Anda di halaman 1dari 13

PAPER

Analisis Perkembangan Nuklir Iran dan Respon IAEA


Disusun guna memenuhi tugas kelompok Mata Kuliah Studi Strategis

Dosen Pengampu:
Fauzan, S.IP., M.Si., Ph.D.

Disusun oleh :
Kelompok 2 HI-A
1. GHIFARI AKBAR ZANJABILLA 151210130
2. DWI NAUFAL RIDHWAN 151210135
3. AULIA RIZKY RAGIL KUNING 151210140
4. BUANA TRI WIRA AJI 151210145
5. RAFAEL KAISAR GULTOM 151210162
6. DENIAR TITIH ALDYAN 151210179
7. KATRIN ONERE BR SITANGGANG 151220020

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” YOGYAKARTA
2023
Analisis Perkembangan Nuklir Iran dan Respon IAEA
A. Latar Belakang
Energi nuklir dinilai lebih murah, lebih luas dan lebih efektif jika
dibandingkan dengan sumber energi lainnya. Negara yang memiliki sumber energi
nuklir dapat menimbulkan sudut pandang yang beragam dalam komunitas
Internasional, yang mungkin dianggap sebagai suatu ancaman. Sementara di satu sisi,
negara-negara pemilik nuklir menyatakan bahwa penggunaan nuklir adalah untuk
tujuan damai dan sebagai sumber energi, di sisi lain, ada kekhawatiran terkait
pengembangan nuklir sebagai alat persenjataan. Seperti halnya dengan Iran. Iran
melakukan pengayaan pada sumber nuklir secara terus menerus. Sampai saat ini,
penyebaran senjata nuklir terus berlanjut.
Dalam dinamika kondisi internasional, ada pandangan bahwa keberadaan
senjata nuklir dapat menjadi potensi ancaman bagi negara-negara lainnya. Untuk
memastikan bahwa teknologi nuklir hanya digunakan untuk tujuan damai maka
dibentuklah suatu organisasi internasional yang bernama International Atomic Energy
Agency (IAEA). IAEA merupakan badan atom internasional yang khusus menangani
negara-negara di dunia yang mengembangkan sektor nuklir. IAEA dibentuk pada
tahun 1957 dan merupakan lembaga pemerintah yang berada di bawah naungan PBB
(Perserikatan Bangsa-Bangsa). IAEA memiliki kontribusi untuk menggalakkan
perdamaian, menjaga keamanan dunia, mencegah penyebaran senjata nuklir, dan
mendukung serta membantu pengembangan teknologi nuklir untuk keperluan sipil.
Maka dari itu IAEA memiliki tanggung jawab dalam pengembangan senjata nuklir di
negara negara yang memiliki nuklir. Oleh karena itu, IAEA berhak memeriksa
pengembangan teknologi nuklir yang dilakukan oleh negara negara anggota IAEA.
Sebagai penunjang kegiatan IAEA dalam menjalankan tugasnya, maka dibuat suatu
kesepakatan terhadap negara negara pengembang energi nuklir. Kesepakatan tersebut
dikenal dengan nama Non-Proliferation Treaty (NPT).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat ditarik sebuah rumusan masalah yaitu:
Bagaimana respon IAEA terhadap perkembangan nuklir di Iran dalam
kerangka Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT)?

C. Kerangka Pemikiran
1. Konsep Treaty

1
Konsep Treaty merupakan perjanjian kerjasama global dimana
perjanjian ini memegang peran sentral dalam membentuk hubungan antar-
negara. Perjanjian itu sendiri merupakan hasil dari negosiasi dan kesepakatan
antara pihak-pihak yang terlibat seperti contohnya negara-negara atau entitas
hukum internasional lainnya, hal ini mencakup berbagai isu seperti
perdamaian, perdagangan, lingkungan, dan hak asasi manusia.
Sekarang ini terdapat dua konvensi yang mengatur tentang perjanjian
internasional, yaitu Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Perjanjian
Internasional yang dibuat antar negara (Vienna Convention on The Law of
Treaties) dan Konvensi Wina tahun 1986 tentang Perjanjian Internasional
antar negara dan Organisasi Internasional atau antar Organisasi Internasional
(Vienna Convention on The Law of Treaties between States and International
Organizations or between International Organizations).
Suatu perjanjian internasional tidak hanya mengikat pihak-pihak yang
terlibat secara hukum, tetapi juga mencerminkan komitmen politik dan moral
untuk memecahkan masalah bersama. Salah satu contoh yang akan dijelaskan
yaitu Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT). Traktat tersebut mempunyai
tujuan untuk mencegah penyebaran senjata nuklir dan mendorong penggunaan
tenaga nuklir secara damai. Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT) ini juga
diawasi secara ketat oleh badan pengawas internasional yaitu International
Energy Agency (IAEA) sehingga nantinya negara-negara patuh dengan traktat
tersebut dan menghasilkan transparansi terhadap pihak-pihaknya. Iran sebagai
salah satu negara yang meratifikasi NPT harus mematuhi perjanjian tersebut
karena sifatnya yang mengikat. Maka ketika Iran melakukan pelanggaran,
IAEA kemudian melaporkan Iran kepada Dewan Gubernur IAEA dan Dewan
Keamanan PBB.
2. Konsep National Interest
Konsep National Interest atau kepentingan nasional merupakan konsep
paling umum dalam membahas hubungan luar negeri antar negara. Konsep ini
juga merupakan alat untuk menjelaskan perilaku sebuah Negara dalam
interaksinya di dunia internasional. sulit ditemukan analisis hubungan
internasional yang tidak menyinggung tentang kepentingan nasional.
Donald E. Nuechterlein mengklasifikasikan kepentingan nasional
kedalam empat kepentingan dasar Negara (basic interest) yang memotivasi

2
suatu negara untuk menjalankan hubungan luar negerinya. Pertama adalah
kepentingan pertahanan dan keamanan (defense interest). Kepentingan ini
menyangkut perlindungan terhadap wilayah dan warga suatu negara dari
ancaman negara negara lain. Kedua yaitu kepentingan ekonomi (economic
interest). Kepentingan ini untuk meningkatkan ekonomi negara dengan cara
menumbuhkan relasi dan kerjasama dengan negara lain. Ketiga adalah
kepentingan tatanan internasional (world order interest). Kepentingan tata
dunia yaitu adanya jaminan pemeliharaan terhadap sistem politik dan ekonomi
internasional dimana suatu negara dapat merasakan suatu keamanan sehingga
rakyat dan badan usaha dapat beroperasi diluar batas negara dengan aman.
Dan yang keempat adalah kepentingan ideologi (ideologic interest).
Kepentingan ini merupakan kepentingan negara untuk melindungi dan
mempertahankan nilai-nilai ideologi negaranya dari ancaman ideologi dari
negara lain. (Nuechterlein, 1979).
Iran sendiri, seperti yang kita ketahui, terus berusaha mengulur waktu
agar pembangunan reaktor-reaktor nuklir selesai dan mampu menciptakan
nuklir. Meminjam parafrase yang dikatakan Mearsheimer yang dikutip Lamy
dalam Baylis dan Smith (2002), dikatakan bahwa negara besar (AS) akan
mendukung perlucutan senjata dan potensi nuklir di Iran agar negara yang
melakukan pelucutan tersebut lebih mudah untuk diinvasi. Mantan Duta Besar
Iran untuk Indonesia, Shaban Saidi Moaddab, pernah mengatakan bahwa jika
teknologi nuklir baik untuk AS, maka nuklir juga akan baik untuk Iran (The
Jakarta Post, 2005: 01). Sistem internasional yang anarki membuat Iran ingin
terus bertahan dan mempertahankan instalasi nuklirnya. Bagi Iran, cara terbaik
mengatasi kemungkinan-kemungkinan yang buruk dan bisa saja terjadi,
misalkan diinvasi AS, maka memiliki nuklir adalah sebuah hal yang
diperlukan.
D. Pembahasan
1. Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT)
Perjanjian Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) pada awal muncul
sejak tahun 1970 telah membuat dunia lebih aman dan lebih berkembang. NPT
dengan tiga pilarnya yakni non-proliferasi, kontrol senjata, dan penggunaan
damai energi nuklir, adalah batu penjuru dari rezim nuklir global non-
proletariat yang bertujuan untuk mencegah terjadinya perang nuklir dengan

3
menghentikan penyebaran senjata nuklir dan langkah-langkah lainnya.
Munculnya NPT ditujukan untuk menjadikan senjata berteknologi nuklir
dimanfaatkan untuk tujuan yang damai bukan sebagai objek untuk melakukan
pemusnahan massal.1 NPT sendiri ditandatangani pada 1 Juli 1968 oleh 5
negara awal yang memiliki senjata berteknologi nuklir dan mulai berlaku pada
5 Maret 1970.2
Masalah untuk menghentikan penyebaran senjata nuklir dibahas dalam
sesi ke-14 Majelis Umum PBB pada tahun 1959 sebagai bagian dari kerangka
debat tentang penghancuran senjata. Sejak 1959-1967, Majelis Umum
mengadopsi sejumlah resolusi yang mendesak Eighteen Nation Disarmament
Committee (“ENDC”), yang didirikan oleh Union of Soviet Socialist Republics
(“USSR”) dan United States (“US”), untuk memprioritaskan negosiasi tentang
perjanjian internasional dengan tujuan untuk mencegah proliferasi senjata
nuklir. Pada 11 Maret 1968, Amerika Serikat dan Uni Soviet menyerahkan
kepada ENDC sebuah rancangan bersama perjanjian non-proliferasi nuklir
yang kemudian disajikan kepada Majelis Umum. Mengadopsi Resolusi 2373
(XXII) pada 12 Juni 1968, melalui cara memuji perjanjian non-proliferasi
nuklir dan merekomendasikan agar terbuka untuk penandatanganan serta
ratifikasi secepat mungkin. Pada konferensi ulasan dan perpanjangan tahun
1995, negara-negara pihak NPT setuju bahwa perjanjian harus tetap berlaku
untuk waktu yang tidak terbatas karena masih ada kemungkinan terjadinya
World Mass Destruction (WMD) -sebagai akibat dari penyalahgunaan
teknologi nuklir- jika tidak ada perjanjian yang mengatur tentang hal ini.
Perjanjian non-proliferasi nuklir (NPT) terdiri dari 11 pasal yang
berkaitan dengan negara yang memiliki senjata nuklir dan negara yang tidak
memiliki nuklir. Pasal-pasal ini membahas berbagai kewajiban, termasuk
pencegahan senjata nuklir, proliferasi teknologi senjata, mempromosikan
kerjasama dalam pemanfaatan energi nuklir secara damai. NPT diperkirakan
akan menimbulkan optimisme baru dalam menciptakan perdamaian global
karena pembentukannya merupakan tanggapan terhadap minat yang meningkat

1 Evans, C. P. (2021). Going, going, gone? Assessing Iran’s possible grounds for withdrawal from the treaty on
the non-proliferation of nuclear weapons. Journal of Conflict and Security Law, 26(2), Article 2.
https://doi.org/10.1093/jcsl/krab001
2 UNODA. “Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT),”. Diakses dari
https://www.un.org/disarmament/wmd/nuclear/npt/ pada 14 November 2023.

4
serta pengembangan program pembangunan nuklir secara aktif oleh banyak
negara.
2. Arms control
Arms control atau kontrol persenjataan merupakan sebuah konsep
fundamental dalam diplomasi internasional serta merujuk pada berbagai upaya
yang bertujuan untuk mengelola, mengurangi, dan mengontrol persenjataan
pada tingkat tertentu. Konsep arms control mencakup pengurangan senjata
sebagai langkah preventif untuk mengurangi potensi kerusakan yang dapat
diakibatkan oleh konflik bersenjata. Hal ini dapat melibatkan negosiasi
internasional untuk mengurangi jumlah atau jenis senjata tertentu, seperti
perjanjian pengurangan senjata strategis antara dua atau lebih negara.
Contohnya adalah Perjanjian Pengurangan Senjata Strategis (START)
Strategic Arms Reduction Treaty antara Amerika Serikat dan Uni Soviet pada
masa Perang Dingin. 3
Dalam konteks ini, investasi lebih lanjut dalam dialog, transparansi,
dan langkah-langkah membangun kepercayaan menjadi kunci untuk
membendung tren penurunan yang terlihat dalam beberapa tahun terakhir.
Upaya ini mencakup pengembangan dan penguatan perjanjian serta rezim
internasional yang sudah ada. Sebagai contoh, menekankan pentingnya
partisipasi aktif dalam forum-forum seperti TPNW (Treaty on the Prohibition
of Nuclear Weapons) yang merupakan sebuah forum perjanjian internasional
dengan bertujuan untuk memastikan keberlanjutan upaya-upaya pengendalian
eksistensi senjata nuklir serta penghentian lebih lanjut mengenai
pengembangan senjata pemusnah massal. 4
3. Disarmament
Secara harfiah, disarmament berarti pelucutan senjata. Kata pelucutan
senjata atau disarmament berarti pengurangan atau pembubaran oleh negara
pasukan militer dan senjata. Perlucutan senjata dapat dipaksakan sendiri,
dipaksakan secara eksternal atau karena perjanjian internasional atau regional.
Perlucutan senjata mungkin lagi sebagian atau umum. 5 Perlucutan senjata

3 Woolf, A. F., & Foreign Affairs, Defense, and Trade Division. (2003, May). Nuclear Arms Control: The
Strategic Offensive Reductions Treaty. Congressional Research Service, Library of Congress.
4 Casey-Maslen, S. (2019). The Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons: a commentary. Oxford
University Press.
5 Lodgaard, S. (2010). Nuclear disarmament and non-proliferation (open access): Towards a nuclear-weapon-
free world? Nuclear Disarmament and Non-Proliferation (Open Access): Towards a Nuclear-Weapon-Free

5
sebagian berarti pengurangan jenis senjata khusus yang umumnya dianggap
lebih berbahaya. Pelucutan senjata secara umum dan lengkap berarti
penghapusan semua jenis senjata. Konsep perlucutan senjata berasal dari
pemahaman bahwa senjata adalah sumber ketegangan yang kadang-kadang
menciptakan perang.6
Kepemilikan senjata dalam jumlah besar menanamkan rasa saling takut
dan menimbulkan ketegangan ke dalam hubungan antarnegara. Dikatakan
bahwa untuk menghentikan perang atau permusuhan dan untuk
mengembangkan kepercayaan antara negara, senjata, yang dianggap sebagai
akar dari semua ancaman ini harus dihilangkan. Perlucutan senjata diperlukan
untuk menjaga perdamaian dan kemajuan peradaban manusia. Negara negara
di dunia dapat berpartisipasi untuk perdamaian dunia dengan disarmament
dimana secara teknis dapat mengontrol senjata konvensional (conventional
arms control), nuclear policy issues, mencegah penggunaan senjata pemusnah
massal (weapon of mass destruction). Senjata pemusnah massal adalah
perangkat nuklir, radiologis, kimia, biologis, atau lainnya yang dimaksudkan
untuk membahayakan sejumlah besar orang. Disarmament, Demobilization
and Reintegration (DDR) adalah proses di mana anggota angkatan bersenjata
dan kelompok-kelompok didukung untuk meletakkan senjata mereka dan
transisi ke kehidupan sipil. Proses ini adalah yang digunakan di PBB pada saat
ini. Disarmament tidak hanya masih relevan, tetapi akan terus menjadi
landasan penting dari ketegangan antar negara dan dunia..
4. Perkembangan Nuklir di Iran
Perkembangan senjata nuklir di Iran dimulai pada tahun 1950-an ketika
Iran dipimpin oleh Mohammad Shah Reza Pahlavi. Pada masa ini, Iran bekerja
sama dengan pihak Amerika Serikat sebagai sekutunya setelah adanya
dominasi bantuan yang diberikan oleh Amerika Serikat khususnya kepada
Shah sendiri untuk mendapatkan puncak kekuasan di Iran sebagai pemimpin
negara tersebut. Dengan adanya kedekatan khusus ini, maka kepentingan awal
untuk mengembangkan nuklir semakin mudah dicapai setelah adanya
sokongan dari Amerika Serikat yang merupakan fasilitator bahan baku dan
finansial pada masa itu dengan syarat, Iran harus memihak blok Barat (blok
World? (pp. 1–274). Taylor and Francis.
6 NATO. (n.d.). Arms control, disarmament and non-proliferation in NATO. NATO. Retrieved November 15,
2023, from https://www.nato.int/cps/en/natohq/topics_48895.htm

6
Amerika Serikat) pada masa perang dingin yang terjadi antara Amerika Serikat
dan Uni Soviet.
Program pengembangan nuklir di Iran secara resmi dimulai pada tahun
1957 ketika Iran menyepakati perjanjian kooperasi nuklir dengan Amerika
Serikat sebagai bagian dari program “Atom for Peace” yang dimiliki oleh
Amerika Serikat. Tujuan dari program ini sendiri adalah untuk menjadi
penelitian tentang kegunaan dari nuklir itu sendiri adalah untuk tujuan damai
7
bukan untuk membahayakan negara atau pihak lain. Pada tahun 1967, Iran
menandatangani Non-Proliferation Treaty (NPT). Kelanjutan dari
pengembangan senjata nuklir di Iran mengalami perkembangan yang besar
pada tahun 1974 dimana Shah mendirikan Atomic Energy Organization of
Iran (AEOI) dengan tujuan untuk mampu menciptakan sendiri tenaga listrik
nuklir dengan besar tegangan 23.000 MW. Melalui AEOI, Iran membuat
beberapa kesepakatan yang berhubungan dengan pengembangan tenaga nuklir
seperti kesepakatan dengan Kraftwek Union (KWU), kesepakatan Jerman
Barat untuk menciptakan 2 reaktor di Bushehr sebesar 1.200 MW serta
bernegosiasi dengan Frametime serta perusahaan Perancis yang memberikan 2
reaktor sebesar 900 MW.
Tahun 1979, Iran mengalami revolusi Islam yang menyebabkan
perkembangan tenaga nuklir di Iran semakin lambat malah cenderung
berhenti. Perubahan Iran menjadi Islam Republic of Iran di bawah
kepemimpinan Ayatollah Ruhollah Khomeini tentunya mengubah arah
pandangan Iran mengenai program tenaga nuklir beserta dengan
perkembangan dari program nuklir. Rezim Ayatollah menganggap program
tenaga nuklir adalah pandangan dari “Barat” yang bertentangan dengan nilai
ajaran Islam terkhusus setelah Iran berubah menjadi negara yang berprinsip
dengan nilai-nilai Islam. Dengan perubahan yang ada baik dari segi pemimpin
serta prinsip negaranya, program pengembangan tenaga nuklir di Iran
terbengkalai karena adanya kekosongan dari segi sumber daya manusia,
dukungan finansial dari negara-negara pendukung seperti Amerika Serikat

7 Mikail, K., & Fatoni, A. (2019). Program Pengembangan Nuklir Iran dan Pengaruhnya terhadap Masyarakat
Iran (1957-2006 M). Jurnal Studi Sosial Dan Politik, 3(1), 1–16. https://doi.org/10.19109/jssp.v3i1.4064

7
serta inisiatif dari negara Iran itu sendiri. 8 Namun dengan munculnya konflik
antara Iran dan Irak dalam rentang tahun 1980-1988 yang berakhir dengan
perang memaksa rezim Ayatollah melanjutkan program nuklir untuk mampu
menanggapi serta melawan serangan Irak yang sudah memiliki senjata nuklir
terselubung pada tahun itu serta kelemahan dari organisasi internasional yang
gagal untuk menyelesaikan konflik antara Iran-Irak tanpa jalur perang.
Sehingga pada tahun 1984 masih dalam rezim Ayatollah, Iran mulai
melanjutkan kembali program nuklir yang sudah terbengkalai sebelumnya.
Pada tahun ini, Iran sudah memiliki 5 reaktor yang digunakan untuk objek
penelitian serta berniat untuk menjadikan objek penelitian tenaga nuklir
menjadi 15 reaktor.
Tahun 2004, Iran dibawah kepemimpinan Khatami masih
mengembangkan program nuklir mereka namun dengan cara atau taktik yang
sangat berbeda dengan sebelumnya dimana pada kali ini Iran memilih cara
yang lebih kooperatif dengan sistem memperbanyak kegiatan negosiasi dan
juga diplomasi dalam ranah internasional terhadap negara-negara yang
tergabung dalam IAEA dan Uni Eropa. Awalnya negara-negara Eropa
menolak kerjasama yang dicanangkan oleh Iran dengan berbagai alasan salah
satunya alasan keamanan yang menurut negara-negara Eropa sangat
membahayakan negara mereka. Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya
Iran mencapai kesepakatan kerja sama dengan negara-negara Eropa dimana
kesepakatan ini tentunya berkaitan dengan kepentingan semua pihak serta
program nuklir Iran berada dibawah pengawasan IAEA.
Pemimpin Iran selanjutnya, Ahmadinejad memiliki sikap dan
pandangan yang sangat berbeda dengan Khatami. Pada rezim Ahmadinejad
Iran dengan tegas menyatakan bahwa Iran akan melanjutkan program nuklir
mereka serta menjadi negara dengan kekuatan nuklir yang akan menentang
Amerika Serikat. Pada rezim ini, pengembangan nuklir Iran meningkat pesat
bahkan sampai di titik dimana Dewan Keamanan PBB mulai resah dengan
kondisi ini serta mulai memperingatkan Iran mengenai pengembangan nuklir
mereka yang mulai out of control dari perjanjian Atom for Peace yang ada

8 Reardon, R. J. (2012). Iran’s Nuclear Program: Past, Present, and Future. In Containing Iran (pp. 9–64).
RAND Corporation. https://www.jstor.org/stable/10.7249/j.ctt1q60rb.10

8
sebelumnya. Meski demikian, Iran tidak menggubris peringatan yang
diberikan oleh Dewan Keamanan PBB dan terus melanjutkan program
pengembangan nuklir milik mereka. Hingga pada tahun 2006, Iran
meneruskan proses pengadaan bahan bakar nuklir ketiga fasilitas nuklir
mereka yang merupakan kelanjutan dari program pengembangan nuklir
mereka yang semakin pesat kian hari. Pada tahun 2009, Iran mengumumkan
bahwa negaranya berencana untuk membangun 10 fasilitas nuklir lagi dalam
rangka terus mengembangkan program nuklir yang mereka miliki serta
berencana untuk mengembangkan produksi bahan baku nuklir hingga pada
20% dimana Iran sudah berhasil mendapatkan 1763 Kg uranium sebagai bahan
baku utama reaktor nuklirnya.
5. Respon IAEA terhadap Pengembangan Nuklir Iran
Pelanggaran terhadap penggembangan energi nuklir membuat
masyarakat internasional menjadi lebih waspada terhadap penyebaran senjata
nuklir. International Atomic Energy Agency (IAEA) merupakan salah satu
organisasi internasional yang berusaha mengajak negara-negara di dunia yang
memiliki nuklir untuk menggunakan teknologi nuklirnya secara damai. IAEA
berusaha mencegah penggunaan nuklir untuk tujuan militer. Meskipun IAEA
bukan merupakan pihak dalam NPT, IAEA diberi tanggung jawab verifikasi
utama berdasarkan Perjanjian tersebut. Setiap Negara Pihak yang tidak
memiliki senjata nuklir diwajibkan berdasarkan Pasal III NPT untuk membuat
Comprehensive Safeguards Agreement (CSA) dengan IAEA untuk
memungkinkan IAEA memverifikasi pemenuhan kewajiban mereka
berdasarkan Perjanjian dengan maksud untuk mencegah pengalihan senjata
nuklir. energi dari penggunaan damai hingga senjata nuklir atau alat peledak
nuklir lainnya.9
Keberadaan program rahasia pengayaan bahan bakar nuklir dan
pengolahan ulang terungkap oleh kelompok oposisi Iran yang berada dalam
pengasingan. Pada Februari 2003, IAEA mengunjungi fasilitas pengayaan
bahan bakar di Natanz. Direktur Jenderal International Atomic Energy Agency
(IAEA) melaporkan kepada Dewan IAEA pada Juni 2003 bahwa Iran gagal

9 IAEA. The IAEA and the Non-Proliferation Treaty. Diakses dari https://www.iaea.org/topics/non-
proliferation-treaty pada 14 November 2023.

9
memenuhi kewajibannya dalam Perjanjian Perlindungan, dan mencatat
pelanggaran yang dilakukan oleh Iran meski jumlah bahan bakar nuklir yang
terlibat tidak besar.10 Setelah penyelidikan lebih lanjut, IAEA melaporkan
pada November 2003 bahwa Iran mengakui telah mengembangkan program
pengayaan uranium dengan sentrifugasi dan program pengayaan laser selama
belasan tahun.
Kurangnya transparansi Iran serta keterlibatan Iran dalam hal-hal
sensitif siklus bahan bakar nuklir menjadi inti permasalahan nuklir Iran.
Mengingat kurangnya transparansi Iran, muncul pertanyaan, yang kemudian
dan sekarang masih relevan, tentang risiko bahwa Iran juga dapat melakukan
pengayaan bahan bakar di fasilitas yang tidak diumumkan dengan tujuan
menghasilkan bahan nuklir berkualitas senjata. Kekhawatiran terhadap
dimensi militer yang mungkin dari aktivitas nuklir Iran diperkuat pada tahun
2005, ketika IAEA melaporkan tentang kontak Iran pada pertengahan 1980-an
dengan jaringan A. Q. Khan dan menunjukkan bahwa Iran memiliki dokumen
tentang suatu proses yang terkait dengan pembuatan komponen senjata nuklir.
Dewan gubernur IAEA merespons laporan direktur jenderal dengan
mendorong Iran untuk tidak memasukkan bahan nuklir di Pabrik Pengayaan
Bahan Bakar Percobaan di Natanz dan mendesak Iran untuk menyelesaikan
serta melaksanakan Protokol Tambahan IAEA. Sejak Maret 2007, IAEA telah
melakukan inspeksi tanpa pemberitahuan di Pabrik Pengayaan Bahan Bakar di
Natanz. IAEA menganggap bahwa Iran tidak memberikan kerjasama yang
diperlukan untuk memungkinkannya mengkonfirmasi bahwa semua bahan
nuklir di Iran ditujukan untuk kegiatan damai. Pada 19 Juni 2003, IAEA
menyatakan bahwa Iran tidak melanggar NPT. IAEA terus meminta
pelaksanaan Protokol Tambahan dan tindakan transparansi lainnya (yang
didukung oleh dewan dan Dewan Keamanan) sebagai dukungan untuk
penyelidikannya yang sedang berlangsung, termasuk akses ke semua individu,
dokumen, peralatan, dan situs yang relevan.
Dewan Gubernur IAEA mengeluarkan resolusi yang menuntut Iran
menghentikan semua kegiatan pengayaan. Iran diwajibkan untuk
mendeklarasikan semua lokasi dan aktivitas pengayaan uranium dan
memberikan kebebasan kepada inspektur IAEA untuk melakukan inspeksi di
10 IAEA, Report by the Director General, Doc. GOV/2003/40, June 6, 2003.

10
lokasi mana pun di negara tersebut. Iran setuju untuk memenuhi tuntutan
Dewan Gubernur IAEA. Iran juga setuju untuk menandatangani Protokol
Tambahan pada Perjanjian Pengamanan Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir.
Namun pada tahun 2006, IAEA kembali melaporkan Iran ke Dewan
Keamanan PBB karena ketidakpatuhannya terhadap Perjanjian Perlindungan
NPT. Pada 31 Juli 2006, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi
1696 yang menuntut Iran menghentikan kegiatan pengayaan uraniumnya
dalam waktu satu bulan. Tidak ada sanksi yang dikenakan namun resolusi
tersebut memperingatkan bahwa “tindakan yang tepat” akan diambil jika Iran
tidak mematuhinya. Teheran menyebut resolusi itu ilegal. Dewan Keamanan
PBB kemudian mengadopsi Resolusi 1737, yang memberikan sanksi kepada
Iran atas kegagalannya menghentikan pengayaan uranium. Resolusi tersebut
melarang penjualan teknologi terkait nuklir ke Iran dan membekukan aset
individu dan perusahaan penting yang terkait dengan program nuklir.11
PBB mengeluarkan resolusi terhadap Iran karena Iran tidak
menanggapi seruan untuk menghentikan program pengayaan uraniumnya dan
menolak untuk berkolaborasi dengan pihak-pihak yang prihatin terhadap
tujuan pengembangan program nuklir Iran tersebut. Sampai tahun 2011, dalam
laporannya, IAEA belum menemukan perubahan signifikan terkait fasilitas
nuklir Iran. IAEA juga diberi izin untuk mengunjungi semua fasilitas nuklir
yang relevan, memiliki akses penuh ke peralatan dan dokumentasi yang
berkaitan, serta diizinkan melakukan wawancara dengan semua individu yang
terkait dengan program nuklir Iran.
E. Kesimpulan
Iran merupakan suatu negara Timur Tengah yang melakukan pengembangan
nuklir untuk tujuan damai demi memenuhi kebutuhan masyarakat nya pada tahun
1569. Iran yang terus menerus melakukan pengayaan nuklir membuat IAEA geram.
IAEA melaporkan Iran kepada DK PBB dan DG IAEA. Pelaporan tersebut
mendorong PBB mengeluarkan Resolusi 1696 dan Resolusi 1737. IAEA
mengharapkan adanya informasi yang sangat jelas bahwa bahan nuklir di Iran dalam
keadaan aman dan memiliki keyakinan bahwa tidak ada tindakan militer yang dapat
mengancam keamanan internasional. Oleh karena itu, IAEA terus mengikuti

11 The Iran Primer. 2020. Iran and the NPT. Diakses dari https://iranprimer.usip.org/blog/2020/jan/22/iran-
and-npt pada 14 November 2023.

11
pengembangan bahan nuklir yang diproduksi oleh Iran. Iran konsisten memberikan
akses penuh untuk memeriksa instalasi nuklirnya, termasuk memberikan semua
laporan yang diperlukan. Penggunaan teknologi nuklir oleh Iran, dengan tujuan
khususnya untuk memenuhi kebutuhan energi masyarakat, tetap dilaksanakan sesuai
dengan pendekatan diplomatiknya.

12

Anda mungkin juga menyukai