dibentuk.[10] Teori ini bergantung pada tradisi pemikiran lama yang mencakup tokoh-tokoh seperti
Thucydides, Machiavelli, dan Hobbes. Realisme awal dapat dilihat sebagai reaksi terhadap
pemikiran idealis pada masa antarperang. Oleh kaum realis, pecahnya Perang Dunia II dianggap
sebagai bukti kelemahan pemikiran idealis. Ada beberapa prinsip pemikiran realis modern. Prinsip-
prinsip utama dari teori ini ada tiga: statisme, kelangsungan hidup, dan urus sendiri. [10]
Statisme: Realis percaya bahwa negara-bangsa adalah aktor utama dalam politik internasional.
[11]
Karena itu, realisme merupakan teori negara-sentris dalam hubungan internasional. Realisme
berbeda dengan teori hubungan internasional liberal yang melibatkan peran aktor non-negara
dan lembaga internasional. Bila dibuat analoginya, kaum realis melihat negara-bangsa layaknya
bola biliar, sedangkan kaum liberal melihat hubungan antarnegara layaknya jaring laba-laba.
Kelangsungan hidup: Realis percaya bahwa sistem internasional diatur oleh anarki, artinya
tidak ada pemerintah pusat.[9] Karena itu, politik internasional merupakan ajang berebut
kekuasaan antara negara-negara yang memiliki kepentingan.[12]
Urus sendiri: Realis percaya bahwa kelangsungan hidup suatu negara tidak dapat
digantungkan pada negara lain.
Realisme memiliki beberapa asumsi utama. Realisme berasumsi bahwa negara-bangsa adalah
aktor geografis yang bersatu dalam sistem internasional anarkis tanpa lembaga apapun di atasnya
yang mengatur interaksi antarnegara karena tidak ada pemerintahan dunia. Realisme juga
berasumsi bahwa negara berdaulat adalah aktor utama dalam hubungan internasional, bukan
organisasi antarpemerintah (IGO), lembaga swadaya masyarakat (NGO), atau perusahaan
multinasional (MNC). Negara bertindak sebagai aktor otonom rasional yang mengutamakan
kepentingan nasionalnya untuk mempertahankan dan menjamin keamanannya sendiri, kedaulatan,
dan kelangsungan hidupnya. Realisme berpendapat bahwa untuk mencapai kepentingannya,
negara akan berusaha mengumpulkan sumber daya, dan hubungan antarnegara ditentukan oleh
tingkat relatif kekuasaannya. Tingkat kekuasaan tersebut menentukan kemampuan militer, ekonomi,
dan politik negara tersebut.
Sejumlah realis, biasa disebut realis sifat manusia atau realis klasik,[13] meyakini bahwa negara
sebenarnya agresif dan perluasan wilayah dibatasi oleh negara berkuasa yang menentangnya.
Kaum realis ofensif/defensif[13] yakin bahwa negara terobsesi dengan keamanan dan kelangsungan
hidup nasionalnya. Pandangan defensif dapat mengarah ke dilema keamanan, teori bahwa
peningkatan keamanan sebuah negara dapat memicu ketidakstabilan yang lebih besar karena
negara lain ikut mengembangkan militernya; keamanan pun berubah menjadi permainan menang-
kalah yang hanya memperbolehkan keunggulan relative
Tulisan Kant mengenai perdamaian abadi adalah kontribusi pertamanya terhadap teori perdamaian
demokratik.[17]
Pendahulu teori hubungan internasional liberal adalah "idealisme". Idealisme (atau utopianisme)
dipandang secara kritis oleh tokoh-tokoh yang menganggap dirinya "realis", misalnya E. H. Carr.[18]
Dalam hubungan internasional, idealisme (atau "Wilsonianisme" karena terkait dengan Woodrow
Wilson) adalah aliran ilmu yang menyatakan bahwa negara harus menjadikan filsafat politik dalam
negerinya sebagai kebijakan luar negerinya. Contohnya, seorang idealis percaya bahwa
pengentasan kemiskinan di dalam negeri harus dibarengi pengentasan kemiskinan di luar negeri.
Idealisme Wilson merupakan pendahulu teori hubungan internasional liberal yang kelak populer di
kalangan "pembangun institusi" setelah Perang Dunia II.
Liberalisme menyatakan bahwa pilihan negara, bukan kemampuan negara, adalah penentu perilaku
negara yang paling utama. Tidak seperti realisme, teori bahwa negara adallah pelaku tunggal,
liberalisme juga menyertakan kemajemukan perilaku negara. Karena itu, pilihan setiap negara
berbeda-beda tergantung faktor kebudayaan, sistem ekonomi, atau bentuk pemerintahan.
Liberalisme juga berpendapat bahwa interaksi antarnegara tidak terbatas pada politik/keamanan
(politik tinggi), tetapi juga ekonomi/budaya (politik rendah) lewat perusahaan, organisasi, atau
perorangan. Alih-alih sistem internasional yang anarkis, ada banyak kesempatan kerja sama dan
makna kekuasaan yang lebih luas, misalnya modal budaya (e.g., pengaruh film terhadap popularitas
kebudayaan suatu negara yang kemudian menciptakan pasar ekspor ke seluruh dunia). Prinsip
liberalisme lainnya adalah keunggulan absolut dapat dibentuk melalui kerja sama dan
interdependensi, dna perdamaian pun dapat diciptakan.
Teori perdamaian demokratik menyatakan bahwa negara-negara demokrasi liberal tidak pernah
(atau hampir tidak pernah) berperang dengan satu sama lain dan tidak banyak terlibat dalam konflik.
Teori ini dianggap kontradiktif, apalagi setelah teori realis dan klaim empiris ini menjadi salah satu
perdebatan besar dalam ilmu politik. Berbagai penjelasan telah diusulkan untuk teori perdamaian
demokratik. Dalam buku Never at War, teori ini menyatakan bahwa negara-negara demokrasi pada
umumnya melakukan diplomasi yang berbeda dengan negara-negara non-demokrasi. Kaum
(neo)realis tidak sepakat dengan kaum liberal tentang teori ini; mereka sering menggunakan alasan
struktural alih-alih pemerintah negara untuk menjelaskan perdamaian. Sebastian Rosato, kritikus
teori perdamaian demokratik, mengambil contoh perilaku Amerika Seriakt terhadap negara-negara
demokrasi kiri di Amerika Latin semasa Perang Dingin untuk menolak teori perdamaian demokratik.
[19]
Argumen lain dari teori ini adalah interdependensi ekonomi cenderung mengurangi kemungkinan
perang antarmitra dagang.[20] Sebaliknya, kaum realis mengklaim bahwa interdependensi ekonomi
meningkatkan kemungkinan konflik.
Konstruktivisme semakin dianggap penting dalam teori hubungan internasional setelah Tembok Berlin dan
Komunisme di Eropa Timur runtuh[24] karena kedua peristiwa ini gagal diprediksi oleh teori yang sudah ada.[25]
Konstruktivisme semakin dianggap penting dalam teori hubungan internasional setelah Tembok Berlin dan
Komunisme di Eropa Timur runtuh[24] karena kedua peristiwa ini gagal diprediksi oleh teori yang sudah ada.[25]
Tulisan Antonio Gramsci tentang hegemoni kapitalisme menjadi sumber teori hubungan internasional Marxis
Teori hubungan internasional Marxis dan Neo-Marxis merupakan paradigma strukturalis yang
menolak pandangan konflik negara atau kerja sama versi realis/liberal dan berfokus pada aspek
ekonomi dan materialnya. Pendekatan Marxis mengambil sikap materialisme sejarah dan berasumsi
bahwa masalah ekonomi merupakan masalah yang paling utama. Pendekatan Marxis menjadikan
kenaikan kelas sosial sebagai fokus studinya. Kaum Marxis memandang sistem internasional
sebagai sistem kapitalis terpadu yang berusaha mengejar akumulasi modal. Subdisiplin HI Marxis
adalah studi keamanan kritis. Pendekatan Gramscian bergantung pada pemikiran Antonio Gramsci
yang menyangkut hegemoni kapitalisme. Pendekatan Marxis juga menjadi inspirasi para teoriwan
kritis seperti Robert W. Cox yang berpendapat bahwa "Teori selalu untuk orang tertentu dan tujuan
tertentu".[34]
Salah satu pendekatan utama Marxis dalam teori hubungan internasional adalah teori sistem dunia
Immanuel Wallerstein yang dapat ditelusuri kembali hingga pemikiran Lenin dalam buku
Imperialism: The Highest Stage of Capitalism. Teori sistem dunia menyatakan bahwa kapitalisme
global menciptakan beberapa negara industri modern yang mengeksploitasi negara "Dunia Ketiga".
Ide ini dikembangkan oleh mazhab dependensi Amerika Latin. Pendekatan "Neo-Marxis" atau
"Marxis Baru" kembali bergantung pada karya-karya Karl Marx. Tokoh "Marxis Baru" utama meliputi
Justin Rosenberg dan Benno Teschke. Pendekatan Marxis mengalami kebangkitan sejak
komunisme runtuh di Eropa Timur.
Para kritikusnya menyoroti fokus Marxis yang sempit terhadap aspek ekonomi dan materi.