Anda di halaman 1dari 8

UJIAN AKHIR SEMESTER HI MATKUL TEORI HUB.

INTERNASIONAL I

NAMA : NUR AFIAD SYAMIAJAYA

NIM : 2260128008

1. A. Asumsi Dasar Teori HI Idealisme, Pemikiran yang diajukan berlandaskan


pada hujjah (alasan) bahwa peperangan bukanlah sesuatu yang diinginkan oleh
setiap orang, dan merupakan dosa dan musibah yang terjadi akibat ketidak
sengajaan. Peperangan antar bangsa terjadi adalah akibat prasangka yang
muncul dalam menafsirkan keamanan yang mendorong orang mengembangkan
senjata sehingga pada akhirnya manusia terjebak dalam perang. Hedley Bull salah
seorang pemikir ketika itu berpendapat bahwa sistem hubungan internasional yang
telah menghasilkan PD I sebenarnya dapat diubah tatanannya secara fundamental
kepada keadaan yang lebih damai, dibawah pengaruh kebangkitan demokrasi,
pertumbuhan pemikiran global, pembentukan Liga Bangsa Bangsa, karya-karya
yang baik tentang perdamaian yang disebarkan melalui pengajaran atau
pendidikan. Pemikiran ini dikenal dengan paradigma idealisme sbb ;
a. Semua manusia (bangsa) menginginkan perdamaian. Watak dasar
manusia adalah ingin hidup dalam suasana damai, karena itu hubungan
antar bangsa pada perinsipnya dikembangkan untuk menciptakan
kedamaian.
b. Perang adalah dosa dan terjadi karena ketidak sengajaan. Negara-negara
memiliki kedaulatan sendiri-sendiri, dan untuk memelihara kedaulatan itu
diperlukan kekuatan-kekuatan terutama militer. Kemunculan militer ini telah
memancing suasana tegang dan salah sangka diantara negara-negara
tersebut satu sama lain, sehingga tidak terelakkan terjebak dalam perang.
c. Harus ada pemerintahan dunia yang dapat mengendalikan kekuatan-
kekuatan yang menyebar dalam sistem dunia.Pemerintah dunia ini harus
diberi kewenangan untuk mengendalikan kekuatan-kekuatan dari berbagai
negara sehingga dapat mencegah terjadinya salah sangka yang dapat
memicu perlombaan senjata dan perang. Gagasan ini menghasilkan
pembentukan Liga Bangsa-Bangsa (LBB)
Para penganut paradigma idealisme belum secara jelas merumuskan
metodologi penelitian ilmu hubungan internasional, oleh karena itu kajian dalam
ilmu hubungan internasional memusatkan perhatian terhadap bidang kajian dan
tingkat analisis tertentu.
Kegagalan paradigma idealis dalam menjelaskan kenyataan hubungan
internasional pada dekade 1930-an mendapat tanggapan dengan lahirnya
paradigma alternatif yang dikenal sebagai paradigma realisme. Paradigma
realisme ini muncul pada era pasca PD II (1940-an) dan secara umum adalah
paradigma yang paling dominan, paling tidak dominasinya berlangsung hingga
dekade 1980-an. Kemunculan paradigma realisme ini juga tidak terlepas dari
tampilnya Amerika Serikat sebagai kekuatan dominan pada era dan pasca PD II.
Bahkan ada kecenderungan pemerintah Amerika mendorong diperkuatnya kajian
hubungan internasional untuk memetakan tindakan negara adi daya ini kedepan.
Realisme adalah tradisi teoritik yang mendominasi studi hubungan
internasional selama masa Perang Dingin. Pendekatan teoritik ini menggambarkan
hubungan internasional sebagai suatu pergulatan memperebutkan kekuasaan
diantara negara-negara yang masing-masing mengejar kepentingan nasionalnya
sendiri dan umumnya pesimistik mengenai prospek upaya penghapusan konflik
dan perang. Realisme mendominasi masa Perang Dingin karena gagasan ini bisa
memberi penjelasan yang sederhana tetapi cukup meyakinkan mengenai perang,
aliansi, imperialisme, hambatan terhadap kerjasama, dan berbagai fenomena
internasional, dan karena penekanannya pada kompetisi waktu itu sesuai dengan
sifat pokok persaingan AS-Uni Soviet (US). Realisme memang bukan teori tunggal
dan pemikiran realis selama masa Perang Dingin telah mengalami perubahan.
Realis “klasik” seperti Hans Morgenthau dan Reihold Niebuhr yakin bahwa, seperti
halnya makhluk manusia, setiap negara memiliki keinginan naluriah untuk
mendominasi negara-negara lain, sehingga membuat mereka berperang.
Morgenthau juga menekankan peran penting dari sistem perimbangan kekuatan
multi-polar klasik dan memandang sistem bipolar yang memungkinkan persaingan
sengit antara AS dan US sebagai sistem yang sangat berbahaya. Realisme
dengan sbb ;
a. Negara adalah aktor utama.
- Negara mewakili unit analisis kunci dalam kajian HI. Kajian HI adalah
kajian tentang hubungan antar unit-unit ini. Penganut realis yang
menggunakan konsep sistem dalam pengertian interrelasi bagian-bagian
biasanya merujuk pada sistem internasional.
- Organisasi internasional (PBB, MNCs, teroris dll) dapat dianggap sebagai
berstatus aktor mandiri, tetapi menurut pandangan penganut realis semua
aktor tersebut bukan sebagai aktor dominan, karena statusnya sangat
dipengaruhi oleh negara.
b. Negara adalah aktor tunggal.
- Sebuah negara menghadapi dunia luar sebagai sebuah unit yang
terintegrasi. Asumsi yang umum digunakan penganut realis adalah
perbedaan politik didalam sebuah negara pada akhirnya terselesaikan
secara otoritatif sehingga dengan pemerintah menetapkan satu kebijakan
untuk negara secara keseluruhan.
- Negara sebagai aktor tunggal menurut penganut realis merupakan aktor
yang memiliki otoritas mutlak untuk mengambil kebijakan, dan status ini
tidak dimiliki oleh aktor lain (aktor non negara).
c. Negara adalah aktor rasional.
- Sebuah pengambilan kebijakan luar negeri yang rasional meliputi suatu
penetapan tujuan, pertimbangan terhadap seluruh kemunggkinan pilihan
dalam arti ketersediaan kapabilitas negara.
- Mengiringi proses rasional ini pengambil kebijakan dari kalangan
pemerintahan mengevaluasi setiap alternatif, menyeleksi satu diantara
yang paling maksimal kegunaannya (maksimalisasi keuntungan).
- Meskipun demikian para penganut realis menyadari agak sulit
memandang negara sebaga aktor rasional. Pengambil kebijakan dari
kalangan pemerintahan bisa jadi tidak memiliki seluruh informasi dan
pengetahuan yang diperlukan untuk memaksimalkan nilai kebijakan.
d. Keamanan nasional adalah Masalah utama.
- Militer dan isu-isu yang berkaitan dengan politik mendominasi politik
dunia.
- Penganut realis memfokuskan perhatian pada konflik-konflik aktual dan
potensial diantara aktor-aktor negara, menguji bagaimana stabilitas
internasional dapat diupayakan atau dipertahankan, bagaimana stabilitas
internasional itu hancur, dan pencegahan terhadap gangguan integritas
teritorial.
- Power adalah konsep utama. Realis menganggap keamanan militer atau
isu strategis adalah termasuk politik tinggi (high politics).
B. Perdebatan tahap pertama terjadi antara paradigma idealis dan Realis, yang
dimulai oleh kritikan pemikir realisme terhadap gagasan mashab idealisme telah
menghantarkan mashab realisme sebagai yang paling berpengaruh di zamannya.
Hal ini ditunjang oleh keadaan politik dunia yang menunjukkan kecenderungan
penerapan kekuatan politik (power politics) dan peran negara yang sangat dominan.
Keadaan ini membenarkan asumsi asumsi mashab realis bahwa hubungan antar
negara adalah bentuk nyata dari pertarungan kekuatan. Setiap negara berinteraksi
dengan negara lain dalam rangka memperbesar kekuatan politiknya dengan cara
meningkatkan kapabilitas nasionalnya dan memperkecil kekuatan politik negara lain.
Berdasarkan pandangan ini maka peperangan bukan sesuatu yang kebetulan
melainkan telah dipersiapkan dan direncana secara matang.
Idealisme dan realisme adalah dua pandangan utama dalam studi hubungan
internasional yang seringkali berdebat dan berlawanan satu sama lain. Ini terjadi
karena keduanya memiliki pemahaman yang berbeda tentang sifat hubungan
internasional, peran negara, dan cara mengatasi konflik. Berikut beberapa alasan
mengapa idealisme berdebat dengan realisme dalam hubungan internasional:
1. Pandangan tentang Sifat Manusia : Realisme cenderung melihat manusia
sebagai makhluk yang memiliki dorongan alami untuk mencari kekuasaan
dan melindungi kepentingan nasional mereka. Idealisme, di sisi lain,
cenderung lebih optimis tentang sifat manusia dan percaya bahwa kerjasama
internasional dan perdamaian dapat dicapai melalui dialog, kerjasama, dan
diplomasi.
2. Pendekatan Terhadap Konflik : Realisme mendekati konflik sebagai bagian
tak terhindarkan dari hubungan internasional dan seringkali menganggapnya
sebagai konsekuensi dari persaingan kekuatan. Idealisme berupaya untuk
mengurangi konflik melalui pemecahan masalah, negosiasi, dan solusi
diplomatik.
3. Peran Negara : Realisme menempatkan negara sebagai aktor utama
dalam hubungan internasional dan menekankan peran mereka dalam
mencapai kekuasaan dan keamanan nasional. Idealisme, sementara itu,
dapat menggabungkan pandangan yang lebih luas tentang peran aktor non-
negara, organisasi internasional, dan masyarakat sipil dalam membentuk
hubungan internasional.
4. Tujuan Utama : Realisme menganggap tujuan utama negara adalah
melindungi kepentingan nasional dan mempertahankan kekuasaan.
Idealisme, di sisi lain, seringkali menekankan nilai-nilai seperti perdamaian,
hak asasi manusia, dan pembangunan internasional sebagai tujuan utama
dalam hubungan internasional.
5. Pendekatan terhadap Diplomasi : Idealisme cenderung mendukung
diplomasi sebagai alat utama dalam menyelesaikan konflik internasional,
sementara realisme bisa lebih skeptis terhadap diplomasi dan melihatnya
sebagai instrumen untuk mencapai tujuan kepentingan nasional.
6. Tinjauan Terhadap Hukum Internasional : Idealisme mendukung peran
hukum internasional dalam mengatur perilaku negara dan menyelesaikan
konflik. Realisme cenderung melihat hukum internasional sebagai alat yang
dapat digunakan untuk mencapai tujuan nasional.
Karena perbedaan dalam pandangan dasar ini, idealisme dan realisme
seringkali saling berdebat dan bersaing dalam studi hubungan internasional. Debat
antara kedua pandangan ini memungkinkan adanya analisis yang lebih mendalam
tentang sifat kompleks hubungan internasional dan bagaimana negara-negara dan
aktor internasional lainnya merespon tantangan global.
2. A. Pendekatan behavioralisme dan tradisional adalah dua pendekatan utama
dalam studi hubungan internasional yang berbeda dalam cara mereka mendekati
dan menganalisis masalah internasional. Berikut adalah perbandingan antara
keduanya:
Pendekatan Tradisional:
a. Fokus pada Negara-Negara dan Diplomasi : Pendekatan tradisional
cenderung fokus pada peran negara-negara dalam hubungan internasional
dan diplomasi antar-negara. Ini menekankan pentingnya negara sebagai aktor
utama dalam dunia internasional.
b. Analisis Kualitatif : Pendekatan tradisional lebih cenderung menggunakan
metode analisis kualitatif, termasuk penelitian arsip dan penilaian kebijakan
untuk memahami dinamika hubungan internasional. Ini berarti mereka sering
menggunakan pendekatan deskriptif.
c. Teori Realisme dan Idealisme : Teori realisme dan idealisme sering menjadi
kerangka kerja teoretis yang digunakan dalam pendekatan tradisional. Ini
berarti konsep seperti kekuasaan, kepentingan nasional, dan persaingan
antarnegara menjadi fokus analisis.
d. Perhatian pada Diplomasi dan Perjanjian : Diplomasi dan perjanjian
internasional sering menjadi pusat perhatian dalam pendekatan tradisional.
Analisis melibatkan perundingan diplomatik, kesepakatan internasional, dan
implementasi perjanjian.
e. Pandangan yang Lebih Statis : Pendekatan tradisional cenderung melihat
hubungan internasional sebagai struktur yang lebih statis, dengan perubahan
yang terjadi lebih lambat dan berfokus pada stabilitas.
Pendekatan Behavioralisme:
a. Fokus pada Perilaku Aktor : Pendekatan behavioralisme lebih fokus pada
perilaku aktor dalam hubungan internasional, termasuk negara-negara dan
organisasi internasional. Ini berarti mereka berusaha untuk menganalisis
tindakan konkret yang diamati.
b. Analisis Kuantitatif : Pendekatan behavioralisme cenderung menggunakan
metode analisis kuantitatif, seperti pengumpulan data statistik dan analisis
empiris untuk mengidentifikasi pola perilaku.
c. Penelitian Ilmiah : Pendekatan ini mendekati studi hubungan internasional
sebagai ilmu sosial, dan mencoba untuk mengembangkan hukum-hukum
umum atau pola perilaku berdasarkan bukti empiris.
d. Tujuan Penjelasan dan Prediksi : Pendekatan behavioralisme bertujuan
untuk menjelaskan fenomena dalam hubungan internasional dan bahkan
memprediksi perilaku masa depan berdasarkan data historis.
e. Fleksibilitas dan Dinamika : Pendekatan behavioralisme dapat lebih fleksibel
dalam merespons perubahan dan peristiwa dalam hubungan internasional
karena fokusnya pada data dan analisis empiris.
Perbedaan utama antara kedua pendekatan ini terletak pada metode
penelitian yang digunakan dan fokus analisis. Pendekatan tradisional lebih
berorientasi pada konsep dan interpretasi kualitatif, sementara pendekatan
behavioralisme lebih berfokus pada pengumpulan dan analisis data kuantitatif.
Meskipun keduanya dapat memberikan wawasan yang berharga dalam studi
hubungan internasional, pendekatan ini memiliki kekuatan dan keterbatasan masing-
masing.
B. Perdebatan antara pendekatan behavioralisme dan pendekatan tradisional dalam
studi hubungan internasional telah menjadi topik yang kompleks dan kontroversial
dalam disiplin ini. Berikut adalah beberapa poin perdebatan utama antara kedua
pendekatan ini:
1. Metode Penelitian :
- Behavioralisme : Pendekatan behavioralisme menekankan penggunaan
metode ilmiah yang ketat, termasuk pengumpulan data empiris, analisis
kuantitatif, dan pemodelan matematis. Ini menghasilkan pendekatan yang lebih
empiris dan terukur dalam memahami perilaku aktor-aktor internasional.
- Tradisional : Pendekatan tradisional sering menggunakan metode penelitian
deskriptif dan kualitatif, termasuk studi kasus, analisis historis, dan penelitian
arsip. Ini cenderung lebih teoritis dan kualitatif dalam pendekatannya.
2. Pengertian tentang Disiplin :
- Behavioralisme : Pendekatan behavioralisme melihat hubungan internasional
sebagai disiplin ilmu sosial yang harus mematuhi standar ilmiah yang ketat. Ini
mencoba untuk menjadikan studi hubungan internasional lebih terukur dan
empiris.
- Tradisional : Pendekatan tradisional, terutama yang terkait dengan teori-teori
seperti realisme dan idealisme, cenderung menekankan pemahaman teoretis
yang lebih luas tentang hubungan internasional dan dampaknya pada politik
global.
3. Fokus Penelitian :
- Behavioralisme : Pendekatan ini sering fokus pada analisis perilaku aktor-
aktor internasional dan mencoba untuk mengukur pola-pola dalam tindakan
mereka. Ini dapat melibatkan pemahaman tentang pengambilan keputusan,
teori-teori permainan, atau model-model matematis.
- Tradisional : Pendekatan tradisional fokus pada pemahaman teoretis tentang
konsep-konsep seperti kekuasaan, kedaulatan, anarki internasional, dan
hubungan antara negara-negara. Ini sering mempertimbangkan aspek-aspek
normatif dalam analisisnya.
4. Pendekatan Terhadap Diplomasi dan Kebijakan Luar Negeri :
- Behavioralisme : Pendekatan ini dapat memberikan wawasan yang lebih
konkret tentang bagaimana negara-negara membuat kebijakan luar negeri
mereka berdasarkan analisis empiris. Ini dapat membantu dalam perencanaan
kebijakan yang lebih efektif.
- Tradisional : Pendekatan tradisional sering lebih teoritis dalam
pendekatannya terhadap diplomasi dan kebijakan luar negeri, dengan
penekanan pada teori-teori hubungan internasional yang lebih luas.
5. Isu Etika dan Moral :
- Behavioralisme : Pendekatan ini sering mencoba untuk memisahkan analisis
dari pertimbangan etika dan moral, lebih fokus pada pemahaman empiris. Ini
dapat menyebabkan kurangnya perhatian terhadap isu-isu kemanusiaan dan
hak asasi manusia dalam beberapa kasus.
- Tradisional : Pendekatan tradisional sering lebih terbuka terhadap
pertimbangan etika dan moral dalam analisisnya, dan seringkali
mempertimbangkan isu-isu global seperti perdamaian, keadilan, dan hak asasi
manusia.
Perdebatan antara kedua pendekatan ini telah memperkaya studi hubungan
internasional dengan berbagai sudut pandang. Banyak peneliti dan ahli hubungan
internasional saat ini menggabungkan elemen dari kedua pendekatan ini untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih holistik tentang kompleksitas hubungan
internasional.
3. A. Pendekatan positivisme dan post-positivisme dalam studi hubungan
internasional memiliki asumsi dasar yang berbeda terkait dengan cara mereka
memahami fenomena internasional dan mengembangkan pengetahuan tentangnya.
Berikut adalah beberapa asumsi dasar masing-masing pendekatan:
Positivisme :
a. Objektivitas : Asumsi dasar positivisme adalah bahwa pengetahuan tentang
hubungan internasional harus bersifat objektif, yang berarti berusaha untuk
menghindari penilaian nilai atau subjektivitas dalam analisis. Ini berarti bahwa
fakta-fakta dan data empiris yang dapat diukur menjadi fokus utama.
b. Metode Ilmiah : Pendekatan positivisme menganut pandangan bahwa
metode ilmiah, seperti observasi, pengumpulan data empiris, analisis statistik,
dan pemodelan matematis, adalah alat yang efektif untuk memahami dan
menjelaskan fenomena internasional. Metode ini harus sesuai dengan standar
ilmiah.
c. Kausalitas : Positivisme cenderung menekankan pencarian penyebab dan
akibat dalam analisis. Ini berarti mencoba untuk mengidentifikasi hubungan
sebab-akibat yang dapat diterima dan terukur.
d. Fakta dan Bukti Empiris : Asumsi dasar positivisme adalah bahwa
pengetahuan yang dapat dipercaya harus didasarkan pada fakta dan bukti
empiris yang dapat diamati dan diukur. Pendekatan ini mencari validitas dalam
data empiris.

Post-Positivisme :
a. Kritisisme terhadap Objektivitas : Asumsi dasar post-positivisme adalah
keraguan terhadap objektivitas mutlak dalam penelitian. Penelitian post-
positivist cenderung mengakui bahwa penilaian nilai dan sudut pandang
subjektif dapat memengaruhi pemahaman kita tentang hubungan internasional.
b. Konstruksi Sosial : Pendekatan post-positivisme menyoroti bahwa
pengetahuan tentang hubungan internasional adalah hasil dari konstruksi
sosial, yaitu produk dari interaksi sosial, bahasa, dan pemikiran manusia. Ini
mencerminkan keragaman perspektif dalam pemahaman tentang fenomena
internasional.
c. Pentingnya Teori dan Interpretasi : Post-positivisme memandang teori
sebagai alat penting dalam memahami dunia internasional. Ini menekankan
bahwa teori-teori dan kerangka interpretatif dapat mempengaruhi cara kita
melihat dan menganalisis fenomena internasional.
d. Konteks dan Kehalusan : Asumsi dasar post-positivisme adalah bahwa
konteks dan nuansa penting dalam pemahaman hubungan internasional. Ini
mencerminkan pendekatan yang lebih fleksibel terhadap pemahaman
kompleksitas dunia internasional.
e. Subjektivitas dalam Penilaian : Pendekatan post-positivist cenderung
mengakui bahwa subjektivitas dan penilaian nilai dapat memainkan peran
penting dalam analisis. Ini mengakui kerumitan dalam memahami fenomena
internasional.
Perbedaan dalam asumsi dasar antara positivisme dan post-positivisme
memengaruhi cara penelitian dalam hubungan internasional diarahkan, jenis data
yang dianggap relevan, dan perspektif teoritis yang diterapkan. Dalam banyak
kasus, peneliti dalam studi hubungan internasional memilih antara pendekatan ini
tergantung pada tujuan penelitian mereka dan pandangan epistemologis mereka
tentang sifat pengetahuan.
B. Perdebatan antara pendekatan positivisme dan post-positivisme dalam studi
hubungan internasional adalah diskusi yang berkelanjutan dan penting dalam disiplin
ini. Perdebatan ini mencakup berbagai isu, seperti metode penelitian, pandangan
epistemologi, dan pemahaman tentang sifat hubungan internasional.
Perdebatan antara positivisme dan post-positivisme mencerminkan
keragaman pendekatan dalam studi hubungan internasional. Banyak peneliti dan
akademisi mengakui bahwa kedua pendekatan ini memiliki nilai dan keterbatasan
masing-masing, dan kombinasi elemen dari keduanya dapat menghasilkan
pemahaman yang lebih mendalam tentang kompleksitas dunia internasional.
Terlepas dari perdebatan ini, tujuan utama studi hubungan internasional tetap sama,
yaitu untuk memahami dan menjelaskan fenomena internasional dengan cara yang
informatif dan berguna.
4. Perdebatan paradigma dalam kajian hubungan internasional berjalan seiring
dengan perkembangan hubungan internasional sebagai disiplin ilmu. Perdebatan
yang pada awalnya menyoal keberadaan dan peran ilmu hubungan internasional
baik secara keilmuan maupun kehidupan nyata kemudian memusat dan menajam
pada penemuan cara pandang yang menyeluruh dan meyakinkan tentang intisari
dari ilmu hubungan internasional itu. Perdebatan itu secara filosofis keilmuan telah
mengelompokkan para ahli ilmu hubungan internasional kedalam kelompok-
kelompok pemikiran yang satu sama lain saling bertentangan bahkan saling
menegasikan. Perdebatan ini telah menghasilkan paradigma kelasik dalam kajian
ilmu hubungan internasional.

Anda mungkin juga menyukai