Anda di halaman 1dari 53

z HUKUM HUMANITER

Ramdani Abd. Hafizh, SH, MH.


z

TERMINOLOGI HUKUM HUMANITER


INTERNASIONAL
z
TERMINOLOGI HUKUM
HUMANITER INTERNASIONAL

• Hukum Humaniter adalah salah satu cabang ilmu dari ilmu


Hukum Internasional.
• Istilah Hukum Humaniter atau lengkapnya disebut
“international humanitarian law applicable in armed
conflict”
• berawal dari istilah Hukum Perang (laws of war; LOW),
yang kemudian sering disebut pula dengan istilah hukum
sengketa bersenjata (laws of armed conflict; LOAC),
hingga akhirnya seringpula disebut sebagai International
Humanitarian Law; IHL.
• Saat ini masyarakat di Indonesia biasa mengatakannya
sebagai Hukum Humaniter Internasional (HHI), atau
disingkat lagi menjadi Hukum Humaniter.
z
Istilah Hukum Perang
(The Laws of War)

• Awalnya istilah Hukum Perang digunakan, untuk


menyatakan suatu aturan-aturan tentang perang
antarnegara
• Tetapi karena trauma Perang Dunia II menelan
banyak korban di kalangan penduduk sipil, maka
dilakukanlah upaya menghindarkan dan bahkan
meniadakan perang
• dengan harapan agar dampak peperangan yang
mengerikan tidak terjadi lagi
z
Upaya tersebut melalui…..

 Pembentukan Liga Bangsa-Bangsa (LBB).

 Dalam Covenant LBB, anggota Liga bersepakat untuk menjamin perdamaian


dan keamanan, sehingga para anggota menerima kewajiban untuk tidak
memilih jalan perang, apabila mereka terlibat dalam suatu permusuhan,
sebagaimana Pasal 12 Covenant LBB
z

• Pembentukan Paris Pact pada tahun 1928.

• Perjanjian ini juga disebut dengan The Briand-Kellog Pact.

• Negara anggota dari perjanjian ini mengutuk adanya perang sebagai suatu
cara penyelesaian dari suatu sengketa, dan tidak mengakui perang
sebagai alat kebijakan politik nasional dan mereka sepakat akan
menyelesaikan perselisihan mereka dengan jalan damai.
• Mereka menghindarkan diri dari perang sebagai penyelesaian konflik
sehingga perjanjian ini dikenal juga dengan nama
“Treaty for the Renunciation of War”.
z
Kesimpulan…….

 Dengan adanya ke dua instrumen hukum tersebut,


maka pada saat itu Negara-negara saling
bersepakat untuk mengutuk penyelesaian sengketa
dengan jalan peperangan dan men-cap Negara
yang melakukannya dengan sebutan “agresor”,
suatu istilah atau label yang sangat tidak disukai
oleh Negara manapun di dunia ini.
z
Akan tetapi………

• walaupun upaya-upaya untuk menghindari


penggunaan perang sebagai cara penyelesaian
sengketa telah dilakukan
• namun peperangan tetap saja terjadi di berbagai
belahan dunia
• hanya saja dengan penyebutan yang berbeda
seperti : “insiden” (yang terkenal antara lain
adalah insiden Manchuria antara Cina dan
Jepang, 1932), “invasi”, “operasi militer”,
“sengketa bersenjata”, “aksi polisionil”, dan
sebagainya
z
Akibatnya…….

 Tetap terjadi perang

 Namun dengan baju yang berbeda, dengan


mengganti istilah perang

 Hal ini dilakukan karena Negara-negara yang


melakukannya tidak ingin di-cap sebagai “agresor”
Istilah Hukum Sengketa Bersenjata (The
z
Laws of Armed Conflict)

 Penyebutan berbagai macam istilah di atas


akhirnya berpengaruh dalam perubahan
penggunaan istilah

 di mana istilah Hukum Perang menjadi jarang


digunakan

 Negara-negara banyak menggunakan istilah


“sengketa bersenjata” sebagai padanan untuk
istilah “perang”
z

 maka hukum yang mengaturnya juga ikut mengalami pergeseran


penyebutan, sehingga jarang lagi terdengar penyebutan “Hukum Perang”

 akan tetapi istilah “Hukum Sengketa Bersenjata” atau “the laws of armed
conflict“, menjadi istilah yang sering digunakan saat itu

 Istilah tersebut kemudian digunakan pula di dalam konvensi-konvensi


Jenewa 1949
z
Istilah Hukum Humaniter
(Humanitarian Law)

• Dalam perkembangan selanjutnya, yaitu pada


permulaan abad ke-20, diusahakan untuk
mengatur cara berperang, yang konsepsi-
konsepsinya banyak dipengaruhi oleh asas
kemanusiaan (“humanity principle“)
• Hal ini disebabkan karena terbentuknya Universal
Declaration of Human Rights, sebagai suatu
pernyataan universal mengenai penghormatan
terhadap hak-hak fundamental dan hak asasi
manusia
z

• Perkembangan tersebut mendapatkan perhatian yang sangat besar,


sebagaimana terlihat dalam beberapa konferensi internasional, maupun
resolusi dari organisasi internasional, seperti :
• Resolusi Majelis Umum PBB No. 2444 tahun 1968 mengenai
“penghormatan terhadap hak asasi manusia pada waktu sengketa
bersenjata“, yang dihasilkan pada tanggal 19 Desember 1968. Dalam ayat
(1), Resolusi ini menegaskan kembali perlunya perlindungan penduduk sipil
terhadap bahaya dari perang yang bersifat membabi-buta, serta perlunya
penghormatan terhadap asas kemanusiaan baik di waktu perang maupun
di waktu damai.
z

• Majelis Umum PBB dalam persidangannya di tahun 1969 mencantumkan


topik mengenai “penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam
sengketa bersenjata“
• Resolusi Majelis Umum PBB No. 2675 tahun 1970 menegaskan kembali
perlunya penghormatan mengenai hak asasi manusia di dalam setiap jenis
sengketa bersenjata
• penyebutannya bergeser menjadi “Hukum Humaniter Internasional yang
berlaku dalam Sengketa Bersenjata” (“International Humanitarian Law
Applicable in Armed Conflict“) atau biasa disebut Hukum Humaniter
Internasional (“International Humanitarian Law”), atau sering disingkat
dengan sebutan Hukum Humaniter
z

Definisi Hukum Humaniter Internasional


z
A. Jean Pictet

yang menulis buku tentang “The Principle of


International Humanitarian Law”. Dalam buku
tersebut, Pictet membagi Hukum Humaniter menjadi
dua golongan besar; yaitu :
1. Hukum Perang, yang dibagi lagi menjadi dua
bagian, yaitu :
a). The Hague Laws, atau hukum yang mengatur
tentang alat dan cara berperang, serta
b). The Geneva Laws, atau hukum yang mengatur
tentang perlindungan para korban perang.
2. Hukum Hak Asasi Manusia
z
B. Esbjorn Rosenblad

yang membedakan antara :


1. Hukum sengketa bersenjata, yaitu hukum yang mengatur
masalah-masalah seperti :
a. Permulaan dan berakhirnya pertikaian;
b. Penduduk di wilayah pendudukan;
c. Hubungan pihak bertikai dengan negara netral.
2. Sedangkan hukum perang, memiliki arti yang lebih sempit
daripada hukum sengketa bersenjata, yang mencakup
antara lain masalah :
a. Metoda dan sarana berperang;
b. Status kombatan;
c. Perlindungan terhadap yang sakit, tawanan perang dan
orang sipil.
z
C. Mochtar Kusumaatmadja

membagi hukum perang menjadi dua bagian:


1. Ius ad bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur
tentang dalam hal bagaimana negara dibenarkan
menggunakan kekerasan bersenjata;
2. Ius in bello yaitu hukum yang berlaku dalam perang,
dibagi lagi menjadi :
a. Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang
(the conduct of war). Bagian ini biasanya disebut
The Hague Laws.
b. Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang
yang menjadi korban perang. Ini lazimnya disebut
The Geneva Laws.
z
D. GPH. Haryomataram

membagi Hukum Humaniter menjadi dua aturan pokok, yaitu :


1. Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai
untuk berperang (Hukum Den Haag / The Hague Laws);

2. Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan


penduduk sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa / The Geneva Laws).
z
E. Pantap (Panitia Tetap) Hukum
Humaniter

Panitia Tetap (Pantap) Hukum Humaniter, Departemen Hukum dan


Perundang-undangan Republik Indonesia merumuskan sebagai berikut:
“Hukum Humaniter sebagai keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan
internasional baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum
perang dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan
terhadap harkat dan martabat seseorang”.
z

Hukum Den Haag
z

 Hukum Den Haag atau The Hague Laws adalah istilah yang dipakai
untuk menunjukkan serangkaian ketentuan Hukum Humaniter yang
mengatur mengenai alat (sarana) dan cara (metoda) berperang
 Disebut dengan The Hague Laws, karena pembentukan ketentuan-
ketentuan tersebut dihasilkan di kota Den Haag, Belanda
 Hukum Den Haag terdiri dari serangkaian ketentuan yang dihasilkan
dari The First Hague Peace Conference (Konferensi Perdamaian I)
yang diadakan mulai tanggal 20 Mei 1899 hingga 29 Juli 1899; dan
ketentuan-ketentuan yang dihasilkan dari The Second Hague Peace
Conference (Konferensi Perdamaian II) tahun 1907.
The First Hague Peace Conference tahun 1899 menghasilkan tiga konvensi
(perjanjian internasional) dan tiga deklarasi (pernyataan) pada tanggal 29 Juli 1899.
z

Adapun tiga konvensi tersebut


Sedangkan tiga deklarasi yang dihasilkan
adalah sebagai berikut :
adalah :
1.Konvensi I tentang 1.Deklarasi tentang Larangan, untuk
Penyelesaian jangka waktu lima tahun, Peluncuran
Persengketaan Proyektil-proyektil dan Bahan
Internasional secara Peledak dari Balon, dan Cara-cara
Damai serupa lainnya
2. Konvensi II tentang Hukum
2. Deklarasi tentang Gas-gas yang
dan Kebiasaan Perang di mengakibatkan sesaknya pernafasan
Darat beserta (gas cekik atau “asphyxating gases)
Lampirannya
3. Konvensi III tentang 3. Deklarasi tentang Peluru-peluru yang
Adaptasi Asas-asas bersifat ‘mengembang’ di dalam
Konvensi Jenewa tanggal tubuh manusia
22 Agustus 1864 tentang
Hukum Perang di Laut
The Second Hague Peace Conference pada tanggal 18
Oktober 1907, menghasilkan 13 konvensi dan sebuah
z deklarasi.

1. Konvensi I tentang Penyelesaian Persengketaan Internasional secara Damai.

2. Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam menuntut Pembayaran Hutang yang berasal dari Kontrak.

3. Konvensi III tentang Permulaan Perang.

4. Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat, beserta Lampirannya.

5. Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral dalam Perang di Darat.

6. Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh pada saat Permulaan Perang.

7. Konvensi VII tentang Status Kapal Dagang menjadi Kapal Perang.

8. Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis di dalam Laut.

9. Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut pada saat Perang.

10. Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang Perang di Laut

11. Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak Penangkapan dalam Perang di Laut.

12. Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-barang Sitaan.

13. Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di Laut

Adapun satu-satunya deklarasi yang dihasilkan dalam Konferensi Perdamaian II tersebut adalah Deklarasi yang melarang Penggunaan
Proyektil-proyektil atau Bahan-bahan Peledak dari Balon.
z

Hukum Jenewa
z

 Hukum Jenewa atau The Geneva Laws adalah istilah yang dipakai
untuk menunjukkan serangkaian ketentuan Hukum Humaniter yang
mengatur mengenai perlindungan para korban perang (protection of war
victims); baik terdari dari kombatan maupun penduduk sipil.

 Disebut dengan Hukum Jenewa, karena hampir sebagian besar


ketentuan-ketentuan mengenai hal ini dihasilkan di kota Jenewa, Swiss.
Hukum Jenewa, terdiri dari empat buah Konvensi Jenewa 1949
yang dihasilkan pada tanggal 12 Agustus 1949, yaitu terdiri
z
dari :

1. Konvensi mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan


Bersenjata yang Luka dan Sakit pada waktu Peperangan di Darat
(Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and
Sick in Armed Forces in the Field) 
2. Konvensi mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan
Bersenjata yang Luka, Sakit dan Korban Karam pada waktu
Peperangan di Laut (Convention for the Amelioration of the Condition of
Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea)
3. Konvensi mengenai   Perlakuan terhadap Para Tawanan Perang
(Convention relative to the Treatment of Prisoners of War) 
4. Konvensi mengenai Perlindungan Orang-orang Sipil pada waktu
Perang ( Convention relative to the Protection of Civilian Persons in Time
of War) 
Protokol tambahan yang dihasilkan pada tahun
1977,
Protokolz Tambahan pada Konvensi-konvensi Jenewa yaitu12:
tanggal
Agustus 1949, yang mengatur mengenai Perlindungan Para
Korban Sengketa Bersenjata Internasional (Protokol I), 8 Juni
1977
Protokol ini masih dilengkapi pula dengan lampiran-lampirannya,
yaitu :
1. Lampiran I (pada Protokol I) : Regulasi-regulasi mengenai
Identifikasi (sebagaimana dirubah pada tanggal 30 November 1993)
2. Lampiran I (pada Protokol I) : Regulasi-regulasi mengenai
Identifikasi (sejak tanggal 6 Juni 1977).
3. Lampiran II (pada Protokol I).

Protokol Tambahan pada Konvensi-konvensi Jenewa tanggal 12


Agustus 1949, yang mengatur mengenai Perlindungan Para
Korban Sengketa Bersenjata Non-Internasional (Protokol II), 8
z

Asas-asas Hukum Humaniter Internasional


1. Asas
z Kepentingan Militer (Military
Necessity)

 Asas ini mengandung arti bahwa suatu pihak


yang bersengketa (belligerent) mempunyai hak
untuk melakukan setiap tindakan yang dapat
mengakibatkan keberhasilan suatu operasi militer,
namun sekaligus tidak melanggar hukum perang.
 Asas kepentingan militer ini dalam
pelaksanaannya sering pula dijabarkan dengan
adanya penerapan prinsip pembatasan (limitation
principle) dan prinsip proporsionalitas
(proportionally principle).
z
Prinsip Pembatasan
(Limitation Principle)
 Prinsip pembatasan adalah suatu prinsip yang
menghendaki adanya pembatasan terhadap sarana
atau alat serta cara atau metode berperang yang
dilakukan oleh pihak yang bersengketa, seperti
adanya larangan penggunaan racun atau senjata
beracun, larangan adanya penggunaan peluru dum-
dum, atau larangan menggunakan suatu proyektil
yang dapat menyebabkan luka-luka yang berlebihan
(superfluous injury) dan penderitaan yang tidak
perlu (unnecessary suffering); dan lain-lain
z
Prinsip Proporsionalitas
(Proportionality Principle)
 Adapun prinsip proporsionalitas menyatakan bahwa
kerusakan yang akan diderita oleh penduduk sipil
atau objek-objek sipil harus proporsional sifatnya
dan tidak berlebihan dalam kaitan dengan
diperolehnya keuntungan militer yang nyata dan
langsung  yang dapat diperkirakan akibat
dilakukannya  serangan terhadap sasaran militer.
 Perlu ditegaskan bahwa maksud proporsional di
sini BUKAN berarti keseimbangan
z 2. Asas Kemanusiaan (Humanity)

 Berdasarkan asas ini, maka pihak yang bersengketa


diharuskan untuk memperhatikan asas-asas kemanusiaan, di
mana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang
dapat menimbulkan luka-luka yang berlebihan atau
penderitaan yang tidak perlu
 Contoh peluru dum-dum
z 3. Asas Ksatriaan (Chivalry)

 Asas ini mengandung arti bahwa di dalam suatu peperangan, kejujuran


harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang ilegal atau bertentangan
dengan Hukum Humaniter serta cara-cara berperang yang bersifat
khianat dilarang
z

Prinsip Pembedaan (Distinction Principle)


dalam Hukum Humaniter
z

 Hukum Humaniter, di samping dibentuk berdasarkan asas kepentingan


militer, asas kemanusiaan dan asas kesatriaan (lihat di sini), maka ada
satu prinsip lagi yang teramat penting, yaitu yang disebut dengan prinsip
pembedaan (distinction principle). Prinsip ini merupakan tonggak
berdirinya Hukum Humaniter, sehingga sering disebut pula dengan ‘the
corner stone of international humanitarian law’
z
Apa arti prinsip pembedaan ?

 Prinsip Pembedaan (distinction principle)


merupakan suatu prinsip dalam Hukum Humaniter
yang membedakan atau membagi penduduk dari
suatu negara yang sedang berperang, atau
sedang terlibat dalam konflik bersenjata, ke dalam
dua golongan besar, yakni kombatan (combatant)
dan penduduk sipil (civilian). Kombatan adalah
golongan penduduk yang secara aktif turut serta
dalam pertempuran, sedangkan penduduk sipil
adalah golongan penduduk yang tidak berhak
untuk turut serta dalam suatu pertempuran
 Di zsamping pembedaan secara subyek (yakni
membedakan penduduk menjadi golongan kombatan
dan penduduk sipil), maka prinsip pembedaan ini
membedakan pula objek-objek yang berada di suatu
negara yang bersengketa menjadi dua kategori pula,
yaitu objek-objek sipil (civilian objects) dan sasaran-
sasaran militer (military objectives). Objek sipil adalah
semua objek yang bukan objek militer, dan oleh karena
itu tidak dapat dijadikan sasaran serangan pihak yang
bersengketa. Sebaliknya, jika suatu objek termasuk
dalam kategori sasaran militer, maka objek tersebut
dapat dihancurkan berdasarkan ketentuan-ketentuan
Hukum Humaniter
Mengapa penduduk perlu dibedakan menjadi
zdua golongan ketika terjadi peperangan ?

 Perlunya diadakan pembedaan yang demikian adalah untuk mengetahui


siapa-siapa saja yang berhak dan boleh turut serta dalam pertempuran di
medan peperangan. Dengan mengetahui seseorang termasuk dalam
kelompok kombatan maka kita harus memahami satu hal : bahwa tugas
kombatan adalah untuk bertempur dan maju ke medan peperangan
(termasuk jika harus melukai, menghancurkan, melakukan tindakan militer
lainnya, bahkan jika harus membunuh musuh sekalipun).Semua orang yang
termasuk ke dalam golongan kombatan ini adalah sasaran atau objek
serangan, sehingga apabila kombatan membunuh kombatan dari pihak
musuh dalam situasi peperangan, maka hal tersebut bukanlah merupakan
tindakan yang melanggar hukum.
 Sebaliknya, golongan yang disebut dengan penduduk sipil (civilian) adalah
golongan yang tidak boleh turut serta dalam pertempuran sehingga tidak
boleh dijadikan sasaran atau objek kekerasan
Apa
z asas umum prinsip pembedaan ?

 Menurut Jean Pictet, prinsip pembedaan berasal


dari asas umum yang dinamakan asas pembatasan
ratione personae yang menyatakan bahwa
penduduk sipil dan orang-orang sipil harus
mendapatkan perlindungan umum bahaya yang
ditimbulkan akibat operasi militer. Penjabaran dari
asas tersebut adalah harus diterapkannya hal-hal
seperti berikut…..
 Pihak-pihak yang bersengketa, setiap saat, harus membedakan
z
antara kombatan dan penduduk sipil guna menyelamatkan
penduduk sipil dan objek-objek sipil.
 Penduduk dan orang-orang sipil tidak boleh dijadikan objek
serangan.
 Dilarang melakukan tindakan atau ancaman kekerasan yang
tujuan utamanya untuk menyebarkan teror terhadap penduduk
sipil.
 Pihak-pihak yang bersengketa harus mengambil segala langkah
pencegahan yang memungkinkan untuk menyelamatkan
penduduk sipil, atau setidak-tidaknya untuk menekan kerugian
atau kerusakan yang tak disengaja menjadi sekecil mungkin.
 Hanya anggota angkatan bersenjata yang berhak menyerang
dan bertempur melawan musuh
Apa dasar hukum prinsip pembedaan
z dalam Hukum Humaniter ?
 Konvensi Den Haag 1907

 Berdasarkan Pasal 2 Regulasi Den Haag , maka ternyata ada pula


segolongan penduduk sipil yang dapat dimasukkan ke dalam kategori
belligerents, sepanjang memenuhi persyaratan yaitu :
1. Mereka merupakan penduduk dari wilayah yang belum diduduki;

2. Mereka secara spontan mengangkat senjata atau melakukan


perlawanan terhadap musuh yang akan memasuki tempat tinggal
mereka; dan oleh karena itu
3. Mereka tidak memiliki waktu untuk mengatur (mengorganisir) diri
sebagaimana ditentukan oleh Pasal 1;
4. Mereka menghormati (mentaati) hukum dan kebiasaan perang; serta

5. Mereka membawa senjata secara terang-terangan


 Aturan dalam Konvensi Jenewa I dan II
z
 Pasal 13. Konvensi ini akan berlaku terhadap orang-orang yang luka
dan sakit yang termasuk dalam golongan berikut :
 Anggota-anggota Angkatan Perang dari suatu pihak dalam
sengketa, begitu pula anggota-anggota milisi atau barisan sukarela,
yang merupakan bagian dari angkatan perang itu;
 Anggota-anggota milisi serta anggota-anggota dari barisan sukarela
lainnya termasuk gerakan perlawanan yang diorganisir, yang
tergolongpada suatu pihak dalam sengketa dan beroperasi di dalam
atau di luar wilayah mereka, sekalipun wilayah itu diduduki, asal saja
milisi atau barisan sukarela tersebut, termasuk perlawanan yang
diorganisir, memenuhi syarat-syarat berikut : a). Dipimpin oleh
seorang yang bertanggung jawab atas bawahannya; b). Mempunyai
tanda pengenal khusus yang tetap, yang dapat dikenal dari jauh;
c).Membawa senjata secara terang-terangan; d). Melakukan
operasinya sesuai dengan hukum dan kebiasaan perang
 Anggota-anggota angkatan perang regular yang tunduk pada suatu pemerintah
atau kekuasaan
z yang tidak diakui Negara Penahan;
 Orang-orang yang menyertai angkatan perang tanpa dengan sebenarnya menjadi
anggota dari angkatan perang itu, seperti anggota awak pesawat terbang militer,
wartawan perang, pemasok perbekalan, anggota-anggota kesatuan kerja atau
dinas-dinas yang bertanggung jawab atas kesejahteraan angkatan perang, asal
saja mereka telah mendapatkan pengesahan dari angkatan perang yang mereka
ikuti;
 Anggota awak kapal niaga termasuk nakhoda, pemandu laut, taruna, dan awak
pesawat terbang sipil dari pihak-pihak dalam sengketa, yang tidak mendapat
perlakuan yang lebih menguntungkan menurut ketentuan-ketentuan lain apapun
dalam hukum internasional;
 Penduduk di wilayah yang belum diduduki yang tatkala musuh datang mendekat,
atas kemauan sendiri dan dengan serentak mengangkat senjata untuk melawan
pasukan-pasukan yang menyerbu, tanpa mempunyai waktu untuk membentuk
kesatuan-kesatuan bersenjata antara mereka yang teratur, asal saja mereka
membawa senjata secara terang-terangan dan menghormati hukum dan
kebiasaan perang
z

 Aturan dalam Konvensi Jenewa III

 Pasal 4A menentukan bahwa “yang dimaksud dengan


tawanan perang” (prisoner of war) menurut Konvensi ini
adalah mereka yang telah jatuh ke dalam kekuasaan pihak
musuh, yang dapat terdiri dari enam kelompok sebagaimana
yang telah disebutkan dalam Pasal 13 Konvensi I dan II
 Adapun, ketentuan Pasal 4B menentukan bahwa terdapat segolongan
penduduk
z yang “juga diperlakukan sebagai tawanan perang“, yakni :

 Orang yang tergolong, atau pernah tergolong, dalam angkatan perang


dari wilayah yang diduduki, apabila Negara yang menduduki wilayah itu
memandang perlu untuk menginternir mereka karena kesetiaan itu,
walaupun Negara itu semula telah membebaskanmereka selagi
permusuhan berlangsung di luar wilayah yang diduduki negara itu,
terutama jika orang-orang demikian telah mencoba dengan tidak
berhasil untuk bergabung kembali dengan angkatan bersenjata mereka
yang terlihat dalam pertempuran, atau jika mereka tidak memenuhi
panggilan yang ditujukan kepada mereka berkenaan dengan
penginterniran.
 Orang-orang yang termasuk dalam salah satu golongan tersebut dalam
Pasal ini, yang telah diterima oleh negara-negara netral atau negara-
negara yang tidak turut berperang dalam wilayahnya, dan yang harus
diinternir oleh negara-negara itu menurut hukum internasional
z
Siapa sajakah kombatan ?
Kombatan (combatant) adalah orang-orang yang berhak ikut serta
secara langsung dalam pertempuran atau medan peperangan
siapa saja yang dapat dianggap sebagai kombatan :
 Angkatan Bersenjata resmi (reguler) dari suatu negara

 Milisi dan Korps Sukarela

 Levee en masse

 Gerakan perlawanan yang terorganisir (Organize Resistance


Movement), seperti yang dikenal dengan sebutan : guerillas, partisans,
maquisard, freedom fighters, insurgent, sandinistas, peshmergars,
panjsheries, mujahideen, motariks, contras, muchachos, khmer rouge /
liberation tiger, mau-mau, fedayins, dan sebagainya
z
Apakah mereka kombatan ?
z
Apakah mereka penduduk sipil
(civilian) ?
Apa maksud “common articles” dalam Konvensi
z Jenewa 1949 ?

 Common articles dari Konvensi Jenewa 1949 dapat


diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu :

A. Ketentuan-ketentuan umum.

B. Ketentuan-ketentuan mengenai pelanggaran


dan penyalahgunaan konvensi; dan

C. Ketentuan-ketentuan pelaksanaan dan


ketentuan penutup.
z
A. Ketentuan-ketentuan umum
Dalam keempat Konvensi Jenewa 1949, akan ditemukan pasal-pasal kembar mengenai
ketentuan umum ini. Pasal-pasal yang termasuk dalam ketentuan umum ini mengatur
mengenai :
 Penghormatan Konvensi (Pasal 1);

 Berlakunya Konvensi (Pasal 2);

 Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional (Pasal 3);

 Orang-orang yang dilindungi (protected persons; Pasal 4);

 Lamanya perlindungan diberikan (Pasal 5);

 Persetujuan-persetujuan khusus (Pasal  6);

 Larangan untuk melepaskan hak (Pasal 7);

 Pengawasan pelaksanaan konvensi (Pasal 8);

 Larangan untuk mengadakan tindakan balasan (Pasal 46);

 Diseminasi atau penyebarluasan Hukum Humaniter (Pasal 47).


B. Ketentuan-ketentuan mengenai
pelanggaran
z
dan penyalahgunaan konvensi

 Ketentuan umum mengenai  sanksi pidana


(Pasal 49 Konvensi I; Pasal 50 /II; 129/III;
146/IV);
 Ketentuan mengenai “pelanggaran-
pelanggaran berat” (grave breaches) (Pasal
50/I; 51/II; 130/III; 147/IV);
 Ketentuan mengenai tanggung-jawab negara
peserta Konvensi Jenewa dalam hal terjadi
pelanggaran (Pasal 51-54/I; 52-53/II;
131-132/III; 148-149).
z
C. Ketentuan-ketentuan
pelaksanaan dan ketentuan penutup

 Ketentuan mengenai berlakunya Konvensi (entry into force)

 Ketentuan mengenai pernyataan ikut serta dalam Konvensi (ratification);

 Ketentuan mengenai berakhirnya keikutsertaan suatu pihak dalam


Konvensi

Anda mungkin juga menyukai