Anda di halaman 1dari 25

HUBUNGAN INTERNASIONALN DAN PERKEMBANGANNYA

Pengertian hubungan internasional, politik internasional, dan politik luar negeri


sesungguhnya memiliki ontologi sendiri-sendiri. Tulisan ini akan membahas secara
tersendiri ketiga konsep tersebut. Konsep-konsep tersebut adalah Hubungan
Internasional, Politik Luar Negeri, dan Politik Internasional. Dua konsep terakhir –
Politik Luar Negeri dan Politik Internasional – adalah sub disiplin Hubungan
Internasional.

Hubungan Internasional mencakup seluruh hubungan yang dilakukan baik oleh


negara maupun non-negara (individual), di mana hubungan tersebut melewati
batas yuridiksi wilayah masing-masing.

Aktor negara misalnya pemerintah Amerika Serikat, Iraq, Afganistan, atau


Israel. Aktor non-negara misalnya team bulutangkis Piala Thomas, petani buah
Mekar Sari yang sedang menjalin hubungan dagang dengan pengusaha di
Australia, masalah turis luar negeri yang berkunjung ke Bali, ataupun pernik
perizinan yang dialami oleh pelajar-pelajar Indonesia yang tengah belajar di
Mesir.

Singkatnya, jika kita belajar Hubungan Internasional, perhatian kita tidak hanya
terpaku pada aktivitas yang dilakukan negara, melainkan pula aktor
individu/organisasi non politik/negara, seperti telah disebut. Namun, hal yang
patut diingat adalah, Hubungan Internasional menghendaki hubungan-hubungan
yang dilakukan tersebut melewati batas yuridiksi wilayah masing aktor yang
berhubungan.

Berbeda dengan disiplin Hubungan Internasional yang memasukkan baik aktor


negara maupun non-negara ke dalam kajian, Politik Luar Negeri hanya mengkaji
aktor negara.
Dalam Politik Luar Negeri, negara dipandang sebagai tengah memperjuangkan
kepentingan di dalam hubungannya dengan negara (atau beberapa negara) lain.
Secara otomatis pula, jika suatu hubungan dilakukan suatu negara terhadap
negara lain, maka ia pasti melewati batas yuridiksi wilayah masing-masing. Dalam
aktivitas Politik Luar Negeri, suatu negara memiliki tujuan, cara mencapai tujuan,
cara mengelola sumber daya alam agar ia dapat bersaing dengan aktor-aktor
(negara) lain.

Dalam Politik Luar Negeri, suatu negara menetapkan serta menerapkan


serangkaian tindakan yang ditujukan terhadap negara lain. Misalnya, Amerika
Serikat di bawah administrasi Presiden George Walker Bush menetapkan politik
luar negeri berupa Global War on Terrorism (GWOT). Dalam politik luar negeri
tersebut, pemerintahan Amerika Serikat menetapkan kebijakan keamanan “ekstra
ketat” di dalam negeri, menseleksi ketat orang asing yang masuk ke negaranya,
membangun teknologi militer anti teror, menekan parlemen untuk memberi
anggaran lebih besar pada bidang keamanan, dan menjalin hubungan dengan
negara lain yang “sepaham” dengan politik luar negeri anti terorisme tersebut,
menekan negara-negara lain yang tidak sepaham untuk mau mendukung politik
luar negeri Amerika Serikat, bahkan mencap negara-negara seperti Iran, Korea
Utara, dan Kuba sebagai “poros jahat” (rogue state) akibat mereka dicurigai
menghambat politik luar negeri Amerika Serikat itu.

Namun, Politik Luar Negeri hanya menganalisa apa-apa yang ditetapkan suatu
negara terhadap lingkungan ‘luarnya.’ Ia tidak ingin masuk lebih dalam lagi guna
membahas apa saja reaksi lingkungan (atau negara) ‘luar’ terhadap suatu negara
yang memberlakukan Politik Luar Negeri. Reaksi tersebut meliputi interakisi antar
negara di luar Amerika Serikat, sebagai contoh, dalam menanggapi politik luar
negeri Global War on Terrorism. Apakah mereka satu sama lain saling
mendukung, netral, atau bahkan cenderung menjauhi Amerika Serikat.
Jika Politik Luar Negeri hanya membahas bagaimana sebuah negara
menanggapi serangkaian tindakan yang diambil berdasarkan analisis kondisi
internasional, maka politik internasional merupakan aksi-reaksi tindakan
antarnegara. Bidang yang secara khusus membahas prinsip ‘aksi-reaksi’ ini adalah
Politik Internasional

Berbeda dengan Politik Luar Negeri, Politik Internasional menitikberatkan pada


dinamika ‘tanggap-menanggapi’ antara dua atau lebih negara. Tentu saja, di
dalam Politik Internasional juga dibahas masalah Politik Luar Negeri, tetapi sejauh
Politik Luar Negeri tersebut berakibat pada kondisi aksi-reaksi antarnegara.

Misalnya peristiwa masuknya Timor Timur ke dalam negara kesatuan Republik


Indonesia. Kasus tersebut merupakan masalah politik internasional, oleh sebab
melibatkan 2 negara berdaulat : Indonesia dan Portugal. Indonesia memasukkan
Timor Timur ke dalam wilayahnya bukan tanpa sebab.

Pertama, kondisi politik internasional tahun 1976 ditengarai Perang Dingin antara
Blok Komunis (dipimpin Uni Sovyet) melawan Blok Kapitalis (dipimpin Amerika
Serikat). Kedua, Amerika Serikat memiliki sekutu di dekat wilayah Timor Timur
yaitu Australia. Ketiga, Indonesia ---yang tergabung dalam ASEAN--- juga tengah
menghadapi ancaman Komunis dari Utara (lewat jalur Cina ke Vietnam Utara).
Keempat, Portugal seperti “menterlarkan” wilayah Timor Timur yang berakibat di
wilayah tersebut menjadi basis pelatihan gerilyawan komunis yang hendak
merebut kekuasaan. Kelima, pemerintahan Indonesia berada di bawah Orde Baru
Suharto yang anti komunis tetapi cenderung pro Blok Kapitalis. Kasus pemasukan
Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia, sebab itu, sangat kental dimensi Politik
Internasional-nya.
 PERKEMBANGAN TEORI HUBUNGAN INTERNASIOANAL

1. REALISME
Perkembangan aliran pemikiran dalam hubungan internasional pun
memiliki akar filsafat politik. Realisme mendasarkan diri para filsafat politik
dari Tuchydides (Warner, 1954) dan Aristoteles. Thucydides dianggap
sebagai penulis realis hubungan internasional yang pertama. Ia hidup tahun
400 sM di Athena dan menulis buku The History of Peloponnesian War.

Setelah itu muncul konsep kedaulatan negara di akhir abad pertengahan


Eropa. Konsep partikularis negara dari Marsilius Padua, balance of power
(perimbangan kekuatan), dan teori negara dari Machiavelli melengkapi akar
filosofis aliran Realisme dalam hubungan internasional.

Jika dapat disebut Realis klasik, maka Machiavelli dapat disebut Realis
Modern. Melalui bukunya Il Principe dan Discourse, Machiavelli menulis
tentang kekuasaan, kekuatan, formasi aliansi dan kontra aliansi, serta
sebab-sebab terjadinya perang antarnegara. Tidak seperti Thucydides,
Machiavelli lebih memfokuskan diri pada masalah keamanan nasional.

Jika boleh ditambah, realis modern lain (di samping Machiavelli) adalah
Thomas Hobbes. Hobbes lewat bukunya Leviathan (1668) menulis tentang
kondisi anarki Eropa selama dia hidup. Bagaimana negara-negara di Eropa
saling berperang dan tidak menghormati perjanjian perdamaian adalah
fokusnya. Pemikiran Hobbes mengenai anarki dan kekuasaan ini
berpengaruh besar pada teoretisi kontemporer semisal Hans J. Morgenthau
lewat bukunya Politics Among Nations. (Cranmer, 2005: 2)

Pada perkembangannya, aliran Realisme ini mengalami perkembangan.


Perkembangan ini akibat munculnya Globalisme sistem politik internasional
dari pihak Idealisme. Beda Neorealis dengan Realis adalah, Realis
beranggapan sistem internasional selalu dalam kondisi anarki, sementara
Neorealis menggap anarki adalah akibat dari ketiadaan otoritas sentral.
Beda lainnya, jika Realis mengkaji aktor state yang berusaha memenuhi
kepentingan nasional, maka Neorealis mengkaji sistem internasional yang
berisi hubungan antarnegara.

Realis dan Neorealis juga berbeda dalam konsep “stabilitas.” Jika Realis
menganggap keteraturan otomatis muncul jika masing-masing negara
memaksimalisasi kepentingan nasional dengan memperhatikan
kekuatan/kelemahan negara lain, maka Neorealis memandang setiap
negara harus mempertahankan posisi kekuatan relatifnya di dalam sistem
yang ada. Sebab, aliran Neorealis memandang negara yang
memaksimalisasi kepentingan “ala Realis” akan “dibuang” dari sistem
politik internasional. Neorealisme mengajukan konsep-konsep seperti
Unipolar (satu negara sebagai pusat kekuasaan), Bipolar (dua negara
sebagai pusat kekuasaan), dan multipolar (banyak negara sebagai pusat
kekuasaan).
Kembangan Neorealis yang paling berpengaruh adalah Neorealis-
Strukturalis yang dimotori Kenneth N. Waltz. Neorealisme-Strukturalis
menganggap stuktur sistem politik internasional sebagai penentu. Dalam
sistem ini, kemampuan tiap negara untuk memenuhi kepentingan
nasionalnya dibatasi oleh kekuatan negara lain. Sistem internasional
terbentuk melalui perubahan dalam pola distribusi kemampuan antar
masing-masing unit (negara). Anarki internasional akan muncul ketika
kekuatan salah satu negara berubah (lebih kuat atau lebih lemah). (Ozcelik,
2005: 92)

Gambaran aliran Realisme atas hubungan internasional adalah, negara-


negara yang ada di dunia berinteraksi seperti bola bilyard. Masing-masing
terpisah dan saling bertabrakan sesuai dengan kepentingan nasionalnya
sendiri-sendiri. Sebab itu, kajian atas Politik Luar Negeri menjadi inti
hubungan internasional. Titik tekannya adalah pada aspek kepentingan
nasional, sebagai dasar dibuatnya kebijakan politik luar negeri setiap
negara. Realisme menjadi mapan setelah Liga Bangsa-bangsa tidak mampu
menanggulangi konflik antarnegara di Eropa tahun 1930-an yang berakibat
Perang Dunia II.

2. IDEALISME
Di sisi lain, aliran Idealisme memiliki akar filsafat dari Plato. Plato
membayangkan bahwa konsep-konsep seperti keadilan dan harmonisasi
yang bersifat positif merupakan ide mutlak yang dapat diterapkan di dunia.
Pemimpin yang bisa menerjemahkan hal tersebut adalah seorang filosof
yang sekaligus raja. Pemikiran Plato ini diteruskan oleh kaum Stoic, yaitu
raja-raja yang memanfaatkan filsafat Plato untuk memerintah. Ciri raja-raja
Stoic adalah upaya mereka untuk menahan nafsu berperang, dan anggapan
bahwa seluruh negara adalah sama, yaitu sekumpulan warga dunia
(kosmopolitanisme) dan saling bantu-membantu.

Lebih lanjut, kosmopolitanisme ini mengembangkan ide utopis (belum ada


di kenyataan) berupa satu negara dunia. Inilah yang mengilhami berdirinya
Liga Bangsa-bangsa pasca terjadinya Perang Dunia I. Penekanan Liga
Bangsa-bangsa adalah mencapai perdamaian internasional melalui
hubungan kooperatif antarnegara. Pemikiran yang melandasi berdirinya
Liga Bangsa-bangsa ini disebut Aliran Idealis, dan para pendukungnya
(seperti Presiden Amerika Serikat 1920-an, Woodrow Wilson) disebut kaum
Idealis. Pada kenyataannya, Liga Bangsa-bangsa tidak mampu mencegah
terjadinya Perang Dunia II yang berlangsung tahun 1939 hingga 1945.

Kegagalan kaum idealis utamanya adalah tidak konsistennya negara-negara


dominan dalam menciptakan perdamaian dunia lewat kerjasama
interansional, pengurangan senjata secara berdisiplin, serta ketegasan
sikap yang diiringi kekuatan militer pemaksa. Bagi Wilson, benih
absolutisme dan militerisme adalah penyebab Perang Dunia I. Benih-benih
tersebut hanya bisa dipangkas lewat penciptaan pemerintahan yang
demokratis dibentuknya asosiasi bangsa-bangsa (nantinya jadi LBB).
Asosiasi tersebut yang --menurut keyakinannya--- akan menjamin
kemerdekaan dan integritas nasional setiap negara, besar ataupun kecil.
Wilson ini juga ditengarai membawa konsep Tata Dunia Baru (New World
Order) yang menggemborkan demokrasi dan kerjasama internasional
sebagai cara memastikan keteraturan dalam politik internasional.

Di kemudian hari, konsep Wilson tersebut termanifestasi dalam wujud Liga


Bangsa-bangsa (LBB) yang berdiri 16 Januari 1920. LBB adalah representasi
dari Idealisme dalam politik internasional. Wilson bisa berperan besar
karena AS adalah salah satu dari 3 negara utama pemenang PD I (dua
lainnya Perancis dan Inggris). Lalu, mengapa LBB 'Wilson' ini gagal
mencegah terjadinya perang dunia II?

Pertama, LBB gagal memfasilitasi kerjasama internasional untuk secara


stabil merestorasi perekonomian Eropa daratan pasca PD I. Pasal 231
Perjanjian Versailles secara eksplisit menyebut Jerman (juga Austria-
Hongaria, kerajaan ini hilang dari peta) sebagai pihak yang pertama kali
memulai PD I dan sebab itu harus bayar kompensasi 33 milyar dollar AS.
Harga diri Jerman (Austria hilang dari peta) jatuh dan menciptakan
kemarahan di publik politik dan masyarakat sipil Jerman.

Dari 33 milyar, Jerman hanya sanggup membayar cicilannya sekali saja,


yaitu sebesar 2,5 milyar pada tahun 1921 dan setelah itu macet. Menyikapi
kemacetan ini, Perancis langsung menganekasi Ruhr, distrik industri dan
pertambangan utama milik Jerman. Jerman melakukan perlawanan pasif
(karena persenjataannya telah jauh berkurang, juga akibat Perjanjian
Versailles) yang dibiayai lewat percetakan uang Mark (mata uang Jerman)
secara besar-besaran. Karena dicetak besar-besaran buntutnya jelas:
Jerman mengalami inflasi yang justru memperburuk keuangan Jerman dan
semakin jauh mengurangi kemampuannya untuk membayar kompensasi
perang.

Untuk mengatasi ini, LBB membentuk komisi restorasi ekonomi Jerman


(The Dawes Plan) tahun 1924. Dawes Plan diketuai bankir AS, memberi
pinjaman 200 milyar dollar AS kepada Jerman guna menggerakkan
perekonomiannya. Selama 1924 - 1929 ekonomi Jerman pulih 'sementara'
(demikian pula Eropa daratan dan Inggris) sehingga pembicaranan 'anti
militerisme', demokrasi, dan perdamaian terus dilakukan karena spirit
idealisme Wilson adalah pengurangan persenjataan setiap negara hingga ke
batas minimal.

Hanya kurang lebih 5 tahun 'kapitalis' AS mempertahankan jiwa idealis-nya.


Perlu diingat, perbaikan ekonomi Eropa (terutama Jerman) yang 5 tahun itu
murni mengandalkan uang bantuan (investasi) dari para kapitalis AS. Tahun
1928, bursa saham di New York mengalami booming Booming ini dilingkupi
oleh situasi anomali pasca perang: Barang industri mahal karena banyak
pabrik hancur, sementra hasil pertanian yang mengandalkan tanah justru
overproduksi dan jatuh nilai jualnya.

Untuk menjaga harga jual, masing-masing negara menaikan tarif masuk


komoditas pertanian dari negara lain. Namun, di sisi lain para investor
'kapitalis' AS --karena menimbang profit taking akan lebih besar--- ramai-
ramai menarik uang yang sebelumnya mereka tanamkan di dari Jerman.
Karena serangan 'tiba-tiba' tahun 1929 bursa saham di NY tersebut malah
'anjlok.' Akibatnya bisa ditebak: Semakin banyak uang ditarik dari Jerman
oleh investor AS untuk menutupi kerugian mereka di bursa. Bayangkan apa
yang terjadi pada ekonomi Jerman yang baru pulih tersebut! Jangankan
Jerman, bahkan The Credit-Ansalt, bank prestisius di Wina, Austria pun
mengalami kolaps tahun 1931.

Depresi ekonomi (malaise) ini berpuncak di tahun 1932. Akibat krisis yang
dilakukan proses produksi adalah memangkas ongkos produksi yaitu
pengurangan tenaga kerja. AKibatnya 1 dari 4 pekerja di Inggris
menganggur dan: 40% atau 6 juta pekerja di Jerman kehilangan
pekerjaannya. Apa yang akan lahir dari situasi semacam ini, di mana harga
diri Jerman akibat Perjanjian Versailles turun hingga batas horizon,
pengangguran 6 juta orang, dan Alsace-Lorraine-PrussiaTImur-Ruhr hilang?
Hitler dan Lebensraum!

Kedua, LBB gagal menekan 'realisme' politik internasional. Perjanjian


Versailles membuat Jerman wajib mengurangi kekuatan militer meliputi
tentara hingga tinggal 100.000 orang, mengurangi kekuatan angkatan laut
hingga di bawah kekuatan AL Inggris dan Perancis, serta mengeliminasi
angkatan udaranya. Namun, LBB tidak mampu mem-push negara-negara
selain Jerman untuk melakukan hal serupa. Ini akibat setiap negara tetap
'realis': Mereka tidak bisa mempercayakan keamanan negara mereka pada
kehendak baik negara lain, yaitu jika mereka mengurangi senjata negara
lain pun akan melakukan hal serupa. Contoh, ketika Jerman tidak mampu
mencicil kompensasi perang sejak 1921, Perancis langsung menganeksasi
Ruhr, distrik Jerman yang merupakan pusat industri dan pertambangan.
Kendati Ruhn adalah legal miliknya, Jerman sulit melakukan beladiri aktif
karena persenjataannya jauh dari mencukupi. Akibatnya, Jerman
melakukan bela-diri pasif yang dibiayainya dengan cara mencetak
sebanyak-banyak uang Mark Jerman. Akibatnya jelas, Jerman jatuh ke
dalam inflasi dan semakin rendah kemampuannya membayar kompensasi
perang.

Juga bayangkan, sejumlah negara terpaksa keluar atau dikeluarkan dari LBB
karena melakukan invasi: Jepang (1933) karena menginvasi Manchuria-Cina
1932; Italia menginvasi Abbysinia (Ethiopia) 1935; Uni Sovyet (1939) karena
menginvasi Finlandia 1939; Kostarika (1925); Brasil (1926); Haiti (1942);
Jerman (1933); Luxemburg (1942). Selain itu, Konferensi Perlucutan Senjata
yang disponsori LBB tahun 1932 di Jenewa tidak mampu menghentikan
semangat Jerman, Jepang, dan Italia untuk meningkatkan kemampuan
persenjataan mereka.

Ketiga,, LBB tidak memiliki kekuatan realis penting dalam politik


internasional: Kekuatan Bersenjata. Ketika Jepang menginvasi Manchuria
atau Italia menginvasi Abbysinia, LBB tidak mampu menurunkan armed-
force yang mampu memaksa negara-negara agresor kembali ke garis
demarkasinya. Mengapa? Tiga kekuatan pemenang perang (Perancis,
Inggris, dan AS) satu pun tidak memiliki keinginan untuk terlibat ke dalam
perang baru walaupun sebenarnya legal karena mengatasnamakan LBB.
Akibatnya, agresivitas negara-negara agresor sulit dihentikan karena tidak
ada kekuatan 'realis' yang mampu melakukan tindakan pemaksa (kekuatan
militer). LBB jadi macan ompong.

Keempat,, LBB melakukan kebijakan berstandar ganda. Kendati Wilson


menggemborkan setiap bangsa berhak atas identitas dan wilayah
nasionalnya masing-masing, 'penjajahan' semu tetap berlangsung.
Bagaimana tidak, Timur Tengah misalnya, bukannya diserahkan kepada
masing-masing bangsa (setelah disita dari Ottoman Turki akibat dinasti ini
kalah dalam PD I): Syiria dan Lebanon jatuh menjadi mandat Perancis; Iraq,
Transyordania, Palestina, dan Kuwait jatuh ke mandat Inggris. Belum lagi
negara-negara Eropa yang masih melakukan tindak kolonialisme seperti
Belanda di Indonesia.
Pasca kegagalan Liga Bangsa-bangsa, aliran Idealis merapatkan diri ke
dalam varian barunya: Liberalisme-Institusionalis. Liberalisme-
Institusionalis memandang bahwa politik dalam negeri setiap negara adalah
penting. Di dalam politik dalam negeri tersebut, hal yang dipantau adalah
aspek demokrasi dan penentuan nasib bangsa secara mandiri. Liberalisme-
Institusionalis juga memandang

Perang Dunia II dianggap sebagai kegagalan pandangan Idealisme dalam


hubungan internasional. Terbukti, sifat hubungan antarnegara bukan
kerjasama konstruktif tetapi egoisme kepentingan nasional yang dicapai
dengan penggunaan kekuatan militer. Sebab itu, aliran Realisme
memperoleh pembenaran atas pandangan mereka dalam melukiskan
fenomena hubungan internasional. Varian dari aliran Idealisme adalah
Globalisme dan Neoliberalisme Institusionalis.

Globalisme muncul sebagai kritik atas pandangan Realisme yang secara


sempit memandang aktor politik internasional adalah negara saja.
Globalisme juga mengkritik Realisme yang “pesimis” pada dimensi pasifis
(suka damai) pada diri aktor politik.

Globalisme, yang tumbuh di tahun 1970-an memandang bahwa aktor


politik internasional tidak cuma negara, melainkan juga meliputi
pemerintahan internasional (misalnya PBB), lembaga swadaya masyarakat
(misalnya Red Cross, GreenPeace), koalisi internasional (misalnya
International Political Science Association), multi national corporation
(misalnya McDonald, KFC, Sharp), ataupun asosiasi masyarakat
transnasional (misalnya International Olympic Committee).

Tidak seperti Realisme, Globalisme memandang hubungan antar aktor


lintas negara tersebut bercorak positif. Pencapaian kepentingan para aktor
diperoleh melalui sumber daya sosial yang terus-menerus berkembang
sebanding dengan kemajuan teknologi, rasionalisasi cara produksi, dan
makin rumitnya pembagian kerja antar aktor. “Permainan” tersebut
dinamakan “kerjasama internasional”, di mana masing-masing aktor ingin
memperoleh hasil yang maksimal. Tujuan dari Globalisme adalah
perdamaian dunia, yang dicapai melalui kesalingtergantungan antaraktor di
tingkat internasional.

Kembangan lain dari Idealisme adalah Neoliberalisme-Institusionalis.


Neoliberalisme-Institusionalis muncul sebagai kritik atas Neorealisme
dalam memandang sistem politik internasional. Neoliberalisme-
Institusionalis merupakan perkembangan dari Liberalisme, ideologi yang
berkembang di Eropa awal abad ke-19. Liberalisme menekankan pada
pemenuhan kepentingan individu semaksimal mungkin.

Neoliberalisme Institusionalis mengkombinasikan antara liberalisme


dengan Realisme (Schiff, 6). Aliran ini sepakat dengan Realisme bahwa
negara adalah aktor internasional yang penting, tetapi ragu bahwa negara
secara sendirian mampu mencapai perolehan absolut ketimbang sekadar
relatif saja. Saat negara berupaya mencapai kepentingannya, maka ia akan
membentuk organisasi yang diperuntukkan bagi pencapaian
kepentingannya itu. Dengan demikian, posisi organisasi ---seperti organisasi
internasional, lembaga swadaya masyarakat, gerakan sosial transnasional,
dan multi national corporation--- menjadi sama penting dengan negara.
Memang semua gerakan dalam politik internasional dilakukan oleh negara,
tetapi itu sekadar langkah awal, sebab penyelesaiannya kemudian
diserahkan kepada organisasi-organisasi yang tadi telah disebutkan.

Organisasi, sebab itu, dapat mempengaruhi negara, dan sebaliknya. Negara


akan mendukung kerjasama jika itu mampu menghasilkan perolehan
kepentingan relatif ataupun absolut. Sebaliknya, jika negara menilai
organisasi tersebut tidak mendukung perolehan kepentingannya, mereka
akan menentangnya (Schiff, 7). Andrew Moravcsik bahkan menyatakan
bahwa “[neoliberalisme-institusionalis] sebagai teori liberal pilihan negara
yang memasukkan aktor-aktor dalam negeri secara luas ---dan sebab itu
bersifat transnasional dan internasional---- dihubungkan dengan
kepentingan domestik---- ke dalam perilaku negara (Cerny, 2008: 9). Sebab
itu, menurut Neoliberalisme Institusional bukan tidak mungkin bahwa
politik luar negeri suatu negara dipengaruhi aktor-aktor domestiknya.

Tokoh dari Neoliberalisme Institusional ini adalah Robert Keohane dan


Robert Axelrod. Contoh dari organisasi-organisasi yang terbentuk berlatar
Neoliberalisme-Institusionalis ini adalah International Monetary Fund,
World Trade Organization, World Bank, ataupun perusahaan-perusahaan
swasta transnasional.

Pada bagan juga dapat diperhatikan bahwa Realisme muncul sebagai lawan
dari Idealisme. Realisme kemudian memperoleh couter dari Globalisme
(varian Idealisme), dan Globalisme ini kembali dikritik oleh varian Realisme
yang lain, yaitu Neorealisme. Neorealisme ini kemudian dilawan kembali
oleh varian Idealisme yaitu Neoliberalisme Institusionalis, yang kembali
dilawan oleh varian Realisme Strukturalis.

Selain Realisme dan Idealisme, hubungan internasional juga dikaji oleh


beberapa aliran baru. Aliran-aliran ini terbentuk setelah menyaksikan
dialektika (pertentangan) antara Realisme versus Idealisme. Aliran-aliran
tersebut adalah Teori Imperialisme, Teori Dependensi, dan Teori Sistem
Dunia Kapitalis.

1) POLITIK INTERNASIONAL
Politik internasional mengkaji interaksi antaraktor state (negara) dalam
sistem politik internasional. Guna menelaah politik internasional, ada
baiknya kita beranjak ke level sistemik. Tujuannya, agar lebih mudah
memberikan penggambaran secara garis besar atas politik internasional
yang berlaku dewasa ini.

Aliran Neorealisme melihat pola struktur sistem politik internasional


berdasarkan pola interaksi antarnegara. Aliran ini juga menekankan pada
aspek “kekuatan” nasional, yang digunakan negara tersebut dalam
bertindak di dalam sistem politik internasional. Penggambaran pada tulisan
ini menggunakan tradisi berpikir yang ada di aliran Neorealisme ini.

Politik internasional dewasa ini ditandari berakhirnya Perang Dingin (Cold


War) tahun 1990-an yang ditandai runtuhnya Uni Sovyet. Keruntuhan
tersebut sekaligus menandai berakhirnya sistem politik bercorak Bipolar.
Bipolar adalah struktur sistem politik internasional yang ditandai kehadiran
2 negara yang memiliki kekuatan relatif besar ketimbang negara-negara
lainnya. Bipolar System sebelum 1990-an diwakili Amerika Serikat dan Uni
Sovyet. Kini, sistem tersebut telah tiada dan digantikan dengan Unipolarity
System.

William C. Wohlforth menulis bahwa secara meyakinkan, politik


internasional kini ditandai pola Unipolarity System (Wohlforth, 1999: 7).
Amerika Serikat kini menjadi negara superior dan menentukan oleh sebab
menguasai sumber daya seperti ekonomi, militer, teknologi, dan geopolitik
yang relatif jauh di atas negara-negara lainnya pasca Perang Dingin
(Wohlforth, 1999: 7). Status Unipolar ini tetap ada meskipun negara-negara
lain berkesempatan menduduki posisi sebaga “polar” (kutub) seperti
Jepang, Cina, Jerman, Russia, Perancis, dan Inggris.

Dalam sistem Unipolar, di mana kutub-kutub lain tidak ada ataupun belum
terbentuk, Amerika Serikat berposisi sebagai Hegemon. Hegemon berasal
dari bahasa Yunani, Hegemonia, yang berarti “kepemimpinan.” Dalam
hubungan internasional, hegemon adalah pemimpin atau negara pemimpin
(Griffiths, 63). Ide dasar yang berada di belakang stabilitas yang bersifat
hegemonik dalam sistem politik internasional adalah adanya sebuah negara
yang mampu membuat juga memaksakan peraturan (misalnya
perdagangan bebas, demokratisasi) di antara anggota-anggota penting dari
sistem politik internasional.

Kemampuan “membuat” dan “memaksa” tersebut hanya dapat dilakukan


negara yang punya serakaian kapabilitas. Kapabilitas tersebut meliputi
perkembangan ekonomi yang besar, dominasi di bidang ekonomi dan
teknologi, serta kekuasaan politik yang didukung oleh kekuatan militer yang
signifikan (Griffiths, 63). Namun, sebuah negara hegemon menggunakan
soft power (Griffiths, 63) dalam melancarkan pengaruh ketimbang
hardpower.

Soft power misalnya pengetahuan, diplomasi, teknologi, atau show of


force. Penggunaan soft power akan secara simpatik membuat negara-
negara lain, terutama yang berpotensi menjadi rival, menerima pengaruh si
hegemon tanpa perlawanan yang “kasar” atau terang-terangan. Di sisi lain,
penggunaan hard power berakibat pada tingginya social cost, yang
membuat berkurangnya simpati negara lain akan aksi si hegemon. Ditinjau
dari teori hegemoni ini, Amerika Serikat kelihatannya kurang secara penuh
dapat dinyatakan sebagai hegemon.

Kebangkitan Amerika Serikat duduk di posisi kunci Unipolarity System


beraneka ragam. Namun, sekurang-kurangnya G. John Ickerberry menyebut
ada 5 faktor, yaitu (Ickenberry, 2003):
(1) Negara-negara yang potensial menjadi kutub baru relatif telah
kehilangan landasannya. Misalnya, Russia mengalami kolaps segera
setelah Perang Dingin berakhir dan kini pun, mereka pun Cuma
memiliki setengan kekuatan ekonomi ukurang menengah jika
dibanding negara-negara Eropa lainnya. Cina masih merupakan
negara berkembang dengan sejumlah masalah politik dan ekonomi
dalam negeri. Jepang telah satu dekade mengalami kemunduran
ekonomi.
(2) Perang Dingin menghilangkan ganjalan bipolar kekuasaan Amerika
Serikat. Jika dahulu Amerika Serikat menghabiskan sumber daya
untuk 2 hal: Menjalin aliansi dengan negara lain yang menyita biaya
dan tenaga, dan; Uni Sovyet dulu mengetatkan pengawasan Amerika
Serikat akan bahaya perang. Kini, sumber daya yang dihabiskan untuk
menjalin aliansi jauh berkurang, sementara ancaman nyata Uni
Sovyet telah hilang.
(3) Tidak ada rival Amerika Serikat di bidang ideologi liberal. Komunisme
telah runtuh dan sulit untuk kembali kuat.
(4) Perang Afghanistan dan Iraq menunjukkan kekuatan militer Amerika
Serikat yang besar.
(5) Meski Perang Dingin berakhir, sistem klien dan hubungan keamanan
dengan Eropa dan Asia Timur tetap berlanjut.

Untuk sekadar memberikan gambaran mengenai perkembangan politik


internasional dari era ke era, di bagian berikut akan dicantumkan grafik spider
kekuatan militer, ekonomi, dan COW Index (index militer, ekonomi, medis,
teknologi, pendidikan, dan semacamnya) Tabel-tabel dan grafik berikut diambil
dari Wohlforth, 1999: 14-5 :

Pada masa Pax Brittanica, sistem politik internasional ditandai 6 negara dengan
kekuatan militer, ekonomi, dan index COW tertinggi yaitu Britain (Inggris), Prussia
(Jerman), France (Perancis), Russia, United States (Amerika Serikat), dan Austria.
Inggris memiliki kekuatan ekonomi tertinggi sementara kekuatan militer dipegang
oleh Russia.
ada era Bipolaritas Awal tahun 1950, terdapat 6 kekuatan signifikan yaitu United
States, France, Jepang, Uni Sovyet, Inggris, dan Jerman. Amerika Serikat dan Uni
Sovyet, memiliki kekuatan ekonomi, militer, dan index COW tertinggi. Jepang
masuk ke dalam kekuatan politik dunia.

Pada era Bipolaritas Akhir 1985, Uni Sovyet memiliki kekuatan militer yang lebih
tinggi ketimbang Amerika Serikat, tetapi kekuatan ekonominya jauh melemah.
Cina masuk ke dalam struktur kekuatan politik terbesar dunia.
Era Unipolaritas 1996-1997, sistem politik internasional ditandai 7 kekuatan dunia
yaitu Amerika Serikat, Perancis, Jepang, Rusia, Cina, Inggris, dan Jerman. Seluruh
kekuatan militer, ekonomi, dan indeks COW terkonsentrasi di Amerika Serikat.
Namun, index COW Cina melebihi Amerika Serikat ketimbang negara-negara
lainnya dan sebab itu Cina adalah kompetitor paling kuat bagi Amerika Serikat,
disusul kemudian oleh Rusia.

2) POLITIK LUAR NEGERI

Politik luar negeri adalah seperangkat maksud, tatacara, dan tujuan, yang
diformulasikan oleh orang-orang dalam posisi resmi atau otoritatif, yang
ditujukan terhadap sejumlah aktor ataupun kondisi di lingkungan luar wilayah
kekuasaan suatu negara, yang bertujuan mempengaruhi target tertentu dengan
cara yang diinginkan oleh para pembuat keputusan Gustavsson, 1998: 22). Agar
lebih jelas, berikut adalah skema pembuatan kebijakan luar negeri:
Terdapat 2 faktor yang harus dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan politik
luar negari : Faktor internasional dan faktor domestik. Kedua faktor ini digunakan
sebagai basis pertimbangan oleh para pembuat kebijakan politik luar negeri, yang
melakukan proses pembuatan keputusan. Keputusan yang dihasilkan dapat
berupa penyesuaian, program, masalah/tujuan, dan orientasi internasional.

A. FAKTOR INTERNASIONAL
1. Faktor Global, berkaitan dengan perubahan sistem politik
internasional yang punya dampak global dan juga negara
dalam konteks pembuatan kebijakan luar negeri.
2. Faktor Regional, berkaitan dengan lembaga-lembaga
regional (yang terdiri atas negara) yang punya dampak
tertentu atas formasi kebijakan luar negeri suatu negara. Ini
juga termasuk norma-norma yang disepakati di dalam suatu
regional khusus yang harus dipertimbangkan tatkala suatu
negara menentukan politik luar negerinya.
3. Hubungan Bilateral, berkaitan dengan hubungan bilateral
antar aktor negara juga lembaga-lembaga tingkat global
ataupun regional. Aktor-aktor tersebut dapat
mempengaruhi negara suatu negara dengan menggunakan
metode aliansi, perdagangan, juga ancaman ekonomi dan
militer.
4. Aktor-aktor Non Negara, aktor-aktor transnasional seperti
jaringan kriminal, jaringan teroris, perusahan multinasional,
dan organisasi hak asasi manusia, memainkan peran yang
mampu membentuk dan mempengaruhi kebijakan luar
negeri suatu negara.
B. FAKTOR DOMESTIK
1. Birokrasi, birokrasi kerap diidentikan dengan kelambatan
kerja dalam mengadaptasi perubahan politik luar negeri,
tetapi cenderung terdapat satu kelompok di dalam birokrasi
yang punya akses pada pejabat tinggi yang efektif
mengusahakan perubahan kebijakan.
2. Opini Publik, opini publik menjadi penting tatkala pejabat
pemerintah butuh dukungan pemilih dalam rangka
menerapkan suatu kebijakan serta agar terpilih kembali.
3. Media, media berperan penting dalam dalam mensetting
agenda, dan membentuk opini publik; media menyediakan
informasi dari pemerintah ke publik; media dapat menjadi
investigator, menyediakan informasi baru bagi pemerintah
juga publik, yang dapat mempengaruhi perubahan
kebijakan luar negeri.
4. Kelompok Kepentingan, kelompok kepentingan adalah
kelompok yang terorganisir, yang terlibat dalam sejumlah
aktivitas pengambilan keputusan pemerintah. Kelompok ini
termasuk yang dibentuk warganegara, diorganisir
berdasarkan isu-isu khusus, lobby-lobby bisnis, profesional,
dan firma-firma hukum publik.
5. artai Politik, partai politik yang memberikan dukungan pada
pemerintah, ataupun untuk meneruskan/mengubah politik
luar negeri.

Faktor-faktor domestik dan internasional ini diserap oleh para pembuat kebijakan.
Sebagai manusia, para pembuat kebijakan dipengaruhi karakteristik yang melekat
pada dirinya dalam memandang faktor-faktor domestik dan internasional
tersebut, Karakteristik-karakteristik yang melekat tersebut adalah: Keyakinan
(beliefs), motif, gaya pembuatan keputusan, gaya interpersonal, kepentingan
dalam hubungan luar negeri, dan pelatihan yang pernah didapat dalam hubungan
luar negeri (Eidenfalk, 1998: 7-8).
Keyakinan mengacu pada asumsi-asumsi dasar pemimpin politik yang berakibat
pada penafsirannya atas lingkungan, dan secara lebih jauh berdampak pada
strategi-strategi yang diambil kemudian. Motif mengacu pada alasan mengapa
seorang pengambil keputusan luar negeri melakukan hal tersebut, dan ini
meliputi motif akan afiliasi, motif kekuasaan, dan motif untuk disetujui. Gaya
pengambilan keputusan mengacu pada metode yang diambil seorang pembuat
kebijakan seperti sebagaimana terbuka mereka akan informasi atau tingkat resiko
yang harus diambil.

Gaya interpersonal mengacu pada bagaimana seorang pemimpin politik


melakukan kesepakatan dengan para pembuat kebijakan lainnya, yang meliputi
dua jenis yaitu paranoid (kecurigaan berlebihan) dan Machiavellian (perilaku yang
manipulatif). Pelatihan yang diperoleh dalam hubungan luar negeri mengacu pada
jumlah pengalaman yang diterima seorang pembuat kebijakan dalam konteks
pembuatan kebijakan luar negeri, yang berpengaruh pada si pembuat kebijakan
bertindadak serta strategi apa yang akan diambil. Kepentingan dalam hubungan
luar negeri mengacu pada kepentingan yang hendak diambil seorang pembuat
kebijakan luar negeri, di mana jika kepentingan tersebut kecil maka ia cenderung
mendelegasikannya pada orang lain, sementara jika besar, maka ia akan
melakukan pemantauan secara langsung.

Proses Pembuatan Keputusan. Proses pembuatan keputusan yang dilakukan oleh


para pemimpin politik memiliki sejumlah tahap. Tahap-tahap tersebut adalah:

1. keinginan awal untuk membuat kebijakan


2. rangsangan dari lingkungan/aktor luar negeri
3. menerima beragam informasi
4. melakukan penghubungan antara masalah dengan kebijakan
5. membangun serangkaian alternatif
6. membangun konsensus yang otoritatif atat pilihan
7. menerapkan kebijakan baru
 AKTOR-AKTOR NON NEGARA DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL
Perlu ditambahkan, bahwa di abad ke-21 dunia hubungan internasional
ditengarai dengan semakin signifikan peran yang dimainkan oleh aktor-
aktor non negara (non-state actors), baik dalam konteks hubungan
internasional, bilkhusus di era yang disebut "globalisasi" ini. Non state
actors atau aktor-aktor non negara oleh Thomas M. Magstadt didefinisikan
sebagai (Magstadt, 2011: 579-602):

”Entitas-entitas selain negara-bangsa, termasuk ke dalamnya multinational


corporation, organisasi non pemerintah, serta organisasi-organisasi
internasional non pemerintah, yang memainkan peran tertentu di dalam
politik internasional.”

Magstadt lalu mengidentifikasi sejumlah aktor negara yang signifikan


perannya dalam politik internasional, yang meliputi:
1. Multinational Corporation
2. International Organization (meliputi INGO dan IGO)
3. Uni Eropa
4. Perserikatan Bangsa-bangsa
5. Unconventional Nonstate Actors (meliputi organisasi teroris, dan firma-
firma militer swasta)

Multinational corporation merupakan perusahaan (swasta) yang beraktivitas di


lebih dari satu negara. Umumnya perusahaan ini lazim ditemui bergerak secara
global, di seluruh dunia. Magstadt mencontohkan perusahaan-perusahaan
berbasis di Amerika Serikat memenuhi kategori multinasional ini, seperti Exxon
Mobil, Wal-Mart, Chevron, ConocoPhillips, General Electric, General Motors, Ford
Motor, AT&T, Hewlett Packard, Valero Energy, Citigroup, Bank of America, AIG,
Sementara itu yang berbasis di Eropa dapat disebut seperti Royal Dutch Shell, BP,
dan Total. Ini belum termasuk perusahaan-perusahan multinational yang berbasis
di Jepang dan Korea Selatan seperti KIA, Mitsubishi, Toshiba, ataupun Samsung.
Salah satu sumber daya utama yang mendukung ekspansi pasar perusahaan-
perusahaan tersebut adalah pendaan dari bank-bank. Banyak di antara bank-bank
tersebut (juga termasuk multinational corporation, tentunya) berbasis di Jepang,
Amerika Serikat, dan Eropa Barat. Kehadiran aktor-aktor non negara seperti MNC-
MNC ini ditanggapi secara optimis dan pesimis. Pihak yang optimis menyatakan
bahwa kehadiran MNC dalam politik internasional akan mendorong efisiensi
ekonomi, kompetisi dalam skala global, dan mempromosikan teknologi. Pihak
yang pesimis menyatakan, kehadiran MNC mengakibatkan campur-tangan
berlebihan MNC tersebut (juga pemerintah negara asalnya) atas kebijakan-
kebijakan dalam negeri negara tempat mereka beroperasi, selain motif egoistik
mereka dalam mencari untuk yang tidak memperhitungkan dampak aktivitas
perusahaan di masa depan bagi wilayah atau lingkungan hidup tempat kegiatan
mereka.

Organisasi internasional terdiri atas dua jenis yaitu INGO (International


NonGovernmental Organizations) dan IGO (International Governmental
Organizations). INGO terdiri atas organisasi swasta individual maupun kelompok
yang aktivitasnya melangkahi yuridiksi negara-negara dalam mencapai tujuan-
tujuannya. Sementara itu IGO adalah kelompok yang terdiri atas sejumlah negara,
yang pendiriannya didasarkan atas suatu perjanjian (treaties), punya struktur
formal, dan saling bertemu dalam suatu pertemuan periodik. Contoh dari INGO
adalah Amnesty International, International Crisis Groups, World Vision,
Greenpeace, atau Special Olympic (di Indonesia namanya SOIna, aktivitasnya
kegiatan olahraga bagi yang mengalami tuna grahita). Contoh dari IGO sangat
banyak dan ini yang kemudian populer disebut sebagai "rezim internasional"
seperti IAEA, IPU, ASEAN, IMF, World Bank, ADB, juga termasuk ke dalamnya PBB.

INGO, kendati bersifat swasta (privat) memiliki daya "paksa" dalam memengaruhi
tindakan suatu negara. Greenpeace contohnya, para aktivisnya memiliki
keberanian yang luar biasa dalam menghalangi kapal-kapal negara adikuasa,
swasta ataupun pemerintah, yang hendak melakukan pembuangan limbah baik di
laut maupun darat. Amnesty International memerhatikan aspek kebebasan politik
individual dan menghalangi represi pemerintah suatu negara di saat mereka
menekan kalangan oposisi politiknya. Di sisi IGO, kita telah menyaksikan
bagaimana IAEA menjalankan peran "mediator" dalam dugaan pengembangan
senjata nuklir Iran yang dilancarkan oleh Amerika Serikat dan Israel. Kasus
tersebut masih terus bergulir hingga kini. Atau, IPU sebagai serikat parlemen
internasional yang mempromosikan kuota perwakilan politik perempuan bagi
negara-negara yang menjadi anggotanya.

Uni Eropa diyakini menjadi embrio bagi satu pasar tunggal dunia. Kini Uni Eropa
telah menancapkan langkahnya di Eropa daratan. Uni Eropa adalah pewaris dari
Masyarakat Ekonomi Eropa. Perbedaannya, kini Uni Eropa tidak lagi semata-mata
mengurus masalah ekonomi seperti MEE melainkan menjadi suatu organisasi
politik supra nasional yang mengatasi negara-negara Eropa dalam beberapa
kebijakan. Argumentasi mengapa Uni Eropa dikatakan sebagai organisasi politik
supra nasional karena kini ia membawahi sejumlah struktur yang menjalankan
fungsi lembaga pemerintahan seperti European Council and Council of Ministers,
Commissions, European Parliament, dan Court of Justice, yang keseluruhannya
mencerminkan trias politika: Eksekutif, Legislatif, Yudikatif. Tentu saja, setiap
negara anggotanya tetap berdaulat tetapi telah cukup banyak hal-hal yang diatur
oleh Uni Eropa di mana setiap negara anggotanya tidak boleh melanggar.
Misalnya, suatu negara tidak akan beroleh izin bergabung ke dalam Uni Eropa jika
tidak menunjukkan komitmen nyata atas aturan konstitusinya, pemilu yang
bebas, dan jaminan atas hak-hak asasi manusia. Inilah serangkaian faktor yang
mempersulit Turki masuk ke dalam Uni Eropa selain tentunya masalah kekuatan
ekonominya.

Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) merupakan satu bentuk IGO yang khusus. Ini
akibat sejarah panjang pendiriannya serta luasnya keterlibatan negara-negara di
dunia ke dalam organisasi ini. PBB mengemban "impian" stoisisme yaitu "satu
pemerintahan dunia" atau "novum ordo seclorum." Kendati tentunya, secara
kritis dapat diujarkan bahwa dalam gagasan satu pemerintahan dunia, dapat saja
yang terjadi adalah kekuasaan satu negara atau satu oligarki negara di dalam
organisasi ini atas "dunia." Negara dengan kekuatan ekonomi, militer, politik, dan
teknologi besar memiliki kans untuk menjadi pengendalinya.

Organisasi teroris dan pasukan militer swasta dimasukkan oleh Magstadt ke


dalam organisasi nonkonvensional dalam konteks aktor-aktor non negara.
Organisasi teroris ini sama dengan MNC, yaitu beroperasi lintas negara dengan
tujuan-tujuan spesifik masing-masing. Organisasi teroris ini beroperasi di banyak
negara seperti Indonesia, Peru Bolivia, Spanyol, Pakistan, ataupun Amerika Serikat
tanpa harus berasal dari negara-negara tersebut. Di Spanyol yang masih dilanda
pertikaian etnis Catalan dan Basque, serangan-serangan teroris banyak
dimaksudkan demi mempengaruhi hasil pemilu ataupun pemilihan gubernur. Di
Amerika Serikat, operasi-operasi Al Qaeda ditunjukkan demi memberi peringatan
kepada Amerika Serikat untuk bersikap adil dalam kebijakan-kebijakan politik luar
negerinya di Timur Tengah.

Firma-firma militer swasta merupakan perkembangan baru yang cukup


menyentak, kendati keberadaan "pasukan bayaran" di kisah-kisah politik masa
lalu sesungguhnya cukup biasa. Untuk organisasi ini misalnya dapat disebut
BlackWater Company (basis di Amerika Serikat), Military Professional Resources
Incorporated (MPRJ) yang berbasis di Virginia (AS) merupakan sedikit contohnya.
Firma-firma militer swasta ini bertindak sebagian besar bukan karena alasan
moral, ideologi, ataupun politik melainkan karena alasan profit layaknya MNC.
Blackwater misalnya, disewa oleh pemerintah transisi Amerika Serikat untuk
mengamankan pendudukan mereka di Irak. Rekrutmen anggota militer swasta ini
tidak semata-mata berasal dari dalam negeri Amerika Serikat sendiri melainkan
bisa direkrut dari Filipina, Peru, Ekuador, untuk kemudian didatangkan ke Amerika
Serikat untuk dilatih secara militer-profesional. Firma-firma militer swasta ini
terbuka untuk direkrut aktor-aktor negara demi tujuan politik spesifik pihak
penyewa.

Anda mungkin juga menyukai