Anda di halaman 1dari 25

RAHASIA

MARKAS BESAR ANGKATAN DARAT Lampiran II Keputusan Dirkumad


DIREKTORAT HUKUM Nomor Kep/ 48 / XII /2018
Tanggal 21 Desember 2018

HUKUM HAK ASASI MANUSIA


BAB I
PENDAHULUAN

1. Umum.

a. Salah satu tugas dan tanggung jawab negara sebagai negara yang
berdaulat dan sebagai negara perserikatan bangsa-bangsa adalah memajukan
perlindungan dan penyelenggaraan dan penegakan Hak Asasi Manusia dalam
memberikan jaminan perlindungan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi
dan dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat manusia.

b. Penyelenggaraan atau perlindungan hak asasi manusia dengan


berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Sesuai dengan tugas dan
tanggung jawabnya dalam melaksanakan upaya pertahanan darat, maka setiap
prajurit jajaran TNI AD wajib memahami, menghormati dan menerapkan hak asasi
manusia pada setiap lingkup paduan tugasnya.

c. Dalam rangka memberikan bekal pengetahuan tentang Hukum HAM yang


sangat berguna dalam pelaksanaan tugas nantinya, maka perlu diberikan materi
pelajaran ini kepada Pasis Diktukpa TNI AD.

2. Maksud dan Tujuan.

a. Maksud. Naskah Sekolah ini disusun sebagai pedoman bagi Gadik dan
Pasis dalam proses belajar mengajar Pendidikan Perwira TNI AD.

b. Tujuan. Agar Pasis Pendidikan Perwira TNI AD mengerti tentang Hukum


Hak Asasi Manusia sebagai bekal dalam pelaksanaan tugas di satuan.

3. Ruang Lingkup dan Tata Urut. Naskah Sekolah Hukum HAM ini meliputi
penjelasan tentang Hukum HAM yang disusun dengan tata urut sebagai berikut:

a. Bab I Pendahuluan
b. Bab II Hubungan Hukum HAM dan Hukum Humaniter
c. Bab III Penerapan HAM dalam Operasi Militer
d. Bab IV Tempat Kedudukan Pengadilan HAM
e. Bab V Lingkup Kewenangan
f. Bab VI Hukum Acara Pengadilan HAM
g. Bab VII Perlindungan Korban dan Saksi
h. Bab VIII Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi
i. Bab IX Ketentuan Pidana
j. Bab X Proses Penyelesaian HAM Berat
j. Bab XI Penutup
4. Referensi.
RAHASIA
2

a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM;

b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 tentang


Pengadilan HAM;

c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang


PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND
CULTURAL RIGHTS (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya);

d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 tentang


PENGESAHAN International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan
Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)

e. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang


Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak
Asasi Manusia Yang Berat;

f. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 tentang


Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang berat;

g. Buku Petunjuk Teknik tentang Penerapan Hukum Ham dan Hukum


Humaniter dalam Penyelenggaraan Latihan; dan

h. Skep Kasad Nomor: Skep/230/VII/2002 tanggal 29 Juli 2003 tentang


Bujuknik tentang penerapan HAM di lingkungan TNI AD.

5. Pengertian.

a. Hak asasi manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia (Pasal 1 butir 1. UU No. 39 Tahun 1999).

b. Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok


orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau
kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan
atau mencabut HAM seseorang atau sekelompok orang yang dijamin oleh UU ini
dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian
hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1
butir 6. UU No. 39 Tahun 1999).

c. Pelanggaran HAM berat adalah pelanggaran HAM sebagaimana yang


diatur dalam pasal 7 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang
meliputi:

1) Kejahatan genosida; dan


2) Kejahatan terhadap kemanusiaan.
3
d. Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus yang memeriksa dan memutus
pelanggaran HAM berat.

e. Permufakatan jahat adalah 2 (dua) orang atau lebih sepakat akan


melakukan palanggaran Hak Asasi Manusia yang berat.

BAB II
HUBUNGAN HUKUM HAM DAN HUKUM HUMANITER

6. Umum. Hubungan antara Hukum Humaniter dan Hukum HAM dapat dilihat
dari persamaan dan perbedaan kedua disiplin ilmu tersebut, dimana persamaannya
adalah sama-sama memberikan perlindungan kepada manusia, sedangkan
perbedaannya adalah kalau hukum Humaniter memberikan perlindungan kepada manusia
pada saat terjadi pertikaian bersenjata, sedangkan hukum HAM memberikan
perlindungan kepada manusia pada masa damai.

7. Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia.

a. Sejarah Perkembangan HAM Internasional. Pertama kali hak-hak asasi


manusia dan pengaturannya diakui adalah sejak munculnya dan berlakukanya
secara universal pernyataan umum tentang HAM (Universal Declararation of
Human Right) yang dicetuskan PBB pada tanggal 10 desember 1948 yang
kemudian diperingati sebagai hari hak asasi manusia. Namun perkembangan
tersebut tidaklah terlepas dari beberapa dokumen atau kejadian di masa
sebelumnya dan berkaitan dengan hal tersebut, diantaranya:

1) Konsepsi HAM telah ada sejak zaman pemerintahan Raja


Hammurabi (1792-1750 SM) di Babilonia. Demikian pula pada masa
pemerintahan Kaisar Justianus di Romawi Timur, konsepsi HAM dikenal
dengan nama Corpus Juris Civilis. Di Eropa Barat yaitu Inggris, Peristiwa
yang menjadi tonggak pertama kemenangan HAM ialah lahirnya Magna
Charta (Piagam Agung) pada tahun 1215. Dalam Piagam Magna Charta
tersebut tercantum kemenangan para bangsawan atas Raja Inggris, di
dalamnya dijelaskan bahwa raja tidak dapat lagi bertindak sewenang-
wenang dalam hal-hal tertentu. Raja dalam mengambil tindakan harus
mendapat persetujuan para bangsawan.

2) Revolusi Amerika tahun 1776, revolusi dalam abad ke-18 ini besar
sekali pengaruhnya pada perkembangan HAM. Revolusi Amerika menuntut
adanya hak bagi setiap orang untuk hidup merdeka, dalam hal ini hidup
bebas dari kekuasaan Inggris.

3) Revolusi Perancis tahun 1789, bertujuan untuk membebaskan warga


negara Perancis dari kekangan kekuasaan mutlak seorang Raja sebagai
penguasa tunggal negara (Absolute Monarchi) di Perancis pada waktu itu
yakni Raja Louis XVI.
4
4) Perkembangan HAM yang sangat berarti terjadi pada pasca Perang
Dunia kedua dengan dirumuskannya “The Four Freedom” pada tahun 1941
oleh Presiden AS Roosevelt yaitu: kebebasan untuk berbicara, kebebasan
beragama, kebebasan dari rasa takut dan kebebasan dari kemiskinan.

5) Atas prakarsa PBB, maka pada tahun 1948 diadakan suatu


konferensi yang melahirkan Deklarasi Universal tentang HAM (Universal
Declaration of Human Rihts) pada tanggal 10 Desember 1948. Deklarasi ini
mengadopsi sebagian besar dari Deklarasi Hak Warga Negara Perancis
tahun 1789. Setelah itu norma HAM tersebut kemudian dipertegas dalam
dua buah konvensi (perjanjian) internasional yaitu:

a) Konvensi tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International


Covenant on Civil and Political Rights) tahun 1966.

b) Konvensi Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan


Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights) tahun 1966.

c) Pada tanggal 25 Juni 1993 wakil-wakil dari 171 negara secara


konsensus menerima Deklarasi Winna (Vienna Convention) dan
Program Aksi dari Konferensi Dunia HAM yang memberikan suatu
kerangka kerja untuk perencanaan, dialog dan kerjasama baru bagi
masyarakat internasional dalam memajukan HAM baik dalam lingkup
nasional maupun lokal.

6) Patut pula dikemukakan disini bahwa jauh sebelum lahirnya Magna


Charta di Inggeris pada tahun 1215, sebenarnya di dunia Islam telah terlebih
dahulu ada suatu piagam tentang hak asasi manusia yang dikenal dengan
“piagam Madinah” di Madinah pada tahun 622, piagam inilah yang memberi
jaminan perlindungan hak asasi manusia bagi penduduk Madinah yang
terdiri dari berbagai suku dan agama (Abdullah,Syamsir, 2002, hal 9).

b. Sejarah Perkembangan HAM Nasional. HAM di Indonesia tidaklah lahir


bersamaan dengan Deklarasi HAM PBB 1948. Pada bulan Agustus tahun 1945
bangsa Indonesia membuat UUD 45 dengan 5 pasal mengenai HAM dan 3 tahun
kemudian, pada tanggal 10 Desember 1948 PBB melahirkan Deklarasi Universal
Hak-hak Asasi Manusia. Adapun perkembangannya sebagai berikut:

1) Sidang periode pertama BPUPKI terbagai dua yaitu, pertama


berlangsung dari tanggal 19 Mei 1945 hingga 1 Juni 1945. Sidang periode
kedua diselenggarakan pada tanggal 10 sampai 16 Juli 1945. Sidang I
BPUPKI mendengarkan pidato Soekarno, Muhammad Yamin, Soepomo,
Muhammad Hatta dan mereka terlibat perbedaan pandangan mereka
mengenai konsep-konsep “kebebasan” seperti di negara Barat. Akhirnya
para pendiri Republik Indonesia dengan jiwa besar setuju untuk kompromi,
maka lahirlah pasal 27, pasal 28 dan pasal 29 UUD tahun 1945.

2) Pada tahun 1966 MPRS telah mengeluarkan TAP MPRS No.


XIV/MPRS/1966 tanggal 6 Agustus 1966 dengan membentuk Panitia Ad
Hoc IV MPRS yang telah berhasil menyusun rancangan TAP MPRS tentang
HAM.
5
3) Kemudian pada tahun 1993 pemerintah Indonesia berdasarkan
keputusan Presiden RI Nomor. 5 tahun 1993 tanggal 7 Juni 1993
membentuk suatu komisi yang secara khusus melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan HAM di Indonesia yang lazim disebut sebagai Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

4) Pada tanggal 25 Juni 1993 Indonesia berpartisipasi dalam Konferensi


Dunia kedua mengenai Hak-hak asasi manusia di Wina Austria yang telah
berhasil mengeluarkan Deklarasi dan Program Aksi di bidang Hak-hak asasi
manusia. Sebagai tindak lanjut dari Deklarasi dan program Aksi Wina
tersebut, Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan Keputusan
Presiden Nomor, 129 tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak-Hak
Asasi Manusia di Indonesia.

5) Selanjutnya setelah era reformasi, perkembangan HAM maupun


Hukum HAM di Indonesia semakin maju seiring dengan proses
demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal itu
diwujudkan dengan ditetapkannya TAP MPR RI Nomor: XVII/MPR/1998
tentang HAM.

6) Selain itu MPR juga telah berhasil mengamandemen UUD 1945,


diantaranya menambah pasal 28.A sampai dengan pasal 28.J yang khusus
berisi tentang HAM.

7) Perkembangan hak asasi manusia di Indonesia berikutnya adalah


dibuatnya instrumen khusus HAM oleh Pemerintah bersama DPR yaitu:
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM beserta peraturan
pelaksanaannya.

8. Konsepsi dan Instrumen HAM.

a. Konsepsi HAM. Persepsi terhadap konsepsi tentang HAM ternyata


berbeda, khususnya perbedaan persepsi antara negara-negara maju (Negara
Barat) dengan negara-negara berkembang (Negara Timur). Hal itu terjadi karena
adanya kesenjangan antara negara barat dan timur terutama tingkat
kesejahteraannya, disamping itu juga adanya perbedaan dalam ideologi, budaya,
maupun sejarah. Perbedaan persepsi tersebut menimbulkan adanya empat
kelompok pandangan tentang HAM yang dianut oleh negara-negara di dunia,
antara lain:

1) Universal Absolut, adalah memandang HAM sebagai nilai universal


semata-mata tanpa memandang profil sosial budaya yang melekat pada
masing-masing bangsa. Pandangan ini dianut oleh negara-negara maju dan
bagi negara berkembang seringkali dipandang eksplotatif (sebagai alat
penekan) dan instrumen penilai (tools of judgement).

2) Universal Relatif, adalah persoalan HAM dilihat sebagai persoalan


universal dengan pengecualian asas-asas Hukum Internasional.
6
3) Partikularistik Absolut, adalah persoalan HAM sebagai persoalan
bangsa semata-mata, tanpa argumentasi mendasar khususnya penolakan
terhadap Instrumen-instrumen HAM Internasional. Pandangan ini dianut
oleh negara-negara yang otoriter.

4) Partikularistik Relatif, adalah memandang persoalan HAM di samping


sebagai masalah Universal juga merupakan masalah nasional masing-
masing negara, karena itu Instrumen-instrumen Internasional dalam
penerapannya harus diselaraskan dengan budaya bangsa. Meskipun tidak
ada pernyataan secara tegas, pandangan ini dianut juga oleh Bangsa
Indonesia.

b. Instrumen HAM adalah perangkat hukum HAM yang merupakan landasan


hukum bagi upaya perlindungan dan penegakan HAM. Pada dasarnya instrumen
HAM yang ada didunia terdiri dari 3 lingkup berlakunya, yaitu instrumen HAM
internasional, instrumen HAM regional dan instrumen HAM nasional.

1) Instrumen HAM Internasional. Induk dari seluruh Instrumen HAM


Internasional adalah The International Bill Of Human Rights yang terdiri dari
tiga dokumen pokok, yaitu:

a) The Universal Declaration Of Human Rights atau Deklarasi


Universal tentang HAM. Disahkan oleh PBB pada tanggal 10
Desember 1948. HAM yang diatur dalam deklarasi ini, meliputi:

(1) Hak untuk hidup;


(2) Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi;
(3) Hak untuk bebas dari penyiksaan;
(4) Hak partisipasi politik;
(5) Hak atas harta benda;
(6) Hak atas perkawinan dan membentuk keluarga;
(7) Hak untuk bebas mengemukakan pendapat dan pikiran;
(8) Hak untuk memeluk agama;
(9) Hak kebebasan untuk berkumpul dan berpendapat;
(10) Hak atas pekerjaan;
(11) Hak atas kehidupan yang layak;
(12) Hak atas pendidikan; dan
(13) Hak untuk menikmati kebudayaan dan seni.

b) International Covenant On Economic, Social And Cultural


Rights atau Perjanjian Internasional tentang HAM dibidang Ekonomi,
Sosial dan Budaya. Di sahkan pada tahun 1966 dan substansinya
mencakup jaminan hak asasi perorangan pria, wanita, keluarga dan
masyarakat di bidang ekonomi, sosial dan budaya.

c) International Covenant On Civil And Political Rights atau


Perjanjian Internasional tentang HAM dibidang kehidupan
bermasyarakat dan Politik. Substansinya mencakup jaminan hak-hak
manusia untuk hidup, menikmati setiap hak miliknya, larangan
perbudakan, jaminan terhadap penangkapan dan penahanan, hak
untuk bepergian, hak kebebasan berpikir, berhati nurani serta
beragama, berkepribadian, berkeluarga, hak kerahasiaan surat-
menyurat, hak atas kehormatan diri, hak orang terhadap anak, hak
7
berkumpul dan bersidang, hak berorganisasi, hak ikut dalam kegiatan
kemasyarakatan dan bernegara serta hak atas perlindungan hukum.
Di samping tiga dokumen pokok di atas, sampai dengan saat ini telah
terbentuk lebih kurang 50 buah perjanjian internasional tentang HAM
mengatur tentang apartheid, diskriminasi rasial, diskriminasi terhadap
wanita, intoleransi agama, hak-hak orang cacat, penyiksaan dan
HAM lainnya.

2) Instrumen HAM Regional. Kawasan Regional tertentu dapat


menyusun dan mengembangkan sendiri instrumen HAM Regionalnya,
disesuaikan dengan latar belakang sejarah dan budayanya sendiri
sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Instrumen HAM Internasional
yang telah disepakati secara luas, sebagai contoh:

a) Konvensi Eropa untuk pencegahan penyiksaan dan perlakuan


atau penghukuman yang tidak manusiawi dan merendahkan
martabat.

b) Konvensi Inter-Amerika untuk mencegah dan menghukum


penyiksaan.

c) Piagam Afrika tentang HAM dan Hak Penduduk.

d) Deklarasi  HAM ASEAN yang ditetapkan pada 18 November


2012.

e) Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara tentang


penghormatan terhadap hak setiap negara anggota.

3) Instrumen HAM Nasional Indonesia. Berbagai instrumen HAM


nasional yang harus dipedomani di Indonesia adalah sebagai berikut:

a) Perubahan kedua Undang-Undang Dasar 1945 oleh MPR RI


yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000, hak asasi manusia
diatur dalam Bab XA Pasal 28 A sampai dengan J.

b) Tap. MPR No. XVII/1996 tentang Pandangan dan Sikap


Bangsa Indonesia terhadap HAM dan Piagam HAM Nasional.

c) Pedoman dalam penegakan hukum HAM di Indonesia adalah


UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM. Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang
HAM, hak setiap warga negara, meliputi:

(1) Hak untuk hidup.


(2) Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan.
(3) Hak untuk mengembangkan diri.
(4) Hak memperoleh keadilan.
(5) Hak atas kebebasan pribadi.
(6) Hak atas rasa aman.
(7) Hak atas kesejahteraan.
(8) Hak turut serta dalam pemerintahan.
(9) Hak wanita.
8
(10) Hak anak.

4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang


PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL
AND CULTURAL RIGHTS (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya);

5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 tentang


PENGESAHAN International Covenant On Civil And Political Rights
(Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik);

6) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002


tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam
Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat; dan

7) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002


tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi terhadap Korban
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat;

9. Persamaan dan Perbedaan Hukum HAM dengan Humaniter.

a. Persamaan antara Hukum HAM dengan Humaniter.

1) Kedua hukum Internasional ini sama-sama memuat tentang hak bagi


individu atau masyarakat dan kewajiban bagi negara terhadap individu.

2) Kedua hukum Internasional ini sama-sama memberikan perlindungan


semua orang sipil.

3) Kedua hukum Internasional ini sama-sama membatasi kekerasan


baik individu maupun negara kepada warga sipil atau individu lainnya.

b. Perbedaan antara Hukum HAM dengan Humaniter.

1) Hukum Humaniter diterapkan terutama kepada negara, sementara


hukum HAM diterapkan kepada individu-individu.

2) Hukum Humaniter dirancang secara khusus untuk situasi sengketa


bersenjata/keadaan perang, sedangkan Hukum HAM ditujukan untuk
menjamin hak setiap individu dalam waktu damai.

3) Hukum Humaniter ditujukan kepada katagori orang-orang yang


dilindungi pada waktu perang seperti mereka yang luka dan sakit,
sedangkan Hukum HAM ditujukan kepada kepada semua individu tanpa
melihat suatu status tertentu.

4) Kedua sistem hukum ini berbeda baik tujuan maupun mekanismenya:

a) Hukum Humaniter melibatkan negara-negara, negara


pelindung dan ICRC.
9
b) Hukum HAM melibatkan lembaga-lembaga penyelidikan baik
swasta maupun publik, badan-badan hukum, dan lembaga banding
dari negara atau individu.

5) Hukum Humaniter merupakan instrumen hukum internasional,


sedangkan hukum HAM merupakan instumen hukum yang ada di tingkat
internasional, regional dan nasional suatu negara.

6) Hukum Humaniter tujuan utamanya lebih mengarah pada


peningkatan perlindungan dan solidaritas terhadap para korban perang,
sedangkan Hukum HAM adalah menghukum setiap pelanggaran.

7) Dalam Hukum Humaniter, setiap individu yang menjadi korban tidak


dimungkinkan untuk menuntut langsung suatu negara apabila terjadi
pelanggaran, sedangkan Hukum HAM memberikan hak dan Jaminan
langsung kepada setiap orang untuk dapat membuka proses pengadilan jika
terjadi pelanggaran.

8) Hukum Humaniter bersifat “Inalienable” berarti hak tersebut tidak


dapat ditolak oleh orang yang ditujukan sebagai penerima. Individu lebih
dianggap sebagai obyek perlindungan hukum., sedangkan hukum HAM
memberikan kebebasan kepada individu untuk menggunakan hak dan
jaminan yang diberikan sesuai dengan pendapat dan kepentingannya
sendiri. Oleh karena itu individu menjadi subyek hukum yang aktif.

BAB III
PENERAPAN HAM DALAM OPERASI MILITER

10. Umum. Operasi militer adalah kegiatan terencana yang dilaksanakan oleh
satuan militer dengan sasaran waktu, tempat, dan dukungan logistik yang telah ditetapkan
sebelumnya melalui perencanaan yang terinci, dimana operasi militer ini dibagi menjadi 2
Pola yaitu Operasi Militer Perang dan Operasi Militer Selain Perang. Penerapan HAM
dalam suatu operasi militer hanya terbatas pada operasi militer selain perang, sedangkan
dalam operasi militer perang yang diberlakukan adalah Hukum Humaniter.

11. Sejarah Penerapan HAM dan HUMANITER.

a, Deklarasi Universal HAM tahun 1948 tidak menyinggung penghormatan


HAM pada waktu pertikaian bersenjata. Demikian pula, konvensi-konvensi Jenewa
pada tahun 1949 tidak menyinggung soal HAM. Namun, konvensi-konvensi
Jenewa dan konvensi mengenai HAM masih berkaitan. Setiap konvensi dari
keempat konvensi Jenewa menegaskan bahwa orang yang dilindungi tidak bisa
menolak hak-hak yang diberikan oleh perjanjian ini (Pasal 7 dari konvensi I, II dan
III Pasal 8 konvensi IV). Apalagi pasal 3 yang sama dalam keempat konvensi
Jenewa memberikan kewajiban kepada setiap Negara penandatangan untuk
menghormatai peraturan-peraturan dasar kemanusian, jika terjadi pertikaian
bersenjata yang bersifat Internasional,
10

b, Hubungan HAM dan Hukum Humaniter tidak pernah diperhatikan, baru pada
akhir tahun enam puluhan, Kesadaran ini meningkat dengan adanya pertikaian
bersenjata seperti perang kemerdekaan di Afrika, Konflik di Timur Tengah dan di
Vietnam menimbulkan permasalahan yang dapat dipandang baik dari segi hukum
perang maupun dari segi HAM. Konvensi mengenai HAM yang diselenggarakan
oleh PBB di Teheran tahun 1968, secara resmi menjalin hubungan antara HAM
dan Hukum Humaniter. Dalam Resolusi XXIII tertanggal 12 Mei 1968 mengenai
“penghormatan HAM pada waktu pertikaian bersenjata” Konferensi meminta
supaya konvensi-konvensi tentang pertikaian bersenjata diterapkan agar lebih
sempurna dan agar supaya disepakati perjanjian baru dalam hal ini. Dengan
demikian setelah diadakan Konvensi di Teheran para negara baru bersedia untuk
melengkapi konvensi-konvensi Jenewa sedangkan sebelumnya “Peraturan-
peraturan untuk membatasi masalah masyarakat sipil pada waktu perang” yang
diusulkan oleh ICRC pada tahun 1956 tidak menarik perhatian mereka.

12. Batasan HAM Dalam Operasi Militer.

a. Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar dan bersifat kodrati yang melekat
pada manusia atas kelahirannya sebagai manusia, pemenuhan bagi penikmatan
HAM merupakan hal yang patut dan penting dan merupakan masalah tersendiri
dalam HAM, dilihat dari segi pemenuhannya HAM dapat dibedakan dalam dua
konsep, yakni derogable rights dan non-derogable rights. Derogable rights berarti
hak-hak yang dapat dibatasi, sedangkan non-derogable rights adalah hak-hak yang
tidak dapat dibatasi kapanpun, dimanapun, dalam keadaan apapun dan oleh
siapapun.

b. Pembatasan terhadap Hak Asasi Manusia hanya dapat dilakukan oleh


hukum, di Indonesia aturan yang membatasi HAM adalah :

1) Pasal 28J UUD 1945, yang berbunyi :

a) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain


dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara

b) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang


wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-
undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis.

2) Pasal 70 UURI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,


yang berbunyi: Dalam menjalankan dah dan kewajiban, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan
maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adli sesuai
dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis.
11

3) Pasal 73 UURI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,


yang berbunyi: Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini
hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata
untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia
serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan
kepentingan bangsa.

4) Pasal 74 UURI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,


yang berbunyi: Tidak satu ketentuanpun dalam Undang-undang ini boleh
diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan, atau pihak manapun
dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia
atau kebebasan dasar yang diatur dalam Undang-undang ini.

5) Pasal 4 Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant


on Civil and Political Rights (ICCPR) yang sudah disahkan dengan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 tentang PENGESAHAN
International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional
Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)

a) Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa


dan keberadaannya, yang telah diumumkan secara resmi, negara-
negara pihak kovenan ini dapat mengambil langkah-langkah yang
mengurangi kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan Kovenan ini,
sejauh memang sangat diperlukan dalam situasi darurat tersebut,
sepanjang langkah-langkah tersebut tidak bertentangan dengan
kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional dan
tidak mengandung diskriminasi semata-mata berdasarkan atas ras,
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial.

b) Pengurangan kewajiban atas pasal-pasal 6,7,8 (ayat 1 dan 2),


11, 15, 16 dan 18 sama sekali tidak dapat dibenarkan dalam
ketentuan ini.

c) Setiap negara Pihak Kovenan ini yang menggunakan hak


untuk melakukan pengurangan tersebut harus segera
memberitahukannya kepada negara-negara pihak lainnya melalui
perantaraan Sekretaris Jenderal PBB, mengenai ketentuan-ketentuan
yang dikuranginya, dan mengenai alasan-alasan pemberlakuannya.
Pemberitahuan lebih lanjut, harus dilakukan melalui perantara yang
sama pada saat berakhirnya pengurangan tersebut.

c. Perwujudan Hukum HAM dan Hukum Humaniter dalam setiap OMSP dan
OMP yang melibatkan TNI akan tertuang dalam aturan pelibatan (Rules Of
Engagement) dan buku saku (Pocket Card) yang harus dijalankan oleh setiap
prajurit TNI.
12

BAB IV
TEMPAT KEDUDUKAN PENGADILAN HAM

13. Umum. Pengadilan HAM merupakan pengadilan yang mempunyai sifat khusus
yang hanya dapat mengadili pelaku-pelaku pelanggaran HAM berat berupa Genocide dan
kejahatan kemanusiaan. Untuk mengadili pelaku-pelaku pelanggaran HAM berat dapat
ditempuh dengan 2 (dua) cara yakni diadili oleh Pengadilan HAM Permanen dan
Pengadilan HAM Ad. Hoc. Pengadilan HAM yang bersifat permanen hanya mengadili
pelaku-pelaku pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah berlakunya UU Nomor 26
Tahun 2000, sedangkan Pengadilan HAM Ad. Hoc mengadili pelaku-pelaku pelanggaran
HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU Nomor 26 Tahun 2000 atas usul DPR
berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.

14. Tempat dan Kedudukan. Pengadilan HAM berkedudukan di daerah Kabupaten


atau daerah Kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang
bersangkutan. Untuk daerah Khusus Ibukota Jakarta, pengadilan HAM berkedudukan
disetiap wilayah pengadilan negeri yang bersangkutan yang merupakan pengadilan
khusus yang berada di lingkungan peradilan umum, dimana kewenangannya hanya dapat
mengadili pelaku-pelaku pelanggaran HAM berat sebagaimana yang diatur dalam pasal 8
dan pasal 9 UU Nomor 26 Tahun 2000.

15. Bentuk dan Sifat Hubungan Hukum HAM. Penyelenggaraan dan perlindungan
Hukum HAM bersifat vertikal dan horizontal:

a. Penyelenggaraan Hukum HAM bersifat vertikal, yaitu mengatur hubungan


hukum antara perangkat negara dengan rakyat atau warga negara berdasarkan
kewenangan dan cara yang telah ditetapkan oleh Undang-undang. Jika aparat
negara melakukan kegiatan tanpa dilandasi dengan kewenangan (kompetensi),
atau dalam melaksanakan tugasnya menyimpang dari hukum yang berlaku, maka
terjadi pelanggaran HAM.

b. Perlindungan Hukum HAM bersifat horizontal, yaitu mengatur hubungan


hukum antara warga negara/individu dengan warga negara individu untuk saling
menghormati hak asasi masing-masing. Aparat negara yang berwenang
bertanggung jawab untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Bila aparat negara
tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya maka terjadi pelanggaran HAM.

BAB V
LINGKUP KEWENANGAN

16. Umum. Berdasarkan Statuta Roma 1998 menyebutkan bahwa pengadilan


kejahatan internasional merupakan pelengkap terhadap yuridiksi pengadilan nasional
suatu negara. Dengan demikian setiap pelaku-pelaku pelanggaran HAM yang terjadi
diserahkan sepenuhnya kepada negara yang bersangkutan, terkecuali apabila negara
tersebut tidak mempunyai kemampuan dan kemauan untuk mengadilinya akan menjadi
13
yuridiksi dari pengadilan kejahatan internasional (ICC). dengan adanya UU Nomor 26
Tahun 2000 telah membuktikan bahwa negara kita dianggap mampu untuk mengadili
pelaku-pelaku pelanggaran HAM berat.

17. Yurisdiksi.

a. Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan


perkara Pelanggaran HAM berat, pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan
memutus perkara pelanggaran HAM berat yang dilakukan di luar batas teritorial
wilayah negara Repulik Indonesia oleh warga negara Indonesia.

b. Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara


pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18
tahun pada saat kejahatan dilakukan.

18. Pelanggaran HAM. Istilah pelanggaran HAM dalam pengertian umum dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu pelanggaran HAM biasa dan pelanggaran HAM yang berat.
Namun dalam pengertian hukum HAM, yang dimaksud dengan pelanggaran HAM adalah
pelanggaran HAM yang berat. Hal itu sesuai pasal 4 UU No. 26 tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM telah ditentukan bahwa Pengadilan HAM bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutus pelanggaran HAM yang berat.

a. Pelanggaran HAM biasa adalah pelanggaran hukum terhadap ketentuan


Hukum Pidana, baik pidana umum maupun pidana militer. Jadi pelanggaran HAM
biasa juga disebut dengan tindak pidana atau tindak kriminalitas.

b. Pelanggaran HAM yang berat. Ketentuan tentang pelanggaran HAM yang


berat terdapat dalam pasal 7, 8 dan 9 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM, yaitu:

1) Pasal 7: Pelanggaran HAM yang berat meliputi:

a) Kejahatan Genosida.

b) Kejahatan terhadap kemanusiaan.

2) Pasal 8: Kejahatan Genosida, yaitu setiap perbuatan yang dilakukan


dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau
sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan
cara:

a) Membunuh anggota kelompok tersebut.

b) Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat


terhadap anggota kelompok.

c) Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan


mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian.

d) Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah


kelahiran dalam kelompok.
14

e) Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu


ke kelompok lain.

3) Pasal 9: Kejahatan terhadap kemanusiaan, yaitu salah satu


perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau
sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara
langsung terhadap penduduk sipil, berupa:

a) Pembunuhan.

b) Pemusnahan.

c) Perbudakan.

d) Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.

e) Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik


lain secara sewenang-wenang yang melanggar ketentuan pokok
Hukum Internasional.

f) Penyiksaan.

g) Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa,


pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk
kekerasan seksual lain yang setara.

h) Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau


perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras,
kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis secara universal sebagai
hal yang dilarang menurut Hukum Internasional.

i) Penghilangan orang secara paksa.

j) Kejahatan apartheid.

BAB VI
HUKUM ACARA PENGADILAN HAM

19. Umum. Proses penyelesaian perkara dari mulai tingkat penyelidikan,


penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan untuk pelaku pelanggaran HAM
berat, berbeda dengan pelaku tindak pidana biasa, jika bentuk pelanggarannya
merupakan tindak pidana biasa dan subyeknya adalah masyarakat sipil, maka proses
penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan tunduk kepada UU
Nomor 8 Tahun 1981, dan apabila subyeknya adalah militer, maka proses penyelidikan,
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan tunduk kepada UU Nomor 31
Tahun 1997, sedangkan bagi pelaku pelanggaran HAM, proses penyelidikan, penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan tidak tunduk kepada UU Nomor 8 Tahun 1981
maupun UU Nomor 31 tahun 1997, akan tetapi tunduk kepada UU Nomor 26 Tahun 2000
tanpa membedakan subyek pelakunya.
15

20. Penyelidikan, adalah serangkaian tindakanpenyelidik untuk mencari dan


menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran HAM
yang berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang. Penyelidikan terhadap pelanggaran HAM yang berat dilakukaan
oleh Komnas HAM dengan membentuk team Ad. Hoc. yang terdiri atas Komnas HAM dan
unsur masyarakat. Dalam melaksanakan penyelidikan, penyelidik berwenang melakukan
tindakan:

a. Memeriksa peristiwa yang diduga terdapat pelanggaran HAM berat;

b. Menerima pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang


terjadinya pelanggaran HAM berat serta mencari keterangan dan barang bukti.

c. Memanggil pihak pengadu, korban atau pihak yang diadukan untuk diminta
dan didengar keterangannya.

d. Memanggil saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya.

e. Memanggil pihak terkait untuk dimintai keterangan secara tertulis atau


menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya.

f. Atas perintah penyidik, dapat melaksanakan tindakan:

1) Memeriksa surat.

2) Penggeledahan atau penyitaan.

3) Pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangungan dan


tempat lain yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu.

4) Mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyidikan.

g. Dalam hal Komnas HAM berpendapat bahwa tedapat bukti pemulaan yang
cukup telah terjadi pelanggaran HAM berat, maka kesimpulan hasil pemeriksaan
disampaikan kepada penyidik paling lambat 7 hari kerja.

h. Dalam hal penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan sebagaimana


yang dimaksud diatas masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikan hasil
penyelidikan tersebut kepada penyelidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan
dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya hasil penyelidikan,
penyelidik wajib melengkapi kekurangan tersebut.

21. Penyidikan, adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam Undang-Undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya:

a. Penyidikan perkara pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Jaksa Agung


dan dapat mengangkat Penyidik Ad. Hoc. Yang terdiri atas unsur Pemerintah dan/
atau masyarakat.
16

b. Penyidikan diselesaikan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung


sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dinyatakan lengkap oleh penyelidik, dan
dapat diperpanjang paling 90 hari, apabila belum selesai maka penyidikan dapat
diperpanjang paling lama 60 hari oleh ketua Pengadilan HAM.

c. Apabila dalam jangka waktu 240 hari tidak diperoleh bukti yang cukup, maka
wajib dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan oleh Jaksa Agung.

d. Apabila penghentian penyidikan tidak dapat diterima oleh korban atau


keluarganya berhak mengajukan Pra Peradilan kepada Ketua Pengadilan HAM
sesuai dengan daerah hukumnya.

22. Penangkapan, adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara


waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna
kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara
yang diatur dalam Undang-Undang.

a. Jaksa Agung sebagai Penyidik berwenang melakukan penangkapan untuk


kepentingan penyidikan terhadap seseorang yang diduga melakukan pelanggaran
HAM yang berat berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

b. Penangkapan dilakukan dengan menunjukan surat tugas dan memberikan


surat penangkapan kepada tersangka dengan mencantumkan identitas tersangka,
alasan penangkapan tempat pemeriksaan serta uraian singkat perkara
pelanggaran HAM yang dipersangkakan.

c. Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah


dengan ketentuan penangkapan harus segera menyerahkan tertangkap beserta
barang bukti kepada penyidik.

d. Penangkapan dilakukan paling lama satu hari dan masa penangkapan


dikurangkan dari pidana yang dijatuhkan.

23. Penahanan, adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh
penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang.

a. Jaksa Agung sebagai Penyidik dan Penuntut Umum berwenang melakukan


penahanan atau penahanan lanjutan untuk kepentingan penyidikan dan
penuntutan.

b. Hakim Pengadilan HAM dengan penetapannya berwenang melakukan


penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan.

c. Perintah penahanan dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang


diduga keras melakukan pelanggaran HAM berat berdasar bukti yang cukup dan
dikhawatirkan tersangka/terdakwa akan melarikan diri, merusak atau
menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi pelangaran HAM berat.
17

d. Penahanan untuk kepentingan penyidikan dapat dilakukan selama 90 hari,


dapat diperpanjang 90 hari ditambah 60 hari oleh Ketua Pengadilan HAM.

e. Penahanan untuk kepentingan penuntutan dapat dilakukan paling lama 30


hari, dapat diperpanjang 20 hari ditambah 20 hari oleh Ketua Pengadilan HAM.

f. Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan HAM


dapat dilakukan paling lama 90 hari, dapat diperpanjang 30 hari oleh Ketua
Pengadilan HAM.

g. Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan tingkat banding di pengadilan


tinggi dapat dilakukan paling lama 60 hari, dapat diperpanjang 30 hari oleh Ketua
Pengadilan Tinggi.

h. Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan tingkat Kasasi di MA dapat


dilakukan paling lama 60 hari, dapat diperpanjang paling lama 30 hari oleh Ketua
MA.

24. Penuntutan, adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana
ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
Undang-Undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang
pengadilan.

a. Penuntutan untuk perkara pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Jaksa


Agung yang dapat mengangkat penuntut umum ad. Hoc. yang terdiri dari unsur
pemerintah dan masyarakat.

b. Penuntutan wajib dilaksanakan paling lambat 70 hari terhitung sejak tanggal


hasil penyidikan diterima.

c. Dalam hal tidak terdapat alasan yang cukup kuat untuk mengajukan perkara
pelangaran HAM berat ke pengadilan maka Jaksa Agung dapat menghentikan
penyidikan atau mengesampingkan perkara.

d. Komnas HAM sewaktu-waktu dapat meminta keterangan kepada Jaksa


Agung mengenai perkembangan penyidikan dan penuntutan perkara HAM.

25. Pemeriksaan di Sidang Pengadilan, adalah serangkaian tindakan hakim untuk


menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan
tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
Undang-Undang.

a. Perkara pelanggaran HAM yang berat diperiksa dan diputuskan oleh


pengadilan HAM.

b. Pemeriksaan perkara pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Majelis Hakim


Pengadilan HAM yang berjumlah lima orang yang terdiri dari dua orang Hakim
pada pengadilan HAM yang bersangkutan dan tiga orang Hakim Ad Hoc.
18

c. Majelis Hakim diketuai oleh Hakim dari Pengadilan HAM yang


bersangkutan.

d. Hakim Ad Hoc diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku


Kepala Negara atas usul ketua MA.

e. Hakim Ad Hoc diangkat untuk jangka waktu lima tahun dan dapat diangkat
kembali untuk 1 kali masa jabatan.

f. Perkara pelanggaran HAM yang berat diperiksa dan diputus oleh pengadilan
HAM dalam waktu paling lama 180 hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke
Pengadilan HAM.

g. Dalam hal perkara pelanggaran HAM yang berat dimohonkan banding ke


Pengadilan Tinggi, maka perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu
paling lama 90 hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi.

h. Pemeriksaan perkara di Pengadilan Tinggi dilakukan oleh Majelis Hakim


berjumlah lima orang yang terdiri atas dua orang Hakim Pengadilan Tinggi yang
bersangkutan dan tiga orang Hakim Ad Hoc.

i. Dalam hal perkara pelanggaran HAM berat dimohonkan kasasi ke MA,


perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90 hari terhitung
sejak perkara dilimpahkan ke MA.

j. Pemeriksaan perkara di MA dilakukan oleh Hakim yang berjumlah lima


orang terdiri atas dua orang Hakim Agung dan tiga orang Hakim Ad Hoc.

k. Ketentuan dalam Pasal 49 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan


Ham, berbunyi :

l. Ketentuan mengenai kewenangan Ankum dan Papera dalam Pasal 74 dan


Pasal 123 UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dinyatakan tidak
berlaku.

BAB VII
PERLINDUNGAN KORBAN DAN SAKSI

26. Umum. Untuk memberikan jaminan keamanan bagi korban dan saksi atas
tindakan-tindakan intimidasi ataupun tindakan-tindakan kekerasan lainnya karena
memberikan laporan tentang telah terjadinya suatu pelanggaran HAM,

a. UU Nomor 26 Tahun 2000 telah memberikan jaminan perlindungan yang


harus dilakukan oleh aparat penegak hukum dimulai dari tingkat penyelidikan,
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan.

b. Pp Nomor 2 Tahun 2002 tentang tata cara perlindungan terhadap korban


dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat
19

27. Perlindungan Korban. Pengertian korban adalah individu dan/atau sekelompok


orang yang cidera atau meninggal dan yang terancam jiwanya akibat Konflik.

a. Setiap korban dalam pelanggaran HAM yang berat berhak atas


perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasan dari
pihak manapun dan dalam bentuk apapun.

b. Perlindungan tersebut di atas wajib dilaksanakan oleh aparat penegak


hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma.

c Perlindungan terhadap korban dapat dilakukan dengan berdasarkan inisiatif


aparat penegak hukum dan aparat keamanan dan atau permohonan yang
disampaikan oleh korban.

28. Perlindungan Saksi. Pengertian saksi adalah orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.

a. Setiap saksi dalam pelanggaran HAM yang berat berhak memperoleh atas
perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasan dari
pihak manapun.

b. Perlindungan tersebut di atas wajib dilaksanakan oleh aparat penegak


hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma.

c Perlindungan terhadap saksi dapat dilakukan dengan berdasarkan inisiatif


aparat penegak hukum dan aparat keamanan dan atau permohonan yang
disampaikan oleh saksi.

BAB VIII
KOMPENSASI, RESTITUSI DAN REHABILITASI

29. Umum. Kompensasi, restitusi dan rehabilitasi terhadap pelanggaran HAM berat
harus diberikan kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya.

a. Dimana kompensasi dan rehabilitasi diberikan oleh pemerintah, sedangkan


restitusi diberikan oleh pelaku/pihak ketiga. yang diatur di dalam KUHAP (Pasal
98-101) UU Nomor 26 Tahun 2000 (Pasal 35)

b. PP NOMOR 3 TAHUN 2002 tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi


terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat

30. Pengertian Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi.


20
a. Kompensasi, adalah ganti rugi yang diberikan oleh negara kepada korban
atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya untuk memenuhi kebutuhan
dasar termasuk perawatan kesehatan fisik dan mental.

Dalam pelaksanaannya harus melalui pembentukkan komisi dan dalam tenggang


waktu 3 tahun sejak tanggal pembentukkan komisi ditetapkan harus sudah
terealisasi.

b. Restitusi, adalah ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku atau pihak
ketiga pada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya. Sama
halnya dengan kompensasi, pada restitusi ini pelaksanaannya harus melalui
pembentukkan komisi dan dalam tenggang waktu 3 tahun sejak tanggal
pembentukkan komisi ditetapkan harus sudah terealisasi.

c. Rehabilitasi, adalah pemulihan pada kedudukan semula yang menyangkut


kehormatan, nama baik, jabatan dan hak-hak lainnya. Seperti juga pada
kompensasi dan restitusi, pada rehabilitasi inipun pelaksanaannya harus melalui
pembentukkan komisi dan dalam tenggang waktu 3 tahun sejak tanggal
pembentukan komisi ditetapkan harus sudah terealisasi.

BAB IX
KETENTUAN PIDANA

31. Umum. Terhadap perbuatan pelanggaran HAM yang berat sebagaimana diatur
dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 26 tahun 2000, dapat dijatuhkan sangsi pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000, yang menganut sistem pidana maksimal dan pidana minimal.

32. Sanksi Pidana, adalah suatu hukuman sebab akibat, sebab adalah kasusnya dan
akibat adalah hukumnya, orang yang terkena akibat akan memperoleh sanksi baik masuk
penjara ataupun terkena hukuman lain dari pihak yang berwajib.

a. Pasal 36: Setiap orang yang melakukan perbuatan kejahatan genosida


dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling lama 25 tahun dan paling singkat 10 tahun.

b. Pasal 37: Setiap orang yang melakukan perbuatan kejahatan terhadap


kemanusiaan dengan cara pembunuhan, pemusnahan, pengusiran atau
pemindahan penduduk secara paksa serta kejahatan apartheid dipidana dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25
tahun dan paling singkat 10 tahun.

c. Pasal 38: Setiap orang yang melakukan perbuatan kejahatan terhadap


kemanusiaan dengan cara perbudakan dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 tahun dan paling singkat 5 tahun.

d. Pasal 39: Setiap orang yang melakukan perbuatan kejahatan terhadap


kemanusiaan dengan cara penyiksaan dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 tahun dan paling singkat 5 tahun.
21
e. Pasal 40: Setiap orang yang melakukan perbuatan kejahatan terhadap
kemanusiaan dengan cara perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara
paksa, sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang
setara, penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang
didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis
secara universal sebagai hal yang dilarang menurut Hukum Internasional atau
penghilangan orang secara paksa dipidana dengan pidana penjara paling lama 20
tahun dan paling singkat 10 tahun.

f. Pasal 41: Percobaan, permufakatan jahat atau bantuan untuk melakukan


pelanggaran kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dipidana
dengan pidana yang sama dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal
36 sampai dengan 40 tersebut di atas.

g. Pasal 42: Komandan Militer atau seseorang yang secara efektif bertindak
sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana
yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh
pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif atau di
bawah kekuasaannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat
dari tidak dilakukannya pengendalian pasukan secara patut, yaitu:

1) Komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas


dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut
sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi
manusia yang berat.

2) Komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan


yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk
mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan
pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan.

BAB X
PROSES PENYELESAIAN HAM BERAT

33. Umum. Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk
Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Peradilan Umum, Dalam hal tidak
ditentukan lain dalam Undang-undang ini, hukum acara atas perkara pelanggaran hak
asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 26 Thn 2000.

34. Proses Penyelesaian HAM Berat. Tidak satu ketentuanpun dalam Undang-
Undang No. 26 Thn 2000 boleh diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan, atau pihak
manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau
kebebasan dasar yang diatur dalam Undang-undang ini, maka proses penyelesaian HAM
berat dimulai dari Komnas HAM sesuai Pasal 90 sampai 96 sebagai berikut:

a. Pasal 90:
22
1) Setiap orang dan sekelompok orang yang memiliki alasan kuat
bahwa hak asasinya telah dilanggar dapat mengajukan laporan dan
pengaduan lisan atau tertulis pada Komnas HAM.

2) Pengaduan hanya akan mendapatkan pelayanan apabila disertai


dengan identitas pengadu yang benar dan keterangan atau bukti awal yang
jelas tentang materi yang diadukan.

3) Dalam hal pengaduan dilakukan oleh pihak lain, maka pengaduan


harus disertai dengan persetujuan dari pihak yang hak asasinya dilanggar
sebagai korban, kecuali untuk pelanggaran hak asasi manusia tertentu
berdasarkan pertimbangan Komnas HAM.

4) Pengaduan pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud


dalam ayat 3) meliputi pula pengaduan melalui perwakilan mengenai
pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh kelompok mayarakat.

b. Pasal 91

1) Pemerikasaan atas pengaduan kepada Komnas HAM tidak dilakukan


atau dihentikan apabila:

a) tidak memiliki bukti awal yang memadai;

b) materi pengaduan bukan masalah pelanggaran hak asasi


manusia;

c) pengaduan diajukan dengan itikad buruk atau ternyata tidak


ada kesungguhan dari pengadu;

d) terdapat upaya hukum yang lebih efektif bagi penyelesaian


materi pengaduan; atau

e) sedang berlangsung penyelesaian melalui upaya hukum yang


tersedia sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

2) Mekanisme pelaksanaan kewenangan untuk tidak melakukan atau


menghentikan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1)
ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.

c. Pasal 92

1) Dalam hal tertentu bila dipandang perlu, guna melindungi


kepentingan dan hak asasi yang bersangkutan atau terwujudnya
penyelesaian terhadap masalah yang ada, Komnas HAM dapat menetapkan
untuk merahasiakan identitas pengadu, dan pemberi keterangan atau bukti
lainnya serta pihak yang terkait dalam materi aduan atau pemantauan.

2) Komnas HAM dapat menetapkan untuk merahasiakan atau


membatasi penyebarluasan suatu keterangan atau bukti lain yang diperoleh
Komnas HAM, yang berkaitan dengan materi pengaduan atau pemantauan.
23
3) Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) didasarkan pada
pertimbangan bahwa penyebarluasan keterangan atau bukti lainnya tersebut
dapat:

a) membahayakan keamanan dan keselamatan negara;

b) membahayakan keselamatan dan ketertiban umum;

c) membahayakan keselamatan perorangan;

d) mencemarkan nama baik perorangan;

e) membocorkan rahasia negara atau hal-hal yang wajib


dirahasiakan dalam proses pengambilan keputusan Pemerintah;

f) membocorkan hal-hal yang wajib dirahasiakan dalam proses


penyidikan, penuntutan, dan persidangan suatu perkara pidana;

g) menghambat terwujudnya penyelesaian terhadap masalah


yang ada; atau

h) membocorkan hal-hal yang termasuk dalam rahasia dagang.

d. Pasal 93, Pemeriksaan pelanggaran hak asasi manusia dilakukan secara


tertutup, kecuali ditentukan lain oleh Komnas HAM.

e. Pasal 94:

1) Pihak pengadu, korban, saksi, dan atau pihak lainnya yang terkait
wajib memenuhi permintaan Komna HAM.

2) Apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat 1) tidak


dipenuhi oleh pihak lain yang bersangkutan, maka bagi mereka berlaku
ketentuan Pasal 95.

f. Pasal 95, Apabila seseorang yang dipanggil tidak datang menghadap atau
menolak memberikan keterangannya, Komnas HAM dapat meminta bantuan Ketua
Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

g. Pasal 96:

1) Penyelesaian dilakukan oleh anggota Komnas HAM yang ditunjuk


sebagai mediator.

2) Penyelesaian yang dicapai sebagaimana dimaksud dalam ayat 1),


berupa kesepakan secara tertulis dan ditandatangani oleh pihak dan
dikukuhkan oleh mediator.
24
3) Kesepakatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat 2)
merupakan keputusan mediasi yang mengikat secara hukum dan berlaku
sebagai alat bukti yang sah.

RAHASIA
24

4) Apabila keputusan mediasi tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak


dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam keputusan tersebut, maka pihak
lainnya dapat meminta kepada Pengadilan Negeri setempat agar keputusan
terssebut dinyatakan dapat dilaksanakan dengan pembubuhan kalimat
”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

5) Pengadilan tidak dapat menolak permintaan sebagaimana dimaksud


dalam ayat 4).

BAB XI
PENUTUP

35. Penutup. Demikian Naskah Sekolah ini disusun sebagai bahan ajaran untuk
pedoman bagi tenaga pendidik dan Pasis dalam proses belajar mengajar materi pelajaran
Hukum Hak Asasi Manusia pada Pendidikan Perwira TNI AD.

Direktur Hukum Angkatan Darat,

W. Indrajit, S.H., M.H.


Brigadir Jenderal TNI
25

RAHASIA

Anda mungkin juga menyukai