Anda di halaman 1dari 9

BUKU JAWABAN TUGAS MATA

KULIAH TUGAS 1

Nama Mahasiswa : INDRI SETYO PURWANTI

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 858708891

Kode/Nama Mata Kuliah : PKNI4317/Hak Asasi Manusia ( HAM )

Kode/Nama UPBJJ : 71/SURABAYA

Masa Ujian : 2022/23.1 (2022.2)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
JAWABAN
1. Hak asasi manusia dalam UUD 1945 diatur dalam Pasal 28A-J. Selain itu, HAM turut diatur
dalam pasal 27 hingga pasal 34. Berikut 10 pasal yang mengatur tentang HAM:
1. Pasal 28A
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
2. Pasal 28B
(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan
yang sah.
(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
3. Pasal 28C
(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak
mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
4. Pasal 28D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan
layak dalam hubungan kerja.
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
5. Pasal 28E
(1) Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat
tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya.
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
6. Pasal 28F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia.
7. Pasal 28G
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan
harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan
derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
8. Pasal 28H
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara
utuh sebagai manusia yang bermartabat.
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil
alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.
9. Pasal 28I
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum,
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
(2) Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban.
(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung
jawab negara, terutama pemerintah.
(5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum
yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan.
10. Pasal 28J
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

2. A. Sejarah HAM di Dunia


Sejarah hak asasi manusia berawal dari dunia Barat (Eropa). Seorang filsuf Inggris pada abad ke-
17, John Locke, merumuskan adanya hak alamiah (natural rights) yang melekat pada setiap diri
manusia, yaitu hak atas hidup, hak kebebasan, dan hak milik. Pada waktu itu, hak masih terbatas
pada bidang sipil (pribadi) dan politik. Sejarah perkembangan hak asasi manusia ditandai adanya
tiga peristiwa penting di dunia Barat, yaitu Magna Charta, Revolusi Amerika, dan Revolusi Prancis.
1. Magna Charta (1215)
Piagam perjanjian antara Raja John dari Inggris dengan para bangsawan disebut Magna Charta.
Isinya adalah pemberian jaminan beberapa hak oleh raja kepada para bangsawan beserta
keturunannya, seperti hak untuk tidak dipenjarakan tanpa adanya pemeriksaan pengadilan.
Jaminan itu diberikan sebagai balasan atas bantuan biaya pemerintahan yang telah diberikan oleh
para bangsawan. Sejak saat itu, jaminan hak tersebut berkembang dan menjadi bagian dari sistem
konstitusional Inggris.
2. Revolusi Amerika (1776)
Perang kemerdekaan rakyat Amerika Serikat melawan penjajahan Inggris disebut Revolusi
Amerika. Declaration of Independence (Deklarasi Kemerdekaan) dan Amerika Serikat menjadi
negara merdeka tanggal 4 Juli 1776 merupakan hasil dari revolusi ini.
3. Revolusi Prancis (1789)
Revolusi Prancis adalah bentuk perlawanan rakyat Prancis kepada rajanya sendiri (Louis XVI) yang
telah bertindak sewenang-wenang dan absolut. Declaration des droits de I’homme et du
citoyen (Pernyataan Hak-Hak Manusia dan Warga Negara) dihasilkan oleh Revolusi Prancis.
Pernyataan ini memuat tiga hal: hak atas kebebasan (liberty), kesamaan (egality), dan
persaudaraan (fraternite).
4. African Charter on Human and People Rights (1981)
Pada tanggal 27 Juni 1981, negara-negara anggota Organisasi Persatuan Afrika (OAU)
mengadakan konferensi mengenai HAM. Dalam konferensi tersebut, semua negara Afrika secara
tegas berkomitment untuk memberantas segala bentuk kolonialisme dari Afrika, untuk
mengkoordinasikan dan mengintensifkan kerjasama dan upaya untuk mencapai kehidupan yang
lebih baik bagi masyarakat Afrika.
5. Cairo Declaration on Human Right in Islam (1990)
Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam merupakan deklarasi dari negara-negara
anggota Organisasi Konferensi Islam di Kairo pada tahun 1990 yang memberikan gambaran umum
pada Islam tentang hak asasi manusia dan menegaskan Islam syariah sebagai satu-satunya
sumber. Deklarasi ini menyatakan tujuannya untuk menjadi pedoman umum bagi negara anggota
OKI di bidang hak asasi manusia.
6. Bangkok Declaration (1993)
Deklarasi Bangkok diadopsi pada pertemuan negara-negara Asia pada tahun 1993. Dalam
konferensi ini, pemerintah negara-negara Asia telah mengegaskan kembali komitmennya terhadap
prinsip-prinsip Piagam PBB dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Mereka menyatakan
pandangannya saling ketergantungan dan dapat dibagi hak asasi manusia dan menekankan
perlunya universalitas, objektivitas, dan nonselektivitas hak asasi manusia.
7. Deklarasi PBB (Deklarasi Wina) Tahun 1993
Deklarasi ini merupakan deklarasi universal yang ditandatangani oleh semua negara anggota PBB
di ibu kota Austria, yaitu Wina. Oleh karenanya dikenal dengan Deklarasi Wina. Hasilnya adalah
mendeklarasikan hak asasi generasi ketiga, yaitu hak pembangunan. Deklarasi ini sesungguhnya
adalah re-evaluasi tahap dua dari Deklarasi HAM, yaitu bentuk evaluasi serta penyesuaian yang
disetuju semua anggota PBB, termasuk Indonesia.
B. Sejarah HAM di Indonesia
Sepanjang sejarah kehidupan manusia ternyata tidak semua orang memiliki penghargaan yang
sama terhadap sesamanya. Ini yang menjadi latar belakang perlunya penegakan hak asasi
manusia. Manusia dengan teganya merusak, mengganggu, mencelakakan, dan membunuh
manusia lainnya. Bangsa yang satu dengan semena-mena menguasai dan menjajah bangsa lain.
Untuk melindungi harkat dan martabat kemanusiaan yang sebenarnya sama antarumat manusia,
hak asasi manusia dibutuhkan. Berikut sejarah penegakan HAM di Indonesia.
1. Pada masa prakemerdekaan
Pemikiran modern tentang HAM di Indonesia baru muncul pada abad ke-19. Orang Indonesia
pertama yang secara jelas mengungkapkan pemikiran mengenai HAM adalah Raden Ajeng Kartini.
Pemikiran itu diungkapkan dalam surat-surat yang ditulisnya 40 tahun sebelum proklamasi
kemerdekaan.
2. Pada masa kemerdekaan
1. Pada masa orde lama
Gagasan mengenai perlunya HAM selanjutnya berkembang dalam sidang BPUPKI. Tokoh yang
gigih membela agar HAM diatur secara luas dalam UUD 1945 dalam sidang itu adalah
Mohammad Hatta dan Mohammad Sukiman. Tetapi, upaya mereka kurang berhasil. Hanya
sedikit nilai-nilai HAM yang diatur dalam UUD 1945. Sementara itu, secara menyeluruh HAM
diatur dalam Konstitusi RIS dan UUDS 1950.
2. Pada masa orde baru
Pelanggaran HAM pada masa orde baru mencapai puncaknya. Ini terjadi terutama karena HAM
dianggap sebagai paham liberal (Barat) yang bertentangan dengan budaya timur dan
Pancasila. Karena itu, HAM hanya diakui secara sangat minimal. Komisi Hak Asasi Manusia
dibentuk pada tahun 1993. Namun, komisi tersebut tidak dapat berfungsi dengan baik karena
kondisi politik. Berbagai pelanggaran HAM terus terjadi, bahkan disinyalir terjadi pula berbagai
pelanggaran HAM berat. Hal itu akhirnya mendorong munculnya gerakan reformasi untuk
mengakhiri kekuasaan orde baru.
3. Pada masa reformasi
Masalah penegakan hak asasi manusia di Indonesia telah menjadi tekad dan komitmen yang
kuat dari segenap komponen bangsa terutama pada era reformasi sekarang ini. Kemajuan itu
ditandai dengan membaiknya iklim kebebasan dan lahirnya berbagai dokumen HAM yang lebih
baik. Dokumen itu meliputi UUD 1945 hasil amendemen, Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang
Hak Asasi Manusia, UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 26 tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pada tahun 2005, pemerintah meratifikasi dua
instrumen yang sangat penting dalam penegakan HAM, yaitu Kovenan Internasional tentang
Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) menjadi Undang-Undang No. 11 tahun 2005,
dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) menjadi Undang-Undang
No. 12 tahun 2005.
4. Semoga artikel Kewarganegaraan tersebut di atas tentang Sejarah Hak Asasi Manusia
(HAM) bisa bermanfaat dan menambah pengetahuan sobat sekalian. Apabila ada suatu
kesalahan baik berupa penulisan maupun isi, mohon kiranya kritik dan saran yang membangun
untuk kemajuan bersama.
3 Tahapan Perjanjian Internasional Adalah?
Secara umum, terdapat tiga tahapan yang berlaku dalam perjanjian internasional sebagaimana
yang banyak beredar di Internet yakni Perundingan (Negotiation), Penandatangan (Signature), dan
Pengesahan (Ratification).
Ketiga tahapan perjanjian internasional ini juga disebutkan dalam buku Mochtar Kusumaatmadja
yang berjudul “Pengantar Hukum Internasional”. Adapun penjelasan dari ketiga tahapan dalam
perjanjian internasional seperti perundingan, penandatangan, dan pengesahan adalah:
1. Tahapan Perundingan (Negotiation)
Tahapan perjanjian internasional yang pertama ini dilakukan dengan cara mengutus perwakilan
negara peserta berdasarkan mandat tertentu untuk menyelesaikan suatu masalah.
Biasanya dalam tahapan perundingan perjanjian internasional ini dilakukan oleh kepala negara,
menteri luar negeri, atau duta besar.
Perundingan juga dapat diwakili oleh pejabat dengan membawa Surat Kuasa Penuh (full power).
Ketika perundingan itu terdapat kesepakatan maka hal yang terjadi adalah perundingan tersebut
meningkat pada tahap penandatanganan.
2. Tahapan Penandatangan (Signature)
Setelah melalui tahapan perundingan, selanjutnya adalah masuk pada tahapan penandatangan
perjanjian internasional. Pada tahapan ini, maka kedua negara dalam hal ini kepala negara, kepala
pemerintahan, atau menteri luar negeri mendantangani kesepakatan itu.
Sesudah perjanjian internasional itu ditandatangani, maka perjanjian internasional itu memasuki
tahapan dengan apa yang dikenal ratifikasi atau pengesahan oleh parlemen atau dewan perwakilan
rakyat di negara-negara yang menandatangani perjanjian.
3. Tahapan Pengesahan (Ratification)
Dalam tahapan perjanjian internasional yang terakhir ini, dimana Ratifikasi dilakukan oleh DPR dan
pemerintah. Mengajak DPR karena perwakilan rakyat dan berhak untuk mengetahui isi dan
kepentingan yang termuat dalam perjanjian tersebut.
Pasal 11 UUD 1945 menyatakan bahwa masalah perjanjian internasional harus mendapatkan
persetujuan dari DPR. Ketika perjanjian telah disahkan/diratifikasi melalui persetujuan DPR, maka
hasil yang didapatkan dari perjanjian internasional itu ialah harus dipatuhi dan dilaksanakan dengan
penuh tanggung jawab.
4. Hak Asasi Manusia atau yang akrab ditelinga dengan sebutan HAM merupakan hak-hak dasar
yang tidak dapat diganggu-gugat oleh siapa saja. Setiap orang mempunyai cara pandangnya
sendiri tentang isu hak, baik ruang lingkup, pengertian dan pembatasan-pembatasan tentang
hak apa saja dan siapa saja kiranya pantas untuk diatur dan dijunjung tinggi. Instrumen HAM itu
sendiri juga menimbulkan banyak varian dan cara pandang yang bervariatif dalam
mendefinisikan Ham, termasuk para pakar dan pegiat-pegiat HAM di dunia.

Pandangan HAM secara Partikular Relatif ini merupakan cara pandang HAM secara umum atau
Universal, tetapi HAM secara Partikular relatif ini juga dapat dilihat secara Khusus atau dengan
kata lain HAM Secara Partikular Relatif ini masih memperhatikan nilai kultural atau kebudayaan
lokal dari Negara atau tempat dimana Hukum nasional mengatur, kecuali juga meratifikasi
ketentuan hukum internasional.

Menurut pendapat penulis, pandangan HAM secara partikular relatif ini masih memungkinkan
pandangan HAM yang tidak diartikan secara sempit. Secara sempit disini artinya tidak
monoton/Kaku dalam memberikan definisi dan ruang lingkup HAM. Dalam hal ini, secara
etimologi konsep HAM dalam konteks Partikular Relatif dapat penulis artikan bahwa: Partikular
yang artinya “khusus”, dan Relatif adalah “tidak mutlak/Absolut. Memahami makna dari HAM
dimaksud jika dikaitkan dengan arti yang sebenarnya, maka HAM dalam makna/ cara pandang
Partikular Relatif menurut hemat penulis adalah HAM secara Partikular relatif ini merupakan
HAM yang suatu berlakunya disesuaikan dengan ruang dan waktu.
Ruang yang penulis maksudkan disini adalah, tatkala orang menganggap HAM ini harus
mendapatkan ruang geraknya yang disesuaikan dengan yuridiksi pemberlakuan “suatu hak
asasi” bagi manusia. Secara spesifik menurut penulis mengganggap HAM partikular relatif ini
tidak dapat disamaratakan pemberlakuannya disetiap tempat seperti halnya penafsiran HAM
Absolut yang bagi siapa saja wajib menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai ke-asasian
didalam berkehidupan. Namun siapa saja wajib menjunjung tinggi harkat dan martabat yang
tercantum dalam butir-butir HAM yang sebagaimana telah di tentukan secara konstitusi negara.

Disamping HAM harus dipatuhi secara konstitusional menyangkut negara tersebut adalah
negara hukum (Misalnya: Indonesia), jika terdapat materi-materi yang tidak termuat secara
khusus terkait ruang gerak HAM yang berbeda yang lebih khusus dan eksplisit (Misalnya:
Aceh), wajib menghormati hak dan keberagaman yang ada di daerah tersebut guna menjunjung
tinggi nilai-nilai sosial keberagaman yang telah lama hidup dan berkembang di masyarakat.

Konteks “Indonesia” dalam Pandangan HAM Partikular Relatif


Penulis menggarisbawahi bahwa Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai-nilai HAM sebagai
negara yang konsen pada Rule of Law. Regulasi yang ada penulis berpikir bahwa tidak menjadi
hambatan pemberlakuan HAM di Indonesia dengan keberagaman suku, agama, budayanya
yang sangat mendominasi, konsep yang sudah jelas inilah yang seharusnya menjadi
pertimbangan penuh bagi pemerintah (negara), pegiat-pegiat HAM dan eleman lainnya yang
terkait dengan Human Right dalam menjalankan mata rantai yang tidak boleh
terputus/tersendat oleh suatu apapun. Namun pada hakikat yang seharusnya wajib dihormati
oleh negara pada rakyatnya (publik), maupun antara rakyat dengan rakyat sendiri (privat) masih
menyelipkan kepentingan kelompok atau golongan sehingga mendapat kendala yang cukup
rumit dalam pembuktian/pengungkapan pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.

HAM yang terasa Unik Nan Etnik di Indonesia inilah yang sangat banyak mengundang reaksi
dari kalangan-kalangan “luar” bahkan internasional sehingga mengganggu eksistensi
pemberlakuan HAM di Indonesia secara totalitas dan eksplisit. Untuk itu perlu keseriusan dan
keterlibatan semua kalangan baik aktivis, pegiat HAM, cendikia dan pemerintah agar kita
terbebas dari intervensi asing dalam proses dan pemberlakuan HAM di negara yang
berpenduduk 250 juta ini. Kombinasi dalam mengakomodir berbagai perbedaan diharapkan
mampu memberikan jawaban pasti sejauhmana substansi HAM sudah berjalan di Indonesia.
Nah, partikel-partikel instrumen HAM yang penulis maksud inilah yang seharusnya dapat
memperkokoh ruang gerak HAM partikular relatif sehingga keberagaman etnik, budaya, suku
dan agama tetap menjadi koredor pertimbangan dalam pemberlakuan HAM di Indonesia yang
terbingkai rapi dalam perspektif filosofis, sosiologis dan yuridis.

HAM bukanlah merupakan satu-satunya harga mati yang tidak memberikan pertimbangan nilai
tawar, tetapi harusnya HAM diberlakukan dengan aspek yang cukup dalam memberikan rasa
aman dari segala jenis pembatasan dan penindasan hak-hak dasar yang sangat fundamental.
Bagaimana para pemangku negeri ini memberikan jaminan terhadap warga negaranya dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya dan dapat menyuarakan hak-hak sipilnya pada tatanan
masyarakat berbangsa dan bernegara.

Konteks “Aceh” dalam Pandangan HAM Partikular Relatif


Di tengah isu HAM yang mendunia saat ini, yang secara absolut HAM merupakan suatu yang
telah disepakati dan tidak dapat ditawar-tawar, tapi dari pandangan HAM partikular relatif ini
masih memberikan kesempatan pada pemahaman tentang HAM yang sangat bervariasi dan
memberikan ruang gerak bagi eksistensi masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai
SARA, penulis tidak menjabarkan secara lengkap tentang hak-hak apa saja yang diatur
berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.

Aceh telah mengantongi Lex Specialis Undang-undang No. 44 Tahun 1999 tentang
Keistimewaan Aceh, meliputi beberapa keistimewaan dalam penyelenggaran: 1) Kehidupan
beragama; 2) Kehidupan Adat; 3) Pendidikan;dan 4) Peran ulama dalam penetapan kebijakan
pemerintahannya. Siapa saja yang melihat 4 poin tersebut yakin dan percaya bahwa hal
tersebut sangatlah menjadi pegangan dalam kehidupan sosial masyarakat Aceh.
Pertanyaannya, lalu bagaimana jika pemberlakuan keempat instrumen tersebut terbentur
dengan norma hukum yang juga masih memberikan ruang regulasi bagi Aceh dalam
menjalankan hak keistimewaanya (termasuk UU tentang HAM)?. Fenomena inilah yang
diharapkan memberikan sumbangsih bahwa Aceh masih dibalut oleh keistimewaan-
keistimewaan karena dinilai Aceh sangat kental dengan nuansa budaya, adat istiadat dan
konsep syari’at islam namun tidak luntur dengan kehadiran HAM di Aceh, yang kiranya dapat
mengusik proses “keistimewaan’ yang tengah berjalan sampai dengan detik ini.

Penulis memaksudkan bahwa HAM dalam pandangan partikular relatif ini mampu memberikan
ruang gerak “keistimewaan” di Aceh tidak luntur dan tetap eksis dalam nilai khasnya dengan
tidak mengkebiri konsep HAM nasional bahkan internasional. Tawaran yang penulis maksudkan
adalah bagaimana peran/upaya stakeholder dan para pegiat HAM di Aceh mampu
mendefinisikan bahwa Aceh dapat mempertahankan Keistimewaan dalam kultur, adat istiadat
dan Syari’at Islam namun tetap mempertimbangkan HAM dalam sudut pandang penerapannya.
Masih banyak pekerjaan rumah terkait HAM di “Aceh” yang perlu dibenahi dan direalisasikan,
namun jika hal yang sedang tumbuh dan berkembang saja tidak becus dan “acuh-tak acuh”
oleh berbagai kalangan, siapa lagi yang mampu mempertahankan nilai-nilai yang sudah
ditanam oleh para “Endatu” kita terdahulu? Konon ingin mengimplementasikan Pasal 227
Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh terkait didalamnya muatan-
muatan HAM di Aceh.

Masih banyak kebijakan di Aceh yang dianggap melanggar substansi HAM baik nasional
maupun internasional, inilah tantangan kita kedepan di Aceh yang masih banyak pihak menuai
kontroversi dari berbagai kalangan, sehingga disangsikan akan mengganggu eksistensi nilai
kultur (kearifan lokal) yang sarat dengan Syari’at Islam. Belum lagi dengan penerapan Qanun
Jinayah yang akan diterapkan, dapat dipastikan akan banyak kicauan-kicauan tentang
pelanggaran HAM yang saat ini sedang marak jadi tofik perbincangan. Hemat penulis,
pandangan HAM secara partikular relatif ini mampu memberikan pencerahan bagi kita semua
bahwa isu HAM merupakan isu yang sangat sentral, fundamen, wajib dihormati, namun juga
harus memberikan pemahaman bahwa kita juga harus menghormati nilai-nilai yang telah hidup,
tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat yang konteksnya kearifan lokal.

5. Dilihat secara teori, HAM internasional merupakan hak-hak yang dimiliki oleh semua
masyarakat dunia terhadap berbagai hal. Kemudian disepakati oleh berbagai negara untuk
ditegakkan dalam berbagai aturan yang akan dipatuhi bersama.
Sedangkan hukum HAM internasional, mengatur tentang bagaimana perlindungan akan hak dari
setiap individu maupun kelompok dari berbagai pelanggaran. Baik yang dilakukan pemerintah
tempat individu atau kelompok itu berada maupun pihak lain.
Awal deklarasi tentang HAM internasional adalah pada Deklarasi Universal HAM yang
ditandatangani 48 negara, diadakan di Paris, Prancis 10 Desember 1948. setelah itu, muncul
aturan-aturan pendukung yang kemudian disebut instrumen HAM internasional.
Instrumen HAM Internasional
Yang disebut dengan instrumen HAM Internasional adalah standar untuk mengatur mekanisme
kontrol dan pelaksanaan kesepakatan berbagai negara tentang HAM internasional. Beberapa
instrumen yang diakui sebagai bagian penegakan HAM internasional adalah:
Piagam Persatuan Bangsa-Bangsa tahun 1945, dimana di dalamnya juga terdapat kesepakatan
tentang HAM.
Deklarasi Universal HAM tahun 1948, sebagai landasan utama yang sampai sekarang dijadikan
acuan negara yang menandatangani deklarasi tersebut.

1. Konvensi internasional tentang hak sipil dan politik


2. Konvensi internasional tentang hak ekonomis, sosial, dan budaya
3. Konvensi internasional tentang perlindungan untuk semua orang terhadap tindakan hilang
paksa
4. Konvensi internasional tentang perlindungan hak dari pekerja migran dan juga keluarganya
5. Konvensi lain dari berbagai negara yang berlaku secara internasional dan berkaitan dengan
HAM

3.

Anda mungkin juga menyukai