2
G. Alfredson, dan A. Eide, (eds), The Universal Declaration of Human Right, a Common Standard of
Achievement, the Hague, Martinus Nijhoff, 1999; M. Craven, The International Covenant on Economic, Social
and Cultural Rights- a perspective on its development, Clarendon, Oxford, 1995; A. Eide, K. Krause, A. Rosas,
(eds.), Economic, Social and Cultural Rights, Martinus Nijhoff, edisi II, Dordecht, 2001.
individual tentang hak ekonomi, sosial dan budaya berjumlah lebih sedikit.
Namun informasi masih dapat diperoleh dari observasi akhir tentang laporan
negara dan dari sumber-sumber tambahan, regional, dan juga dari komentar-
komentar Umum yang dikeluarkan oleh Komite untuk Hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya. Komentar-komentar akademis mengumpulkan banyak sumber
informasi yang beragam tentang hak ekonomi, sosial dan budaya.3
Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya diperlakukan secara berbeda dengan
Hak Sipil dan Politik. Dalam banyak hal perbedaan itu direkayasa karena
semua hak bersifat saling tergantung dan tidak terbagi-bagi. Tidaklah mungkin
membuat perbedaan antara sumber-sumber hak dan kebebasan yang berbeda.
Pasal 2 adalah ketentuan yang paling penting untuk memahami sifat hak
ekonomi, sosial dan budaya.
Patut dicatat bahwa ”dipandang dari segi sistem politik dan ekonomi,
Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB)
bersifat netral dan prinsip-prinsipnya tidak dapat secara memadai digambarkan
sebagai didasarkan semata-mata pada kebutuhan dan keinginan akan sistem
sosialis atau kapitalis, atau ekonomi campuran, terencana yang terpusat atau
bebas (laissez-faire) atau pendekatan tertentu dan hak-hak yang diakui di dalam
Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB)
dapat diwujudkan dalam konteks sistem ekonomi dan politik yang beragam dan
luas, asalkan sifat saling tergantung dan tidak terbagi-baginya kedua perangkat
hak asasi manusia tersebut, diakui dan dicerminkan dalam sistem yang
bersangkutan”.
4. Konvensi Hak Anak
3
Ibid.
juga dapat menderita pelanggaran sekunder hak asasi manusia, apabila hak atas
pemelihara utama (primary carier) mereka dilanggar.
Contoh yang jelas termasuk anak-anak yang lahir dari orang tua tuna wisma
karena ketiadaan perumahan yang memadai dan anak yang lahir dari perempuan
yang kekurangan gizi karena tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) yang cocok
kualitasnya sehingga memperparah penderitaan yang diakibatkan oleh
kekurangan pangan. Jadi memastikan penghormatan terhadap hak-hak universal
harus tetap merupakan prioritas, karena hak anak dan hak orang yang
memeliharanya seringkali berkaitan yang sampai pada tingkatan tidak dapat
dipisahkan, terutama selama tahun-tahun pertumbuhan dari perkembangan anak.
Di bawah naungan Organisasi Perburuhan Internasional, perlindungan lebih
lanjut untuk anak telah dikembangkan dengan dikeluarkannya sejumlah konvensi
yang mengatur kerja malam dan jenis-jenis pekerjaan di mana anak menjadi
sasaran.
Konvensi tentang Hak Anak merupakan suatu pekerjaan yang masih
berlangsung” (work in progress) dalam kurun waktu lama. Bagi anak-anak,
pengakuan hak asasi manusia mereka merupakan suatu proses yang terjadi dalam
dua bagian, pertama, pengakuan bahwa anak berhak atas hak asasi manusia
sebagai haknya sendiri yang independen, bukan sebagai hak orang tua atau wali
mereka, dan kedua, pengakuan bahwa anak memerlukan perlindungan tambahan,
perlindungan yang sekarang telah dikembangkan oleh komunitas internasional.
Liga Bangsa-Bangsa telah menerima Deklarasi Jenewa tentang Hak Anak pada
1924. PBB mendukung pentingnya hak anak dalam Deklarasi 1959. Dua puluh
tahun kemudian diadakan tahun internasional anak. Hal ini menjadi pendorong
penyusunan konvensi yang terkonsolidasi. Proses penyusunan tersebut tidaklah
mudah, karena harus dilakukan banyak negosiasi mengenai lingkup dan sifat hak
anak.
Anak tentu saja berhak menikmati hak asasi manusia dan kebebasan
internasional secara penuh yang merupakan hak setiap manusia sejak lahir. Umur
bukanlah suatu batasan penikmatan hak asasi manusia yang memang tidak boleh
dihilangkan. Namun anak secara khusus dianggap patut mendapatkan dukungan
tambahan. Bahkan sebelum adanya badan-badan pengawas hak asasi manusia,
jurisprudensi tentang isu-isu anak dan hak-hak mereka telah muncul. Pengadilan
HAM Eropa dan Komite HAM PBB telah secara proaktif memajukan hak-hak
anak. Contoh utama adalah hak yang berkenaan dengan pendidikan dan hukuman
badan (corporal punishment).
Pada umumnya, kebanyakan hak anak dalam Konvensi terdapat dalam
instrumen-instrumen sebelumnya. Perbedaan utamanya adalah hak-hak ini
ditujukan secara spesifik pada anak. Menurut Pasal 1, Konvensi berlaku untuk
setiap orang di bawah umur 18 tahun kecuali kedewasaan sudah tercapai
sebelumnya. Namun, Komite tentang Hak Anak secara tetap menganjurkan
peningkatan umur kedewasaan secara hukum (age of legal majority) pada usia 18
tahun di semua negara.
Patut dicatat bahwa Protokol Opsional tentang Pelibatan Anak dalam
Konflik Bersenjata menetapkan (umur) 18 sebagai batas umur untuk rekrutmen
wajib bagi angkatan bersenjata (Pasal 2). Ini berlawanan dengan Pasal 38 Ayat
(3) Konvensi yang menyatakan 15 sebagai umur minimum bagi perekruatan
ketentaraan. Ketentuan Konvensi tersebut tidak ada bandingannya dalam
lingkunya dan menarik dukungan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Konvensi tentang Hak Anak adalah instrumen paling kompherensif yang
berlaku berdasarkan rezim HAM internasional atau regional manapun. Barangkali
inilah yang menyebabkan banyak negara yang tertarik untuk mengesahkannya.
Konvensi tersebut telah diterima dengan dua protokol tambahan, keduanya diteria
pada tahun 2000, satu tentang pelibatan anak dalam konflik bersenjata dan yang
kedua tentang perdagangan anak, pelacuran anak dan pornografi anak. Instrumen-
instrumen ini kontroversial, kedua topik tersebut sudah dibahas dalam perjanjian
utama dan beberapa komentator merasa bahwa pengukuhan instrumen-instrumen
yang berbeda mengenai topik-topik tersebut akan melemahkan ketentuan-
ketentuan dasar dalam Konvensi tersebut.
5. Konvensi Menentang Penyiksaan
Jelas bahwa ketegangan rasial adalah isu besar di banyak negara setelah
pembentukan PBB. Seiring dengan menyebarnya dekolonialisasi, dukungan dari
negara-negara merdeka yang lebih baru di Afrika dan Asia mempercepat
diambilnya tindakan khusus untuk melawan diskriminasi rasial. Konvensi ini
diterima hanya kurang dari dua tahun setelah Deklarasi PBB tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial dan hal ini bukanlah prestasi
kecil, bila dibandingkan dengan sejarah kedua kovenan internasional yang sudah
didiskusikan sebelumnya. Kemauan politik untuk menerima suatu instrumen yang
mengikat secara hukum tentang diskriminasi rasial sudah ada sejak awal.
Organisasi Perburuhan Internasional dan UNESCO keduanya telah
menerima konvensi-konvensi yang melarang diskriminasi rasial masing-masing
dalam pekerjaan dan dalam pendidikan. Preambul deklarasi PBB tersebut
menjelaskan tentang hubungan diskriminasi rasial dengan dekolonialisasi dan
meningkatnya keprihatinan terhadap praktik-praktik segregasi, apartheid dan
pemisahan atas dasar ras dan juga karena kebijakan-kebijakan pemerintah yang
didasarkan pada konsep superioritas rasial. Deklarasi tersebut menyimpulkan
bahwa “pembentukan masyarakat dunia yang bebas dari segala bentuk segregasi
dan diskriminasi rasial, faktor-faktor yang menimbulkan kebencian dan
perpecahan antar manusia, adalah salah satu tujuan dasar PBB. Sentimen-
sentimen yang serupa juga diekspresikan dalam preambul Konvensi tersebut di
atas yang juga mencatat bahwa tidak ada dasar dalam teori ataupun praktik untuk
diskriminasi rasial.
Diskriminasi rasial sangat bermasalah karena orang-orang didiskriminasikan
semata-mata karena warna kulit mereka, ras mereka, suatu ciri yang mereka
sendiri tidak dapat mengendalikan. Apartheid adalah satu contoh ekstrim
diskriminasi rasial, praktik yang dikutuk secara universal dan sekarang benar-
benar dihapuskan. Elemen-elemen diskriminasi rasial juga berkaitan dengan
perbudakan dan praktik perbudakan, sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi
yang diterima pada akhir Konferensi Sedunia Menentang Rasisme, Diskriminasi
Rasial, xenophobia dan Ketidaktoleransian yang Terkait pada tahun 2001.
Setidaknya ada 8 instrumen pokok internasional yang diadopsi PBB
berkaitan dengan pencegahan diskriminasi, sebagai berikut:
(1) Konvensi ILO No. 100 (1951);
(2) Konvensi ILO No. 111 (1958);
(3) Konvensi Internasional Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial
(1965);
(4) Konvensi UNESCO menentang diskriminasi di bidang pendidikan
(1960);
(5) Deklarasi Tentang Praduga Rasial dan Ras (1963);
(6) Protokol Pembentukan Sebuah Komisi dan Konsiliasi yang bertanggung
jawab untuk menyelesaikan sengketa antara Negara Pihak berkaitan
dengan Konvensi Menentang Penyiksaan di Bidang Pendidikan (1962);
(7) Deklarasi tentang Penghapusan semua Bentuk Intoleransi dan
Diskriminasi Berdasarkan Agama dan Kepercayaan (1981); serta
(8) Deklarasi dan Program Aksi Durban, yang dihasilkan konferensi dunia
menentang rasisme (2001).
7. Konvensi Anti Diskriminasi Terhadap Perempuan
Piagam PBB manyatakan secara jelas bahwa perempuan dan laki-laki
harus menikmati kesetaraan hak. Kenyataannya tidaklah demikian.
Nondiskriminasi dalam penikmatan hak dan kebebasan adalah hal yang
mendasar bagi rezim hak asasi manusia modern. Kebanyakan instrumen
mengandung ketentuan nondiskriminasi. Semua menyebutkan larangan
diskriminasi yang didasarkan atas gender. Hal ini merupakan tema yang
berulang kali disebut dan menekankan berlanjutnya kesenjangan perlakuan
antara laki-laki dan perempuan dalam penikmatan perempuan dan. Perempuan
berhak atas semua hak dan kebebasan, sehingga hal yang diperlukan bukanlah
instrumen baru tentang hak perempuan, melainkan instrumen yang bertujuan
memastikan bahwa perempuan berhak untuk menikmati hak tanpa diskriminasi.
Dalam hal ini situasi perempuan dan anak sangat berbeda.
Ada kemungkinan yang jelas bagi elemen Konvensi ini untuk
disalahgunakan oleh para pencari suaka. Berhubung demikian itu, negara-
negara harus memastikan bahwa mereka secara cermat melakukan investigasi
situasi yang diklaim oleh pengungsi. Bahkan negara-negara yang menjadi
pihak pada semua instrumen hak asasi manusia-pun, dapat menjadi ancaman
bagi individu-individu dari kelompok minoritas tertentu atau suatu kelompok
keyakinan politik tertentu. Tidaklah mungkin untuk secara pasti
mengkategorisasikan suatu negara sebagai buruk atau baik untuk maksud
hukum Pengungsi. Banyak hal bergantung pada fakta dan situasi kasus-kasus
individual masing-masing. Hukum Pengungsi akan tetap mengandung
kesulitan, terutama bagi negara-negara yang menarik bagi pengungsi dan juga
migran ekonomis, yang mungkin berusaha untuk mengklaim status pengungsi.
Mengidentifikasi mereka yang betul-betul berada dalam risiko penyiksaan di
negara asal mereka adalah tugas yang sulit bagi pejabat imigrasi dan yudisial.
Potensi pelanggaran Konvensi Menentang Penyiksaan yang menarik
muncul apabila negara menggunakan hukuman mati dan proses banding yang
berkepanjangan. Walaupun hukuman mati masih tidak bertentangan dengan
semua instrumen hak asasi manusia internasional, jangka waktu yang
dihabiskan dalam menunggu kematian dapat merupakan pelanggaran prinsip-
prinsip pelarangan penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan
martabat karena penderitaan mental yang di derita oleh terhukum ketika
menunggu kematiannya. Isu ini pertama kali muncul di hadapan Pengadilan
HAM Eropa, namun telah didukung oleh PBB.
4
Anton Pradjasto, Instrumen Hak Asasi Manusia Dan Konsep Tanggung Jawab Negara, ELSAM, hlm
1. https://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/12/Instrumen-HAM-dan-Konsep-TGG-JAWAB-
HAM.pdf
5
Ibid.
Manusia PBB. Selain itu terdapat berbagai macam institusi yang lebih atau
kurang terkait dengan sistem PBB. Beberapa di antaranya melakukan kegiatan
dengan menangani topik hak asasi manusia spesifik seperti Organisasi
Perburuhan Internasional, yang berkonsentrasi pada hak asasi manusia substansif
seperti hak untuk bekerja, kebebasan berserikat, buruh anak, dan perbudakan.
Sedangkan organisasi lainnya hanya sedikit bersinggungan dengan topik hak
asasi manusia, antara lain Organisasi Kesehatan Dunia (World Health
Organisation), di mana pendekatan yang didasarkan pada hak sangat kurang
signifikan.
Semua mekanisme ini dibentuk sebagai organ utama, dan Pasal 7 ayat (2)
dari Piagam membolehkan pembentukan suborgan. Dalam bidang hak asasi
manusia, adalah khusunya Sub-Komisi tentang Pemajuan dan Perlindungan Hak
Asasi Manusia (1947), Komisi tentang Status Perempuan (1946) dan yang lebih
baru adalah Komisi tentang Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana (1992)
yang ada sangkut pautnya dengan bekas Komisi Hak Asasi Manusia (yang
dibentuk pada 1946) belakangan ini telah diberikan status sebagai badan utama
(pada 19 Juni 2006) (dengan nama Dewan Hak Asasi Manusia dengan perubahan
mandat dan keanggotannya). Hal yang pentung dicatat bahwa semakin efektif
mekanisme untuk melindungi hak asasi manusia, maka akan makin berkuranglah
pelanggaran HAM di negara tersebut. Kedaulatan suatu negara merupakan salah
satu dasar dari Hukum Internasional Publik yang mengandung arti bahwa pada
awalnya urusan internal suatu negara bukanlah urusan negara lain atau masyarakat
internasional. Namun melalui praktik dan persetujuan internasional, seperti
misalnya dalam bidang hak asasi manusia, berbagai negara telah mereduksi
kedaulatan mereka sendiri. Pasal 2 Ayat (7) Piagam PBB menggarisbawahi prinsip
nonintervensi dalam urusan dalam negeri dan tidak menerima intervensi dari PBB
selain dalam situasi politik yang paling ekstrim yang dapat memenuhi persyaratan
bagi intervensi menurut Bab VII. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya
kedaulatan suatu negara. Hubungan antara kedaulatan negara dan hak asasi
manusia telah berkembang ke arah yang jelas semenjak terbentuknya PBB pada
1945. Sebagai contoh adalah tentang pengurangan secara signifikan kedaulatan
negara dalam hal-hal yang menyangkut hak asasi manusia. Dengan kesedian suatu
negara menjadi negara pihak pada konvensi-konvensi hak asasi manusia, telah
berarti menerima pengurangan kedaulatan mereka dalam bidang ini.
6
Pasal 2 (d) Konvensi Wina 1980 mengenai ‘hukum perjanjian-perjanjian’ menjamin wewenang
negara untuk reservasi yaitu ‘a unilateral statement, however phrased or named, made by a State, when
signing, ..
1) International Covenant on Civil and Political Rights (1976)
2) International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (1976)
3) Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (1969)
4) Convention on the Elimination of All Forums of Discrimination against
Women 1981 Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment (1987)
5) Convention on the Rights of the Child 1990 Convention on the Protection of
the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (2003)
1) Mekanisme pelaporan
Mekanisme yang hanya ada pada dua konvensi HAM yaitu CEDAW
Pasal 10 dan CAT Pasal 20 memberi wewenang pada komite untuk melakukan
investigasi atas dugaan pelanggaran hak asasi dengan syarat pelanggaran
tersebut bersifat berat atau sistematis. Dengan pengaduan individual,
mekanisme ini tidak mensyaratkan exhaustive remedies. Hasil dari
penyelidikan bersifat rahasia sampai proses penyelidikan berakhir. Komite
kemudian menyerahkan laporan itu kepada negara yang bersangkutan melalui
Sekretaris Jenderal PBB. Enam bulan setelah itu, komite dapat melakukan
langkah-langkah untuk menindak lanjuti hasil laporan itu bersama negara yang
bersangkutan.
b) Charter based mechanism
Merupakan prosedur penegakan hak asasi manusia yang tidak dibentuk oleh
konvensi-konvensi HAM akan tetapi berdasarkan piagam PBB itu sendiri. Basis
legalnya adalah Pasal 55 dan Pasal 56 dari Piagam PBB serta mandat yang dimiliki
oleh Dewan Ekonomi dan Sosial yang antara lain adalah “... mendorong
penghormatan universal dan diterapkannya hak asasi dan kebebasan dasar
manusia”.
Mekanisme ini dilakukan melalui (a) Komisi HAM PBB dan (b) Sub Komisi
Hak Asasi Manusia, (c) prosedur 1503 serta (d) mekanisme tematis. Komisi HAM
dan sub komisinya dibentuk untuk berurusan dengan pegaduan pelanggaran HAM.
Boleh dikatakan dalam keseluruhan prosedur ini, Kantor Komisi HAM PBB, yang
terletak di Geneva menjadi jantungnya. Komisi HAM PBB setelah selesai
melakukan tugasnya merumuskan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia dan dua
Kovenan Internasional HAM, sejak 1967 diberi mandat oleh ECOSOC untuk
menangani pengaduan-pengaduan pelanggaran hak asasi.7 Komisi harus melaporkan
hasilnya langsung pada ECOSOC. Disamping itu dibentuk pula Sub Komisi HAM
PBB yang sejak 1998 menjadi ’think tank’ dari Komisi HAM PBB.
Komisi ini merupakan badan utama yang menangani masalah hak asasi dan
hal lain yang berhubungan dengan hak asasi. Dalam Komisi HAM ini NGO
mempunyai akses langsung (dalam status konsultatif dengan Dewan EKOSOB)
pada lembaga PBB. Komisi terdiri dari 43 negara anggota yang dipilih untuk masa 3
tahun berdasar kelompok regional dengan fungsi utama: membangun standar hak
asasi (standard setting), melakukan monitoring atas penegakan standar hak asasi
manusia internasional dan melakukan kerjasama internasional untuk pemajuan dan
perlindungan hak asasi. Termasuk di dalamnya penyelidikan terhadap dugaan:8
1) Mekanisme tematis dan negara. Mekanisme yang dibentuk oleh Komisi HAM
PBB untuk menyelediki masalah hak asasi manusia berdasarkan isu hak asasi
tertentu (misalnya hak kebebasan berekspresi) atau negara tertentu. Pada
mekanisme ini Komisi HAM PBB dan Sub Komisinya dapat menugaskan ahli
atau sekelompok ahli tertentu untuk melakukan investigasi atas isu HAM
tertentu (misalnya penyiksaan) pada sebuah negara tertentu. Biasanya mereka
dibentuk dalam wujud Pelapor Khusus atau Kelompok Kerja. Tugas mereka
bisa pada tema-tema HAM tertentu tapi juga negara tertentu. Fungsi mereka
antara lain mencakup:
a) Pengumpulan informasi mengenai pelanggaran hak asasi atau sejauh mana
Negara memenuhi kewajibannya
b) Menerima pengaduan dan menanyakan pada Negara yang bersangkutan
atas pengaduan tersebut
c) Melaporkan sejauh mana pelanggaran itu terjadi dan untuk itu kadangkala
mendatangi negara yang bersangkutan (dengan meminta diundang)
d) Merumuskan rekomendasi bagi perbaikan kebijakan
Dalam mekanisme tematis ini mereka dapat bertindak langsung atas
pelanggaran HAM yang terjadi selambatnya 3 x 24 jam dari peristiwa tersebut.
Mereka kemudian akan menyelidiki kasus (melakukan verifikasi pada pelapor
dan pemerintah). Untuk itu mereka akan mengirim nota keprihatinan dan
meminta kunjungan lapangan. Pelapor khusus anti penyiksaan misalnya
7
Anton Pradjasto, Op.cit, hlm 7.
8
Ibid
pernah meminta untuk melakukan pemeriksaan lapangan kepada pemrintah
indonesia. Working group against arbitrary detention dan pelapor khusus anti
diskriminasi terhadap perempuan juga pernah datang ke Indonesia dan
membuat pelaporan atas pelanggaran hak asasi di Indonesia, termasuk konteks
dan polanya.
2) Prosedur 1503
Secara perlahan lahir pula mekanisme yang kita sebut saja di sini
international human rights tribunal. Secara formal tidak disebut demikian
melainkan pengadilan pidana internasional. Jika mekanisme internasional di atas
menekankan bagaimana negara mentaati standar hak asasi manusia,
sebagaimana tertuang dalam berbagai instrumen HAM internasional, dengan
membangun opini publik maka mekanisme pengadilan internasional
menekankan pada bagaimana memerangi impunitas. Maksudnya, mekanisme
pidana internasional menekankan penghukuman terhadap pelaku pelanggaran
HAM. Oleh karena itu pengadilan berorientasi pada penuntutan dari pelaku
(tentu termasuk perencana) pelanggar hak asasi manusia.
Dengan kata lain mekanisme ini adalah proses kriminalisasi pelanggaran
HAM di tingkat internasional. Secara historis, dapat dikatakan, bahwa hal ini
dimulai sejak dibentuknya pengadilan Nuremburg dan Tokyo pasca PD II.
Keduanya mengadili kejahatan-kejahatan untuk konflik bersenjata internasional.
Selanjutnya pada 1993 dibentuk Pengadilan Pidana Internasional untuk negara
beksas Yugoslavia (ICTY) dan 1994 dibentuk Pengadilan Pidana Internasional
untuk Rwanda (ICTR) berdasarkan kewenangan yang dimiliki Dewan
Keamanan PBB yang diatur dalam BAB VII Piagam PBB. Dengan digelarnya
kedua pengadilan terakhir, semakin memperkuat adagium bahwa pelanggaran
HAM yang terjadi di sebuah negara adalah masalah internasional dan bukan
semata masalah domestik. Fenomena ini juga tampak pada tuntutan Spanyol
terhadap mantan penguasa Chili yaitu Jendral Pinochet.
9
Firdaus, 2015, Deklarasi Wina 1993 Dan Implikasinya Terhadap Rencana Aksi Nasional Hak Asasi
Manusia (Ranham) Di Indonesia, Catatan Pemikiran Hukum Firdaus. hlm 1
10
Ibid.
11
Bill Baker, 1999, Rencana Aksi Hak Asasi Manusia Dalam HAM dan Tanggung Jawab Negara
Peran Institusi Nasional dan Masyarakat, Komnas HAM, hlm 217.
modal yang dimilikinya. Sebab itu, HAM dengan segala instrumen-instrumennya,
terkadang sekedar sarana negara-negara maju dalam meraih kepentingannya yang
lebih besar dibanding dengan penegakan dan pemajuan HAM itu sendiri.
HAM kemudian menjadi deterministik negara-negara adidaya khususnya
Amerika Serikat yang dapat memaksakan keinginannya, serta pilih kasih dalam
mengambil sikap terhadap penegakan HAM di antara negara-negara di dunia.
Situasi tersebut mewarnai ketegangan hubungan antara negara-negara utara dan
selatan yang melahirkan tuntutan hak atas pembangunan.
Oleh karena itu Word Conference on Human Rights; The Vienna
Declaration and Programme of Action June 1993, dipandang sebagai salah satu
konferensi besar HAM sepanjang sejarah dunia setelah Universal Declaration of
Human Rights, ICESCR dan ICCPR. Karena diikuti kurang lebih 7000 partisipan
dari berbagai elemen masyarakat dunia seperti akademisi, lembaga-lembaga
perjanjian, negara sekitar 800 organisasi non-pemerintah, Nugroho Wisnumurti
menilai Deklarasi Vienna sebagai deklarasi yang meleburkan berbagai konsep
HAM dari berbagai blok baik blok barat, blok timur maupun negara-negara
nonblok dari selatan.12
Wajar jika kemudian Deklarasi Vienna dipandang sebagai sebuah
kulminasi proses panjang perdebatan aliran HAM yang kemudian menghadirkan
dokumen konprehensip dan menjadi kerangka kerja rencana dialog dan kerja sama
dalam rangka pemajuan dan perlindungan HAM bagi seluruh negara peserta
konferensi.13 Langkah-langkah praktis pun disusun dan direncanakan untuk
tindakan-tindakan yang lebih nyata dalam pemajuan dan perlindungan HAM
melalui pendekatan konsep “tanggung jawab negara”. Sebuah konsep yang menitik
beratkan tanggung jawab penegakan dan perlindungan HAM pada negara.
Indonesia termasuk bagian dari konferensi itu, sehingga secara moral
bertanggung jawab dalam menegakkan ketentuan-ketentuan Program Aksi
Deklarasi Vienna di tingkat domestik, terlebih, Deklarasi Vienna menyerukan
membentuk organ negara yang bergerak dalam usaha pemajuan dan perlindungan
HAM. Atas seruan dan tanggung jawab moral itu, lokakarya I HAM yang
12
Nugroho Wisnumurti, 1999, RANHAM Indonesia 1998-2003 Strategi Pemajuan dan Perlindungan
HAM di Indonesia Dalam HAM dan Tanggung Jawab Negara Peran Institusi Nasional dan Masyarakat,
Komnas HAM, hlm 188.
13
Digumarti Bhaskara Rao, 2003, Word Conference on Human Rights, Discovery Publishing House,
New Delhi, hlm. 2.
dilaksanakan di Jakarta, menghasilkan beberapa rekomendasi penting di antaranya:
pertama, merekomendasikan untuk segera dibentuk Komisi Nasional HAM
(KOMNAS HAM). Melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 50 Tahun 1993
KOMNAS HAM dibentuk; dan kedua, merekomendasikan untuk segera
membentuk Panitia Tetap Interdependen HAM (PANTAP HAM). Tanggal 28
Februari 1991 Panitia dibentuk oleh Pemerintah Indonesia yang diketuai oleh
Direktur Jenderal Politik Departemen Luar Negeri dan diberi mandat untuk
menyusun kebijakan nasional di bidang HAM.
2) Konsep Dasar Deklarasi Vienna Tentang Rencana Aksi HAM
Pertemuan puncak Deklarasi Vienna yang dianggap sebagai konferensi
HAM terbesar kedua setelah Universal Declaration of Human Rights 1948. Suatu
pertemuan yang berupaya mengakhiri kutub-kutub ideologi dalam HAM yang
terdapat dari berbagai belahan dunia khususnya blok barat dan blok timur serta
blok selatan (negara-negara nonblok). Bentuk pengakhiran blok-blok itu, dilakukan
dengan mengusung tema “Human Rights; The Common Language of Humanity”.14
Sebuah pesan moral yang berkeinginan untuk menghentikan pembagian jenis-jenis
HAM dan hendak menyatakan semua jenis HAM sebagai satu kesatuan dan bahasa
bersama umat manusia, tanpa menafikan nilai-nilai keragaman budaya dan
identitas dari masing-masing negara. Konseptualisasi gagasan itu tercermin dalam
salah satu dasar pertimbangan Deklarasi Vienna yang menyatakan:
“...the major changes taking places on the international scene and the
aspirations of all the peoples for an international order based on the
principles enshrined in the Charter of the United Nations, including
promoting and encouranging respect for human rights and fundamental
freedoms for all and respect for the principle of equal rights and selft-
determination of peoples, peace, democracy, justice, equality, rule of
law, pluralism, development, better standards of living and solidarity”.
(...perubahan besar itu berlangsung atas pandangan internasional dan
aspirasi seluruh penduduk bagi suatu dasar ketertiban internasional atas
prinsip-prinsip abadi dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa,
termasuk pemajuan dan mendorong penghormatan terhadap HAM dan
terhadap seluruh kebebasan-kebebasan fundamental dan penghormatan
terhadap persamaan hak-hak dan kebebasan mengatur diri sendiri
(otonomi), damai, demokrasi, keadilan, persamaan, rule of law,
pluralitas, pembangunan, standar kehidupan yang baik dan
kesetiakawanan sosial).
14
Firdaus, Op.cit, hal 6
Keinginan masyarakat internasional untuk menghilangkan klaim-klaim
pandangan konsep HAM, dan menyatakan HAM sebagai satu kesatuan sistem yang
tidak terpisahkan merupakan konsep mendasar bagi pemajuan dan penegakan
HAM di balik Deklarasi Vienna. Sebagaimana Article I Section 5 menyatakan:
“All human rights are universal, indivisible and interdependent and
interrelated. The international community must treat human rights
globally in a fair and equal manner, on the same footing, and with the
same emphasis. While the significance of national and regional
particularities and various historical, cultural and religious
backgrounds must be borne in mind, it is the duty of states, regardless of
their political, economic and cultur systems, to promote and protect all
human rights and fundamental freedoms. (Semua hak asasi manusia
bersifat universal, tidak terbagi, saling tergantung dan saling
berhubungan. Seluruh masyarakat internasional harus memperlakukan
sebagai hak asasi manusia global secara jujur dan sama, atas kedudukan
yang sama, dan dengan perhatian yang sama. Sementara kepentingan
nasional dan kenyataan-kenyataan regional dan latar belakang sejarah,
dan agama yang beragam tentu saja tersimpan dalam pikiran, itu adalah
kewajiban negara, bagaimanapun kondisi politik, ekonomi, dan sistem
budaya mereka, untuk memajukan dan melindungi seluruh hak asasi
manusia dan kebebasan dasar).
15
Ibid.
16
James W. Nickel, 1996, Hak Asasi Manusia: Making Sense of Human Rights; Refleksi Filosofis atas
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm 111.
Assembly United Nations untuk segera membentuk Komisi HAM atau organ dan
agen lain dari PBB yang berhubungan dengan tugas implementasi HAM.17
Berkenaan dengan ketentuan Deklarasi Vienna, Bill Baker
mengemukakan sejumlah kriteria umum dari suatu rencana aksi antara lain;
pertama, keberhasilan suatu Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN-
HAM) sangat tergantung pada cara yang dikembangkan menurut kondisi masing-
masing negara; kedua, komitmen terhadap HAM universal menurut standar PBB;
ketiga, pendekatan menyeluruh terhadap HAM; keempat, RANHAM sebuah
dokumen publik yang mudah diperoleh dan diakses oleh masyarakat luas; kelima,
RANHAM merupakan bagian dari proses monitor dan evaluasi; keenam,
RANHAM merupakan suatu proses yang berlangsung secara terus menerus; dan
ketujuh, RANHAM harus merupakan usaha sungguh-sungguh dalam pemajuan
dan perlindungan HAM secara nasional.18
17
Ibid, hal 13.
18
Sugeng Bahagijo, Nababan Asrama, 1999, Hak Asasi Manusia; Tanggung Jawab Negara Peran
Institusi Nasional dan Masyarakat,Jakarta: Komnas HAM, hlm 45.