KULIAH TUGAS 1
Pandangan HAM secara Partikular Relatif ini merupakan cara pandang HAM secara umum atau
Universal, tetapi HAM secara Partikular relatif ini juga dapat dilihat secara Khusus atau dengan
kata lain HAM Secara Partikular Relatif ini masih memperhatikan nilai kultural atau kebudayaan
lokal dari Negara atau tempat dimana Hukum nasional mengatur, kecuali juga meratifikasi
ketentuan hukum internasional.
Menurut pendapat penulis, pandangan HAM secara partikular relatif ini masih memungkinkan
pandangan HAM yang tidak diartikan secara sempit. Secara sempit disini artinya tidak
monoton/Kaku dalam memberikan definisi dan ruang lingkup HAM. Dalam hal ini, secara
etimologi konsep HAM dalam konteks Partikular Relatif dapat penulis artikan bahwa: Partikular
yang artinya “khusus”, dan Relatif adalah “tidak mutlak/Absolut. Memahami makna dari HAM
dimaksud jika dikaitkan dengan arti yang sebenarnya, maka HAM dalam makna/ cara pandang
Partikular Relatif menurut hemat penulis adalah HAM secara Partikular relatif ini merupakan
HAM yang suatu berlakunya disesuaikan dengan ruang dan waktu.
Ruang yang penulis maksudkan disini adalah, tatkala orang menganggap HAM ini harus
mendapatkan ruang geraknya yang disesuaikan dengan yuridiksi pemberlakuan “suatu hak
asasi” bagi manusia. Secara spesifik menurut penulis mengganggap HAM partikular relatif ini
tidak dapat disamaratakan pemberlakuannya disetiap tempat seperti halnya penafsiran HAM
Absolut yang bagi siapa saja wajib menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai ke-asasian
didalam berkehidupan. Namun siapa saja wajib menjunjung tinggi harkat dan martabat yang
tercantum dalam butir-butir HAM yang sebagaimana telah di tentukan secara konstitusi negara.
Disamping HAM harus dipatuhi secara konstitusional menyangkut negara tersebut adalah
negara hukum (Misalnya: Indonesia), jika terdapat materi-materi yang tidak termuat secara
khusus terkait ruang gerak HAM yang berbeda yang lebih khusus dan eksplisit (Misalnya:
Aceh), wajib menghormati hak dan keberagaman yang ada di daerah tersebut guna menjunjung
tinggi nilai-nilai sosial keberagaman yang telah lama hidup dan berkembang di masyarakat.
HAM yang terasa Unik Nan Etnik di Indonesia inilah yang sangat banyak mengundang reaksi
dari kalangan-kalangan “luar” bahkan internasional sehingga mengganggu eksistensi
pemberlakuan HAM di Indonesia secara totalitas dan eksplisit. Untuk itu perlu keseriusan dan
keterlibatan semua kalangan baik aktivis, pegiat HAM, cendikia dan pemerintah agar kita
terbebas dari intervensi asing dalam proses dan pemberlakuan HAM di negara yang
berpenduduk 250 juta ini. Kombinasi dalam mengakomodir berbagai perbedaan diharapkan
mampu memberikan jawaban pasti sejauhmana substansi HAM sudah berjalan di Indonesia.
Nah, partikel-partikel instrumen HAM yang penulis maksud inilah yang seharusnya dapat
memperkokoh ruang gerak HAM partikular relatif sehingga keberagaman etnik, budaya, suku
dan agama tetap menjadi koredor pertimbangan dalam pemberlakuan HAM di Indonesia yang
terbingkai rapi dalam perspektif filosofis, sosiologis dan yuridis.
HAM bukanlah merupakan satu-satunya harga mati yang tidak memberikan pertimbangan nilai
tawar, tetapi harusnya HAM diberlakukan dengan aspek yang cukup dalam memberikan rasa
aman dari segala jenis pembatasan dan penindasan hak-hak dasar yang sangat fundamental.
Bagaimana para pemangku negeri ini memberikan jaminan terhadap warga negaranya dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya dan dapat menyuarakan hak-hak sipilnya pada tatanan
masyarakat berbangsa dan bernegara.
Aceh telah mengantongi Lex Specialis Undang-undang No. 44 Tahun 1999 tentang
Keistimewaan Aceh, meliputi beberapa keistimewaan dalam penyelenggaran: 1) Kehidupan
beragama; 2) Kehidupan Adat; 3) Pendidikan;dan 4) Peran ulama dalam penetapan kebijakan
pemerintahannya. Siapa saja yang melihat 4 poin tersebut yakin dan percaya bahwa hal
tersebut sangatlah menjadi pegangan dalam kehidupan sosial masyarakat Aceh.
Pertanyaannya, lalu bagaimana jika pemberlakuan keempat instrumen tersebut terbentur
dengan norma hukum yang juga masih memberikan ruang regulasi bagi Aceh dalam
menjalankan hak keistimewaanya (termasuk UU tentang HAM)?. Fenomena inilah yang
diharapkan memberikan sumbangsih bahwa Aceh masih dibalut oleh keistimewaan-
keistimewaan karena dinilai Aceh sangat kental dengan nuansa budaya, adat istiadat dan
konsep syari’at islam namun tidak luntur dengan kehadiran HAM di Aceh, yang kiranya dapat
mengusik proses “keistimewaan’ yang tengah berjalan sampai dengan detik ini.
Penulis memaksudkan bahwa HAM dalam pandangan partikular relatif ini mampu memberikan
ruang gerak “keistimewaan” di Aceh tidak luntur dan tetap eksis dalam nilai khasnya dengan
tidak mengkebiri konsep HAM nasional bahkan internasional. Tawaran yang penulis maksudkan
adalah bagaimana peran/upaya stakeholder dan para pegiat HAM di Aceh mampu
mendefinisikan bahwa Aceh dapat mempertahankan Keistimewaan dalam kultur, adat istiadat
dan Syari’at Islam namun tetap mempertimbangkan HAM dalam sudut pandang penerapannya.
Masih banyak pekerjaan rumah terkait HAM di “Aceh” yang perlu dibenahi dan direalisasikan,
namun jika hal yang sedang tumbuh dan berkembang saja tidak becus dan “acuh-tak acuh”
oleh berbagai kalangan, siapa lagi yang mampu mempertahankan nilai-nilai yang sudah
ditanam oleh para “Endatu” kita terdahulu? Konon ingin mengimplementasikan Pasal 227
Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh terkait didalamnya muatan-
muatan HAM di Aceh.
Masih banyak kebijakan di Aceh yang dianggap melanggar substansi HAM baik nasional
maupun internasional, inilah tantangan kita kedepan di Aceh yang masih banyak pihak menuai
kontroversi dari berbagai kalangan, sehingga disangsikan akan mengganggu eksistensi nilai
kultur (kearifan lokal) yang sarat dengan Syari’at Islam. Belum lagi dengan penerapan Qanun
Jinayah yang akan diterapkan, dapat dipastikan akan banyak kicauan-kicauan tentang
pelanggaran HAM yang saat ini sedang marak jadi tofik perbincangan. Hemat penulis,
pandangan HAM secara partikular relatif ini mampu memberikan pencerahan bagi kita semua
bahwa isu HAM merupakan isu yang sangat sentral, fundamen, wajib dihormati, namun juga
harus memberikan pemahaman bahwa kita juga harus menghormati nilai-nilai yang telah hidup,
tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat yang konteksnya kearifan lokal.
5. Dilihat secara teori, HAM internasional merupakan hak-hak yang dimiliki oleh semua
masyarakat dunia terhadap berbagai hal. Kemudian disepakati oleh berbagai negara untuk
ditegakkan dalam berbagai aturan yang akan dipatuhi bersama.
Sedangkan hukum HAM internasional, mengatur tentang bagaimana perlindungan akan hak dari
setiap individu maupun kelompok dari berbagai pelanggaran. Baik yang dilakukan pemerintah
tempat individu atau kelompok itu berada maupun pihak lain.
Awal deklarasi tentang HAM internasional adalah pada Deklarasi Universal HAM yang
ditandatangani 48 negara, diadakan di Paris, Prancis 10 Desember 1948. setelah itu, muncul
aturan-aturan pendukung yang kemudian disebut instrumen HAM internasional.
Instrumen HAM Internasional
Yang disebut dengan instrumen HAM Internasional adalah standar untuk mengatur mekanisme
kontrol dan pelaksanaan kesepakatan berbagai negara tentang HAM internasional. Beberapa
instrumen yang diakui sebagai bagian penegakan HAM internasional adalah:
Piagam Persatuan Bangsa-Bangsa tahun 1945, dimana di dalamnya juga terdapat kesepakatan
tentang HAM.
Deklarasi Universal HAM tahun 1948, sebagai landasan utama yang sampai sekarang dijadikan
acuan negara yang menandatangani deklarasi tersebut.
3.