Anda di halaman 1dari 28

HAK ASASI MANUSIA DALAM

TRANSISI POLITIK DI
INDONESIA
KELOMPOK VI

ANAS PRIANDO (5222220009)


EVANTRI MANURUNG (5222220038)
ZURAEDAH (5222220029)
ALIF BATARA SURAADNINGRAT (5222220015)
AI HISANRU SEBASTIAN MANURUNG (5222220022)
BAB I
PENDAHULUAN

A. Kesadaran Masyarakat Internasional terhadap HAM


Tahun 1989 sebagian besar negara di pelbagai belahan dunia sudah melaksanakan reformasi
dan mulai bergerak ke arah demokrasi dan mulai memproklamirkan dukungan terhadap HAM.
Semenjak PBB berdiri pada tahun 1945 banyak instrumen HAM bermuculan antara lain:
NO TINGKA NAMA KONSTRUMEN HAM
TAN
INSTRU
MEN
1 PBB a) Charter of the United Nation 1945
b) Universal declaration of human rights 1948
c) Convention relating of status of refugees 1954
d) International covenant of the elimination of all form of racial discrimination (CERD) 1965
e) International convenant on economic , social, and culture rights (ICESR) 1966
f) Convention of the elimination of all forms of discrimination against women (CEDAW) 1979
g) Convention against torture and aother cruel, inhuman, or degrading treatment of punishment
(CAT) 1984
h) Convention on the rights of the child (CRD) 1990
i) Vienna declaration and programme of action 1993
 
NO TINGKA NAMA KONSTRUMEN HAM
TAN
INSTRU
MEN
2 TINGKA a) European convention of human rights (ECHR) 1952
T b) American convention of human rights 1969
REGION
AL c) African (Banjul) charter on human and people’s rights 1981
d) Cairo declaration on human rights in Islam 1990
e) Asian human rights charter 1997

3 TINGKA a) Declaration of the rights of man and citien 1789 di Perancis


T b) Bill of rights 1791 di Amerika Serikat
DOMEST
IK c) Charter of rights and fundamental freedoms 1982 di Kanada
d) Bill of rights 1996 di Afrika selatan
e) Human rights act 1998 di Inggris
f) Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia di Indonesia
B. Penigkatan kesadaran terhadap HAM dan pembentukan beberapa landasan hukum HAM di Indonesia dalam era
Reformasi
Sejarah reformasi di indonesia berlaku sejak dikeluarkan Keputusan Presiden (KEPPRES) Republik Indonesia Nomor 129
tanggal 15 Agustus 1998 tentang Rencana aksi nasional hak-hak asasi manusia indonesia 1998-2003 Dalam Keppres ini ada
4 pilar utama yaitu :
1) Persiapan pengesahan perangkat-perangkat internasional HAM;
2) Diseminasi dan pendidikan HAM;
3) Pelaksanaan HAM yang ditetapkan sebagai prioritas;dan
4) Pelaksanaan isi atau ketentuan-ketentuan berbagai perangkat internasional HAM yang telah disahkan di Indonesia.
Kemudian KEPPRES ini diikuti oleh Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 26 Tahun tanggal 16 September 1998 tentang
Menghentikan istilah pribumi dan non pribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaran kebijakan , perencanaan
program ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintah.
Kelanjutan dari KEPPRES dan INPRES ini melahirkan UU Nomor 5 tahun 1998 mengenai Pengesahan Konvensi Menentang
Penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam , tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia.
C. Wacana HAM di Indonesia dalm perseptif Historis
Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949 dan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 yang
berlaku selama 10 tahun dari 1949 - 1959 lebih banyak memuat pasal-pasal mengenai HAM. Hal ini tercantum
dalam bagian V yaitu Hak-hak dan kebebasan-kebebasan Dasar Manusia dari Pasal 7 sampai dengan pasal 33
dengan total 27 pasal. Sedangkan pada UUDS 1950 terdapat 28 pasal , dari pasal 7 sampai dengan pasal 34.
Kemudian Presiden Soekarno membuat Keppres Nomor 150 Tahun 1959 tertanggal 5 Juli 1959 untuk
memberlakukan kembali UUD 1945 dan menyatakan UUDS 1950 tidak berlaku , padahal ketentuan-ketentuan
mengenai HAM justru lebih banyak berada disini. Karena itu beberapa pihak berusaha melengkapinya dalam
sebuah Piagam HAM yang pernah dilakukan oleh MPRS. Namun menurut Sekjen Abdulkadir Besar , Piagam
HAM tersebut tidak jadi berlaku karena pada saat itu Soeharto yang pada saat itu menjabat sebagai Pejabat
Presiden ingin segera menjabat sebagai Presiden secara penuh karena ingin mengikuti sidang
Intergovernmental Group on Indonesia (IGGI) yang pertama di Tokyo.
Selanjutnya berdasarkan ketetapan MPR dimuka maka diberlakukan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
tertanggal 23 September 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang dikenal dengan UU HAM.
UU ini beisi mengenai hak dan kewajiban yang meliputi :
No. Hak-hak asasi manusia Kewajiban dasar manusia

1 Hak untuk hidup (ps. 9 ayat 1,2,3) Setiap orang yang ada di wilayah negara RI wajib
patuh pada peraturan perundangan-undangan, hukum
tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi
manusia yang telah diterima oleh negara RI (ps. 52-
66)
2 Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan Setiap warga negara wajib ikut dalam pembelaan
(ps. 10 ayat 1,2) negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan (ps. 67)

3 Hak mengembangkan diri (ps. 11-16) Setiap orang menghormati hak asasi manusia orang
lain, moral, etika , dan tata tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (ps. 69 ayat
1)
4
Hak memperoleh keadilan (ps. 17-19) Setiap hak asasi manusia meninmbulkan
kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk
menghormati hak asasi orang lain secara timbal
balik serta menjadi tugas pemerintah untuk
menghormati , melindungi, menegakan dan
memajukannya (ps. 69 ayat 2)
5
Hak atas kebebasan pribadi (ps. 20-27) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas
hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntuan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral
dan keamanan dan ketertiban umum dalam suatu
masyrakat demokratis (ps. 70)
6
Hak atas rasa aman (ps. 28-35)  
7
Hak atas kesejahteraan (ps. 36-42)
8
Hak turut serta dalam pemerintahan (ps. 43-44)
9
Hak wanita (ps. 45-51)
10
Hak anak (ps. 52-66)
 
Indonesia dalam era reformasi
Masa reformasi di mulai pada saat diberhentikannya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 dan diangkatnya wakil
presiden BJ Habibie menjadi Presiden.
 
Era ini dibentuknya cabinet reformasi pembangunan yang berlangsung hanya 13 bulan karena diselenggarakannya Pemilu
tahun 1999. Yang selanjutnya dalam kurun waktu 1 ½ tahun masa jabatan sebagai presiden BJ Habibie harus meletakan
jabatannya karena pertanggungjawabannya di tolak oleh MPR dalam Sidang umumnya tanggal 19 Oktober 1999.
 
Kemudian berdasarkan ketetapan MPR Nomor VI/MPR/1999 , KH. Abdurahman Wahid diangkat menjadi Presiden dan
Megawati Soekarno Putri menjadi Wakil Presiden. Masa pemerintahan Presiden Wahid hanya berlangsung 20 bulan
karena adanya Skandal Bulog atau dikenal dengan nama Buloggate I. Dan melalui Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001 ,
Presiden Wahid diberhentikan sekaligus menyatakan MPR Nomor VI/MPR/1999 tidak berlaku lagi.
 
Kemudian MPR menetapkan Keputusan MPR Nomor III/MPR/2001 tentang Penetapan Wakil Presiden Megawati Soekarto
Putri sebagai Presiden Republik Indonesia dengan masa jabatan 1999-2004.
 
BAB 2
TRANSISI POLITIK MENUJU DEMOKRASI

Teori yang berkembang selanjutnya adalah teori tentang negara dan hukum. Salah satu tokohnya adalah J.J
von Schmid yang memaparkan pemikiran tentang negara dan hukum tidak mendahului pembentukan dan
pertumbuhan peradaban-peradaban. Akan tetapi merupakan gejala sosial yang menampakan diri setelah
berabad-abad lamanya hidup pada perabadan yang maju. Memang menjadi syarat penting bagi suatu negara
bahwa ia mengijinkan warga negaranya untuk mengeluarkan pendapat tentang negara dan hukum secara
kritis. Harapannya hal tersebut muncul dalam kehidupan negara dan masyarakat, tetapi juga diharapkan terus
eksis di kalangan rakyat dari negara yang bersangkutan.
Tidak dapat dibantah bahwa tradisi HAM adalah produk dari zamannya. Hal inilah yang
merefleksikan proses kelanjutan sejarah dan perubahan-perubahan yang membantu untuk memberikan
substansi dan bentuk. Oleh sebab itu, untuk memahami lebih baik diskursus tentang isi dan ruang lingkup
HAM serta prioritas-prioritas yang dikemukakan sangat menarik untuk mendalami “tiga generasi HAM”
yang dikembangkan oleh ahli hukum Prancis Karel Vasak. Dengan diilhami oleh Revolusi Prancis, Vasak
membagi HAM menjadi tiga generasi, diantaranya adalah generasi pertama berupa hak-hak sipil dan politik
(liberte) , generasi kedua adalah hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (egalite) dan generasi ketiga adalah
hak-hak solidaritas (fraternite).
Generasi pertama adalah hak-hak yang tergolong sebagai hak-hak sipil dan
politik, yang terutama berasal dari teori-teori kaum reformis yang
dikemukakan pada awal abad ke-17 dan ke-18 berkaitan dengan revolusi di
Inggris, Amerika, dan Prancis. Dipengaruhi filsafat politik individualisme
liberal dan doktrin sosial ekonomi laissez-faire, generasi ini meletakkan posisi
HAM lebih pada terminologi negatif daripada terminologi yang positif dan
lebih menghargai ketiadaan intervensi pemerintah dalam pencarian martabat
manusia. Termasuk kelompok ini adalah hak sebagaimana dirumuskan dalam
Pasal 2-21 Universal Declaration of Human Rights.

Generasi kedua tergolong ke dalam hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak-hak tersebut
secara utama berakar pada tradisi sosial yang membayangi Saint-Simonitas pada awal abad ke-
19 di Perancis dan secara beragam diperkenalkan melalui perjuangan revolusioner dan gerakan-
gerakan kesejahteraan setelah itu. Jika di lihat lebih dalam, generasi ini merupakan respon atas
pelanggaran dan penyelewengan dari perkembangan kapitalis dan menggaris bawahinya tanpa
kritik yang esensial, konsepsi kebebasan individual yang mentoleransi bahkan sampai
melegitimasi, dan eksploitasi kelas pekerja oleh masyarakat kolonial. Termasuk kelompok ini
adalah Pasal 22-27 Universal Declaration of Human Rights.
Generasi ketiga tergolong kedalam hak-hak solidaritas (solidarity rights) yang merupakan
rekonseptualisasi dari kedua generasi HAM sebelumnya. Generasi ini dapat dipahami
sebagai suatu produk dari kebangkitan dan kejauhan negara bangsa dari paruh kedua abad
ke-20. Generasi ini tercantum dalam Pasal 28 Universal Declaration of Human Rights
yang mencakup enam hak sekaligus. Tiga dari mereka merefleksikan bangkitnya
nasionalisme dunia ketiga dan keinginannya untuk mendistribusikan kembali kekuatan,
kekayaan dan nilai-nilai yang penting

Kesimpulannya adalah perdebatan antara universalisme dengan


relativisme budaya merupakan suatu niscaya yang tidak dapat
dielakan. Solusinya adalah merekonsiliasikan perbedaan-perbedaan
antara universalisme dan relativisme budaya, sehingga ditemukan titik
temu yang solutif dan produktif.
BAB III
KEADILAN TRADISIONAL
1. Pemutusan Kaitan dengan Masa lalu, Pencariaan Jalan Baru
 
a. Menghukum Masa lalu, atau membiarkan Kaitan dengannya Tetap Eksis
Beberapa bangsa telah bereaksi terhadap masa lalunya yang kacau dengan menutup mata mereka
secara kolektif. Austria misalnya telah lama menggambarkan dirinya sebagai korban pertama dari Nazisme,
Beberapa negara lainnya telah mendapati kesulitan untuk memelihara amnesia historisnya di hadapan korban-
korban yang terus-menerus berjatuhan.
b. Pencarian Kebenaran, Rekonsiliasi, dan Keadilan
Menurut pengamatan Daan Bronkhorst, seorang mantan petinggi Amnesty International, dalam konteks
keadilan dalam masa transisi ini terdapat beberapa kata yang menarik untuk didiskusikan. Kata kata yang dipilih
Bronkhorst ini juga merupakan bagian dari parameter2 untuk menganalisis masalah masalah yang berkaitan
dengan keadilan transisional ini. Pertama, adalah kata kebenaran yang diambilnya dari nama Komisi yang telah
didirikan di Chile - yang serupa, dengan nama Komisi yang juga pernah didirikan di berbagai negara lainnya -
yakni Truth and Reconciliation Commission atau Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Kedua, adalah kata rekonsiliasi, dengan alasan bahwa setiap masyarakat yang menjadi korban tindakan represif
harus dipulihkan dari pengalaman masa lampaunya itu, dan mencapai kesepakatan mengenai syarat-syarat
penyelesaian substansial dari konflik dan kekacauan tersebut.
Ketiga adalah kata keadilan, Menurut Bronkhorst, meskipun demikian, peran keadilan dalam proses transisi, dan
prioritas yang diberikannya, berbeda-beda antara satu bangsa dengan bangsa lain.
2. PERMASALAHAN UTAMA

a. Beberapa Sanksi Terhadap Kejahatan HAM Berat Putusan Pengadilan Nuremberg

Pengadilan Nuremberg tersebut memiliki kewenangan untuk mengadili dan menghukum orang-
orang yang turut berkonspirasi melakukan kejahatan terhadapa perdamaian (crimes against
peace), kejahatan perang (War crimes), dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against
humanity) sebagaimana yang diatur dalam Piagam yang dibentuk oleh negara-negara yang
memegang kekuasaan utama yang mengatur yurisdiksi dan fungsi dari Pengadilan Nuremberg.

b. Politik Memori
Beberapa dari permasalahan findamental yang berkaitan dengan hukum, moralitas
dan politik dilontarkan pada waktu-waktu tersebut, ketika masyarakat melihat kembali
untuk memahami bagaimana mereka kehilangan arah moral dan politik.
c. Hukum Internasioanal dan Keadilan Retroaktif
Hukum internasioanal menempatkan institusi-institusi dan proses-proses
yang melampaui hukum dan politik domestik. Keberlangsungan semacam
itu dianggap eksis di dalam norma-norma hukum internasional, seperti
Geneva Convention Relative to the Orotection of Civilian Persons in Time of
War yang dibuat pada masa pasca perang

d. Keadilan Retrospektif di Belgia, Perancis, dan Belanda

Permasalahan keadilan retrospektif di Belgia, Perancis dan Belanda sampailah pada


waktunya ketika aturan-aturan yang bersifat supranasional tentang penghormatan terhadapa
HAM dan aturan-aturan hukum justru lemah atau tidak ada.
Munculnya International Covenant on Civil and Political Rights dan Helsinki Accords.
Badan-badan penyelidikan dan pemantauan, yang bervariasi bentuknya dari pengadilan
supranasioanal hingga ke International Helsinki Committee (Komite Helsinki International),
kemudian menjadi operasional kerangka landasan hukum baru ini telah dan masih menjadi
sarana yang penting untuk mengambil putusan-putusan yang terkait dengan masa lalu
Cekoslovakia, Hongaria dan Polandia.
BAB IV
TUNTUTAN PENYELESAIAN HAM

Awal reformasi berhentinya Soeharto akibat protes tuntutan yang bertubi-tubi dengan merosotnya keadaan sosial
dan ekonomi sehingga secara otomatis wakil Presiden BJ.HABIBI dengan program Cabinet Reformasi Pembangunan
dengan meyujudkan reformasi demokrasi di Indonesia dan perubahan menyeluruh pada Peranata Politik ,Sosial, Ekonomi
dan perubahan pada basis rakyat dan negara dengan meyujudkan pemilihan Umum (pemilu) tahun 1999 , namun dalam
jangka 1 (satu tahun) Presiden BJ.HABIBI Harus Meletakkan jabatan akibat tidak di terimanya Pertanggungjawaban di
tolak MPR dalam siding umumnya pada tanggal 19 oktober 1999, sementara era presiden ABDURAHMAN WAHIT
Penyempurnaan Pemilu dilakukan dengan Ketetapan MPR II/MPR/1973 Tentang tata cara pencalonan dan dalam era
Presiden MEGAWATI SOEKARNO PUTRI dengan berfokus pada ketegasan tentang kelanjutan penyelesaian berbagai kasus
HAM
BEBERAPA AGENDA REFORMASI PASCA SOEHARTO
1) Konstitusionalisme dan Aturan Hukum bahwa dalam hal lebih dari tiga dasawarsa laporan -
laporan rekomendasi- rekomendasi yang telah menggorogoti Indonesia pada masa lalu
dilakukan pembaharuan
2) Otonomi daerah bahwa dalam hal daerah memiliki kekuasaan sendiri terjadi Pada masa BJ HABIBI
yang mengesahkan dalam hal bidang otonomi daerah memutuskan untuk mencabut UU Nomor 5
tahun 1974 tentang pokok pemerintahan menjadi uu nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan
daerah dengan mengesahkan kekuasaan Otonomi Daerah
3) Hubungan sipil dan militer yaitu bahwa dalam masa presiden Soeharto TNI Berperan Penting
dalam melaksanakan kenegaraan, namun akibat kekecewaan masyarakat, sehingga
menyingkirkan TNI tidak dapat berpolitik.
4) Masyarakat sipil bahwa masyarakat-masyarakat memastikan agar di keikut sertaan dalam hal
pembuatan – pembuatan keputusan di ikut sertakan, sehingga timbulnya pengelompokan-
pengelompokan organisasi diantaranya Asosiasi penyelenggara pemerintah yang baik,
Perdagangan dan distribusi , serikat pekerja, Assosiasi Profesional,asosiasi standar, kesejahteraan
sosial
5) Reformasi Tata Pemerintahan,Pembangunan Sosial-Ekonomi Melakukan Pemulihan Dengan Menjadikan Akhir
Dari Permusyawaratan Dan Partisipasi Publik Contohnya munculnya Instutusi Ombusman.
6) Jender yaitu menyamakan antara keterwakilan kaum perempuan atau kaum lemah agar keterwakilan dalam
mengambil keputusan dalam bernegara
7) Pluralisme Agama bahwa keterkaitan agama timbulnya organisasi- organisasi keagamaan dalam arah politik dan
partai-partai keagamaan
 
Tuntutan Penyelesaian Kasus-Kasus Pelanggaran Ham Berat
1) Beberapa kasus yang menjadi Fokus Tuntutan beberapa kasus yang timbul dalam
transitional justice
2) Keadilan criminal kurang mendapat perhatian
3) Pola penyelesaian beberapa kasus pelanggaran Ham masa lalu salah satunya kasus tanjung
priuk pada tanggal 12 september 1984 yang sampai saat ini masih di ambang proses
penyelesaian dengan memandang yaitu:
1. Beberapa perkembangan terakhir
2. Beberapa tersangka
3. Mempertanyakan nama-nama yang tidak muncul dalam daftar tersangka
4. Soal bukti baru

Tentang kasus – kasus lainya bahwa masih banyak hal-hal yang melanggar Hak azasi manusia
yang tidak Terungkap yang tidak memiliki data-data terjadinya pelanggaran Ham berat pada
reformasi itu , maka proses politik di Indonesia juga mengalami kesulitan dalam
penegakanya sama dengan negara-negara lain dalam hal tercapainya keadilan yang
transisional
BAB V
PRODUK HUKUM PASCA REFORMASI

Hasil sidang tahunan MPR pada saat setelah reformasi, sidang berlangsung pada tanggal 7-18 Agustus 2000, dengan
hasil antara lain:
1. Perubahan Pasal 18 Undang-Undang Dasar (UUD).
2. Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000 tentang rekomendasi kebijakan dalam penyelenggaraan otonomi daerah.
3. Ketetapan MPR Nomor V/MPR/2000 tentang pemantapan persatuan dan kesatuan nasional.
4. Ketetapa MPR Nomor VIII/MPR/2000 tentang laporan tahunan Lembaga-Lembaga tinggi negara pada sidang
tahunan MPR tahun 2000.
Pola penyelesaian Kasus-kasus Pelanggaran HAM berat Dalam masa pasca reformasi:

2. Kasus Aceh
1. Kasus Tanjung Priok
a. Kesepakatan penghentian permusuhan
a. Himbauan untuk melakukan rekonsiliasi b. Menyelesaikan beberapa bentuk pelanggaran
b. Upaya untuk melakukan perdamaian (Islah) c. Keadilan transisional melalui UU otonomi khusus
c. Proses islah
d. Prospek kelanjutan penyelesaian kasus melalui jalur hukum

3. Kasus Trisakti, Semanggi 1, Dan Semanggi 2

Dalam konteks upaya pencarian konsepsi keadilan transisional di Indonesia dalam era
reformasi, dapat dikatakan bahwa kasus ini masih berupaya mencari konsepsi tersebut.
Alternatif sudah dilakukan melalui pembentukan pansus DPR, pembentukan KKP HAM
oleh komnas HAM, dan persidangan di pengadilan militer. NAmun upaya tersebut masih
jauh dari kata adil khususnya bagi keluarga korban, karena itu perlu dicarikan upaya lain
melalui pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus ini.
4. Kasus Timor Timur Pasca jajak pendapat

Khusus untuk kasus Timor timur pencarian konsepsi keadilan sudah berjalan
cukup baik walaupun masyarakat masih terganggu dengan pandangan bahwa
putusan yang dijatuhkan masih kurang adil karena ada beberapa nama yang
dianggap ikut bertanggung jawab dalam kasus ini namun Namanya menghilang
dari daftar terdakw dan tersangka.

5. Kasus-Kasus Lainnya

Kasus Abepura masih sangat buram prospek penyelesaian


kasusnya .
BAB VI
PENUTUP

KESIMPULAN:
Dewasa ini hak asasi manusia tidak lagi dipandang sekadar sebagai perwujudan paham
individualisme dan liberalisme seperti dahulu. Hak asasi manusis lebih dipahami secara
humanistik sebagai hak-hak yang inheren dengan harkat martabat kemanusiaan, apa pun latar
belakang ras, etnik, agama, warna kulit, jenis kelamin  dan pekerjaannya. Konsep tentang hak
asasi manusia dalam konteks modern dilatarbelakangi oleh pembacaan yang lebih manusiawi
tersebut, sehingga konsep HAM diartikan sebagai berikut:

“Human rights could generally be defined as those rights which are inherent in our nature and
without which we cannot live as human beings”

Dengan pemahaman seperti itu, konsep hak asasi manusia disifatkan sebagai suatu common
standard of achivement for all people and all nations, yaitu sebagai tolok ukur bersama
tentang prestasi kemanusiaan yang perlu dicapai oleh seluruh masyarakat dan negara di dunia.
SARAN:
Pelanggaran Hak Asasi Manusia  adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok orang termasuk aparat
negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi,
menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang
dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh
penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU
No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).

Dalam Undang-undang ini pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia ditentukan dengan berpedoman pada
Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB, konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
wanita, konvensi PBB tentang hak-hak anak dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur
tentang Hak Asasi Manusia. Materi Undang-undang ini disesuaikan juga dengan kebutuhan masyarakat dan
pembangunan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila, UUD 45 dan TAP MPR RI Nomor
XVII/MPR/1998.

Anda mungkin juga menyukai