Anda di halaman 1dari 15

Tugas Individu Matakuliah International Relations

Jurusan Diplomasi Pertahanan


Universitas Pertahanan

Analisis Teori Pilihan Rasional Diplomasi Pertahanan


Indonesia dalam Rezim Internasional Mine Ban treaty

Oleh:
Budi Hartono
Pendahuluan
Pada era Perang Dingin, Amerika Serikat maupun Uni Soviet
merupakan produsen utama persenjataan bagi negara-negara sekutunya.
Terdapat beberapa kategori senjata utama (major weapons) yang dikirim ke
negara sekutunya antara lain tank, mobil lapis baja, artileri, pesawat
tempur, helikopter serang, kapal perang, landmine, dan misil. 1 Bahkan
Amerika Serikat pada tahun 1950-1994, menyediakan senjata dan amunisi
bernilai U$55.2 triliun melalui Program Bantuan Militer (MAP), ditambah
perlengkapan militer sebesar U$6.5 triliun.2
Situasi

Perang

Dingin

membuat

negara

produsen

senjata

konvensional menggunakan dan mentransfer senjata konvensional secara


besar-besaran. Penggunaan dan penyebaran tersebut membuat senjata
1

Denik Iswardani Witarti, (2010), Ancaman Pengedaran Haram Senjata Kecil dan Ringan (SKR) di
Indonesia: Analisis Keselamatan Nasional, Disertasi (tidak diterbitkan), Kuala Lumpur: Universiti
Kebangsaan Malaysia, hlm. 2.
2
Michael T. Klare, (1998), Light Weapons Diffusion and Global Violence in the Post-Cold War Era. Dalam
Denik Iswardani Witarti, (2010), Ancaman Pengedaran Haram Senjata Kecil dan Ringan (SKR) di
Indonesia: Analisis Keselamatan Nasional, Disertasi (tidak diterbitkan), Kuala Lumpur: Universiti
Kebangsaan Malaysia, hlm. 2.

senjata konvensional masih tetap ada di wilayah paska perang. Adapun


senjata konvensional tersebut berjenis ranjau darat (landmine) yang masih
tersebar di Vietnam, Kamboja, dan Afghanistan. Menurut laporan
Pemerintah Vietnam, terdapat 35 juta ranjau darat tertanam di
wilayahnya.3
Di Afghanistan, penggunaan dan penyebaran ranjau darat terjadi
pada saat Perang Afghanistan. Paska perang tersebut, terdapat sekitar
5,000 ranjau darat yang masih tersebar di wilayah Afghanistan.4 Landmine
yang masih berada di wilayah pasca perang, menimbulkan korban jiwa.
Korban dari senjata konvensional landmine, khususnya yang berada di
wilayah paska perang seperti Vietnam, Kamboja, dan Afghanistan
diperkirakan telah melukai 26.000 orang yang terdiri dari 90 persen warga
sipil dan 10 persen personil militer.5
Dampak negatif dari minimnya pengontrolan akan penggunaan
dan penyebaran senjata konvensional yang berakibat terjadinya krisis
kemanusiaan membuat individu, negara, dan entitas di Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk aturan rezim internasional dalam
rangka melakukan kontrol dari penggunaan dan penyebaran senjata
konvensional. Terdapat beberapa definisi mengenai rezim internasional.
Menurut Stephen D. Krasner, rezim internasional adalah tatanan yang
berisi kumpulan prinsip, norma, aturan, proses pembuatan keputusan
yang memuat kepentingan aktor dalam hubungan internasional.6 John
Ruggie juga memberikan pengertian yang hampir sama mengenai rezim
internasional yaitu sekumpulan ekspektasi atau pengharapan bersama,
peraturan, rencana, komitmen organisasi dan finansial yang telah

3

Embassy of the Socialist Republic of Vietnam in the United States of America, (11 Maret 2014),
The US Veterans Help Land Mine Removal in Vietnam,
http://vietnamembassy-usa.org/relations/us-veterans-help-land-mine-removal-vietnam dikutip
11 Maret 2014.
4
Waslat Hasrat-Nazimi , (4 April 2013), Hidden Enemies: Afghanistan Combats Landmine,
http://www.dw.de/hidden-enemies-afghanistan-combats-landmines/a-16716914 dikutip 11
Maret 2014
5
AM Fachir, (27 Juni, 2011), Perkembangan Konvensi Anti Personnel Mines.
http://www.balitbang.kemnhan.go.id/?q=content/perkembangan-konvensi-anti-personnel-mines
dikutip 7 Maret 2014.
6
Stephen D. Krasner, 1983, International Regimes, Itacha, New York: Cornell University, hal. 7.
Dalam buku Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, 2006, Pengantar Ilmu
Hubungan Internasional, Bandung: Remaja Rosdakarya, hlm. 28.

diterima dan disepakati oleh sekelompok negara. 7 Sedangkan Keohane


dan

Joseph

S.

Nye

mendefinisikan

rezim

internasional

sebagai

serangkaian rencana yang didalamnya terdapat aturan, norma, dan


prosedur-prosedur yang mengatur tingkah laku dan mengontrol efek
yang ditimbulkan oleh rezim itu sendiri.8 Dari ketiga definisi tersebut
rezim internasional dapat diartikan sebagai suatu tatanan berisi prinsip,
norma, aturan, yang di dalamnya memuat kepentingan aktor dan pada
akhirnya

diterima

dan

disepakati

oleh

mereka.

Adapun

rezim

internasional yang mengatur landmine adalah Mine Ban treaty.


Pembentukan Mine Ban Treaty dimulai pada tahun 1996. Proses
pembentukan hingga pengadopsian dari Mine Ban Treaty terbilang cukup
singkat yaitu hanya berkisar 1 tahun yaitu dari tahun 1996 hingga 1997.
Indonesia merupakan salah satu negara yang turut aktif dalam proses
pembentukan Mine Ban Treaty. Setelah itu, Indonesia turut menandatangi
dan meratifikasi konvensi ini. Dari penjabaran di atas, maka pertanyaan
dalam tulisan ini adalah apa cost dan benefit dari ratifikasi Indonesia terhadap
Mine Ban Treaty?
Pembahasan
Rezim Internasional Mine Ban Treaty
Convention on the Prohibition of the Use, Stockpilling, Production and
Transfer of Anti-Personnel Mines and on their Destruction (RDAP), Mine Ban
Treaty atau yang dikenal dengan Konvensi Ottawa merupakan perjanjian
internasional yang mengatur mengenai ranjau anti-personil (anti-personnel
mines). Perjanjian ini melarang penggunaan, produksi, penimbunan ranjau
anti-personil,

dan

mengharuskan

setiap

negara

menghancurkan

persediaan yang ada. 9 Tujuan dari pembentukan perjanjian ini adalah


untuk mengakhiri penderitaan dari korban jiwa yang disebabkan oleh

7

Ibid.
Robert O. Keohane and Joseph S. Nye, 1977, Power and Interdependence: World Politics in Transition,
Boston: Little Brown Company, hlm. 19.
9
Themonitor, (2009, 24 September), Landmine and Cluster Munition Monitor Factshests:
Antipersonnel Landmine Stockpiles and Their Destruction.
http://www.the-monitor.org/index.php/content/view/full/18719 diakses 8 Maret 2014.
8

penggunaan ranjau anti-personil melalui pelarangan penggunaan dan


pemusnahan timbunan ranjau anti-personil. 10 Untuk mencapai tujuan
tersebut, negara-negara yang menandatangani dan meratifikasi perjanjian
ini memiliki beberapa kewajiban. Kewajiban dari setiap negara antara
lain:
Melaporkan jumlah ranjau darat anti-personil yang
dimiliki di gudang munisi (stockpile) dan jumlah/luas
ladang ranjau, menyatakan jumlah ranjau yang ingin
disimpan atau dipertahankan untuk tujuan pendidikan dan
pelatihan, menghancurkan stockpile, membuat legislasi
nasional untuk melarang penggunaan, penyimpanan,
produksi, atau transfer ranjau anti-personil yang dilengkapi
sanksi kriminal.11
Pada penjelasan di atas terdapat beberapa kewajiban negara di
dalam Mine Ban Treaty. Kewajiban tersebut seperti setiap negara wajib
melaporkan jumlah ranjau anti-personil yang dimiliki, ranjau anti-personil
yang disimpan hanya untuk tujuan latihan, dan membuat legislasi
nasional untuk mengontrol penggunaan, penyimpanan, produksi, atau
transfer. Perlu ditekankan bahwa pada Mine Ban Treaty, pengaturan
mengenai ranjau anti-personil hanya spesifik terhadap ranjau antipersonil, dan tidak termasuk dengan ranjau anti-tank, claymore, dan boobytraps.
Sebelum tahun 1996, norma hukum internasional yang mengatur
penggunaan ranjau anti-personil adalah Convention on Prohibitions, or
Restrictions on the Use of Certain Conventional Weapons Which May Be Deemed
to be Excessively Injurious or to Have Indiscriminate Effects atau Konvensi
Tentang Senjata Konvensional Tertentu (CCW) yang berlaku sejak tahun
1983. Konvensi CCW merupakan suatu umbrella treaty yang meliputi
lima protokol yaitu, Protokol I, melarang penggunaan senjata yang
dirancang untuk melukai yang diakibatkan oleh pecahan yang tidak
dapat dideteksi dalam tubuh manusia dengan sinar-X. 12 Protokol II,

10

Geneva: Anti Personnel Mine Ban Convention, (2012), Twelfth Meeting of the states Parties, 3-7
Desember, hlm. 2.
11
Kemlu, (2010, 7 Juli), Konvensi Pelarangan Menyeluruh Ranjau Darat Anti-Personil.
http://www.kemlu.go.id/Pages/IIssueDisplay.aspx?IDP=22&l=id diakses 8 Maret 2014.
12
United Nations Information Centre, (14 November, 2011), Konvensi Tentang Senjata
Konvensional Tertentu (CCW).

mengatur pembatasan ranjau darat anti-personil. Protokol III, melarang


penggunaan senjata yang dapat menyulut kebakaran atau menyebabkan
luka bakar. Protokol IV, melarang penggunaan senjata yang dirancang
membutakan. Protokol V, mencegah dan meminimalkan dampak dari bom
yang tidak meledak dan senjata peledak yang ditinggalkan terhadap
manusia.13
Terkait dengan permasalahan pengaturan ranjau darat, terdapat
perundingan di dalam Konvensi CCW pada tahun 1996. Pada
perundingan Peninjauan Ulang (Review Conference) Konvensi CCW, 70
lembaga internasional non pemerintah antara lain Palang Merah
Internasional (ICRC) dan International Campaign to Ban Landmines (ICBL)
mendesak perubahan pada provisi dan tujuan Konvensi CCW.14 Akan
tetapi perundingan tersebut hanya menyepakati suatu provisi baru yaitu
penggunaan ranjau darat dikategorikan ke dalam smart mines. Hasil
perundingan tersebut dianggap gagal oleh sebagian negara pihak
Konvensi CCW, seperti Kanada dan beberapa negara Eropa.
Kegagalan tersebut membuat Kanada dan lembaga-lembaga
internasional non-pemerintah mengajukan norma hukum internasional
baru

dengan

tujuan

menghapuskan

ranjau

anti-personil

secara

menyeluruh. Proses pembentukan Mine Ban Treaty dimulai pada tahun


1996. Kanada menjadi negara yang melakukan launching terhadap proses
pembentukan Mine Ban Treaty. Pembahasan mengenai pelarangan ranjau
anti-personil dilakukan melalui pertemuan negara-negara yang memiliki
pandangan yang sama yaitu melakukan gerakan anti-ranjau. Pertemuan
pertama pada tahun 1996 bernama International strategy conference:
Towards a global ban on anti-personnel mines, dilaksanakan pada tanggal 3 5 Oktober 1996.
Proses pembentukan Mine Ban Treaty dikenal dengan istilah
Ottawa Process. Pada pertemuan tersebut terdapat 50 negara yang

www.unic-jakarta.org dikutip 8 Maret 2014.
13
Ibid.
14
AM Fachir, (27 Juni, 2011), Perkembangan Konvensi Anti Personnel Mines.
http://www.balitbang.kemhan.go.id/?q=content/perkembangan-konvensi-anti-personnel-mines
dikutip 8 Maret 2014 .

menyatakan setuju atas pengaturan secara universal mengenai ranjau


anti-personil.15 Setelah proses Ottawa, pada bulan Desember 1996 terdapat
Sidang Majelis Umum terkait pembahasan mengenai pengaturan ranjau
anti-personil. Sidang Majelis Umum mengadopsi Resolusi 51/45S yang
menjelaskan setiap negara didorong untuk melanjutkan pembentukan
pengaturan

yang

mengikat

secara

hukum

mengenai

pelarangan

penggunaan, penimbunan, produksi, dan transfer ranjau anti-personil.16


Pada sidang ini terdapat 157 negara yang setuju, 10 negara abstain, dan
tidak

ada

negara

yang

menolak.

Pada

bulan

September

1997

diselenggarakan Konferensi Diplomatik terkait dengan pembahasan


pengadopsian Mine Ban Treaty. Setelah konferensi tersebut terjadi
kesepakatan mengenai pengadopsian Mine Ban Treaty. Pengadopsian Mine
Ban Treaty dilakukan pada tanggal 18 September 1997. Sesuai dengan
pasal 15, Konvensi ini mulai dibuka untuk ditandatangani di Ottawa,
Kanada pada 3 Desember 1997. Pada 3 - Desember 1997 terdapat 123
negara yang menandatangani dan pada 1 Maret 1999 Mine Ban Treaty
mulai berlaku.
Sejak penandatangan Konvensi Ottawa pada 3 - 4 Desember 1997,
mayoritas negara negara di dunia turut berpartisipasi aktif dalam setiap
pertemuan Konferensi Negara-negara Pihak di Konvensi Ottawa. Pada
bulan November - Desember 2005 dilakukan Pertemuan Keenam Negaranegara Anggota di Zagreb, Kroasia terkait pembahasan mengenai
implementasi Mine Ban Treaty. Selain itu, mayoritas negara berpartisipasi
pada pertemuan antar sesi Panitia Pengawas bulan Juni 2005 dan Mei
2006. Kedua pertemuan itu bertujuan untuk membahas mengenai rincian
proses ratifikasi dari Mine Ban Treaty. Pada tahun 2007 negara yang
meratifikasi perjanjian ini adalah 155 negara.17 Setelah itu, pada bulan
Januari 2008 Mayoritas negara menyerahkan laporan pertama (initial

15

Icrc, (1998, 31 Desember), An International Ban on Anti-Personnel Mines: History and


Negotiation of the Ottawa Treaty.
http://www.icrc.org/eng/resources/documents/misc/57jpjn.htm diakses 8 Maret 2014
16
Ibid.
17
ICRC, (15 Agustus 2007), Overview of the Convention on the Prohibition of Anti-Personnel
Mines,
http://www.icrc.org/eng/resources/documents/legal-fact-sheet/landmines-factsheet-150807.htm
diakses 12 Maret 2014.

report) implementasi Konvensi Ottawa. Pada laporan tersebut setiap


negara memberikan informasi mengenai hal-hal yang terkait dengan
ranjau anti-personil. Berdasarkan Mine Ban Treaty, tenggat waktu yang
wajib dilakukan oleh setiap negara dalam menghancurkan cadangan
ranjau anti-personil adalah 4 tahun sejak Konvensi mulai berlaku.
Indonesia dalam Rezim Internasional Mine Ban Treaty
Indonesia menjadi salah satu negara yang menandatangi Mine Ban
Treaty pada tanggal 4 Desember 1997. Setelah menandatangani pada
tahun 1997, Indonesia mulai melakukan proses ratifikasi terhadap Mine
Ban Treaty. Pada tanggal 12 Oktober 2005, Presiden Indonesia Megawati
Soekarno Putri menyatakan persetujuan dimulainya proses ratifikasi dari
Mine Ban Treaty. Setelah persetujuan Presiden pada tanggal 9 Maret 2006,
perwakilan Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, dan
Tentara Nasional Republik Indonesia bertemu dan menyetujui rancangan
ratifikasi.18 Setelah pertemuan tersebut, rancangan perundangan diberikan
kepada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia pada tanggal 23
Maret 2006 untuk dilakukan revisi akhir. Setelah dilakukan revisi
rancangan tersebut diberikan kepada Presiden untuk disetujui, kemudian
diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pada tanggal 29
Desember 2006, Melalui Undang-Undang No. 20 Tahun 2006 pada
akhirnya Indonesia meratifikasi Konvensi Ottawa. Isi UU No. 20 Tahun
2006 tersebut menyatakan bahwa:
Indonesia mendukung upaya pembersihan ranjau darat dan
rehabilitasi para korban ranjau darat di wilayah tertentu. Sejak
menjadi penanda tangan Konvensi Ottawa, Indonesia telah ikut
serta berperan aktif dalam setiap pertemuan Konferensi
Negara-Negara Pihak pada Konvensi Ottawa.19


18

Themonitor, (2005, 1 Mei), Indonesia.


http://www.the-monitor.org/index.php/publications/display?url=lm/2006/indonesia.in.html
diakses 27 November 2013.
19
Indonesia, (2006), Pengesahan Convention on the Prohibition of the Use, Stockpiling, Production and
Transfer of Anti-Personnel Mines and on Their Destruction (Konvensi Tentang Pelarangan
Penggunaan, Penimbunan, Produksi dan Transfer Ranjau Darat Anti Personel dan
Pemusnahannya) Tahun 2006.

Indonesia berpartisipasi aktif dalam proses pembentukan Mine Ban


Treaty. Meskipun ratifikasi yang dilakukan Indonesia terhadap Mine Ban
treaty cukup lama yaitu tahun 2006, tetapi Indonesia berpartisipasi aktif
dalam proses Ottawa. Indonesia selalu memilih untuk menyetujui semua
resolusi Sidang Umum PBB sejak 1996 yang mendukung larangan
penggunaan ranjau darat, termasuk Resolusi 60/80 tanggal 2005 yang
meminta implementasi total atas Perjanjian Anti Ranjau Darat.20
Sejak penandatangan Konvensi Ottawa pada 4 Desember 1997,
Indonesia turut berpartisipasi aktif dalam setiap pertemuan Konferensi
Negara-negara Pihak di Konvensi Ottawa. Pada bulan November Desember 2005, Indonesia berpartisipasi sebagai pengamat dalam
Pertemuan Keenam Negara-negara Anggota di Zagreb, Kroasia terkait
pembahasan mengenai implementasi Mine Ban Treaty. Selain itu,
Indonesia turut berpartisipasi pada pertemuan antar sesi Panitia
Pengawas bulan Juni 2005 dan Mei 2006. Kedua pertemuan tersebut
bertujuan untuk membahas mengenai rincian proses ratifikasi dari Mine
Ban Treaty. Pada pertemuan tersebut Indonesia menyatakan akan
menyiapkan Laporan Transparansi tahun 2007 sesuai ayat ke 7 dari Mine
Ban Treaty.21 Hal tersebut dilakukan meskipun pada saat itu Indonesia
belum meratifikasi Mine Ban Treaty.
Indonesia

menyerahkan

laporan

pertama

(initial

report)

implementasi Konvensi Ottawa pada bulan Januari 2008. Pada laporan


tersebut Indonesia memberikan informasi mengenai hal-hal yang terkait
dengan ranjau anti-personil milik Indonesia. Berdasarkan Mine Ban Treaty,
tenggat waktu Indonesia dalam menghancurkan cadangan ranjau antipersonil adalah tanggal 1 Agustus 2011 atau 4 tahun sejak Konvensi mulai
berlaku bagi Indonesia. Akan tetapi pada akhir tahun 2008, tiga tahun
lebih cepat dari tenggat waktu yang diberikan, Indonesia telah
melaksanakan kewajiban dengan menghancurkan simpanan ranjau antipersonil dalam tiga tahap sebanyak 11.603.22

20

Ibid.
Ibid.
22
Kemlu, (2010, 7 Juli), Konvensi Pelarangan Menyeluruh Ranjau Darat Anti-Personil.
21

Analisis Teori Pilihan Rasional Diplomasi Pertahanan Indonesia di


Mine Ban treaty
Diplomasi

pertahanan

merupakan

upaya

negara

dalam

mengamankan kepentingan nasional di bidang pertahanan dalam


kerangka hubungan internasional yang meliputi lobi pembelian alutsista,
pengamanan keamanan wilayah, perundingan dalam konteks bilateral,
regional, dan multilateral mengenai proliferasi nuklir, senjata kimia, dan
landmine.

23

Indonesia

menggunakan

diplomasi

pertahanan

untuk

mencapai kepentingan nasional terkait pengontrolan penggunaan ranjau


anti-personil. Adapun diplomasi pertahanan yang dilakukan melalui
perundingan multilateral yaitu Proses Ottawa.
Selanjutnya, untuk mengetahui cost dan benefit dari ratifikasi yang
dilakukan Indonesia, maka tulisan ini akan menggunakan teori pilihan
rasional. Rational choice theory atau teori pilihan rasional dalam ilmu
Hubungan Internasional terbentuk di awal 1960-an. Teori pilihan rasional
diartikan sebagai instrumen mengenai maksud-tujuan atau pilihan dari
tujuan-terarah suatu aktor.24 Untuk memutuskan pilihan apa yang akan
diambil oleh aktor, teori pilihan rasional berupaya untuk memberikan
penjelasan mengenai pilihan optimal bagi para pembuat keputusan. 25
Teori pilihan rasional merupakan teori yang digunakan untuk menjawab
mengenai apa keputusan terbaik untuk mencapai kepentingan dari aktor
di lingkungan internasional. Penjelasan lebih rinci mengenai teori pilihan
rasional dinyatakan oleh Stephen M. Waltz dalam jurnalnya yang
berjudul Rigor or Rigor Mortis? Rational Choice and Security Studies. Pada
jurnalnya, Waltz menyatakan bahwa:
1. Rational choice theory is individualistic: social and political
outcomes are viewed as the collective product of individual choices (or
as the product of choices made by unitary actors).

http://www.kemlu.go.id/Pages/IIssueDisplay.aspx?IDP=22&l=id diakses 28 November 2013
23
Yanyan Mochamad Yani, 2014, Diplomasi Pertahanan, Power Point Mata Kuliah: Foreign Policy
Analyses.
24

Robert Jackson & Geor Sorensen, 2009, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Yogyakarta:
Pustaka Belajar, hlm. 297.
25
Ibid.

2. Rational choice theory assumes that each actor seeks to maximize


its subjective expected utility. Given a particular set of preferences
and a fixed array of possible choices, actors will select the outcome that
brings the greatest expected benefits.
3. The specification of actors preferences is subject to certain
constraints: (a) an actors preferences must be complete (meaning we
can rank order their preference for different outcomes); and (b)
preferences must be transitive (if A is preferred to B and B to C, then
A is preferred to C).26
Pada penjelasan di atas terdapat tiga poin yang dijelaskan oleh
Waltz mengenai teori pilihan rasional. Pertama, teori pilihan rasional
bersifat individu yaitu hasil-hasil sosial dan politik dipandang sebagai
produk kolektif atas pilihan individu (atau sebagai produk dari pilihan
yang dibuat oleh aktor kesatuan). Dapat dikatakan Waltz menambahkan
mengenai aktor kesatuan (negara) pada aktor teori pilihan rasional, yang
sebelumnya

dijelaskan

oleh

Latsis

yaitu

individu.

Kedua,

Waltz

mengasumsikan bahwa aktor berusaha memaksimalkan kepentingannya,


hal tersebut dilakukan oleh aktor dengan mengambil suatu pilihan yang
akan membawa hasil maksimal terhadap pencapaian kepentingannya.
Ketiga, teori pilihan rasional menspesifikasikan preferensi dari
aktor terhadap kendala tertentu, misalkan aktor memiliki beberapa
pilihan (artinya peneliti dapat membentuk urutan peringkat dari
preferensi untuk hasil yang berbeda). Selain itu, pilihan harus bersifat
transitif (jika pilihan A lebih dinilai penting dibanding dengan pilihan B
dan C, maka aktor akan memilih A). Waltz pada intinya menyatakan
bahwa teori pilihan rasional merupakan alat untuk membuat kesimpulan
logis tentang bagaimana manusia (atau negara) membuat keputusan.27
Dari penjelasan mengenai teori pilihan rasional dapat disimpulkan bahwa
teori pilihan rasional merupakan instrumen mengenai maksud dan tujuan
atau pilihan terarah dari negara untuk mencapai kepentingannya di
lingkungan internasional. Melalui teori pilihan rasional, akan diketahui


26

Stephen M Waltz, (1999), Rigor or Rigor Mortis? Rational Choice and Security Studies, MIT
Press Journals, Spring.
http://mitpress.mit.edu/journals diakses 7 Desember 2013.
27
Ibid.

10

apa kepentingan, cost, dan benefit Indonesia dalam rezim internasional


Mine Ban Treaty.
Secara normatif keputusan Indonesia untuk menandatangani
konvensi ini adalah pencerminan Indonesia terhadap tujuan pokok
konvensi yaitu untuk mengakhiri penderitaan dan korban, terutama
rakyat sipil yang tidak berdosa. Dari segi cost, konvensi Mine Ban Treaty
mengikat Indonesia untuk dilarang melakukan produksi, transfer, dan
penggunaan ranjau anti-personil. Namun, hal ini tidak menjadi
permasalahan penting untuk Indonesia karena jumlah ranjau anti-personil
yang dimiliki Indonesia terbilang sedikit. Data yang dimiliki oleh TNI AD
(satuan zipur) dan TNI AL (satuan zeni marinir) jumlah ranjau antipersonil yang dimiliki Indonesia tersebut tidak mampu membekali
sepertiga bekal pokok untuk satuan batalion zeni.

28

Jadi, dapat

disimpulkan bahwa cost dari Indonesia terkait ratifikasi di Mine Ban Treaty
tidak berdampak signifikan.
Sementara itu, terdapat beberapa benefit yang diterima Indonesia
atas

ratifikasi

yang

dilakukannya

dalam

konvensi

ini.

Pertama,

peningkatan citra Indonesia sebagai salah satu negara yang mendukung


perlindungan nilai-nilai kemanusiaan. Hal tersebut dapat dikatakan
sebagai strategi soft power Indonesia di dalam lingkungan internasional,
sehingga suara Indonesia dapat didengar oleh aktor lain dan Indonesia
tidak terasingkan dalam forum internasional khususnya forum yang
membahas mengenai isu keamanan khususnya perlucutan senjata.
Dampak dari strategi ini terlihat ketika Indonesia diwakilkan oleh Duta
Besar Desra Percaya pada 2012 terpilih menjadi Ketua Komite 1 Majelis
Umum PBB atas perannya dalam kontribusi Indonesia terhadap isu
perlucutan senjata dan keamanan internasional. 29 Kedua, memperkuat
sistem hukum nasional Indonesia mengenai hukuman bagi individu

28

AM Fachir, (27 Juni, 2011), Perkembangan Konvensi Anti Personnel Mines.


http://www.balitbang.kemhan.go.id/?q=content/perkembangan-konvensi-anti-personnel-mines
dikutip 9 Desember 2013.
29
Republika Online (7 September, 2012)
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/09/07/m9yciy-ri-terpilih-sebagai-ketuakomite-perlucutan-senjata-pbb dikutip 24 Oktober 2014.

11

maupun kelompok yang terlibat dalam kegiatan yang sesuai dengan


ketentuan Konvensi Ottawa.
Kesimpulan
Pada era Perang Dingin AS dan Soviet saling menyuplai senjata
konvensional ke negara-negara proxynya. Pasca Perang Dingin, senjata
seperti land mine masih berada di wilayah seperti Vietnam, Kamboja, dan
Afghanistan yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Hal tersebut
membuat entitas internasional membentuk aturan mengenai land mine
yaitu Mine Ban Treaty. Indonesia menjadi salah satu negara yang
mendukung dan meratifikasi konvensi ini.
Apabila dibandingkan cost dan benefit dapat disimpulkan bahwa
benefit yang diterima Indonesia lebih besar dibandingkan cost. Beberapa
benefit yang diperoleh Indonesia seperti pelarangan penggunaan ranjau
anti-personil tidak menjadi masalah serius karena Indonesia tidak
menggunakan ranjau anti-personil sebagai senjata primer, citra positif
Indonesia di lingkungan internasional sebagai negara yang berkontribusi
dalam isu perlucutan senjata dan keamanan internasional. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa ratifikasi yang dilakukan Indonesia di Mine Ban
Treaty merupakan pilihan yang rasional.
Daftar Pustaka
Buku dan Jurnal
Melissa Gillis, (2009), Disarmament: A Basic Guide, New York: United
Nations.
Denik Iswardani Witarti, (2010), Ancaman Pengedaran Haram Senjata Kecil
dan Ringan (SKR) di Indonesia: Analisis Keselamatan Nasional, Disertasi
(tidak diterbitkan), Kuala Lumpur: Universiti Kebangsaan Malaysia.
Michael T. Klare, (1998), Light Weapons Diffusion and Global Violence in the
Post-Cold War Era. Dalam Denik Iswardani Witarti, (2010), Ancaman
Pengedaran Haram Senjata Kecil dan Ringan (SKR) di Indonesia: Analisis
Keselamatan Nasional, Disertasi (tidak diterbitkan), Kuala Lumpur:
Universiti Kebangsaan Malaysia.

12

Melissa Gillis,( 2009), Disarmament: A Basic Guide, New York: United


Nations.
Denik Iswardani Witarti, (2010), Ancaman Pengedaran Haram Senjata Kecil
dan Ringan (SKR) di Indonesia: Analisis Keselamatan Nasional, Disertasi
(tidak diterbitkan), Kuala Lumpur: Universiti Kebangsaan Malaysia.
Indonesia, (2006), Pengesahan Convention on the Prohibition of the Use,
Stockpiling, Production and Transfer of Anti-Personnel Mines and on Their
Destruction (Konvensi Tentang Pelarangan Penggunaan, Penimbunan,
Produksi dan Transfer Ranjau Darat Anti Personel dan Pemusnahannya)
Tahun 2006.

Website
Republika Online (7 September, 2012)
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/09/07/m9yciyri-terpilih-sebagai-ketua-komite-perlucutan-senjata-pbb dikutip 24
Oktober 2014.
Embassy of the Socialist Republic of Vietnam in the United States of
America, (11 Maret 2014), The US Veterans Help Land Mine Removal in
Vietnam,
http://vietnamembassy-usa.org/relations/us-veterans-help-land-mineremoval-vietnam dikutip 11 Maret 2014.
Waslat Hasrat-Nazimi , (4 April 2013), Hidden Enemies: Afghanistan
Combats Landmine,
http://www.dw.de/hidden-enemies-afghanistan-combats-landmines/a16716914 dikutip 11 Maret 2014
Cluster Munition Coalition, (11 Maret 2014), Timeline of Cluster Bomb
Use,
http://www.stopclustermunitions.org/the-problem/history-harm/
dikutip 12 Maret 2014.
Small Arms Survey, 11 Maret 2014, Small Arms Transfer Control
Measures and the Arms Trade Treaty,
http://www.smallarmssurvey.org/about-us/highlights/highlight-attreview.html dikutip 11 Maret 2014.
Oxfaminternational, (2 Juni, 2013), Government Sign Historic Global
Treaty to Regulate the $85bn Arms Trade,
http://www.oxfam.org/en/pressroom/pressrelease/2013-0603/governments-sign-historic-global-treaty-regulate-85bn-arms-trade
diakses 12 Maret 2014.

13

Small Arms Survey, 11 Maret 2014, Small Arms Transfer Control


Measures and the Arms Trade Treaty,
http://www.smallarmssurvey.org/about-us/highlights/highlight-attreview.html dikutip 11 Maret 2014.
AM Fachir, (27 Juni, 2011), Perkembangan Konvensi Anti Personnel
Mines.
http://www.balitbang.kemnhan.go.id/?q=content/perkembangankonvensi-anti-personnel-mines dikutip 7 Maret 2014.
Damir Sagoli, (2008), Cluster Munition Victim: What is Known and What
is Needed?.
http://www.icrc.org/eng/assets/files/other/cluster-munition-victimsfactsheet-2010.pdf diakses 7 Maret 2014.
Themonitor, (2009, 24 September), Landmine and Cluster Munition
Monitor Factshests: Antipersonnel Landmine Stockpiles and Their
Destruction.
http://www.the-monitor.org/index.php/content/view/full/18719
diakses 8 Maret 2014.
Geneva: Anti Personnel Mine Ban Convention, (2012), Twelfth Meeting of
the states Parties, 3-7 Desember, hlm. 2.
Kemlu, (2010, 7 Juli), Konvensi Pelarangan Menyeluruh Ranjau Darat
Anti-Personil.
http://www.kemlu.go.id/Pages/IIssueDisplay.aspx?IDP=22&l=id
diakses 8 Maret 2014.
United Nations Information Centre, (14 November, 2011), Konvensi
Tentang Senjata Konvensional Tertentu (CCW).
www.unic-jakarta.org dikutip 8 Maret 2014.
AM Fachir, (27 Juni, 2011), Perkembangan Konvensi Anti Personnel
Mines.
http://www.balitbang.kemhan.go.id/?q=content/perkembangankonvensi-anti-personnel-mines dikutip 8 Maret 2014 .
Icrc, (1998, 31 Desember), An International Ban on Anti-Personnel Mines:
History and Negotiation of the Ottawa Treaty.
http://www.icrc.org/eng/resources/documents/misc/57jpjn.htm
diakses 8 Maret 2014
Themonitor, (2005, 1 Mei), Indonesia.

14

http://www.themonitor.org/index.php/publications/display?url=lm/2006/indonesia.in.
html diakses 27 November 2013.
Kemlu, (2010, 7 Juli), Konvensi Pelarangan Menyeluruh Ranjau Darat
Anti-Personil.
http://www.kemlu.go.id/Pages/IIssueDisplay.aspx?IDP=22&l=id
diakses 28 November 2013
AM Fachir, (27 Juni, 2011), Perkembangan Konvensi Anti Personnel
Mines.
http://www.balitbang.kemhan.go.id/?q=content/perkembangankonvensi-anti-personnel-mines dikutip 9 Desember 2013.

15

Anda mungkin juga menyukai