Anda di halaman 1dari 8

Weak Cognitivism dalam Rezim Non-Proliferasi Nuklir

Oleh
Erni Muliyana (434239)
Nuril Khoiriyah (434248)
Winona Umacina (434255)

Non Proliferasi Nuklir

Ide terkait bahaya penggunaan senjata nuklir berawal dari penyerangan Amerika Serikat
terhadap Hiroshima di Jepang dengan menggunakan bom nuklir. Kejadian tersebut membuat
negara-negara lain di dunia mengakui bahwa bom nuklir yang berukuran kecil sekalipun memiliki
daya ledak yang sangat tinggi meski jarak jauhnya berada 1 mil dari permukaan, serta dapat
menghancurkan serta memakan korban sebanyak 100.000 jiwa dalam satu kali ledakan. Dari
gambaran bahaya penggunaan nuklir tersebut, Amerika Serikat menjadi satu-satunya negara yang
memiliki kekuatan nuklir. Amerika Serikat mulai menginisiasi pembatasan penggunaan senjata
nuklir pertama kali melalui Barukh Plan.

Ide terkait pembatasan penggunaan senjata nuklir kemudian diperkuat kembali dengan
berkembangnya ide proliferasi nuklir baik secara horizontal maupun vertikal. Proliferasi adalah
penyebaran senjata dan sistem senjata ke negara-negara yang sebelumnya tidak memiliki senjata
atau sistem senjata tersebut disebut sebagai Proliferasi Horizontal. Sedangkan Proliferasi secara
Vertikal merupakan akumulasi senjata dan sistem senjata yang semakin besar di suatu negara.
Faktor yang mendorong ide proliferasi nuklir tersebut ialah adanya security dilemma dari negara-
negara yang tidak memiliki nuklir karena negara tetangga atau negara disekitar kawasannya sudah
memiliki kemampuan ataupun sedang mengembangkan senjata nuklir, seperti persaingan antara
India dan Pakistan. Selain itu, posisi negara yang memiliki nuklir dapat meningktakan pengaruh
negara tersebut dalam politik global seperti Korea Utara.

Untuk menghindari proliferasi senjata nuklir yang semakin marak terjadi di level
internasional, upaya untuk mencegah penyebaran senjata nuklir telah dilakukan sejak awal tahun
1960-an. Kemudian pada tahun 1961, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui
sebuah resolusi yang diinisiasi oleh Irlandia untuk mengajak semua negara-negara di dunia

1
menandatangani sebuah perjanjian untuk melarang lebih lanjut penyebaran senjata nuklir lebih
jauh. Pada tahun 1965, pembahasan mengenai gencatan senjata mulai dirumuskan kedalam
perjanjian non-proliferasi nuklir pada Konferensi gencatan senjata di Jenewa. Selanjutnya pada
tahun 1968, Treaty NPT tersebut telah rampung dan dibuka untuk ditandatangani bagi negara-
negara. Kemudian pada tahun 1970, traktat tersebut telah ditandatangani oleh 43 negara termasuk,
Uni Soviet, Amerika Serikat, dan Inggris.

Traktat Non Proliferasi Nuklir memiliki tiga pilar utama, yaitu Non-proliferation,
Peaceful Use, dan Disarmament. Berdasarkan Pasal 1 NPT, negara-negara yang memiliki senjata
nuklir berjanji untuk tidak melakukan transfer senjata nuklir atau perangkat peledak nuklir
lainnya kepada penerima. Serta tidak membantu, mendorong negara non-senjata nuklir dalam
pembuatan atau akuisisi senjata nuklir dengan cara apapun. Berdasarkan Pasal II NPT, negara-
negara non-senjata berjanji untuk tidak memperoleh atau melakukan kontrol atas senjata nuklir,
atau perangkat perangkat peledak alat nuklir lainnya. Serta tidak mencari atau menerima bantuan
dalam pembuatan perangkat tersebut. Menurut Pasal III dalam perjanjian, negara-negara non-
senjata nuklir berjanji untuk menerima perlindungan IAEA untuk memverifikasi bahwa kegiatan
nuklir mereka untuk mencapai tujuan damai.

Pada pilar ke dua, peaceful use, diatur dalam traktat Nonproliferation Nuklir pada Pasal
IV. Yaitu mengakui hak semua pihak untuk mengembangkan energi nuklir untuk tujuan damai.
Serta mendapatkan keuntungan dan kerjasama internasional dalam bidang ini. Dalam pasal
tersebut juga mendorong adanya kerjasama tersebut. Disarmament, diatur dalam Pasal VI NPT.
Yaitu semua pihak berjanji untuk melakukan negosiasi dengan tujuan yang baik mengenai
langka-langkah efektif yang berkaitan dengan penghentian perlombaan senjata nuklir, perlucutan
senjata nuklir, dan perlucutan senjata secara umum dan lengkap.

Pilar-pilar tersebut saling terkait dan saling menguatkan. Rezim nonproliferasi dapat
dikatakan efektif apabila anggotanya mematuhi kewajibannya sehingga memberikan landasan
penting untuk kemajuan pelucutan senjata dan memungkinkan kerja sama yang lebih besar dalam
penggunaan energi nuklir secara damai. Kemajuan dalam hal perlucutan senjata memperkuat
upaya untuk memperkuat rezim nonproliferasi serta dapat menegakkan kepatuhan dengan
memenuhi kewajiban. Dengan demikian rezim nonproliferasi memfasilitasi kerja sama nuklir
dengan damai.

2
Bergabungnya Afrika Selatan dalam Rezim sebagai Weak Cognitivism
Kelompok kami memandang bahwa kebijakan Afrika Selatan untuk bergabung dengan
traktat NPT pada 1991, dimana sebelumnya menolak untuk bergabung, sebagai tindakan weak
cognitivism sesuai dengan pandangan Goldstein dan Keohane.
Terdapat tiga asumsi dasar mengenai weak cognitivism. Pertama knowledge actor bekerja
sesuai dengan wacana internasional yg membentuk perilaku dan ekspektasi mereka. Dalam
implementasinya terhadap hadirnya NPT, NPT diasumsikan hadir sebagai pengontrol perilaku
negara-negara terhadap proliferasi senjata nuklir yang semakin besar. Kedua, adanya kebutuhan
akan pengambilan kebijakan untuk informasi ilmiah dan lain-lain terkait pengetahuan yang terus
tumbuh. Pembuat keputusan tentu mengalami ketidakpastian mengenai kepentingan serta cara
mewujudkannya seiring dengan banyaknya kondisi saling ketergantungan terhadap isu
internasional. NPT sebagai kesepakatan internasional juga tidak serta merta dapat diterapkan
sama seperti harapan saat NPT direncanakan. Perjanjian-perjanjian tentunya sebisa mungkin
kontekstual dengan perkembangan dunia internasional. Namun, ketika berbicara tentang dunia
internasional pun, tidak semua dapat disama ratakan. Karena itu, ketidakpastian merupakan salah
satu kata kunci jika kita melihat dari teori konstruktualis. Ketiga, pentingnya makna yang dibagi
berdasarkan intersubjektivitas untuk pembentukan rezim juga kinerja rezim. Pemahaman kolektif
tentang sebuah masalah menjadi syarat yang diperlukan untuk pemilihan badan kebijakan yang
substantif. Nuklir hadir sebagai sesuatu yang dianggap masalah ketika hal tersebut digunakan
untuk sesuatu yang merugikan sehingga dianggap sebuah masalah yang kolektif. Guna
menghindari pemakaian yang diluar batas, NPT kemudian disepakati menjadi salah satu landasan
untuk mengontrol senjata nuklir di dunia internasional.
Melihat dari hal di atas, pandangan ini berasumsi bahwa kebutuhan suatu rezim dalam
dunia internasional bergantung dari persepsi para aktor terhadap suatu isu dimana kebutuhan ini
berasal dari causal dan normative beliefs.

Weak cognitivists, argue that the demand for regimes in international relations depends
on actors' perception of international problems, which is, in part, produced by their causal

3
and normative beliefs. These beliefs, in turn, are considered partially independent of
actors' material environment (Smith, -, p. 137)
Pandangan ini menitikberatkan pada ide/belief dan learning, dimana ide sendiri diartikan
sebagai kepercayaan atau persepsi yang dianut oleh actor individu guna menerangkan suatu
kebijakan politik atau kebijakan luar negeri suatu negara. Ketika ide berkembang menjadi
peraturan dan norma dan ter-insitusionalisasi maka ide tersebut akan masuk kedalam kebijakan
publik suatu negara. Pendapat ini berasumsi bahwa belief atau ideas yang diyakini oleh sebagian
besar orang mengenai nature dunia ini memiliki dampak terhadap perilaku manusia. Belief sendiri
diproses atau diyakini dari pemikiran manusia sehingga psikologi kognitif memiliki peran besar
didalamnya. Sehingga penelitian ini berfokus terhadap dampak dari ide yang dianut dari segi
kebijakan Afrika Selatan. Goldstein dan Keohane sendiri membagi ide menjadi tiga yakni ide
sebagai world views, principle belief dan causal belief.
“Ideas, which we define as beliefs held by individuals, help to explain political outcomes,
particularly those related to foreign policy.” (Glodstein, Judith & Robert O Keohane,
1993, p. 3)
Ide tentang bahaya senjata nuklir tidak akan diterima dan mempengaruhi cara berpikir kita
termasuk Afrika Selatan atau dikenal sebagai world views tanpa peristiwa pengeboman Hiroshima
Nagasaki dan pengenalan Baruh Plan oleh Amerika Serikat. Dalam ide sebagai causal belief
sendiri menjelaskan kepercayaan mereka terhadap hubungan sebab akibat suatu tindakan untuk
mencapai tujuan, sehingga causal belief memberikan acuan bagi para individu atau agen untuk
menentukan tindakan paling objektif. Dalam kasus ini, Afrika Selatan memilih ikut bergabung
dalam Traktat NPT sebagai tindakan paling objektif dan menyerahkan senjata nuklir mereka
kepada Rusia agar tidak dikucilkan dalam pergaulan internasional. Pilihan mereka untuk terus
mengembangkan senjata nuklir dimasa sebelumnya terbukti memberikan dampak negative
dengan mendapat banyak kecaman dari negara-negara di Kawasan Afrika lainnya dan dunia
internasional serta embargo ekonomi dan isolasi oleh negara superpower pada 1989. Objektifitas
menyerah dalam mengembangkan senjata nuklir dipilih akibat hubungan sebab akibat yang
ditimbulkan. Causal belief akan mempengaruhi pilihan-pilihan yang diambil guna mencapai
tujuan dari kepentingan aktornya.

“…..causal beliefs are defined as "beliefs about cause – effect relationships which derive
authority (mendapatkan from shared consensus of recognized elites. … [and] provide

4
guides for individuals on how to achieve their objectives." (Goldstein and Keohane
1993a: 9, 10)
Rezim yang terbentuk tentunya tidak terlepas dari kerja sama yang dijalin di dalamnya.
Kepentingan sebuah negara akan eksistensinya di sebuah organisasi internasional akan
menunjang aspek-aspek penting dalam pembentukan dan pengembangan negara itu sendiri.
Keputusan Afrika Selatan untuk bergabung dalam NPT, menjadi pilihan agar komunitas
internasional tetap mengakui eksistensinya juga tetap dapat menjaga maupun menjalin kerja sama
dengan negara terlibat. Pengakuan dari dunia internasional tentunya menjadi hal utama untuk
mendapat kepercayaan dalam mengembangkan sebuah negara. Meskipun enggan untuk
meratifikasi NPT, Afrika Selatan tetap mengikuti aturan yang telah dibuat terkait dengan nuklir,
seperti misalnya tetap melaporkan kegiatannya terkait dengan pengembangan nuklir kepada
organisasi internasional. Selain itu, Afrika Selatan juga membuat kerja sama terhadap negara
superpower dalam membangun nuklir sebagai energi. Adanya kerja sama terkait dengan energi
tersebut, kemudian menjadi salah satu kekhawatiran yang muncul jika penggunaan nuklir tersebut
semakin berkembang, sehingga Afrika Selatan terus didesak untuk meratifikasi NPT tersebut.
Namun, tindakan Afrika Selatan terhadap NPT dapat dikatakan sebagai langkah baru yang cukup
berpengaruh dalam jalannya politik internasional. Kondisi dimana negara-negara yang mendesak
Afrika Selatan, dianggap sebagai ide yang digunakan dengan alih-alih untuk membimbing
perilaku Afrika Selatan baik secara moral maupun etis nya dalam dunia internasional terutama
terkait dengan NPT.
Pengaruh Ide dalam Pembuatan Kebijakan
Ide sebagai kepercayaan atau persepsi yang dianut oleh actor politik kemudian digunakan
sebagai Road Maps, Focal Points and Share Belief oleh actor untuk membuat kebijakan domestic
dan luar negeri negaranya. Kami memandang bahwa dari tiga kriteria yang diberikan oleh
Goldstein dan Keohane tersebut, ide yang berfungsi sebagai focal points dapat memberikan alasan
yang kuat dalam pembentukan kebijakan Afrika Selatan untuk bergabung dengan Rezim non
proliferasi nuklir.
Ide sebagai focal points yakni ide hadir sebagai solusi paling objektif dalam permasalahan
kolektif. Beberapa focal point digunakan untuk memastikan koordinasi, memastikan komitmen
dan mempromosikan kerjasama ketika kesepakatan bersama tersebut susah dibentuk atau
disetujui.

5
Ideas can serve as focal points, as solution to problems associates with incomplete
contracting or as the means to counteract problems of collective action……………. when
there are no objective criteria on which to base choice, ideas focus expectation and
strategies. (Goldstein, Judith & Robert O Keohane, 1993, p. 19)

Senjata nuklir yang dapat menimbulkan kerusakan sangat besar baik terhadap manusia
dan lingkungan seperti contohnya dalam peristiwa Hiroshima dan Nagasaki, dapat dipersepsikan
menjadi permasalahan kolektif. Permasalahan yang kemudian menjadi dasar dibentuknya rezim
non-proliferasi nuklir tersebut tidak akan bisa dihilangkan apabila komitmen negara-negara
didunia rendah. Untuk itu dengan 170 negara sepakat untuk melanjutkan rezim NPT sampai
waktu yang tidak ditentukan pada NPT Review and Extension Conference 1995, menunjukkan
bahwa negara-negara didunia memiliki komitmen yang sejalan dengan ide bahaya penggunaan
senjata nuklir.
Diawali dengan penemuan tambang uranium di Afrika Selatan pada 1940 mempengaruhi
negara ini untuk mengembangkan nuklir. Ditambah dengan konflik yang terjadi dibeberapa
negara di Afrika yakni Angola dan Mozambiq serta kehadiran misil nuklir di Cuba dan
keterasingan Afrika Selatan dari pergaulan internasional menjadi alasan bagi pengembangan
senjata nuklir dinegaranya. Pernyataan resmi presiden Afrika Selatan de Klerk kepada dunia
bahwa negara ini telah membuat enam bom uranium dibawah lembaga riset nuklir Atomic Energy
Corporation pada 1980 sebagai alat deterrence, memberikan kekhawatiran akan kegagalan
efektivitas dari rezim NPT. Sehingga solusi objektif yang dilakukan oleh actor-aktor yang terlibat
dalam rezim adalah dengan mengajak Afrika Selatan menjadi bagian dari perjanjian ini.
Berbagai upaya dilakukan oleh negara lain seperti embargo ekonomi yang dilakukan oleh
Amerika Serikat dan negara maju lainnya agar Afrika Selatan patuh pada seruan untuk bergabung
dalam rezim. Negoisasi juga dilakukan sejak 1990 dengan berbagai dinamika dan berakhir pada
keputusan Afrika Selatan untuk bergabung secara resmi dengan NPT pada 8 Juli 1991 di Pretoria,
serta menyerahkan seluruh senjata nuklir yang dikembangkannya kepada Nuclear Weapon State
yaitu Rusia. Sehingga kebijakan bergabungnya Afrika Selatan dengan rezim non-proliferasi
nuklir disebabkan oleh solusi objektif yang diambil oleh para penganut ide atau rezim non
proliferasi nuklir, agar tujuan bersama untuk mencegah kerusakan bumi akibat penggunaan
senjata nuklir dapat dicegah. Solusi objektif ini sendiri berasal dari dunia internasional.

6
Sedangkan rasionalitas Afrika Selatan untuk akhirnya menyetujui untuk menganut ide tersebut
adalah akibat sifat causal belief dari ide tersebut.

Kesimpulan
Kebijakan Afrika Selatan untuk menjadi Non-Nuclear Weapon State dan menjadi anggota
rezim non-proliferasi nuklir tidak terlepas dari ide akan bahaya penggunaan senjata nuklir yang
dikenalkan dalam rezim tersebut. Enam bom uranium yang dimiliki Afrika Selatan akan
membahayakan efektivitas rezim dan ide sehingga solusi objektif dilakukan dengan membujuk
Afrika Selatan bergabung didalamnya. Ide rupanya juga mempengaruhi cara berpikir actor negara
namun tidak sampai merubah identitas negara menurut Weak Cognitivism. Sehingga meskipun
bergabung dengan rezim Afrika Selatan masih enggan untuk meratifikasi rezim non-proliferasi
nuklir. Namun, Afrika Selatan masih tetap mengikuti aturan yang telah dibuat terkait dengan
nuklir, seperti misalnya tetap melaporkan kegiatannya terkait dengan pengembangan nuklir
kepada Badan Tenaga Atom Internasional yakni IAEA. Hal ini dilakukan untuk mendapat
pengakuan dari dunia internasional dan terhindar dari konsekuensi akan embargo ekonomi yang
dikenal dengan causal belief menurut Keohane dan Goldstein. Hal ini sesuai dengan pendapat
bahwa negara menurut Weak Cognitivism merupakan rational utility maximizer dimana
keuntungan atau kegunaan yang dipersepsikan berasal dari pengetahuan yang tidak terlepas dari
struktur atau keuntungan materil. (Smith, -, p. 137)

7
Referensi

Glodstein, Judith & Robert O Keohane. Ideas &Beliefs, Institutions, Foreign and Political
Change Policy. New York. Cornell University Press. 1993.

United Nation. Review Conference of the Parties to the Treaty on the Non-Proliferation of
Nuclear Weapons 2015. Diakses dalam
https://www.un.org/en/conf/npt/2015/pdf/text%20of%20the%20treaty.pdf (16/04/2019, pukul
00. 35 WIB)

Kucera, Nathaniel. The Baruch Plan. Winter. PH241. Stanford University. 2018

US Delegation to the 2010 Nuclear Non-Proliferation Treaty Review Conference. Treaty to Non-
Proliferation Nuclear Weapons. Diakses dalam
https://www.state.gov/documents/organization/141503.pdf. (16/04/2019, pukul 01.00 WIB)

Smith, Steve. Brown, Christopher. Cox, Robert W. Danchev, Alexander. Foot, Rosemary. Grieco,
Joseph… Walker, RBJ. Theories of International Regimes. Cambridge University Press.

Anda mungkin juga menyukai