Anda di halaman 1dari 6

PENDAHULUAN

Kelaziman kolonialisme dan sejarah penjajahan di dunia entah bersenjata (hard power) atau secara
nirmiliter (soft power) mengajarkan kepada kita, bahwa kaum pendatang atau bangsa asing memiliki
kecenderungan ingin mendesak dan berupaya melenyapkan penduduk asli, atau minimal membuat
rakyat kaum pribumi tidak punya daya juang-daya lawan terhadap penjajahan di negerinya.

Motivasi dan daya juang inilah yang selalu dihancurkan oleh kaum penjajah dengan berbagai cara baik
melalui tata lembut (soft power) hingga cara yang paling keras, kasar bahkan ilegal sekalipun.

terutama usai Cold War (Perang Dingin) berakhir yang ditandai runtuhnya Uni Soviet, telah berkembang
metode penjajahan gaya baru yang sulit diraba, sukar dikenali bahkan hampir-hampir tidak dirasakan
oleh berbagai bangsa yang akan menjadi obyek dan target dari kolonialisme bahkan terkadang mereka
justru tidak memahami siapa sesungguhnya yang menjajah bangsanya. Tata cara inilah yang kemudian
dikenal oleh publik global dengan istilah asymmetric warfare atau peperangan nirmiliter, atau perang
asimetris, irregular, smart power, dan berbagai istilah lain.

Ciri khas perang asimetris adalah penggunaan strategi dan taktik yang berbeda dari perang
konvensional. Pihak yang lebih lemah mungkin mengandalkan taktik-taktik seperti serangan gerilya,
terorisme, sabotase, atau perang cyber untuk mencoba merusak pihak yang lebih kuat. Mereka juga
dapat memanfaatkan pendekatan politik, sosial, atau ekonomi untuk mencapai tujuan mereka.

Perang asimetris sering kali melibatkan konflik antara negara dan kelompok bersenjata non-negara,
seperti kelompok pemberontak atau teroris. Selain itu, konflik semacam ini dapat melibatkan upaya
pihak yang lebih lemah untuk mengatasi keunggulan militer pihak yang lebih kuat dengan cara yang
tidak konvensional.

Perang asimetris sering menimbulkan tantangan yang kompleks, termasuk masalah keamanan nasional,
etika perang, dan dampaknya pada masyarakat sipil. Karena itu, konsep perang asimetris menjadi
penting dalam studi strategi militer dan hubungan internasional

ISI
Bahwa neokolonialisme merupakan penjabaran dari skema penjajahan gaya baru melalui inflitrasi dan
penetrasi korporasi multinasional dan modal asing ke negara - negara sasaran, maka tak ayal, negara-
negara kapitalis-imperialis tersebut harus menciptakan sebuah perang gaya baru juga. Karena
karakteristik dan sifatnya Neo-Kolonialisme tersebut sebagai suatu penjajahan yang bersifat tidak
langsung dan non-kekerasan tanpa harus melibatkan militer, maka munculnya suatu model perang gaya
baru pun merupakan keniscayaan guna mendukung “Skema Penjajahan Gaya Baru”. Istilahkan perang
gaya baru tersebut sebagai perang asimetris atau asymmetric warfare. Sebagaimana berakhirnya Perang
Dunia II yang ditandai bangkitnya negara-negara merdeka di negara-negara berkembang di mana titik
kulminasinya ketika berakhirnya Perang Dingin pada akhir 1980-an dan awal 1990-an. Negara-negara
kapitalis - imperialis mulai memunculkan sikap dan pemikiran baru untuk mengurangi penggunaan
kekuatan militer untuk memenuhi hasrat dan nafsu imperialisme dan ekspansionismenya dimana
mengharuskan mereka mengembangkan strategi, konsep dan doktrin baru pula.

Menurut Ryamizad “Kenyataan tersebut mengharuskan grand strategi negara yang memiliki nafsu
imperialisme dilakukan tanpa pengerahanan pasukan dan alutsista. Inilah yang disebut sebagai perang
masa kini atau ”perang modern” di mana perang ini kehancurannya lebih dahsyat dibandingkan dari
perang konvensional dengan pengerahan alutsita, karena negara sasaran akan dihancurkan secara
sistemik yang pada akhirnya negara sasaran tidak eksis sebagai negara bangsa, sebagaimana

yang sudah terjadi pada Uni Sovyet dan negara Balkan”

(ft Rymizard Ryacudu, PERANG MASA KINI: Ancaman, Tantangan Bagi NKRI dan Tuntutan Menyikapinya,)

Skenario perang seperti ini, bisa dilakukan tanpa mengeluarkan biaya besar. Skenario perang
dilancarkan dengan memaksa elite suatu bangsa agar silau dan terpengaruh terhadap faham luar, yang
pada akhirnya mengakibatkan suatu bangsa terpecah dan terkotak-kotak ke dalam tiga parameter,
yaitu;

Pertama: mayoritas masyarakat dibuat tidak tahu apa yang sesungguhnya sedang terjadi, hal ini terjadi
pada masyarakat awam.

Kedua: sebagian masyarakat tahu namun tidak sadar atau tidak menyadari bahwa bangsa ini berada
dalam jebakan, ini terjadi pada kaum intelektual.
Ketiga: sebagian masyarakat tahu dan sadar apa yang sesungguhnya terjadi, namun akibat kerakusan,
mereka justru bersedia berkhianat kepada negara bangsanya, dengan bekerja sebagai agen asing atau
sebagai komprador.

Perang modern atau perang masa kini adalah suatu bentuk perang yang dilakukan secara non militer
dari negara maju/ asing untuk menghancurkan suatu negara tertentu melalui bidang
IPOLEKSOSBUDHANKAM (Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial Budaya dan Pertahanan Keamanan). Dengan
kata lain perang ini adalah bentuk kontrol dari negara-negara koalisi global yang dimotori oleh salah satu
negara kuat terhadap negara lain yang tidak mengakomodasi kepentingan negara koalisi tersebut atau
yang membahayakan kepentingan negara koalisinya.

Dua poin penting dalam perang modern ini adalah Pertama, perang nirmiliter jenis ini dilancarkan oleh
negara-negara adikuasa terhadap negara berkembang yang relatif lebih lemah. Kedua, lingkup perang
nirmiliter jenis ini meluas tidak lagi sekadar di lingkup kemiliteran sebagai kekuatan utama. Dalam era
liberalisme global seperti sekarang ini, pemerintah tidak lagi merupakan aktor yang paling menentukan
dalam percaturan politik luar negeri negaranya maupun politik internasional. Bahkan tren global saat ini
menunjukkan bahwa kekuasaan pemerintah sudah beralih kepada kekuatan-kekuatan nonnegara
seperti korporasi multinasional yang mana sumberdaya nonmiliternya, baik sumberdaya manusia
maupun sumberdaya keuangannya, sangat melimpah dan tanpa batas

Menurut Suryanto Suryokusumo “Maka perang semesta masa kini yang semula terbatas, di mana militer
menjadi kekuatan utama dan penentu, telah berkembang menjadi perang-perang bentuk lain di mana
kekuatan non-militer atau siapa saja yang memiliki kemampuan bisa menjadi kekuatan utama dan
penentu, di medan pertempuran yang berbeda, dan perang telah menjadi instrumen dengan kekuatan
luar biasa di tangan pihak- pihak yang bertikai yang berkeinginan untuk mengendalikan dunia khususnya
wilayah nusantara.”

(ft Suryanto Suryokusumo dkk, ibid., hal 13.)

Perang nonmiliter dalam bentuknya yang baru ternyata menimbulkan kerusakan yang terkadang lebih
hebat dari perang konvensional.

Sebagai perang yang tidak lagi mengandalkan militer sebagai kekuatan utama dan penentu, diakui oleh
Suryanto Suryokusumo dkk bahwa perang jenis ini pada perkembangannya sulit untuk dilawan karena
dalam perang semacam itu pihak yang bertikai sulit untuk diikat oleh aturan-aturan yang telah
disepakati. Perang nonmiliter dalam bentuknya yang baru ternyata menimbulkan kerusakan yang
terkadang lebih hebat dari perang konvensional.

Tujuan perang modern, menurut Ryamizard, adalah untuk mengeliminir kemampuan negara sasaran
agar tidak menjadi suatu potensi ancaman; melemahkan kemampuan negara sasaran sehingga semakin
tergantung dan lebih mudah ditekan; penguasaan secara total negara sasaran.

Adapun tahapannya sebagai berikut:

Tahap I = Infiltrasi.

Melakukan infiltrasi melalui bidang-bidang intelijen, militer, pendidikan, ekonomi, ideologi, politik, sosial
budaya/kultur dan agama, bantuan-bantuan, kerjasama di semua bidang dan media/ Informasi.

Tahap II = Eksploitasi

Melakukan eksploitasi dengan melemahkan dan menguasai bidang- bidang intelijen, angkatan
bersenjata, ekonomi, politik, budaya dan ideologi dimana semua ini adalah titik berat kekuatan suatu
negara.

Tahap III = Politik Adu Domba

Menjalankan strategi adu domba. Hal ini untuk menimbulkan kekacauan/kekerasan, konflik horizontal
(SARA), dan berikutnya bertujuan agar muncul keinginan memisahkan diri dari NKRI atau separatisme
dimulai dengan eskalasi pemberontakan pada akhirnya terjadi pertikaian antar anak bangsa/perang
saudara.

Tahap IV = Cuci Otak

Pada tahap brain wash atau cuci otak, mereka mempengaruhi paradigma berpikir masyarakat, yakni
mengubah paradigma berpikir dalam bingkai kebangsaan (nasionalisme) menjadi cara pandang yang
universal dengan keutamaan isu global seperti demokratisasi, HAM dan lingkungan, dengan jalan
menyusupkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Tahap V = Invasi/Pencapaian Sasaran


Ketika wawasan kebangsaan suatu negara sasaran hancur dan jati diri bangsa hilang, maka praktis
negara sasaran sudah dengan kata lain dapat dikuasai atau negara sasaran dalam penguasaan

dan terjajah dalam berbagai aspek kehidupan. Berikutnya tinggal membentuk negara boneka yang
diwakili oleh komprador asing.

Perang asimetris merupakan metode peperangan gaya baru secara nirmiliter (nonmiliter) namun daya
hancurnya tidak kalah bahkan dampaknya lebih dahsyat daripada perang militer. Ia memiliki medan atau
lapangan tempur luas meliputi segala aspek kehidupan (astagatra).”

Sasaran perang nonmiliter tak hanya satu aspek tetapi juga beragam aspek, dapat dilakukan bersamaan,
atau secara simultan dengan intensitas berbeda. Kelaziman sasaran pada perang asimetris ini ada tiga :

(1) membelokkan sistem sebuah negara sesuai kepentingan kolonialisme;

(2) melemahkan ideologi serta mengubah pola pikir rakyatnya;

(3) menghancurkan ketahanan pangan dan energy security (jaminan pasokan energi), dan
selanjutnya menciptakan ketergantungan negara target atas kedua hal tersebut (food and energy
security)

Ada dua bentuk atau model dalam peperangan asimetris. Pertama, melalui aksi massa di jalanan dalam
rangka menekan target sasaran. Kedua, melalui meja para elit politik dan pengambil kebijakan negara
agar setiap kebijakan yang diterbitkan sejalan, selaras, dan senantiasa proasing guna meraih tiga hal tsb.

Sedangkan muara ketiga sasaran tadi senantiasa berujung pada kontrol terhadap ekonomi dan
penguasaan SDA sebuah negara, sebagaimana doktrin yang ditebar oleh Henry Kissinger di panggung
politik global: “Control oil and you control nations, control food and you control the people.” Kuasai
minyak maka anda mengendalikan negara, kendalikan pangan maka anda mengontrol rakyat (Henry
Kissinger).

Betapa efek perang ini sungguh dahsyat karena berdampak selain kelumpuhan menyeluruh bagi negara
bangsa, juga membutuhkan biaya tinggi dan perlu waktu yang relatif lama untuk proses recovery
(pemulihan kembali) kelak.

PENUTUP
Konflik, atau perang model apapun baik konflik vertikal maupun horizontal, dan sebagainya, bahkan
perang antarnegara, dan entah ia perang konvensional, atau hybrid war, proxy war, dan seterusnya,
bahkan perang asimetris itu sendiri sejatinya hanyalah TEMA.

Karena skema (tujuan) kolonialisme yang sesungguhnya dan bersifat lestari ialah kontrol ekonomi dan
pencaplokan SDA di wilayah koloni. Menurut Dirgo D Purbo, ahli geopolitik Indonesia, “Conflict is the
protection oil flow and blockade somebody else oil flow”.

Dengan demikian, melacak sumber dari sebuah tema (perang asimetris), harus ditelisik baik asal-usul
kolonialisme, ideologi dasar, maupun watak pergerakan. Tak dipungkiri, bahwa perilaku geopolitik para
adidaya di era imperialisme, tak lain karena dipicu oleh Revolusi Industri (1750-1850) sebagai motifnya.
Sebagai konsekuensi logis industrialisasi, maka menjadi faktor utama dari negara-negara barat
meluaskan “kepentingan nasional” (motivasi) yang mutlak harus dipenuhi agar sektor-sektor industrinya
terus berjalan.

Sementara imperialisme itu sendiri dapat diartikan sebagai kebijakan perluasan kekuasaan atau otoritas
suatu imperium terhadap bangsa- bangsa atau negara-negara lain dalam rangka meraih wilayah koloni
demi memenuhi kepentingan nasional. Bahwa imperialisme adalah benih serta varian awal daripada
mekanisme kolonialisme di dunia. Demikian juga dengan kapitalisme sebagai ideologi, maka dapat
dijelaskan, bahwa ekonomi neoliberalisme (neolib) adalah varian terbaru kapitalisme dimana watak
dasar kapitalisme adalah:

(1) mencari bahan baku semurah-murahnya; dan

(2) mengurai/menciptakan pasar seluas-luasnya.

Dari hal-hal tersebut maka secara tersirat bahwa model ekonomi neolib merupakan bibit atau benih-
benih daripada diterapkannya asymmetric warfare alias perang asimetris. Inilah model kedua dari
perang asimetris sebagaimana diulas di atas, selain ‘Gerakan Massa” sebagai model pertamanya.

Anda mungkin juga menyukai