Anda di halaman 1dari 5

1.

Jelaskan secara komprehensif komponen komponen dasar perspektif realisme dan


konstruktivisisme sebagai pendekatan dalam memahami perilaku negara dan
nature dari sistem internasional berdasarkan gambar
Realisme merupakan salah satu teori dominan atau teori besar dala Hubungan
Internasional. Gagasan realisme ini dikenal dengan gagasan yang bernilai materialis,
dengan mendasarkan pemikiran terhadap komponen kekuasaan, military dan economic
power. Realisme menjadikan negara sebagai aktor tunggal yang mendominasi dunia
internasional dengan menggunakan aspek kekuasaan, military dan economic power
mereka. Argumen utama dari Realisme ialah negara sebagai aktor tunggal memiliki sifat
naluriah sebagai manusia, yaitu pesimistis dan saling curiga terhadap keberadaan negara
lain. Untuk itu, alih alih bergantung pada negara lain, realisme justru menawarkan
kerangka bahwa setiap negara akan meningkatkan kekuasaan, military dan economic
powernya demi melindungi eksistensi negaranya sendiri.
Sedangkan konstruktivisme, hadir di HI sebagai teori yang bergagasan ideasional,
yakni berangkat dari gagasan ide, norma, konsepsi, asumsi dan sebagainya.
Konstruktivisme jauh lebih kompleks dalam memaknai dunia internasional yang
sebenarnya. Menurut konstruktivisme, dinmika global yang etrjadi merupkaan dunia
sosial ciptaan manusia itu sendiri. Aktor (biasanya yang kuat, seperti pemimpin dan
warga negara yang berpengaruh) terus-menerus membentuk dan terkadang membentuk
kembali – sifat dasar hubungan internasional melalui tindakan dan interaksi mereka.
Kaum konstruktivis berpendapat bahwa agensi dan struktur saling dibentuk, yang
menyiratkan bahwa struktur memengaruhi agensi dan agensi memengaruhi struktur.
2. Jelaskans ecara komprehensif kkritik konstruktivisime terhadap liberalism

Kedatangan konstruktivisme dalam HI sering dikaitkan dengan berakhirnya


Perang Dingin, suatu peristiwa yang gagal diperhitungkan oleh teori-teori tradisional
seperti realisme dan liberalisme. Kegagalan ini dapat dikaitkan dengan beberapa prinsip
inti mereka, seperti keyakinan bahwa negara adalah aktor yang mementingkan diri sendiri
yang bersaing untuk mendapatkan kekuasaan dan distribusi kekuasaan yang tidak setara
di antara negara-negara yang menentukan keseimbangan kekuasaan di antara mereka.
Dengan memiliki fokus yang dominan pada negara, teori-teori tradisional tidak membuka
banyak ruang untuk mengamati agensi individu. Lagi pula, tindakan orang biasalah yang
memastikan berakhirnya Perang Dingin, bukan tindakan negara atau organisasi
internasional. Konstruktivisme menjelaskan masalah ini dengan berargumen bahwa dunia
sosial adalah buatan kita (Onuf 1989). Aktor (biasanya yang kuat, seperti pemimpin dan
warga negara yang berpengaruh) terus-menerus membentuk dan terkadang membentuk
kembali – sifat dasar hubungan internasional melalui tindakan dan interaksi mereka.

Konstruktivisme melihat dunia, dan apa yang dapat kita ketahui tentang dunia,
sebagai konstruksi sosial. Pandangan ini mengacu pada hakikat realitas dan hakikat
pengetahuan yang juga disebut ontologi dan epistemologi dalam bahasa penelitian.
Alexander Wendt (1995) menawarkan contoh yang sangat baik yang mengilustrasikan
konstruksi sosial dari realitas ketika dia menjelaskan bahwa 500 senjata nuklir Inggris
kurang mengancam Amerika Serikat daripada lima senjata nuklir Korea Utara.
Identifikasi ini tidak disebabkan oleh senjata nuklir (struktur material) melainkan oleh
makna yang diberikan pada struktur material (struktur ideasional). Penting untuk
dipahami bahwa hubungan sosial antara Amerika Serikat dan Inggris serta Amerika
Serikat dan Korea Utara dirasakan dengan cara yang sama oleh negara-negara ini, karena
pemahaman bersama (atau intersubjektivitas) ini menjadi dasar interaksi mereka. Contoh
tersebut juga menunjukkan bahwa senjata nuklir itu sendiri tidak memiliki arti apapun
kecuali kita memahami konteks sosialnya. Ini lebih lanjut menunjukkan bahwa kaum
konstruktivis melampaui realitas material dengan memasukkan pengaruh gagasan dan
keyakinan pada politik dunia. Ini juga mensyaratkan bahwa realitas selalu dalam
konstruksi, yang membuka prospek perubahan. Dengan kata lain, makna tidak tetap tetapi
dapat berubah dari waktu ke waktu tergantung pada ide dan keyakinan yang dipegang
oleh aktor.

Kaum konstruktivis berpendapat bahwa agensi dan struktur saling dibentuk, yang
menyiratkan bahwa struktur memengaruhi agensi dan agensi memengaruhi struktur.
Agensi dapat dipahami sebagai kemampuan seseorang untuk bertindak, sedangkan
struktur mengacu pada sistem internasional yang terdiri dari unsur-unsur material dan
ideasional. Kembali ke contoh Wendt yang dibahas di atas, ini berarti bahwa hubungan
sosial permusuhan antara Amerika Serikat dan Korea Utara merepresentasikan struktur
intersubjektif (yaitu, gagasan dan keyakinan bersama di antara kedua negara), sedangkan
Amerika Serikat dan Korea Utara adalah aktornya. yang memiliki kapasitas (yaitu,
agensi) untuk mengubah atau memperkuat struktur atau hubungan sosial permusuhan
yang ada. Perubahan atau penguatan ini pada akhirnya bergantung pada keyakinan dan
gagasan yang dipegang oleh kedua negara. Jika keyakinan dan gagasan ini berubah,
hubungan sosial dapat berubah menjadi persahabatan. Pendirian ini sangat berbeda
dengan kaum realis, yang berpendapat bahwa struktur anarkis sistem internasional
menentukan perilaku negara. Konstruktivis, di sisi lain, berpendapat bahwa 'anarki adalah
apa yang dibuat oleh negara' (Wendt 1992). Ini berarti bahwa anarki dapat
diinterpretasikan dengan cara yang berbeda tergantung pada makna yang diberikan oleh
para aktor.

3. Analisis judul topik berikut ini menggunkana perspektif social constructivism.


Kebijakan One China policy dan Relasi China Taiwan di masa pemerintahan Xi
Jinping

Atiqa Javed menjelaskan konflik China-Taiwan melalui lensa konstruktivisme sosial. Dia
berpendapat bahwa China dan Taiwan telah membangun identitas yang terpisah dalam
kesadaran populasi masing-masing. Selain itu, bentrokan antara kesadaran Taiwan yang
berkembang dan identitas tradisional China telah meningkatkan ketegangan antara kedua
pihak, membahayakan stabilitas Asia Timur. Hal tersebut lah menjadikan analisis hubungan
China dan Taiwan di masa pemerintahan Xi Jinping begitu menarik.

Taiwan adalah pulau China yang dibelah oleh Selat Taiwan. Secara resmi dikenal sebagai
"Republik Tiongkok" (ROC). Itu telah dikendalikan secara independen dari Republik Rakyat
Tiongkok (RRC) daratan sejak 1949. Ketegangan tinggi di Selat Taiwan telah diperburuk
oleh beberapa orang Taiwan yang mencari kemerdekaan, sementara Tiongkok komunis
bersikeras untuk menyatukan Taiwan dan mengekang upaya separatis Taiwan.

Konflik China-Taiwan dijelaskan melalui konstruktivisme sosial yang memegang


kesadaran kolektif dan merupakan persepsi perbedaan antara “kita” (in-group) dan “mereka”
(out-group). Mereka menerima “mereka” orang lain sebagai “kita” dalam komunitas. Suatu
bangsa dibentuk oleh interpretasi subyektif orang tentang realitas. Jika orang-orang dari
budaya, etnis, dan agama yang sama tinggal di dua tempat yang jauh, kumpulan pengetahuan
yang berbeda akan terbentuk dari waktu ke waktu. Ini mengarah pada diferensiasi in-group
dan out-group, yang akan menjadi penyebab konflik. Ketika disparitas dalam pengetahuan
dihadapi, hal itu menghasilkan konflik, yang juga berlaku untuk konflik China-Taiwan.

Di masa lalu, beberapa orang Taiwan memiliki rasa identitas yang mencakup China dan
Taiwan. Masuk akal membutuhkan interpretasi. Menurut Kuomintang (KMT), Konsensus
1992 mengizinkan ROC dan RRT untuk hidup berdampingan di bawah “Tiongkok” yang
sama tanpa nama. KMT menafsirkannya sebagai "satu China, beragam interpretasi", dengan
ROC hanya mewakili "satu China". Strategi sinisasi KMT mendidik orang Taiwan bahwa
mereka adalah orang Tionghoa.

Selama pemerintahan Chiang Kai-shek, tidak ada perang pengetahuan antara Cina
daratan dan Taiwan. Satu-satunya ketidaksepakatan adalah tentang pemerintahan yang sah.3
Orang Tionghoa percaya bahwa "Han dan pengkhianat tidak akan pernah hidup bersama."
ROC mengidentifikasi Partai Komunis Tiongkok di daratan sebagai pengkhianat. Oleh
karena itu, baik ROC maupun RRT pada saat itu berjuang untuk ortodoksi.

China sebagai Komunis, bagaimanapun, terus diisi oleh satu partai, terlebih saat masa Xi
Jinping saat ini. Karena perbedaan politik antara kedua belah pihak, penduduk daratan
kelahiran Taiwan mulai mengidentifikasi diri mereka secara rasial dan budaya sebagai orang
Tionghoa, tetapi secara politik sebagai orang Taiwan. Taiwan sedang mengalami
transformasi sosial ekonomi yang memengaruhi suasana politik dan hubungan lintas selatnya

Karena perkembangan sejarah, lintas selat telah berkembang menjadi dua identitas
nasional yang berbeda, didukung oleh kesadaran China dan Taiwan. Taiwanisasi berarti rasa
menjadi orang Taiwan sambil menghilangkan ketionghoaan seseorang. Banyak orang Taiwan
mulai mempertanyakan identitas Tionghoa asli mereka yang dipaksakan oleh pemerintahan
Chiang Kai-shek.

Identitas Taiwan muncul, berubah, dan diaktualisasikan sepanjang waktu. Mereka


sekarang menganggap diri mereka sebagai in-group, sementara penduduk daratan
menganggap mereka sebagai out-group. Orang Taiwan adalah etnis Tionghoa, tetapi mereka
menjauhkan diri dari menjadi Tionghoa karena perubahan sejarah, sosial budaya, dan politik.
Penelitian menunjukkan perjuangan antara Tionghoa tradisional dan kesadaran baru Taiwan
yang tumbuh telah menghasilkan ketegangan lintas selat.

Taiwan adalah pulau berukuran sedang, secara geografis kecil dibandingkan dengan
Cina. Politisi Taiwan membangun realitas sosial bahwa PDB Taiwan adalah $636 miliar
menjadikannya ekonomi terbesar ketujuh di Asia dan penting dalam hal teknologi. Inilah
alasan China ingin menanamkan Taiwan dengannya karena Taiwan, bersama dengan Jepang
di utara dan Filipina di selatan, adalah bagian dari “rangkaian pulau pertama” China, yang
menghalangi akses negara itu ke Samudra Pasifik.

Wacana sosial dibuat oleh AS bahwa jika China menduduki Taiwan, maka China akan
memiliki jalur bebas ke Pasifik dan dapat menyerang wilayah AS seperti Guam dan Hawaii.
AS juga menanamkan di kawasan dan politisi Taiwan bahwa China juga akan dapat
mendominasi saluran perdagangan regional, mengancam Jepang.

Analis di AS membangun persepsi bahwa orang Taiwan berbeda dari orang China yang
akan mendominasi Taiwan. Hal ini juga membuat pemerintah Taiwan khawatir dengan
kemampuan militer China yang berkembang yang dapat mengakibatkan konfrontasi dan
berpotensi meningkatkan konfrontasi AS-China.

Namun, China, dengan kebijakan satu China-nya khususnya di bawah Xi Jinping,


mengembangkan persepsi sosial bahwa Taiwan adalah bagian dari China dan reunifikasinya
signifikan. China membangun bahwa AS memelihara hubungan tidak resmi dengan Taiwan
dan dengan kepentingan geopolitik Taiwan, AS terus mendorong hubungan lintas selat.

Identitas nasional Taiwan telah berkembang dari waktu ke waktu sebagai hasil dari
proses Taiwanization dan Sinicization. Bentrokan antara tumbuhnya kesadaran Taiwan dan
tradisional China telah meningkatkan ketegangan Selat Taiwan sehingga membahayakan
stabilitas Asia Timur. Disimpulkan bahwa identitas dan persepsi memainkan peran utama
dalam membangun realitas sosial. Konflik China-Taiwan adalah hasil dari salah satu
konstruksi tersebut.

Anda mungkin juga menyukai