyek lain yang memiliki suatu nilai budaya seperti tersebut diatas
terpisah dari sifat keagamaan atau sekurangnya dapat diberikan:

a. Perlindungan umum atau


b. Perlindungan khusus.

Tanda-tanda pembeda atas obyek-obyek budaya dibawah perlindungan


umum adalah suatu segitiga biru dan putih. Sedangkan untuk obyek-obyek budaya
yang berada dibawah perlindungan khusus digunakan 3 (tiga) buah segitiga biru yang
lebih kecil.

Para pengurus benda-benda budaya berarti para personel yang bertugas


dalam melindungi dan menjaga benda-benda budaya dibawah perlindungan umum
atau khusus. Personel yang ditugasi untuk menjaga benda-benda budaya dibawah
perlindungan khsusus dapat dipersenjatai dengan sejata ringan perorangan. Benda-
benda budaya yang dijaga oleh petugas yang bersenjata demikian, atau yang dijaga
oleh seoarang polisi yang bertanggung jawab untuk menjaga ketertiban umum, tidak
boleh dianggap sebagai objek yang digunakan untuk tujuan-tujuan militer.

Sarana transportasi benda-benda budaya mengacu pada setiap alat


transportasi yang digunakan untuk mengangkut benda-benda budaya di bawah
perlindungan khusus.
25. Bangunan dan Instalasi Yang Membahayakan. Suatu bangunan atau
instalasi yang membahayakan misalnya bendungan, waduk atau pembangkit listrik
tenaga nuklir, apabila diserang dan dihancurkan dapat menyebabkan timbulnya
kekuatan yang membahayakan sehingga menyebabkan kerugian yang luar biasa bagi
penduduk sipil. Tanda perlindungan yang jelas, terdiri dari kelompok tiga lingkaran
270

berwarna orange terang yang berjarak sama. Senjata yang digunakan untuk
melindungi intalasi atau bagunan yang mengandung tenaga yang membahayakan
harus dibatasi hanya untuk senjata yang mampu menghalau setiap serangan yang
ditujukan pada bangunan atau instalasi tersebut.

26. Zona-Zona Perlindungan. Hukum sengketa bersenjata


memungkinkan adanya berbagai macam zona yang dibentuk untuk melindungi
penduduk dari bahaya peperangan. Zona ini meliputi rumah sakit, zona netral dan
zona demiliterisasi serta daerah-daerah yang tidak dipertahankan. Secara umum zona-
zona ini dilndungi dari serangan dan operasi-operasi militer. Zona-zona ini dibentuk
oleh penguasa tertinggi yang akan mengumumkan secara rinci aturan-aturan yang
harus dipatuhi, walaupun menurut hukum kebiasaan suatu daerah yang tidak
dipertahankan yang terbuka bagi pendudukan tidak dapat diserang.

27. Tanda-Tanda/ Lambang Perlindungan.

Dinas Kesehatan.
Orang sipil, militer dan petugas keamanan.
Warna merah di atas dasar putih.

Perlindungan Masyarakat.
Warna: Segitiga Biru diatas dasar orange.

Benda-benda budaya yang penting.


(Museum, monumen, tempat ibadah)
Warna: Berwarna biru dan putih.

Instalasi yang mengandung energi yang


berbahaya.
(Waduk, Tanggul, Pusat Nuklir).
Warna tiga buah lingkaran orange
Bendera perdamaian berwarna putih
(dipakai untuk berunding atau sebagai
tanda menyerah).
271

28. Evaluasi.

a. Sebutkan obyek-obyek yang harus dilindungi!


b. Gambarkan tanda perlindungan untuk perlindungan masyarakat!
c. Gambarkan tanda perlindungan untuk instalasi yang mengandung
energi yang berbahaya!
d. Gambarkan tanda perlindungan untuk benda-benda budaya!

BAB VI
TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PRAJURIT

29. Umum. Dalam hukum humaniter mengatur bahwa setiap prajurit mempunyai
kewajiban untuk mengetahui, memahami dan mematuhi ketentuan hukum humaniter,
mencegah terjadinya pelanggaran hukum humaniter serta menjatuhkan sanksi hukum
terhadap mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter (kejahatan perang).
Hal ini terkait dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya, khususnya dalam
pelaksanaan operasi militer.

30. Tugas dan Tanggung Jawab.

a. Tanggung Jawab Komandan.

1) Menjamin prajurit di bawah komandonya menerapkan


Hukum Humaniter dalam pelaksanaan tugas operasi.

2) Menerapkan Hukum Humaniter pada tahap perencanaan


operasi.

3) Memberikan pembekalan Hukum Humaniter bagi prajurit di


bawah komandonya pada tahap persiapan.

4) Mengeluarkan Rules of Engagement (ROE) berisi


ketentuan yang diperbolehkan dan dilarang sebagai pedoman
prajurit.

5) Mencegah, menghentikan dan menindak setiap


pelanggaran Hukum Humaniter.

b. Tanggung Jawab Staf.

1) Membuat perkiraan dan saran staf yang disertai dengan


pertimbangan dari aspek Hukum Humaniter.
272

2) Membantu komandan dalam rangka pembekalan Hukum


Humaniter dan melaksanakan pengawasan terhadap penerapannya.

c. Tanggung Jawab Prajurit.

1) Menerapkan Hukum Humaniter di dalam pelaksanaan


operasi.

2) Mematuhi dan memedomani Rules of Engagement (ROE)


sebagai perintah komandan.

31. Peraturan-peraturan bagi prajurit.

a. Jadilah prajurit yang berdisiplin. Ketidakpatuhan terhadap hukum


perang dapat mempermalukan Negara anda. Angkatan perang anda dan
anda sendiri, dan menyebabkan penderitaan yang tidak perlu. Keinginan
untuk memperlemah musuh sering kali berakibat menjadikan musuh menjadi
lebih kuat.

b. Berperanglah terhadap kombatan musuh dan seranglah hanya


obyek-obyek militer.

c. Hancurkan tidak lebih dari tugas pokok anda.

d. Jangan berperang melawan musuh-musuh yang berstatus “out of


combat“ atau ”hors de combat” (tidak mampu lagi untuk berperang/bertempur)
atau yang telah menyerah, lucuti senjata mereka dan serahkan mereka
kepada atasan anda.
e. Kumpulkan dan rawatlah orang-orang luka dan sakit, tidak peduli
apakah mereka kawan atau lawan.

f. Perlakukan semua penduduk sipil dan semua musuh yang berada


dalam kekuasaan anda secara manusiawi.

32. Evaluasi.

a. Sebutkan tanggung jawab komandan!


b. Sebutkan tanggung jawab staf!
c. Sebutkan tanggung jawab prajurit!
d. Jelaskan peraturan-peraturan bagi prajurit!
273

BAB VII
EVALUASI AKHIR PELAJARAN
(Bukan Naskah Ujian)

33. Evaluasi Akhir.

a. Sebutkan empat buah konvensi Hukum Jenewa!


b. Sebutkan isi dari Hukum Den Haag!
c. Sebutkan tujuan dari Hukum Den Haag dan Jenewa!
d. Sebutkan persenjataan yang dilarang untuk digunakan!
e. Sebutkan prinsip-prinsip dasar Hukum Humaniter!
f. Jelaskan tentang sasaran orang, benda dan tempat!
g. Bagaimana perlakuan terhadap korban karam!
h. Bagaimana perlakuan terhadap tawanan perang dan komabatan
yang tertangkap!
i. Sebutkan obyek-obyek yang harus dilindungi!
j. Gambarkan tanda perlindungan untuk benda budaya yang penting!
k. Sebutkan tugas dan tanggung jawab staf!
l. Sebutkan tugas dan tanggung jawab prajurit!
m. Jelaskan peraturan-peraturan bagi prajurit!

BAB VIII
PENUTUP

34. Penutup. Demikian bahan ajaran Naskah Departemen “Hukum


Humaniter“ ini disusun untuk digunakan sebagai pedoman dalam kegiatan proses
belajar mengajar pada pendidikan Dikmata TNI AD Tahap II Kecabangan Hukum di
Pusat Pendidikan Hukum Kodiklat TNI AD.

Anda mungkin juga menyukai