Anda di halaman 1dari 20

Wendtian Constructivism Under Chyntia Webers Critics;

Is It State Who Make Anarchy?



DITUJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS AKHIR MATA KULIAH
PENGANTAR HUBUNGAN INTERNASIONAL I

NAMA: ANISA INDAH PRATIWI
NPM: 170210130067








PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2013
1


Wendtian Constructivism Under Chyntia Webers Critics;
Is It State Who Make Anarchy?
Manusia menghidupi sebuah realitas yang dianggapnya merupakan sebuah
given. Banyak interpretasi yang karena telah tersosialisasikan dalam periode
waktu yang lama, kemudian menutup loophole untuk dikritisi. Interpretasi
tersebut terlanjur diadopsi dengan instan tanpa dianalisis terlebih dahulu, seperti
darimana datangnya, mengapa harus demikian, dan apakah kita tidak bisa
menciptakan interpretasi kita sendiri. Interpretasi dan nilai-nilai ini kemudian
mendarah daging dan dijadikan sebagai parameter sebuah tindakan yang
legitimate. Tanpa disadari, masih banyak sisi yang tidak dilihat dari sebuah
kenyataan atau interpretasi tersebut, sehingga keberadaannya dianggap tidak
sesuai dengan parameter yang ada, kemudian menyebabkannya termarginalisasi
dari publik.
Ketika sebuah pertanyaan dilontarkan, apakah indigenous people seperti
suku Maori di New Zealand menghidupi kehidupan yang modern, jawaban apa
yang akan mendominasi?(Kaituhi, 2014) Publik cenderung akan menjawab tidak.
Karena publik sudah terlanjur terkonstruk oleh sebuah persektif modernisasi ala
Barat yang kemudian dijadikan sebagai parameter yang legitimate. Di saat yang
sama, publik telah mengabaikan sejarah, bahwa sejarah yang dimiliki oleh setiap
bangsa, atau bahkan individu tentulah berbeda. Sejarah akan bergantung pada
budaya, lokasi geografis, dan identitas yang dimiliki. Jauh sebelum abad
pencerahan, ketika tidak ditemukan parameter modernitas, para pendahulu kita
tidak pernah menjustifikasi bangsa lain yang memiliki kebiasaan berbeda dengan
mayoritas. They are just simply different.
Dalam kesempatan ini, penulis akan membuat sebuah laporan baca dari
karya konstruktivisme secara umum, karya konstruktivisme Wendtian secara
khusus, kritik yang disampaikan oleh tokoh post-modernisme, Chyntia Weber,
dan Level of Analysis dari teori yang dikemukakan oleh keduanya.
2

Konstruktivis,telah mengantarkan kita pada sebuah perkembangan definisi
mengenai berbagai hal. Sebutlah refugees atau pengungsi. Pengungsi telah ada
sejak berabad-abad yang lalu, hanya saja belum ada kata yang pas untuk dijadikan
sebutan atau definisi yang dianggap universal untuk mengkategorikan siapa saja
yang dapat didefinisikan sebagai refugees. Setelah terjadinya migrasi besar-
besaran di Eropa pada tahun 1951 juga didasari oleh kekhawatiran Negara barat
akan adanya imigrasi besar-besaran, yang kemudian akan menyebabkan
pemerintahannya harus bertanggung jawab akan kehidupan para pengungsi
tersebut, United Nations High Commissioner on Refugees mengeluarkan definisi
bagi refugees; as an individual outside country of his origin, owing to a well-
founded fear of persecution.(UNHCR, 2011, hal. 5)
Pada dasarnya, kita tidak pernah mempertanyakan mengapa kata refugees
dapat tercetuskan, dan apa saja yang sebenarnya mendasari definisi dari refugees.
Kini setelah mempelajari Konstruktivisme, kita mengetahui bahwa definisi
mengenai refugees dibuat demikian karena Negara-negara barat tidak ingin
merasa terlalu terbebani dengan obligasinya untuk juga menjamin kelayakan
hidup para pengungsi. Karena jika jumlah pengungsi yang masuk ke suatu Negara
membludak, pemerintah dapat kehilangan kontrolnya untuk tetap melakukan
obligasi utamanya; untuk terlebih dahulu menjamin kelayakan hidup warga
negaranya. Sehingga jika jumlah pengungsi dapat dikontrol melalui definisi
universal, pemerintah Negara barat akan memperoleh legitimasi untuk
meminimalisir dan juga menghindari anggapan adanya diskriminasi. Sesederhana
itu, karena jumlah pengungsi dapat dikontrol, ia akan mampu menciptakan
kesetaraan pada pelaksanaan obligasinya untuk memberikan kelayakan hidup.
Konstruktivisme merupakan sebuah teori sosial.( John Baylis. Steve
Smith. Patricia Owens., 2008, hal. 162) Teori sosial menganalisa bagaimana
hubungan yang terjalin antara struktur dan agen, singkatnya teori sosial
menjelaskan bagaimana seharusnya kita berpikir tentang hubungan antara Negara
dan struktur internasional politik. Hal ini yang tidak membuat konstruktivisme
masuk ke dalam teori substantive. Karena teori substantive menjelaskan klaim-
klaim secara spesifik dan hipotesis-hipotesis tentang corak-corak dalam politik
3

dunia. Untuk singkatnya, teori substantif menjelaskan tentang mengapa Negara
demokratis cenderung tidak akan melangsungkan perang antara satu sama
lainnya.( John Baylis. Steve Smith. Patricia Owens., 2008, hal. 162) Dari sini
dapat dipahami bahwa konstruktivisme selalu memicu kita untuk berpikir
bagaimana suatu hal dapat terjadi, bukan mengapa hal tersebut dapat terjadi.
Sebelum mengidentifikasi konstruktivisme lebih jauh, ada baiknya kita
membandingkan konstruktivisme dengan rational choice. Rational Choice
merupakan sebuah teori sosial yang menyediakan kerangka berpikir tentang
bagaimana aktor berprilaku dalam sebuah kecenderunga yang pasti, dimana
mereka memiliki kehendak untuk memaksimalkannya di bawah batasan-batasan
yang ada.( John Baylis. Steve Smith. Patricia Owens., 2008, hal. 167) Hal inilah
yang kemudian membedakan teori sosial dan substantif. Meskipun teori neo-
realisme dan neo-liberalisme berangkat darai rational choice, perdebatan mereka
tiba pada klaim-klaim tentang kecenderungan Negara untuk bekerja sama atau
bertengkar dalam konflik. Di sisi lain, baik konstruktivisme maupun rational
choice tidak memiliki corak pasti tentang politik dunia, keduanya hanya sebatas
menganalisa hubungan antara sebuah struktur dan actor di belakangnya.
Lalu apa yang membedakan rational choice dan konstruktivisme?
Rational choice menyikapi aktor sebagai suatu entitas pre-social sedangkan
konstruktivisme memposisikan aktor sebagai entitas sosial.( John Baylis. Steve
Smith. Patricia Owens., 2008, hal. 167) Rational choice menyikapi kepentingan
sebagai sesuatu yang pasti dan tidak bisa diubah kembali, sedangkan
konstruktivisme menyikapi interest sebagai sebuah hasil dari interaksi dan
lingkungan aktor-aktor tersebut. Rational choice berargumen bahwa satu-satunya
dampak dari lingkungan adalah untuk membatasi atau mengatur tindakan aktor,
sedangkan konstruktivisme berpendapat bahwa lingkungan bahkan dapat
membentuk identitas dan interest dari aktor-aktor tersebut. Rational choice
menggunakan logic of consequences untuk memahami perilaku seorang individu,
sedangkan konstruktivisme menambahkan penggunaan logis of appropriateness.
Logic of consequences merupakan tolak ukur suatu perilaku yang
menyebabkan adanya costs and benefit.( John Baylis. Steve Smith. Patricia
4

Owens., 2008, hal. 163) Sebagai contoh adalah security dilemma. Security
dilemma muncul ketika peningkatan keamanan militer suatu negara menyebabkan
adanya insecurity bagi negara lain.(Chris Brown. Kirsten Anley., 2009, hal. 41)
Jika Jepang memutuskan untuk memproduksi nuklir sebagai senjata, apa yang
akan terjadi pada China dan Korea Utara sebagai tetangga terdekatnya? Ketika di
satu sisi Jepang akan membangun imagenya sebagai negara yang kuat dan akan
ditakuti oleh negara lain, di sisi lainnya Korea Utara dan China bisa saja melihat
keputusan Jepang ini sebagai sebuah warning dan threats kepada keamanan
mereka, karenanya North Korea will most likely do a nuclear bomb to be able to
survive.
Sedangkan logic of appropriateness menjelaskan bagaimana para aktor
sebenarnya cenderung mematuhi peraturan yang ada, karena merasa insecure
kalau-kalau tindakannya tidak legitimate.( John Baylis. Steve Smith. Patricia
Owens., 2008, hal. 163) Suatu tindakan yang dianggap appropriate memiliki
kemungkinan untuk memberi dampak yang berbeda-beda; semakin illegitimate
sebuah tindakan, semakin tinggi potential cost yang harus dihadapi oleh suatu
negara. Sebagai ciontoh, ketika Amerika Serikat memutuskan untuk mengirim
tentaranya ke Iraq atas justifikasi bahwa Iraq memiliki nuclear weapons dan tidak
diberi restu oleh UNSC (United Nations Security Council), dunia akan menilai
bahwa tindakannya illegitimate atas alasan apapun. Ameika Serikat harus
menghadapi segala konsekuensi atas tindakannya, tidak ada yang bersedia untuk
menjadi aliansinya dan terbuka pula kemungkinan bahwa banyak pihak yang, atas
kejadian tersebut, memutuskan kerja samanya denga Amerika Serikat.
logic of consequences and logic of appropriateness does not necessarily distinct;
because the possible cause of logic of appropriateness exclude logic of
consequences
Ada banyak jenis konstruktivisme. Diantaranya konstruktivisme aliran
Alexander Wendt, konstruktivisme kritikal, konvensional, dan post-
positivist.(Robert Jackson & Georg Sorensen, 2010, hal. 167) Hal yang menarik
dari aliran konstruktivisme adalah satu sama lainnya memiliki pandangan yang
berbeda mengenai konstruksi itu sendiri. Seperti apa yang dikatakan oleh Michael
5

Barnett dalam analisisnya mengenai konstruktivisme ( John Baylis. Steve Smith.
Patricia Owens., 2008, hal. 162). Simply because different empirical puzzles drive
different approaches. Beberapa kaum konstruktivis berangkat dari pandangan
James March, John Meyer, dan teori organisasinya, dan lainnya berangkat dari
aktor post modernism yang terkenal dengan ucapannya Power is knowledge,
Michael Foucault dan analisa diskursusnya.(Foucault, 1980)
Meskipun banyak kesamaan fenomena yang dianalisis, perbedaan aktor,
identitas, dan kepentingan membuatnya menghasilkan analisis yang bervariasi.
Dari sanalah lahir teori-teori realism, liberalisme, marxisme, dan lainnya. Dan
juga melahirkan teori konstruktivisme yang berbeda, yang condong terhadap
neoklasik, modern, postmodern, analisis yang hanya sebagian atau bahkan
menyeluruh. Tapi pada akhirnya, yang menyatukan konstruktivisme adalah
tentang kesadaran manusia dan perannya dalam kehidupan internasional (Ruggie,
1998, hal. 856).
Poin pertama dari konstruktivisme adalah struktur dan aktor. Menurut
Wendt, Struktur Sosial memiliki tiga elemen dasar: shared knowledge, material
resources, and practices(Wendt, Anarchy is what States Make of It, 1992). Pada
mulanya, struktur sosial didefinisikan oleh aktor-aktor tertentu dengan
pemahaman, pengharapan, atau pengetahuan bersama. Hal inilah yang kemudian
mengkonstitusi cara berpikir individu, dan nature dari hubungan
intersubjectivenya. Dalam kasus realisme, para pemikirnya mengasumsikan
struktur internasional dalam kondisi terburuk yang mungkin terjadi. Hal inilah
yang menjadi dasar dari pemikiran-pemikirannya, bahwa dalam menjalin
hubungan antar sesamanya, negara selalu mengutamakan kepentingannya
sehingga tidak dapat dipastikan apakan ia akan memegang komitmennya saat
melakukan kerja sama. Hal ini pula yang memunculkan sebuah ide security
dilemma.
Dunia sosial bukanlah sebuah pemberian; it involves a various ideas and
interdependence relations with the actor itself. Dunia sosial bukanlah sebuah
keberadaan eksternal yang dapat diobservasi dan diukur dengan parameter yang
pasti.(Robert Jackson & Georg Sorensen, 2010, hal. 162) Sejarah sendiri bukanlah
6

sebuah proses evolusi yang independen dari berbagai pemahaman dan ide. Sejarah
bukanlah variabel materialis yang kedudukannya pasti dan eksistensinya bersifat
independen. Maka dari itu, positivis yang mendasarkan pemikirannya pada
empirical studies dan memaksakan bahwa studi sosial harus memiliki formula
tetap yang dapat diaplikasikan pada setiap kejadian, mereka telah mengabaikan
bahwa manusia tidak akan pernah bisa objektif. Selalu ada alasan dibalik setiap
tindakannya. Dan pada konteks konstruktivisme, hal tersebut adalah hubungan
antar variabelnya.
The starting premise is that the material world is indeterminate and is
interpreted within a larger context of meaning. Idea thus define the meaning of
material power (Tannenwald, 2005) Wendt menjelaskan bahwa hal ini bukan
berarti konstruktivisme lebih mementingkan ide dibandingkan power interest. Ia
berargumen justru karena power and interest memberikan dampak yang terbukti
benar, maka penjelasan mengenai power and interest lah yang kemudian
memisalkan terlebih dulu sebuah ide. Sebagai contoh 500 nuklir Inggris tidak
akan sama sekali membuat Amerika Serikat merasa tidak aman dibandingkan
dengan lima nuklir Korea Utara. Hal ini karena material bersifat secondary
dibandingkan idenya. Karena idelah yang mengkonstruk materi itu sendiri.
Amerika tidak akan takut akan nuklir Inggris sesederhana karena mereka memiliki
perjanjian damai, sedangkan Amerika akan meningkatkan pertahanannya untuk
mengantisipasi nuklir Korea Utara karena Korea Utara tidak memiliki hubungan
diplomatis dengan Amerika Serikat.(Wendt, Anarchy is what States Make of It,
1992) Maka dari itu Korea Utaralah yang dalam perspektif Amerika Serikat, the
most likely party who will certainly dothe nuclear bombing.
Dalam bukunya, Wendt (1990: 135-6) berargumen ketika anda dihadapkan
pada suatu penjelasan yaang terlihat material, selalu lakukan sebuah pertanyaan
diskursus. Misalkan, ketika dihadapkan pada pandangan interdependence
liberalism, dengan teorinya yang menyebutkan bahwa kerja sama ekonomi antar
negara merupakan jalan keluar dari dunia internasional yang anarki. Karena
dengan adanya interdependensi antar negara, negara akan mempertimbangkan
advantages yang dimilikinya ketika melakukan suatu tindakan.( John Baylis.
7

Steve Smith. Patricia Owens., 2008) Dalam kasus ini, konstruktivis harus dapat
menganalisis apa yang mengkonstitusi perbuatan negara dan identitasnya untuk
cenderung memilih kerja sama dibandingkan hal lainnya. Selalu akan ada hal
yang mendasari sebuah tindakan negara. Konstruktivis, karenanya, menolak teori
billyard ball yang dikemukakan oleh positivis. Hal ini karena kaum positivis tidak
dapat menjelaskan ide, kepercayaan, dan pemikiran yang dimiliki oleh negara
dalam sistem internasional. Konstruktivis menginginkan penjelasan yang lebih
mendalam tentang konflik seperti itu (Robert Jackson & Georg Sorensen, 2010,
hal. 164)
Struktur bukanlah sebuah pemberian, melainkan aktorlah yang kemudian
membentuk struktur tersebut. Struktur bukanlah sebuah objek konkrit yang
kepadanya aktor tidak dapat melakukan sesuatu, melainkan sesuatu dimana aktor
harus merespon pada keberadaannya. Sehingga pada konteks ini Wendt
berargumen bahwa aktor, melalui kehendak sosialnya, akan mengubah struktur.
Aktor mungkin saja akan melakukan emansipasi atau transisi dari sebuah kondisi
damai ke kondisi konfliktual(Copeland, 2000). Karena ide dapat berubah seiring
dengan dinamisnya perkembangan zaman. Negara tidak selamanya harus menjadi
musuh bagi satu sama lain. Karenanya, anarchy is what states make of it (Wendt,
1992: 132)
Poin kedua dari Konstruktivisme adalah penekanan pada maksud dan
pemahaman. Apakah ketika Amerika Serikat memberikan bantuan sembako
kepada Indonesia yang baru mengalami tsunami merupakan sebuah tujuan untuk
kemudian menjalin hubungan kerja sama ataukah untuk menyebarkan nilai-
nilainya di Aceh itu sendiri? Pada konteks ini, Weber menyimpulkan bahwa
pemahaman subjektif individual merupakan sebuah karakteristik dari pengetahuan
sosial yang tidak bisa dipisahkan (Weber M. , 1977, hal. 15). Konstruktivis
terpaku pada pandangan-pandangan seperti itu, tentang betapa pentingnya sebuah
maksud dan pemahaman (Fierke and Jorgensen 2001).


8

Wendtian Constructivism
Dalam kesempatan ini, penulis akan mencoba menganalisa
konstruktivisme aliran Wendtian dan kritik terhadapnya yang dilontarkan oleh
Chyntia Weber. Alexander Wendt menyatakan ada dua landasan konstruktivisme,
yaitu idealisme dan holisme.( John Baylis. Steve Smith. Patricia Owens., 2008,
hal. 163) Idealisme sangat mementingkan keberadaan ide sebagai komponen
terpenting dari sebuah interpretasi. Segala macam kenyataan yang bersifat
material di dunia ini didefinisikan oleh sebuah ide. Tetapi pada praktiknya, ide
tidak berkaitan dengan kondisi psikologis atau kepercayaan yang ada dalam diri
kita. Ide berisfat sosial. Karenanya bagaimana cara individu menginterpretasikan
sebuah ide bergantung pada pemahaman kolektif yang ada di lingkungannya.
Sebagai contoh, masyarakat Indonesia yang terbiasa hidup dengan budaya
timur memiliki pola pikir bahwa minuman beralkohol merupakan sesuatu yang
dianggap tabu, berbeda dengan pandangan masyarakat Eropa. Karena masyarakat
Indonesia sudah terbiasa dengan pola pikir demikian selama berabad-abad,
mereka menutup kemungkinan bahwa tidak selamanya minuman beralkohol tidak
bermanfaat. Di lain sisi, Idealisme tidak menolak keberadaan kenyataan materi
tetapi mengobservasinya bahwa kenyataan material itu justru bergantung pada
ide-ide dan interpretasi yang dimiliki manusia.
Pada contoh kasus lain, the balance of power tidak secara objektif ada dan
menunggu untuk ditemukan; melainkan dikonstruksi oleh para kaum realis.
Bahwa negara melakukan debat tentang definisi the balance of power, apa
maksudnya, dan bagaimana ia harus disikapi. Hingga akhirnya interaksi yang
terjalin antar negara lah yang kemudian membuat the balance of power terlihat
menjadi nyata.( John Baylis. Steve Smith. Patricia Owens., 2008, hal. 163)
Di sisi lain, holisme menjelaskan bahwa dunia bersifat sosial dan tidak
bisa didekomposisi ke situasi dimana hanya ada properti dari aktor yang telah ada.
Ini bukan berarti holisme menolak hubungan agensi, melainkan menekankan
bahwa interaksi antara aktorlah yang kemudian mengkonstruksi sebuah
kenyataan. Sebagai contoh, meskipun situasi pada saat Perang Dingin seperti
9

mengunci posisi Amerika Serikat dan Russia dalam sebuah pertengkaran hingga
mati, pemerintah Amerika Serikat dan Russia lah yang menentukan bagaimana
mereka hendak bertindak, karenanya tercipta kondisi balance of power tersebut.
Dalam teorinya, Wendt berusaha untuk menjembatani neo-realis dengan
teorinya it is a structure that puts constraints on state behavior so that
competition and conflict are guranteed and much cooperation is ruled
out(Waltz, 1979, hal. 91) dan neo-liberalis dengan teorinya it is a place in
which processes of learning take place among states in their everyday
interactions so that more cooperative institutions and behaviors result(Kegley,
1993, hal. 131) . wendt pun berusaha untuk membuktikan bahwa konstruktivisme
berbeda dengan rational choice. Wendt menekankan pada aspek practices yang
telah menghasilkan suatu situasi di sistem internasional.
Pada teorinya, Wendt menjelaskan eksistensi institution, interest dan
identity. Sementara Institution merupakan sesuatu yang sulit untuk diubah,
interest, di lain sisi lahir dari sebuah interaksi antar negara. Interest membuka
kesempatan untuk aktor mengubah kecenderungannya seiring dengan dinamisnya
interaksi yang berlangsung. Sementara identity adalah faktor determinis dari
interaksi itu sendiri. Identity lah yang membentuk arahan interaksi yang
berlangsung.
Wendt juga menekankan pada tiga asumsi; social knowledge, social
practices, dan social identity and interest. Social Knowledge menjelaskan bahwa
pada dasarnya manusia bereaksi kepasa objek, termasuk aktor lainnya, pada basis
tujuan yang ditawarkan objek tersebut kepadanya. Social practices adalah suatu
tujuan dari sebuah tindakan yang dihasilkan dari interaksi. Sementara Social
Identity and interest diproduksi dalam dan lewar aktivitas pada situasi
tertentu.(Wendt, Collective Identity Formation and the International State, 1995,
hal. 135)
Tidak ada logika anarki yang terlepas dari praktik yang membuat dan
menginisisasi sebuah struktur identitas dan kepentingan-kepnetingan; struktur
tidak memiliki eksistensi atau sebab-sebab yang terlepas dari sebuah proses. Self-
10

help dan power politics adalah institusi, bukan elemen dasar dari sistem anarki.
Karenanya, anarchy is what states make of it.(Wendt, Collective Identity
Formation and the International State, 1995, hal. 384)
Kritik Chyntia Weber
Chyntia Weber mengkritik Alexander Wendt dalam bukunya,
International Relations: A Critic Introduction. Ia menarasikan sebuah cerita
berjudul Wag The Dog untuk menggambarkan logika teorinya.(Weber C. , 2005,
hal. 68) Wag The Dog merupakan sebuah film pendek yang diproduksi untuk
melakukan pengalihan isu atas kasus sexual misconduct seorang wanita simpanan
Presiden yang akan di-publish oleh rival politiknya, sebelas hari sebelum
pemilihan umum. Agar mendapatkan visualisasinya, penulis akan mencoba untuk
menarasikannya. Ada lima tokoh dalam film pendek ini; Coonie sebagai asisten
presiden, Winifred sebagai teman Coonie, Stanley sebagai produser film, Senator
Neal sebagai rival presiden, dan presiden sendiri.
Film ini dimulai dengan sebuah iklah kampanye presiden tentang segala
keunggulannya dan orasi-orasinya agar masayarakat kembali memilihnya.

A group calling itself Albania Unite has claimed responsibility for this
mornings bombing of the village of Close, Albania. The president could
not be reached for comment, but General William Scott of the Joint Chiefs
of Staff said he has no doubt well be sending planes and troops back in to
finish the job.(Weber C. , 2005, hal. 75)

Coonie bertugas untuk mengalihkan perhatian publik dari kasus Presiden tepat
hingga pemilihan umum berakhir. Ia memiliki ide untuk membuat iklan palsu
tentang adanya perang di Albania terkait dengan kasus Kossovo. Dalam ceritanya,
teroris dari Albania mencoba menyembunyikan senjata nuklir ke Amerika Serikat
lewat Kanada. Dalam news footage, terdapat berita tentang anak perempuan yang
melarikan diri dari geng penjahat di Albania. Berita ini disiarkan di seluruh media,
seolah-olah seperti kenyataan, bertepatan dengan kedatangan presiden dari China.
Di saat yang sama, senator Neal mengumumkan bahwa perang di Albanis sudah
11

berakhir sesuai dengan informasi yang didapatkan dari CIA. Stanley tidak terima
film karyanya diakhiri begitu saja.
Kemudian Stanley membuat cerita lain tentang seorang tentara yang
terjebak di Albania dan tidak mengetahui bahwa sebenarnya perang sudah
berakhir. Sehingga tentara Amerika harus kembali ke Albania untuk
menyelamatkannya. Meskipun tentara yang dimaksud Stanley diperankan oleh
seorang kriminal, publik tidak mengetahui kenyataan tersebut. Publik pun tidak
mengetahui bahwa pemeran dibunuh oleh seorang penjaga toko karena mencoba
memerkosa anaknya. Publik hanya mengetahui bahwa si pemeran merupakan
tentara yang layak digelari pahlawan, sehingga ia dikuburkan dengan hormat.
Cerita Wag The Dog merupakan sebuah media dalam media. Semua plot
dibuat seolah-olah nyata dan disiarkan di media. Media constructs reality. Weber
menganalogikan dog sebagai publik dan tail sebagai media dalam bukunya. Kita
mungkin menilai bahwa decison-makers dalam cerita ini adalah Presiden. Tetapi
menurut Weber, presiden tidak dengan serta merta mendelegasikan Coonie untuk
membuat sebuah pengalihan isu jika tidak ada suatu situasi yang memaksanya.
Maka dari itu, bukan publik yang membuat media menjadi ada, atau sebaliknya.
Melainkan, sebuah situasilah yang kemudian membuat media mengkonstruk
kenyataan yang kemudian dianggap nyata oleh publik.
Ketika publik disuguhkan sebuah jalan cerita yang memaksanya untuk
percaya agar cerita itu terlihat seperti nyata, publik akan selalu dikelilingi rasa
penasaran, siapa yang sebenarnya ada di balik cerita ini? Siapakah decision-
makers nya? Daripada bertanya apa yang sebenarnya membuatnya menjadi
decision-makers? Dalam cerita wag the dog, kita dihadapkan pada situasi dimana
sang author tidak dapat dibuka kepada publik. Tetapi untuk keluar dari sebuah
konstruksi, kita memerlukan seorang aktor yang ada di belakangnyaa. Karena
segala sesuatunya tidak serta merta ada dengan sendirinya.
Iklan kampanya di awal pembuka film dapat menjelaskan dengan pasti
bahwa iklan tersebut dibuat oleh sebuah partai yang mendukung pencalonan
presiden. Sedangkan dalam film Wag the Dog sendiri, kita dihadapkan pada
12

sebuah tantangan untuk keluar dari reifed object atau anggapan bahwa suatu hal
telah ada dengan sendirinya. Stanley sebagai produser film tidak dapat
memamerkan karyanya karena ia mendapat ancaman dari Coonie, sedangkan
tugas Coonie telah berakhir ketika pemilihan umum resmi selesai, dan begitupun
presiden. Sehingga kita pun sampai pada kesimpulan bahwa practices lah yang
telah mengkonstruk tindakan presiden untuk berbuat demikian.
Seperti bagaimana Weber berusaha menjelaskan bahwa film Wag the Dog
tidak ada dengan sendirinya, ia pun menjelaskan bahwa Alexander Wendt ingin
menjelaskan bahwa sistem anarki tidak ada dengan sendirinya. Seperti bagaimana
negara sebagai aktor utama yang menentukan kondisi sebuah sistem internasional,
dalam cerita ini produser film lah yang menentukan jalannya cerita. Jika dalam
konsep Wendt dog adalah sistem anarki dan tail adalah negara. Alexander Wendt
menekankan bahwa apa yang dilakukan negaralah yang kemudian membuat
sistem anarki itu ada. Sistem anarki bukanlah sesuatu pre-given, ia lahir dari
interaksi yang tejadi antar negara sebagai decision-makers.
Ada tiga inti dalam film Wag the Tail.(Weber C. , 2005, hal. 72) Pertama
adalah production is problrm solving. Hal ini yang dilakukan oleh Stanley ketika
Senator Neal mengumumkan bahwa berdasarkan informasi dari CIA, perang di
Albania telah selesai. Jika saja Stanley pada saat itu tidak bertindak apapun, maka
skenario yang telah disusunnya akan sia-sia. Tetapi Stanley memutuskan untuk
membuat skenario lain. Karenanya, producing is problem solving.
Pada inti kedua, producing is heroic. Karena Stanley telah berhasil
membuat publik percaya bahwa perang di Albania merupakan sebuah kenyataan
berikut dengan segala situasi yang ada di sana, hal ini telah menjustifikasi segala
tindakan Amerika Serikat di Albania. Publik akan terpengaruh oleh nilai-nilai
patriotik, seperti ketika perang versi CIA berakhir, Stanley membuat plot twist
bahwa ternyata ada tentara Amerika Serikat yang terjebak di medan perang.
Sehingga pemerintah Amerika Serikat memutuskan untuk kembali ke Albania dan
menyelamatkannya. Karenanya, producing is heroic.
13

Poin inti terakhir adalah producing is invinsible. Jika keberadaan Stanley
sebagai produser hendak dimasukkan ke dalam credit, maka semua cerita hebat
tentang perang Albania tidak akan membuat publik tertarik lagi. Hal yang sama
terjadi pada konsep state dan anarchy. Ketika neo-realisme tidak memunculkan
seorang author dari sistem anarkinya, teorinya bahwa sistem internasional adalah
anarki menjadi nyata. Tetapi ketika Wendt mengekspos kenyataan tersebut, semua
teori tentang sistem internasional yang anarki menjadi bahan pertanyaan lagi,
apakah negara dapat menentukan tindakannya sendiri?
Lalu apa yang kemudian dianggap gagal oleh Weber dalam teori
Alexander Wendt? Wendt sendiri telah gagal untuk menjelaskan darimana
sebenarnya datangnya practices yang dilakukan oleh negara. Apa yang telah
membuat negara melakukan hal tersebut. Wendt tidak berhasil keluar dari teorinya
sendiri bahwa segala sesuatunya tidak ada dengan sendirinya dan menunggu
hingga seseorang menemukan eksistensinya. Wendt berusaha untuk membantah
teori neo-realis bahwa sistem internasional telah membatasi ruang gerak negara
untuk memilih pilihan selain menjadi anarki.
Tapi di sisi lain, Weber beranggapan bahwa Wendt hanya mengizinkan
adanya pergantian peran yang dimainkan oleh aktor, yaitu negara. Negara sebagai
produser dapat menjadi produser dari sistem anarki atau kerja sama, sama seperti
bagaimana Stanley yang berganti peran dari produser sebuah film menjadi
produser sebuah perang. Tetapi Wendt terlalu menekankan pada konsep practices
yang dilakukan oleh negara. Ia telah menutup ruang akan adanya kesempatan
untuk bertanya, siapa yang telah memproduksi negara? Pada poin ini, Weber
menganggap Wendt tidak konsisten karena telah menyatakan bahwa negara
merupakan pre given object.
Mitos dari anarchy is what states make of it milik Alexander Wendt telah
berhasil menjawab premis untuk mebebaskan kita dari logika deterministik dari
situasi anarki. Ia mengklaim telah menjembatani option yang ditawarkan neorealis
dan neoliberalis. Dan yang paling penting adalah ia berhasil menjawab pertanyaan
publik tentang siapa authornya? Weber berargumen bahwa hal seperti inilah yang
diinginkan oleh para penstudi hubungan internasional.
14

Tetapi dengan diterimanya mitos ini, para penstudi berarti telah menerima
kekurangan dari konstruktivisme. Poin pertama, konstruktivisme ditujukan untuk
keluar dari lingkaran memposisikan sesuatu sebagai objek yang telah ada dari
sananya. Tetapi dengan mengaplikasikan mitos Wendt, konstruktivis berarti telah
mencoba untuk keluar dari persepsi bahwa anarki adalah pre given dengan
menjadikan negara sebagai pre given. Kedua, dengan mempertahankan
argumennya bahwa negara adalah decison-makers/authors dari semua fenomena
internasional, konstruktivis telah kehilangan kesempatan untuk menggali lebih
jauh lagi untuk mengembalikan fokusnya pada proses dan praktik dalam politik
internaisonal.
Sementara di sisi lain, Wag the Dog menginsentif kita untuk bertanya
bagaimana aktor tertentu dapat terlihat sebagai decison-makers / producers /
authors? Daripada menanyankan pertanyaan sederhana seputar siapa yang
menjadi decision-makers? Mungkin konstruktivis telah berhasil membuat negara
sebagai aktor yang bertanggung jawab jatas segala kejadian di sistem
internasional. Tetapi ia telah gagal untuk menginsentif kita untuk lebih
menginvestigasi mengenai proses menjadikan negara sebagai produsernya.
Dengan Wendtian Konstruktivisme, kitaa mengira bahw akita paham bahwa tail
lah yang menggoyangkan dog, tetapi dalam kenyataannya tales lah yang
mengkonstruksi tail untuk terlihat seolah-olah ia yang menggoyangkan dog.
Level of Analysis
Chyntia Weber dan Alexander Wendt memiliki objek analisis yang sama.
Pada level sistem, keduanya mencoba menjelaskan bahwa hubungan antar negara
dapat dijelaskan oleh faktor yang mempengaruhi sistem secara keseluruhan dan
berdasaran karakteristik juga kecenderungan dari sistem itu sendiri.(Genest, 2004,
hal. 6) Bagaimana hubungan sistem anarki yang menguasai hubungan antar
negara-negara? Keduanya membahas atas epistemologi dari sistem anarki itu
sendiri. Wendt berhenti pada poin dimana argumennya menjelaskan bahwa sistem
anarki dibentuk oleh interaksi antar negara. Sedangkan Weber berargumen bahwa
epistemologi sistem anarki berasal dari tales atau situasi dan kondisi yang telah
memaksa negara sebagai pemeran decision-makers. Keduanya bersifat terbuka
15

bahwa seiring dengan berlangsungnya interaksi antar negara, mereka akan
cenderung mengubah perilakunya sesuai kebutuhan.
Level analisis kedua adalah negara. State-level analysis menjelaskan
tentang hubungan antara negara dan bagaimana mereka berprilaku terhadap
politik global sesuai dengan ideologinya.(Genest, 2004, hal. 7) Dalam konteks ini,
analisisnya ditekankan pada bagaimana negara mengatasi the myth of fear dalam
sistem internasional. Dalam bukunya, Alexander Wendt pernah menganalogikan,
ketika dua aktor tidak pernah berinteraksi sebelumnya, atau bahkan berselisih satu
sama lainnya, dan keduanya sama-sama ingin memastikan pertahanannya,
If there were a group of aliens arrived in earth, would we assume, a
priori, that we were about to be attacked by members of an alien
sivilizatiom? I think not.(Wendt, Collective Identity Formation and the
International State, 1995, hal. 144)
Dengan kata lain, tentu kita akan hati-hati dalam bersikap, tapi tidakkah kita mau
untuk terlihat seolah-olah mengancam keberadaan mereka kecuali merekalah yang
pertama-tama mengancam kita, karena pada dasarnya negara ingin menghindari
pembuatan keputusan yang terburu-buru untuk menjadikan aktor lain sebagai
musuh karena kita tidak mengetahui kekuatan sebenarnya. Maka dari itu, kedua
teori ini, khususnya Wendt, tidak menyarankan untuk memulai sebuah hubungan
dengan aliens tersebut dalam sebuah security dilemma; karena security dilemma
bukanlah sebuah konstuksi pasti dari anarki.(Wendt, Collective Identity
Formation and the International State, 1995, hal. 144)
Tahap level ketiga adalah individu. Pada level ini, keduanya membahas
tentang bagaimana collective understanding sangat berpengaruh terhadap
konstruksi dari identitas seorang individu. Seperti yang telah dijelaskan di atas,
bahwa proses merupakan elemen terpenting dari analisis teori Wendtian,
sedangkan tales merupakan elemen terpeting menurut Weber. Dapat kita
simpulkan bahwa ketika Wendt berhenti pada tahapan dimana dia menjelaskan,
institusi, identitas, dan interest lah yang mempengaruhi practices dari negara
tanpa menjelaskan darimana datangnya ketiga komponen tersebut. Weber
16

menjelaskan bagaimana publik, secara individu, juga merupakan aktor yang telah
mengkonstruk identitas sesuai dengan latar belakangnyayang kemudian
membuatnya memiliki interest tertentu. Collective understanding, dalam konsep
ini adalah bagaimana publik sangat mudah untuk terbujuk oleh nilai-nilai yang
dianut secara universal. Seringkali publik, melakukan sesuatu bukan karena ia
menganggap hal itulah yang terbenar, tetapi karena mereka takut akan
tindakannya dinilai illegitimate karena berbeda dengan norma universal dan
kemudian memposisikannya dalam kerugian( John Baylis. Steve Smith. Patricia
Owens., 2008, hal. 163). Hal ini lah yang kemudian mempengaruhi bagaimana
pemerintah mengartikulasikan kebijakannya yang disesuaikan dengan
pengharapan publik dan kemudian berpengaruh terhadap sistem internasional.













17

Kesimpulan
Setelah membaca karya Alexander Wendt dan Chyntia Weber, dapat
disimpulkan bahwa manusia telah memberikan kontribusi signifikan menganai
perkembangan pemahaman pada segala hal yang ada di dunia. Munculnya
berbagai perspektif dalam satu fenomena merupakan suatu bukti konkret;
lingkungan dimana seorang individu berkembang berkontribusi besar terhadap
caranya menyikapi hal.
Individu akan bereaksi terhadap suatu objek. Ketika dihadapkan dengan
negara lain, sebuah negara akan melakukan tindakan yang menurutnya sesuai
dengan identitasnya. Pada konteks ini kita dibawa kembali pada teori sosiologi
dimana interaksi memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Interaksi
lah yang menentukan output dari hubungan antar aktor.
Weber berargumen bahwa situasi atau tales lah yang kemudian membuaat
negara berinteraksi dengan caranya. Penulis menilai bahwa konsep ini merupakan
sebuah siklus. Situasi yang dikatakan Weber pun terbentuk setelah adanya
interaksi antar aktor. Sehingga sulit bagi kita untuk benar-benar menentukan
bagaimana sebenarnya author dari segala kejadian dapat terbentuk. Tetapi pada
akhirnya, penulis menilai bahwa Weber, seorang postmodernis, telah berhasil
membuktikan logika dari bantahannya akan teori Konstruktivisme Wendtian.







18

Daftar Pustaka
John Baylis. Steve Smith. Patricia Owens. (2008). The Globalization of World Politics: An
introduction to International Relations 4e. New York: Oxford University Press.
Chris Brown. Kirsten Anley. (2009). Understanding International Relations 4e. London:
Palgrave Macmillan.
Copeland, D. C. (2000). The Constructivist Challenge to Structural Realism. International
Security, 25/2 , 187-212.
Foucault, M. (1980). Power/Knowledge. Hemel Hampstead: Harvester Wheatsheaf.
Genest, M. A. (2004). Conflict and Cooperation; Evolving Theories of International
Relations, 2nd Edition. United States: Thomson Wadsworth.
Kaituhi, T. (2014). Maori. Intercontinentaly Cry .
Kegley, C. W. (1993). The Neoidealist Moment in International Studies? Realist Myths
and the New International Realities. International Studies Quarterly 37(June):13146.
Robert Jackson & Georg Sorensen. (2010). Introduction to International Relations;
Theories and Approaches . Italy: MPS Limited, A Macmillan Company.
Ruggie, J. G. (1998). Constructing The World Polity: Essays on International
Institualizations. London: Routledge.
Tannenwald, N. (2005). Ideas and Explanation: Advancing the Theoretical Agenda.
Journal of Cold war Studies , 13-42.
UNHCR. (2011). The 1951 Convention Relating To The Status of refugees And Its 1967
Protocol. The 1951 Convention (p. 16). Geneva: UNHCR.
Waltz, K. (1979). Theory of International Politics. . Reading, MA: Addison-Wesley.
Weber, C. (2005). International Relations Theory; A Critical Introduction. Park Square,
Milton Park, Abingdon, Oxon: Routledge.
Weber, M. (1977). critique of Stammler (trans. Guy Oakes). New York: Free Press.
Wendt, A. (1992). Anarchy is what States Make of It. International Organization, The MIT
Press , 349-419.
Wendt, A. (1995). Collective Identity Formation and the International State. USA:
American Political Science Review 88(2).

19

Anda mungkin juga menyukai