Anda di halaman 1dari 14

BAB II

GAMBARAN UMUM INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND

POLITICAL RIGHTS (ICCPR)

Bab ini akan membahas seputar gambaran umum International Covenant

on Civil and Political Rights (ICCPR) yang meliputi sejarah perkembangan dan

tujuan dibentuknya kovenan ini oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

melalui Resolusi No.2200 A (XXI). Setelah penulis membahas seputar gambaran

umum ICCPR, penulis selanjutnya akan membahas seputar jenis serta muatan hak-

hak yang dijamin di dalam ICCPR.

2.1 Sejarah dan Perkembangan International Covenant On Civil And Political

Rights (ICCPR)

Masyarakat internasional mulai menaruh perhatian yang besar terhadap isu-

isu hak asasi manusia pada periode pasca-Perang Dunia kedua, yang di mana

dehumanisasi telah terjadi pada saat itu. Misalnya, selama Perang Dunia pertama,

orang-orang Armenia dibantai dan membunuh lebih dari satu juta orang. Kemudian

pada PD II tahun 1942, rezim Nazi merenggut nyawa 11 juta orang, termasuk 6 juta

orang Yahudi dan jutaan tawanan perang dan orang Gipsi. Terlebih lagi, ketika

genosida yang terjadi di Bosnia pada tahun 1995 sekali lagi mengejutkan dunia,

genosida yang terjadi gagal dicegah oleh komunitas internasional sehingga

29
menewaskan ratusan ribu orang.1

Pada tanggal 10 Desember 1948, MU PBB mengadopsi Deklarasi melalui

Resolusi 217 A (III) yang bernama Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Hak

dan kebebasan yang termuat dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun

1948 mencakup hak-hak yang lengkap, termasuk hak-hak sipil, politik, budaya,

ekonomi dan sosial untuk setiap individu, serta beberapa hak kolektif. DUHAM

sebagai standar umum keberhasilan bagi semua rakyat dan bangsa serta deklarasi

tersebut telah menjadi tonggak sejarah dalam pengembangan hak asasi manusia.

DUHAM memuat 30 pasal yang meliputi pokok-pokok hak asasi manusia dan

kebebasan dasar, yang dijadikan sebagai acuan umum bagi pencapaian seluruh

rakyat dan bangsa untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang universal

dan efektif terhadap HAM dan kebebasan dasar, termasuk rakyat dari anggota

Negara PBB dan rakyat di dalam wilayah yurisdiksinya.2

Setelah diadopsinya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada tahun

1948, masyarakat internasional merasa perlu untuk menjabarkan hak-hak dan

kebebasan dasar yang termuat dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Hal

ini karena DUHAM bersifat himbauan saja, tidak mengikat secara hukum.

Sehingga perlu penguraian substansi yang diatur dalam DUHAM di masukkan ke

dalam instrumen internasional bersifat terikat dengan hukum bagi negara-negara

yang menjadi negara peserta.3

1
Muhammad Rafi Darajati and Muhammad Syafei, POLITIK HUKUM PEMBENTUKAN DUA
KOVENAN HAM INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL POLITIK DAN HAK EKONOMI
SOSIAL BUDAYA, Syiah Kuala Law Journal, Vol, 4, No, 2, (2020), hal. 107.
2
Ibid.
3
Ibid.

30
Terkait dengan hal tersebut, Majelis Umum PBB pada tahun 1948 meminta

kepada Komisi Hak Asasi Manusia PBB yang sebelumnya telah menyiapkan

rancangan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, untuk menyusun rancangan

konvensi tentang hak asasi manusia serta rancangan tindakan implementasinya.

Komisi HAM PBB mulai mengerjakannya di tahun 1949, lalu Majelis Umum PBB

tahun 1950 mengeluarkan putusan yang menjelaskan penikmatan kebebasan hak

sipil dan politik dan kebebasan dasar di satu sisi seta penikmatan hak ekonomi,

sosial dan budaya di sisi lain saling terkait juga saling bergantung.4

Selanjutnya, pada sidang MU PBB tahun 1951 meminta Komisi HAM PBB

agar menyusun dua konvensi tentang hak asasi manusia yaitu kovenan tentang hak

sipil dan politik serta kovenan tentang hak ekonomi, sosial dan budaya. Secara

khusus Majelis Umum PBB menyatakan ke dua kovenan wajib mengandung

sejumlah ketentuan yang sama dan wajib mencakup pasal-pasal yang ditetapkan

bahwa seluruh rakyat memiliki hak untuk menetapkan nasibnya sendiri.5

Pada tahun 1951, Komisi PBB dibantu oleh perwakilan dari Organisasi

Perburuhan Internasional, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan

Kebudayaan PBB dan Organisasi Kesehatan Dunia, menyelesaikan rancangan baru

rancangan Kovenan Hak Asasi Manusia. Setelah diskusi panjang, Majelis Umum

meminta pada Februari 1952 agar ada dua kovenan terpisah, satu tentang hak-hak

ekonomi, sosial dan budaya dan yang lainnya tentang hak-hak sipil dan politik. Hal

ini menjadi perlu pada saat itu karena beberapa negara tidak mengakui hak-hak

4
DPR RI, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang International Covenant on Civil and
Political Rights, 2005, hal. 4.
5
Ibid.

31
ekonomi sosial dan budaya sebagai hak asasi manusia, sementara beberapa negara

lain tidak mengakui hak sipil dan politik sebagai hak asasi manusia.6

Kedua rancangan kovenan yang dibuat oleh Komisi HAM PBB akhirnya

selesai, draf naskah tersebut selesai pada tahun 1953 dan tahun 1954. Sesudah

kedua rancangan kovenan dibahas, akhirnya diputuskan oleh MU PBB pada tahun

1954 agar mempublikasikan seluasnya sehingga negara-negara bisa mempelajari

lebih rinci serta publik bisa dengan bebas menyampaikan pendapatnya. Sehingga

demi tujuan itu, MU PBB merekomendasikan Komite III PBB untuk mulai

pembahasan dari draf teks kovenan pasal demi pasal dari pada 1955.7

Penyusunan dua rancangan kovenan yang berlanjut hingga tahun 1962,

pertama oleh Komisi dan kemudian oleh Komite III Perserikatan Bangsa-Bangsa

(Sosial, Kemanusiaan dan Kebudayaan). Pada bulan Desember 1963, Majelis

Umum mengundang semua Pemerintah untuk mempertimbangkan teks pasal-pasal

yang diadopsi oleh Komite III. Namun, baru pada tahun 1966 Komite III

menyelesaikan penyusunan kedua kovenan dan menyerahkannya ke Majelis

Umum.8

Akhirnya, pada 16 Desember 1966, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-

Bangsa mengeluarkan Resolusi 2200 A (XXI) dan dengan dikeluarkannya resolusi

tersebut MU PBB mengesahkan Kovenan tentang Internasional Hak Sipil dan

Politik bersama-sama dengan Protokol Opsional pada Kovenan tentang

6
Canada’s Human Rights Commitments, History of the International Covenant on Civil and
Political Rights, 2015, diakses dalam <http://humanrightscommitments.ca/2015/11/history-of-the-
international-covenant-on-civil-and-political-rights/> [26 January 2022].
7
RI. Loc. Cit.
8
Canada’s Human Rights Commitments, Loc. Cit.

32
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional tentang Hak-

hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Pada tanggal 23 Maret 1976 Kovenan tentang

Internasional Hak Sipil dan Politik sesudah 35 negara meratifikasi ICCPR dan itu

memenuhi syarat ICCPR baru diberlakukan.9

Perbedaan antara dua tema hak asasi manusia yang memunculkan Kovenan

Internasional tentang Hak Sipil dan Politik adalah hasil dari persetujuan politik saat

itu yang sulit di antara negara-negara sosialis dan negara-negara kapitalis yang

ketika itu ikut serta dalam Perang Dingin. Situasi ini berpengaruh terhadap proses

pembuatan perjanjian hak asasi manusia internasional yang saat itu masih

dikerjakan oleh Komisi Hak Asasi Manusia PBB pada tahun 1949. Hasilnya,

dibentuklah dua perjanjian internasional yang mengatur tentang hak-hak sipil dan

politik dan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, yang awalnya diupayakan untuk

menggabungkannya menjadi satu kovenan saja. Namun realitas politik

membutuhkan satu lagi, yaitu Kovenan Internasional mengenai Hak Ekonomi,

Sosial dan Budaya. Kedua perjanjian ini adalah saudara kembar yang lahir dalam

kondisi yang tidak menguntungkan, yang berdampak pada penegakan kedua jenis

hak tersebut.10

Kini ICCPR telah diratifikasi oleh 173 negara dan 6 negara penanda

tangan.11 Artinya, setidaknya 95% dari 193 negara anggota PBB telah menjadi

Negara peserta dalam ICCPR Dilihat dari banyaknya ratifikasi ICCPR oleh negara,

9
RI. Loc. Cit.
10
TEMMANENGNGA, IMPLEMENTASI KOVENAN HAK SIPIL DAN POLITIK DI INDONESIA,
Kementerian Hukum Dan HAM RI, 2014, diakses dalam
<https://ham.go.id/2014/03/24/implementasi-kovenan-hak-sipil-dan-politik-di-indonesia-hal-1/>
[11 November 2021].
11
OHCHR, STATUS OF RATIFICATION <https://indicators.ohchr.org/> [accessed 7 August 2021].

33
dibandingkan dengan perjanjian-perjanjian HAM internasional lainnya, kovenan

ini dapat dikatakan memiliki universalitas yang sangat tinggi. Tidak salah

kemungkinan memasukkan ICCPR sebagai bagian dalam International Bill of

Human Rights.12

2.2 Tujuan Dan Mekanisme Pengawasan ICCPR

ICCPR bertujuan untuk mewujudkan terjaminnya hak sipil dan politik

seseorang, tiap orang mempunyai hak yang sama serta seimbang dan dapat

menikmati hak-hak di dalam ICCPR tanpa adanya rasa tertekan. ICCPR juga

merupakan bentuk untuk mempromosikan penghormatan universal terhadap

pelaksanaan kebebasan seseorang dan hak asasi manusia.13

Negara-negara yang telah menjadi negara pihak ICCPR tersebut terikat oleh

mekanisme pemantauan yang dilaksanakan Komite Hak Asasi Manusia. Komite

HAM memiliki ketentuan khusus dalam pasal yang terpisah dari ICCPR, pasal

tersebut mencakup pasal 28 sampai dengan pasal 45. Komite HAM bertugas

meliputi tiga hal. Pertama, mempelajari laporan negara yang telah menjadi negara

pihak. Adapun laporan ini mengandung mengenai tindakan yang diambil oleh

negara-negara pihak untuk melindungi hak sipil dan politik dan kemajuan

implementasi hak-hak tersebut untuk menjamin dan mewujudkan hak yang diatur

dalam ICCPR. Kedua yaitu menerima, mempertimbangkan dan mendamaikan

dalam hal pengaduan negara tentang negara lainnya yang dianggap melakukan

12
Syukron Mahbub, KOVENAN INTERNASIONAL HAK SIPIL POLITIK (KIHSP) DAN KOVENAN
INTERNASIONAL HAK EKONOMI SOSIAL BUDAYA (KIHESB) KORELASINYA DENGAN
MAQASHID AL-SYARI’AH PERSPEKTIF HUKUM ISLAM, Jurnal YUSTITIA, Vol, 20, No, 2,
(2019), hal. 118.
13
International Law Making, Dekiarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, Indonesian Journal of
International Law, Vol, 4, (2006), hal. 147. <https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004>.

34
pelanggaran norma-norma dalam ICCPR. Ketiga, menerima, mempertimbangkan,

dan mendamaikan bagi warga negara yang mengadu dalam suatu negara yang

merasa negara melakukan pelanggaran haknya.14

Komite Hak Asasi Manusia sebagai badan pengawasan (treaty-based

organ) yaitu tugas komite ini adalah untuk pengawasan implementasi isi ICCPR

oleh seluruh Negara yang telah ratifikasi ICCPR. Untuk melengkapi monitoring

yang dilakukan Komite, Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik telah

menambahkan satu protokol yang bersifat opsional, yaitu Protokol Opsional

Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Ini berarti bahwa Negara Pihak pada

Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dapat memilih ingin terikat

maupun tidak dengan prosedur yang ditetapkan dalam Optional Protocol ini.

Komite HAM beranggotakan 18 orang, anggota ini dipilih dari warga Negara

Peserta ICCPR. Anggota yang terpilih sebagai bagian dari komite wajib memenuhi

syarat sebagai personal dengan kompetensi hak asasi manusia yang tinggi dengan

keahlian pada aspek hak asasi manusia.15

Setiap empat tahun mengadakan pemilihan anggota Komite dan dipilih dari

kandidat yang dicalonkan oleh masing-masing Negara Peserta dengan cara

pengambilan suara secara rahasia. Walaupun anggota diusulkan oleh negara pihak,

tapi anggota tersebut tidak mewakili negaranya jika terpilih sebagai anggota

Komite, anggota Komite wajib bekerja dalam kapasitas sebagai individu, dan

14
Muhardi Hasan and Estika Sari, Hak Sipil Dan Politik, Demokrasi, Vol, 4, No, 1, (2005), hal. 95-
96.
15
Vinny H. Waluya, MEKANISME, TANGGUNGJAWAB DAN IMPLEMENTASI KOVENAN HAK
SIPIL DAN POLITIK DI INDONESIA, Kementerian Hukum Dan HAM RI, 2014, diakses dalam
<https://ham.go.id/2014/04/21/mekanisme-tanggungjawab-dan-implementasi-kovenan-hak-sipil-
dan-politik-di-indonesia-halaman-1/> [11 November 2021].

35
tindakannya bukan sebagai wakil dari negara. Sifat personal tugas-tugas anggota

komite tampaknya diperkuat oleh komitmen yang wajib anggota ucapkan saat

anggota tersebut ditunjuk untuk melaksanakan tugas mereka dengan adil dan

sungguh-sungguh.16

Komite melaksanakan tugas pengawasannya sesuai dengan mekanisme

yang ditetapkan oleh Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta

Optional Protocol. Pertama, mekanisme sifatnya wajib, yakni monitoring dengan

sistem pelaporan secara berkala. Negara yang telah meratifikasi harus menyerahkan

laporan tentang tindakan yang sudah negara tersebut implementasikan dalam

ICCPR dan progres yang sudah mereka capai. Komite dengan cermat menelaah

laporan berkala yang dibuat oleh negara peserta dan selanjutnya komite

menyampaikan komentarnya kepada Negara Peserta.17

Mekanisme pengawasan kedua yaitu pengaduan antar-negara. Mekanisme

ini sifatnya tidak wajib negara peserta dapat memilih mengikuti atau tidak. Berbeda

dengan mekanisme pertama, prosedur pengawasan yang kedua tidak diwajibkan.

Mekanisme ini memerlukan persetujuan dari masing-masing Negara Peserta dan

hanya dapat digunakan pada negara peserta lain yang juga menyetujui terikat

dengan mekanisme tersebut. Berdasarkan prosedur kedua, jika suatu negara

meyakini bahwa negara lain telah melanggar ICCPR, fakta tersebut dapat menjadi

perhatian negara yang bersangkutan. Negara yang dituduh harus tanggapi tuduhan

tersebut dalam jangka waktu tiga bulan. Jika dua negara tersebut tidak bisa

16
Ibid.
17
Ibid.

36
selesaikan perselisihannya dalam jangka waktu enam bulan, salah satu dari kedua

negara dapat menyerahkan permasalahan tersebut pada komite. Komite selanjutnya

atas dasar itikad baik untuk mencapai penyelesaian damai antara negara-negara

tersebut. Namun jika solusi atau jalan keluar yang diberikan komite tidak dapat

mengatasinya dengan baik, Komite dapat membentuk sebuah Komisi Perdamaian

Ad Hoc (Conciliation Commission ad hoc) untuk menyelesaikannya.18

Mekanisme pengawasan ketiga yaitu pengaduan individual (individual

petition). Prosedur ini juga sifatnya pilihan, artinya hanya bisa dilaksanakan di

Negara Peserta yang telah melakukan ratifikasi Optional Protocol pertama ICCPR.

Dengan mekanisme ini, individu bisa dengan langsung menghubungi komite. Tidak

perlu lewat perantara negara. Oleh karena itu, mekanisme ini menegaskan bahwa

status individu dalam hukum internasional sekarang tidak lagi hanya sebagai

incidental beneficiary. Tetapi juga individu termasuk dalam subjek hukum

internasional.19

2.3 Jenis dan Muatan Hak-Hak Di Dalam International Covenant On Civil And

Political Rights (ICCPR)

Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik mempunyai karakteristik yang

berbeda dengan hak asasi manusia lainnya, terutama hak ekonomi, sosial dan

budaya. ICCPR pada dasarnya mengandung ketentuan yang membatasi

penggunaan kekuasaan bagi aparatur negara yang akan melakukan tindakan

represif, terutama bagi negara-negara yang telah ratifikasi ICCPR. Oleh karena itu,

18
Ibid.
19
Ibid.

37
hak-hak yang terkandung di dalam ICCPR selalu dikenal sebagai hak-hak negatif,

dalam artian apabila peran negara dibatasi atau dikurangi, maka hak-hak dan norma

yang dijamin di dalam ICCPR akan terwujud. Namun, jika negara bertindak terlalu

intervensionis, maka negara akan melanggar hak dan norma yang ditetapkannya.

Adapun contoh hak negatif, yaitu non-diskriminasi, penahanan tidak sewenang-

wenang, non-penyiksaan, tidak melakukan pembunuhan di luar hukum, dan tidak

menghilangkan orang.20

Sedangkan, hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya sering disebut sebagai hak

positif (positive rights), yang sebenarnya menuntut negara untuk berperan

maksimal dalam mewujudkan hak-hak dalam Kovenan. Inilah perbedaan antara hak

sipil dan hak politik dengan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Adapun contoh

hak positif, seperti hak atas jaminan sosial.21

ICCPR terdiri dari pembukaan dan pasal-pasal yang mencangkum sejumlah

6 bagian dan 53 pasal. Pasal 1 hak atas menentukan nasib sendiri. Pasal 2 mengatur

bagi negara peserta harus menghormati hak-hak dalam ICCPR. Pasal 3 menyatakan

kesetaraan hak bagi laki-laki dan perempuan. Pasal 4 menyatakan bahwa negara

peserta dapat mengambil tindakan yang menyimpang dalam keadaan darurat,

namun tindakan tersebut tidak menyebabkan terjadinya diskriminasi. Pasal 5

menyatakan tidak melakukan tindakan yang tujuannya untuk menghancurkan hak

20
Devy Puspita Sirua, IMPLEMENTASI INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND
POLITICAL RIGHTS (ICCPR)TERHADAP KEBEBASAN HAK BERAGAMA DAN
BERKEYAKINAN DI INDONESIA, (UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR, 2014), hal.
20.
21
Ibid.

38
serta kebebasan yang ditetapkan dalam ICCPR.22

Selanjutnya dalam tabel akan diuraikan Pasal-pasal yang diatur dalam

Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, yang totalnya ada 53 pasal,

antara lain sebagai berikut:23

Tabel 2.1 Pasal-pasal Yang Diatur Dalam ICCPR

No. Pasal Uraian

1. 6 Hak atas hidup


2. 7 Bebas dari siksaan serta perlakuan tidak secara manusiawi
3. 8 Bebas dari perbudakan dan bebas dari kerja paksa
4. 9 Dijaminnya hak dalam kebebasan dan keamanan pribadi
5. 10 Hak atas kebebasan perlakuan manusiawi bagi orang tahanan
6. 11 Bebas akan penahanan atas utang
7. 12 Bebas untuk berpindah dan menentukan tempat tinggal
8. 13 Kebebasan untuk warga negara asing
9. 14 Hak atas proses pengadilan yang jujur
10. 15 Melindungi hak dari kesewenang-wenangan hukum kriminal
11. 16 Hak terhadap pengakuan yang sama di hadapan hukum
12. 17 Hak terhadap kebebasan privasi
13. 18 Kebebasan untuk berpikir, berkeyakinan, serta beragama
14. 19 Kebebasan untuk menyampaikan pendapat serta berekspresi
15. 20 Pelarangan diskriminasi dan propaganda perang
16. 21 Menjamin hak untuk berkumpul
17. 22 Menjamin hak untuk berserikat
18. 23 Menjamin hak untuk menikah dan berkeluarga
19. 24 Hak untuk anak
20. 25 Hak dalam berpolitik

22
OHCHR, International Covenant on Civil and Political Rights, UNITED NATIONS HUMAN
RIGHTS OFFICE OF THE HIGH COMMIISSIONER diakses dalam
<https://www.ohchr.org/en/professionalinterest/pages/ccpr.aspx> [18 January 2022].
23
Hasan and Sari, Loc. Cit.

39
21. 26 Kesamaan di muka hukum
22. 27 Menjamin hak untuk kaum minoritas

Pasal 27 merupakan akhir bab substantif dalam ICCPR. Untuk pengawasan

implementasi hak-hak yang tercantum dalam ICCPR, Pasal 28 sampai dengan Pasal

45 menetapkan pembentukan sebuah komite yang bernama Komite Hak Asasi

Manusia.24

Pasal 46 dalam ICCPR selanjutnya menyatakan tidak ada satu ketentuan

pun dalam ICCPR yang dapat diartikan untuk mengurangi ketentuan Piagam PBB

dan konstitusi badan khusus dalam hubungan dengan masalah yang diatur dalam

ICCPR dan Pasal 47 bahwa tidak satu ketentuan pun di dalam ICCPR yang dapat

diartikan untuk mengurangi hak yang melekat semua rakyat agar menikmati dan

gunakan sepenuhnya dan secara bebas kekayaan serta sumber daya alamnya. Pasal

48 sampai pasal 53 ICCPR diakhiri dengan pasal-pasal penutup yang sifatnya

prosedural misalnya pembukaan penandatanganan, mekanisme yang wajib

dilaksanakan oleh negara menjadi peserta.25

Selanjutnya, hak sipil dan politik yang terdapat di dalam ICCPR mempunyai

dua klasifikasi yaitu non-derogable rights dan derogable rights. Non-derogable

rights merupakan hak mutlak yang pelaksanaannya hak tersebut tidak dapat

dikurangi Negara Peserta dan harus dijunjung tinggi dan dihormati bahkan dalam

situasi darurat. Adapun hak-hak yang tergolong dalam kategori ini meliputi:26

24
RI, Op. Cit., hal. 8.
25
RI, Op. Cit., hal. 9.
26
DPN SBMI, BELAJAR TENTANG HAK ASASI MANUSIA DARI HRWG, 2016, diakses dalam
<https://sbmi.or.id/belajar-tentang-hak-asasi-manusia-dari-hrwg/> [6 November 2021].

40
1. Hak untuk hidup (right to life),

2. Hak untuk bebas atas penyiksaan (right to be free from torture),

3. Hak untuk bebas atas perbudakan (right to be free from slavery),

4. Hak untuk bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian

(hutang).

5. Hak untuk bebas atas pemidanaan yang berlaku surut,

6. Hak sebagai subjek hukum, dan

7. Hak untuk kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama.

Negara peserta yang melanggar hak-hak dalam kategori tersebut sering

dikritik sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia (gross violation of human

rights). Sedangkan kategori kedua yaitu derogable rights, hak-hak yang dapat

dibatasi implementasinya oleh negara yang menjadi peserta dalam kovenan ini.

Hak-hak tersebut meliputi:27

1. Hak untuk bebas berkumpul secara damai, kebebasan berserikat, termasuk

hak membentuk dan bergabung dengan serikat buruh.

2. Hak untuk bebas berpendapat atau berekspresi; termasuk kebebasan untuk

mencari, menerima dan memberikan informasi dan gagasan dalam segala

jenis tanpa memandang batas-batas (baik secara tulisan ataupun lisan).

Negara-negara peserta pada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan

Politik dapat diperbolehkan mengurangi atau melanggar kewajiban mereka untuk

melaksanakan hak-hak tersebut. Namun penyimpangan ini hanya bisa dilakukan

jika sebanding dengan ancaman yang dihadapi dan tidak bersifat diskriminatif,

27
Ibid.

41
yaitu pertama untuk menjaga keamanan nasional atau ketertiban umum atau

kesehatan atau moralitas masyarakat, selanjutnya untuk menghormati hak atau

kebebasan orang lain. Profesor. Rosalyn Higgins menyatakan ketentuan ini sebagai

ketentuan clawback, yang di mana hal tersebut dapat disalahgunakan oleh negara

jika diberi suatu keleluasaan seperti itu. Untuk menghindari situasi ini, Kovenan

Internasional tentang Hak Sipil dan Politik menguraikan bahwa pembatasan atas

hak-hak tersebut tidak boleh di luar cakupan Kovenan ini. Selain itu diwajibkan

untuk menyampaikan alasan-alasan mengapa pembatasan ini dilakukan kepada

semua Negara Pihak pada Kovenan Internasional tentang hak-hak Sipil serta hak

Politik.28

28
Ifdhal Kasim, Sedikit Tentang Kovenan Hak -Hak Sipil Dan Politik, 2011, diakses dalam
<https://docplayer.info/41111997-Makalah-sedikit-tentang-kovenan-hak-hak-sipil-dan-politik-
oleh-ifdhal-kasim-ketua-komnas-ham-ri-jakarta.html>. hal. 2.

42

Anda mungkin juga menyukai