Anda di halaman 1dari 11

SI VIS PACEM PARA BELLUM

MENAKAR ANCAMAN UNTUK MEMBANGUN PERTAHANAN NKRI


Oleh Heru Wahyu Jatmiko

Si Vis Pacem Para Bellum merupakan sebuah peribahasa latin yang berarti
bila kita menginginkan perdamaian, kita harus menyiapkan diri untuk menghadapi
peperangan. Barangkali bisa dikatakan bahwa perdamaian dunia saat ini yang
mewarnai situasi politik internasional merupakan dampak dari adanya perlombaan
senjata yang semakin canggih. Hans J. Morgenthau dalam bukunya yang berjudul
"Politik Antar Bangsa" dengan sangat jelas mengatakan bahwa politik internasional
pada hakekatnya merupakan usaha untuk saling berkuasa.1 Thomas Hobbes pada
abad ke-17 telah menunjukkan bahwa hasrat untuk berkuasa itu menjadi salah satu
sumber konflik dalam sejarah peradaban umat manusia. 2 Oleh karena itu, setiap
negara perlu melindungi dirinya agar eksistensinya tidak hilang ditelan oleh hasrat
berkuasa dari negara lain. Dalam konteks Indonesia, persoalannya adalah
bagaimana Indonesia dapat mempertahankan dirinya terhadap berbagai ancaman
yang dapat melenyapkan eksistensinya?
Dalam konteks global, dunia mencatat bahwa dua negara adi daya terus
menerus berusaha untuk menguasai negara lain dengan dalih untuk menyelamatkan
kepentingan nasionalnya.3 Konflik yang terjadi di Timur Tengah hingga saat ini tidak
bisa dilepaskan dari kekuatan militer dua negara adi daya tersebut yaitu Amerika
Serikat dan Rusia.4 Perang saudara di Suriah, misalnya, merupakan perang
perebutan pengaruh antara Rusia bersama dengan Iran, Irak serta Hizbullah yang
menjadi sekutu utama pemerintahan Assad di satu sisi dan Amerika Serikat
bersama dengan Turki, Qatar dan Arab Saudi yang menjadi pendukung dan
pemasok persenjataan untuk kelompok anti Assad di sisi yang lain.5 Di kawasan
regional, sengketa Laut Cina Selatan (LCS) tentang klaim wilayah laut Tiongkok
(RRT) telah mendorong Rusia dan Amerika Serikat beserta sekutunya masuk dalam

1
Hans J. Morgenthau, Politik Antar Bangsa, Terj. S. Maimoen et al (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2010), hal. 33.
2
Lih. Syaiful Anwar, Melindungi Negara (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2016), hal. 8-9.
3
Ibid, hal.12.
4
"Intervensi Asing: Sebuah Ancaman", https://pinterpolitik.com/intervensi-asing, diakses 24
November 2020, Pkl. 12.05 WIB.
5
"Sejarah Perang Suriah: Bagaimana Konflik Panjang dan Berdarah Bisa Terjadi?",
https://www.matamatapolitik.com/in-depth-awal-mula-konflik-suriah-bagaimana-konflik-panjang-dan-
berdarah-bisa-terjadi/, diakses 24 November 2020, Pkl. 12.15 WIB.
2

kancah konflik tersebut.6 Dalam tataran nasional, pengaruh kedua negara yang
muncul dalam bentuk isu kebangkitan komunis sebagai bentuk anti terhadap
Tiongkok dan Rusia serta gerakan radikal kanan yang mengklaim anti Amerika
Serikat dan sekutunya telah merapuhkan kesatuan dan persatuan bangsa
Indonesia.
Terhadap perkembangan lingkungan strategis tersebut, ada tiga skenario
ancaman militer terhadap Indonesia. Pertama, dampak peperangan yang terjadi di
Laut Cina Selatan. Karena posisi strategis Indonesia, kemungkinan besar wilayah
NKRI akan menjadi jalur logistik dari sekutu negara-negara yang terlibat dalam
konflik tersebut sehingga peperangan itu dapat merambat ke wilayah kedaulatan
NKRI. Kedua, invasi militer ke wilayah Papua atas alasan kemanusiaan sebagai
hasil propaganda separatis politik Papua di dunia internasional. Ketiga, sengketa
perbatasan dengan Malaysia di Selat Makasar terhadap penguasaan Blok Ambalat.
Sengketa tersebut telah terjadi sejak tahun 1979 ketika Malaysia memasukkan
Sipadan dan Ligitan sebagai wilayah kedaulatannya. 7 Ketiga skenario ancaman
tersebut tidak dapat dilepaskan dari hasrat berkuasa dari kedua negara adi daya
beserta sekutunya dalam percaturan politik internasional.
Ketiga skenario ancaman tersebut memiliki prioritas tujuan politik dan tujuan
militer tersendiri. Untuk melihat prioritas kedua tujuan tersebut, harus dilihat terlebih
dahulu hakekat perang. Clausewitz mengemukakan bahwa perang merupakan
tindakan kekerasan untuk memaksa lawan memenuhi keinginan kita.8 Perang
merupakan kepanjangan tangan dari politik sehingga perang selalu memiliki dua
tujuan yang paralel yaitu tujuan politik dan tujuan militer. 9 Dalam skenario pertama,
perang di LCS dapat menyeret Indonesia terlibat dalam peperangan tersebut karena
posisi strategis Indonesia sangat penting untuk menjadi jalur pendekat atau logistik
militer musuh serta daerah belakang militer mereka guna mendukung operasi di
LCS.10 Perang di LCS akan menjadi perang antara dua sekutu besar yang memiliki
jarak relatif jauh dari daerah sasaran sehingga menguasai wilayah kedaulatan

6
"AS Bantu Perkuat Pertahanan Filipina dengan Rudal dan Bom", Kompas, 23 November 2020,
https://www.kompas.id/baca/internasional/2020/11/23/as-bantu-perkuat-pertahanan-filipina-dengan-
rudal-dan-bom/, diakses 23 November 2020, Pkl. 12.37 WIB.
7
"Sejarah Panjang Kemelut Indonesia-Malaysia di Ambalat", CNN Indonesia, 17 Juni 2015,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150617140454-20-60584/sejarah-panjang-kemelut-
indonesia-malaysia-di-ambalat, diakses 24 November 2020, Pkl.15.30 WIB.
8
Carl von Clausewitz, On War, Terj. Michael Howard et al (New York: Oxford, 2007), hal.13
9
Ibid, hal. 20-21
10
Sun Tzu, The Art of War, I,10, I, 49, II, 9. VI, 11.VII,6
3

Indonesia akan menjadi prioritas tujuan politik mereka. Demikian juga dengan
penguasaan blok Ambalat dan Papua tidak bisa dilepaskan dalam kerangka
perluasan kekuasaan demi kepentingan nasional mereka. Blok Ambalat yang
terletak di Selat Makasar menjadi jalur penting dalam rangka mendukung logistik
dan pergerakan sarana militer mereka. Demikian juga dengan Papua, wilayah
tersebut menjadi sangat penting karena dapat menjadi batu loncatan dalam
mendukung operasi militer mereka. Oleh karena itu, dengan menguasai wilayah
kedaulatan Indonesia, tercapailah tujuan militer mereka untuk mengamankan jalur
pendekat atau jalur logistik serta menjadikan wilayah Indonesia sebagai daerah
belakang untuk mendukung operasi militer mereka.
Mengidentifikasi tujuan politik dan tujuan militer menjadi sangat penting.
Menurut Clausewitz, para pengambil keputusan politik dan panglima perang di
lapangan harus mengetahui tujuan dari perang tersebut agar sifat perang dapat
dilaksanakan disesuaikan dengan tujuan tersebut.11 Kegagalan Amerika Serikat
dalam perang Vietnam diduga sebagai akibat dari kesalahan mengidentifikasi tujuan
politik dan tujuan militer pihak Vietnam Utara. Amerika menganggap tujuan militer
Vietnam Utara adalah aksi perang gerilya dengan tujuan politik untuk menyebarkan
paham komunis ke Vietnam Selatan. Ketika diketahui bahwa tujuan militer pihak
Vietnam adalah perang kemerdekaan atau perang pembebasan dengan tujuan
politik untuk mempersatukan Vietnam Utara dan Vietnam Selatan menjadi satu
kesatuan negara, Amerika Serikat sudah terlambat untuk menyiapkan sarana yang
dibutuhkan untuk menghadapi bentuk perang yang sangat berbeda dengan yang
diperkirakan. Akibatnya, kekalahan demi kekalahan saja yang ditemui oleh pasukan
Amerika Serikat.12 Perang yang efektif dan efisien juga menjadi penekanan dari
Nasution. Ketika Nasution berbicara mengenai gerilya sebagai bagian dari perang
rakyat semesta, ia mengatakan bahwa perang gerilya "tidaklah berarti bahwa
seluruh rakyat bertempur" tetapi hanya 2% saja yang bertempur dan 98% yang
membantu.13 Menurut Nasution, biaya dan resikonya akan besar bila seluruh rakyat

11
Clausewitz, On War, I, 26, hal. 29-30
12
Willy F. Sumakul, Falsafah dan Teori Perang: Warisan Carl von Clausewitz yang Masih Relevan
Sampai Saat Ini, https://www.fkpmar.org/falsafah-dan-teori-perang-warisan-carl-von-clausewitz-yang-
masih-relevan-sampai-saat-ini/, diakses 25 November 2020, Pkl. 10.35 WIB
13
Jenderal A.H. Nasution, Pokok-pokok Gerilya dan Pertahanan Republik Indonesia di Masa yang
Lalu dan yang Akan Datang, Cet. IV (Bandung: Penerbit Angkasa, 1980), hal.20-22
4

ikut bertempur. Dengan demikian, dalam strategi penangkalan, end, means dan
ways harus tetap mempertimbangkan faktor cost and risk.14
Terhadap ancaman sebagai dampak dari perang yang terjadi di LCS, tujuan
(end) dari strategi penangkalan merupakan kebalikan dari prioritas tujuan politik
yang ingin diraih dari lawan yaitu mempertahankan kedaulatan wilayah NKRI
sebagai wilayah yang netral sejalan dengan politik luar negeri yang bebas dan aktif.
Untuk mencapai tujuan politik ini, ada tiga sarana (means) yang perlu dikerahkan
sesuai dengan konsep paradoxal trinity dari Clausewitz yaitu pemerintah, rakyat dan
TNI. Dalam konsep Sishankamrata seperti yang dikatakan Nasution sebagai perang
semesta, ketiga variabel tersebut harus menjadi satu kesatuan. 15 Nasution
mengemukakan bahwa kesatuan ketiga unsur tersebut harus berada di bawah satu
tangan pemimpin nasional yang kuat sehingga dapat mengatur semuanya menjadi
satu kesatuan meskipun peran atau cara bertindak (ways) dari masing-masing
variabel means tersebut berbeda-beda.16 Pemerintah berperan untuk melakukan
diplomasi dengan negara-negara yang terlibat konflik seperti Brunei Darussalam,
Malaysia, Filipina, Vietnam beserta sekutunya dalam hal ini negara-negara NATO
agar mereka mengurungkan niatnya untuk melakukan peperangan, dan sebaliknya
diplomasi Indonesia harus dapat mendorong terjadinya perundingan sebagai solusi
damai atas konflik tersebut. Ada banyak cara yang dilakukan dalam diplomasi
tersebut, mulai dari membangun kerja sama bilateral dan multilateral sampai dengan
keterlibatan Indonesia dalam berbagai event atau kegiatan yang mempererat
persahabatan dengan mereka. Kesemua langkah yang dilakukan oleh pemerintah
tersebut merupakan penaklukan musuh tanpa harus memerangi mereka.17
Ada pun rakyat sebagai bagian dari Sishankamrata harus menjadi pendukung
dari segala kebijakan politik pemerintah dalam rangka mengurungkan niat berperang
dari negara-negara yang terlibat dalam konflik LCS. Untuk menjadi pendukung dari
kebijakan pemerintah, rakyat harus memiliki ideologi yang kuat. Politik diplomasi
yang dilakukan pemerintah tidak boleh dipandang oleh rakyat sebagai langkah keliru
dalam rangka memasukkan ideologi lain ke dalam NKRI. Ada banyak hal yang tidak
mungkin disampaikan kepada rakyatnya dalam langkah-langkah diplomasi
pemerintah karena "setiap peperangan (dalam hal ini politik diplomasi pemerintah)

14
Lih. Clausewitz, On War, Bab II, hal.33-34
15
Lih. Jenderal A.H. Nasution, Op.Cit, hal.14-20
16
Ibid.
17
Sun Tzu, The Art of War, I,6, III,2.
5

didasarkan pada tipu daya".18 Oleh karena itu, pemerintah harus terus menerus
membangun "hukum moral" menurut Sun Tzu atau ideologi rakyat menurut Nasution
agar terjadi kesatuan antara rakyat dengan pemerintah.19 Dalam hal ini penegakkan
hukum terhadap rakyat yang mengikuti ideologi yang berseberangan dengan
pemerintah perlu dilakukan guna menghindari perbedaan persepsi dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Komentar-komentar negatif seputaran kebijakan
diplomasi pemerintah dalam rangka meredam niat berperang dari negara-negara
yang terlibat dalam konflik LCS harus ditindak secara hukum. Oleh karena itu,
diperlukan undang-undang yang mengatur kebebasan berbicara dan
mengemukakan pendapat. Hukum itu akan menjadi "hukum moral" (moral law) yang
akan mempersatukan pemerintah dengan rakyat.
Ada pun TNI harus melakukan tindakan militer dalam rangka melindungi
kedaulatan NKRI ketika kebijakan diplomasi mengalami kegagalan. TNI harus
berhadapan dengan negara-negara yang akan memaksa Indonesia dengan
kekuatan militer untuk menyerahkan wilayah kedaulatannya dalam rangka
mengamankan jalur dukungan logistik serta sarana prasarana militer yang
dibutuhkan dari negara-negara sekutu mereka. Ada dua aspek penting yang harus
dilakukan TNI yaitu modernisasi alutsista dan pembangunan mental prajurit TNI.
Dua aspek itu didasarkan pada pemikiran Clausewitz yang mengatakan: "Jika kita
ingin mengalahkan musuh, kita harus membagi upaya kita dengan kekuatan
perlawanannya. Hal ini diungkapkan oleh hasil perkalian dua faktor yang tidak dapat
dipisahkan, yaitu jumlah sarana yang tersedia dan kekuatan kehendak." 20
Modernisasi alutsista menjadi hal yang sangat penting karena perang LCS akan
menjadi peperangan yang mempertontonkan penggunaan alutsista termodern dan
tercanggih sehingga usaha militer untuk memaksakan kehendaknya kepada
Indonesia juga akan menggunakan alutsista yang tercanggih dan termodern.
Modernisasi alutsista yang penting adalah alutsista yang berkaitan dengan tehnologi
penginderaan jarak jauh, kapal dan pesawat tempur serta senjata lintas lengkung
dengan jangkauan yang jauh dan dengan tingkat presisi yang tinggi. Disamping itu,
gelar alutsista itu harus ditata sedemikian rupa sehingga setiap jengkal wilayah
kedaulatan Indonesia tergelar kekuatan TNI yang siap menghadapi ancaman
musuh. Aspek kedua yang juga penting menurut Clausewitz adalah aspek kekuatan
18
Ibid, I.18, hal. 38
19
Ibid, I.5 hal. 35. Nasution, Loc.Cit
20
Clausewitz, Op.Cit, I.5. hal.16.
6

kehendak dari para prajurit sendiri. Moril mereka harus dibina agar semangat
peperangan terus menyala di dalam dada prajurit. Pembangunan militansi ini juga
ditekankan oleh Nasution karena prajurit harus menjadi "pelopor ideologi" bagi
rakyatnya.21
Berhadapan dengan ancaman ini, biaya yang harus dikeluarkan paling besar
adalah biaya modernisasi alutsista. Hasil penelitian yang dilakukan oleh CSIS pada
tahun 2020 menunjukkan bahwa sejak tahun 1968 hingga 2020, 80% anggaran
pertahanan terserap untuk belanja rutin (belanja pegawai dan belanja barang)
sedangkan untuk belanja modal dalam rangka pengadaan alutsista hanya 20%. 22
Modernisasi alutsista secara mandiri (produksi dalam negeri) masih jauh dari
harapan. Disamping akan memakan biaya yang lebih mahal, juga inovasi teknologi
masih jauh dari harapan karena rendahnya jumlah riset yang dilakukan sehingga
dari aspek kecanggihan, alutsista produk dalam negeri masih kalah jauh dari
negara-negara lain. Oleh karena itu, bila usaha memodernisasikan alutsista
dikedepankan, maka akan ada banyak biaya pembangunan nasional yang
terkurangi. Sementara itu, ancaman perang menjadi semakin nyata dengan eskalasi
yang semakin meningkat pasca penolakan RRT atas keputusan Mahkamah
Internasional terkait konflik ZEE dengan Filipina. Resiko selanjutnya, yang juga patut
diperhitungkan adalah kebebasan berbicara dan berpendapat di era demokratisasi
Indonesia saat ini yang mengakibatkan terjadinya pembangunan opini yang berbeda
dengan kebijakan politik pertahanan negara. Hukum yang mengatur mengenai
kebebasan berbicara dan berpendapat tidak akan mudah dibuat karena daya
resistensi yang tinggi dari masyarakat. Seandainya dipaksakan hukum itu disusun
demi terwujudnya kesatuan trinitas (pemerintah, rakyat dan TNI), rakyat akan cepat
menilai pemerintah sebagai anti demokrasi sehingga akan menggangu stabilitas
politik nasional. Sementara itu, pemilihan umum yang dijalankan secara demokratis
relatif belum berhasil sepenuhnya melahirkan kepemimpinan nasional yang kuat
seperti yang diharapkan oleh Nasution untuk mempersatukan pemerintah, rakyat
dan TNI. Sistem pemilu yang terus dibenahi melalui revisi Undang-Undang hanya
berakhir pada kemenangan kepentingan pihak tertentu tetapi belum mampu
menghasilkan kepemimpinan nasional yang dapat mempersatukan tiga variabel

21
Nasution, Op.Cit, hal.15
22
Evan A. Laksmana et al, 75 Tahun TNI Evolusi Ekonomi Pertahanan, Operasi, dan Organisasi
Militer Indonesia 1945-2020 (Jakarta: CSIS, 2020), hal.108-109
7

trinitas. Kendala-kendala ini bila tidak diatasi akan menjadi mimpi buruk bagi bangsa
Indonesia bila perang LCS benar-benar terjadi.
Terhadap skenario ancaman kedua yaitu invasi militer ke Papua sebagai
dampak dari politisasi penderitaan masyarakat Papua, strategi penangkalan
terhadap ancaman itu hampir sama dengan strategi penangkalan skenario ancaman
yang pertama. Tujuan (end) dari strategi ini adalah mempertahankan wilayah Papua
sebagai wilayah kedaulatan NKRI sedangkan means tetap mengacu pada paradoxal
trinity Clausewitz yaitu pemerintah, rakyat dan TNI sedangkan kepemimpinan yang
dibutuhkan adalah kepemimpinan nasional yang kuat untuk mempersatukan ketiga
variabel dari means tersebut. Akan tetapi ada sedikit perbedaan pada cara-cara
(ways) yang perlu dilakukan pemerintah. Diplomasi politik pemerintah tetap
diperlukan dalam rangka menghadapi serangan politik dari negara-negara yang
mendukung perjuangan OPM. Harus diakui bahwa dalam Perjanjian New York pada
15 Agustus 1962, menjadi dasar yang kuat atas kedaulatan NKRI di Papua. Bahkan,
Papua sebagai bagian dari NKRI telah diakui oleh dunia internasional. Dengan
demikian, secara de facto dan de jure, kedaulatan NKRI di Papua sangat kuat. Akan
tetapi, belakangan ini, masyarakat Papua cenderung mengeksploitasi Responsibility
to Protect yang disahkan dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. A/60/I tanggal 24
Oktober 2005 dan ditegaskan kembali dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB
S/RES/1674 tanggal 28 April 2006. 23 Dengan dalih terjadinya pelanggaran HAM oleh
Pemerintah RI terhadap masyarakat Papua, kelompok separatis berharap dunia
internasional akan menggunakan doktrin Responsibility to Protect untuk melepaskan
masyarakat Papua dari NKRI. Oleh karena itu, diplomasi di forum-forum
internasional menjadi sangat penting guna melemahkan hasrat dunia internasional
untuk menyerang Indonesia.
Usaha untuk mendapat dukungan rakyat terhadap kedaulatan NKRI di Papua
tidak cukup hanya dengan menanamkan nasionalisme dalam diri masyarakat
Papua. Belakangan semangat untuk merdeka telah menjadi ideologi hampir di
seluruh masyarakat asli Papua. Usaha untuk mendapat dukungan dari rakyat juga
mendapatkan hambatan dari ketiadaan kesatuan pandangan di kalangan
masyarakat Indonesia terhadap Papua. Masyarakat cenderung menyalahkan
pemerintah yang tidak berpihak pada masyarakat asli Papua dalam pembangunan

23
Lily Husni Putri, " Responsibility to Protect Sebagai Doktrin Atau Norma Yang Berkembang Dalam
Hukum Internasional", Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 65, Th. XVII (April, 2015), pp. 151-171.
8

nasional. Oleh karena itu, cara yang perlu ditempuh pemerintah dalam rangka
memenangkan hati dan pikiran masyarakat Papua tidak lain adalah mengintensifkan
pembangunan di Papua. Belajar dari kasus Puerto Rico di Amerika Serikat dan
Irlandia di Inggris yang dalam referendum tetap ingin bergabung dengan negara
mereka, nampak jelas bahwa pembangunan yang dapat dirasakan oleh masyarakat
Papua akan menjadi solusi terbaik untuk memenangkan hati dan pikiran mereka.
Untuk itu, pemerintah perlu melakukan asistensi yang intensif terhadap rencana dan
pelaksanaan pembangunan di wilayah Papua.
Bagi TNI, cara yang perlu ditempuh dititikberatkan pada penambahan
kekuatan Angkatan Darat secara merata di seluruh wilayah Papua. Pemekaran
Kodam dapat menjadi solusi untuk menggelar kekuatan darat secara lebih merata.
Sementara itu, kekuatan TNI AU dan TNI AL memerlukan penambahan alutsista
dalam rangka pendeteksian secara dini terhadap segala upaya infiltrasi yang
dilakukan oleh musuh. Gelar kekuatan Udara dan Laut di wilayah Papua relatif
masih sangat kurang dibandingkan dengan luas wilayah yang sedemikian luas.
Konsentrasi kekuatan Udara dan Laut di wilayah Papua menjadi sangat penting
karena sejarah telah mencatat bahwa Douglas MacArthur pernah menjadikan Papua
sebagai batu lompatan pasukannya untuk menguasai Filipina yang telah dikuasai
Jepang dan kemudian bergerak untuk menguasai negara Jepang.24
Strategi penangkalan untuk mempertahankan wilayah Papua sebagai bagian
dari NKRI memerlukan biaya yang tidak sedikit. Pembangunan nasional yang
lamban sejak Papua kembali ke pangkuan ibu pertiwi mengakibatkan ada begitu
banyak infrastruktur yang belum terbangun hingga saat ini. Luasnya wilayah dan
sedikitnya penduduk di wilayah Papua sering menjadi pertimbangan untuk tidak
memprioritaskan anggaran pembangunan bagi wilayah Papua. Oleh karena itu,
dibutuhkan biaya yang relatif besar untuk mengejar ketertinggalan Papua.
Sementara itu, penambahan gelar kekuatan TNI di Papua juga akan
membengkakkan anggaran pertahanan yang selama ini dianggap oleh para politisi
dan pengamat ekonomi sudah sangat besar dibandingkan lembaga pemerintahan
lainnya. Akan tetapi itulah resiko yang harus diambil bila masyarakat Indonesia
masih menginginkan Papua berada di haribaan ibu pertiwi. Bila pembangunan
wilayah Papua tetap tidak bisa dirasakan oleh masyarakat setempat dan gelar

24
"Tugu MacArthur dan Kisah Perang Pasifik", https://www.liputan6.com/news/read/2172268/tugu-
macarthur-dan-kisah-perang-pasifik, diakses 25 November 2020, Pkl. 18.46 WIB
9

kekuatan TNI tidak mampu memberikan efek tangkal secara memadai, kemungkinan
lepasnya Papua dari NKRI menjadi sangat besar meskipun secara de jure dan de
facto Papua telah diakui oleh dunia internasional sebagai wilayah NKRI.
Strategi penangkalan untuk skenario ancaman ketiga yaitu sengketa
perbatasan dengan wilayah Malaysia di Selat Makasar terkait dengan penguasaan
Blok Ambalat. Strategi penangkalan bertujuan (end) untuk mempertahankan
kedaulatan NKRI atas Blok Ambalat, sedangkan means masih sama yaitu
pemerintah, rakyat dan TNI. Dalam kasus skenario ancaman ketiga ini,
kepemimpinan nasional yang dibutuhkan adalah kepemimpinan nasional yang tidak
hanya dapat mempersatukan ketiga variabel means tersebut, tetapi juga harus dapat
menjadi pemimpin seperti rubah yang oleh Machiavelli disebut pemimpin yang
cerdik.25 Pemimpin nasional yang kuat dan cerdik sangat dibutuhkan untuk
mengatasi konflik perbatasan di atas Blok Ambalat. Terhadap usaha untuk
mempersatukan ketiga variabel means, boleh dikatakan tidak menjadi masalah
hingga saat ini sebab seluruh masyarakat Indonesia sepakat bahwa Blok Ambalat
harus tetap dipertahankan sebagai bagian dari wilayah NKRI. Akan tetapi, dalam
kasus sengketa wilayah perbatasan ini, pemerintah juga perlu melakukan langkah-
langkah konkret untuk secara terus menerus memanfaatkan kekayaan yang
terkandung di dalam Blok Ambalat tersebut. Dengan langkah ini, akan nampak
bahwa de facto, wilayah Blok Ambalat merupakan wilayah NKRI.
Bagi TNI, cara mempertahankan Blok Ambalat dilakukan dengan penguatan
alutsista TNI AL dalam hal ini meningkatan kualitas dan kuantitas KRI di wilayah
Selat Makasar dan penguatan radar baik di kapal-kapal TNI AL maupun di
pangkalan-pangkalan TNI AU. Patroli laut yang intensif memerlukan jumlah kapal
yang tidak sedikit.
Upaya penambahan kapal-kapal TNI AL memerlukan biaya yang tidak kecil.
Struktur angaran pertahanan yang didominasi pada biaya pegawai dan biaya barang
mempersulit usaha untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas kapal TNI AL. Akan
tetapi pilihan untuk melengkapi kekuatan TNI AL di wilayah Selat Makasar
merupakan pilihan utama yang harus diambil agar Blok Ambalat di Selat Makasar
tetap dapat dipertahankan sebagai wilayah NKRI.
Dengan demikian menjadi sangat jelas bahwa dalam rangka menghadapi
ancaman dari luar, mempertahankan wilayah kedaulatan NKRI harus selalu menjadi
25
Niccolò Machiavelli, The Prince, terj. Luigi Ricci. Cet. ke-7 (Oxford : Mentor Books, 1957), hal.101
10

tujuan politik yang utama. Sementara itu dalam konteks Sishankamrata, ketiga
variabel trinitas yaitu pemerintah, rakyat dan militer harus bersatu padu dibawah
kepemimpinan nasional yang dalam konsep Machiavelli adalah pemimpin yang
cerdik seperti rubah dan kuat seperti singa.26 Biaya untuk mempertahankan
kedaulatan wilayah NKRI tidaklah murah akan tetapi biaya itu harus dikeluarkan
agar resiko hilangnya eksistensi NKRI dapat diminimalisir. Berkenaan dengan hal
tersebut, ada empat hal yang perlu dilakukan dalam rangka membentuk negara
Indonesia yang kuat yaitu pertama, melakukan reformasi di bidang anggaran
sehingga anggaran pertahanan tidak terbebani dengan belanja pegawai; kedua,
penyusunan peta jalan pembangunan kekuatan militer Indonesia; ketiga,
membangun industri pertahanan yang inovatif dengan mengoptimalkan riset inovatif
dan keempat, penyusunan peta jalan pembangunan nasional terutama untuk
wilayah Papua dalam rangka memenangkan hati dan pikiran rakyat. Kondisi
pertahanan saat ini masih sangat memprihatinkan, tetapi Pancasila sebagai Center
of Gravity bangsa Indonesia masih mampu menjadi kekuatan moral bangsa
Indonesia untuk mempertahankan eksistensi NKRI.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Syaiful. Melindungi Negara. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2016.

Clausewitz,Carl von. On War. Terj. Michael Howard et al. New York: Oxford, 2007.

Laksmana, Evan A. et al, 75 Tahun TNI Evolusi Ekonomi Pertahanan, Operasi, dan
Organisasi Militer Indonesia 1945-2020. Jakarta: CSIS, 2020.

Lily Husni Putri, " Responsibility to Protect Sebagai Doktrin Atau Norma Yang
Berkembang Dalam Hukum Internasional", Kanun Jurnal Ilmu Hukum
No. 65, Th. XVII (April, 2015), pp. 151-171.

Machiavelli, Niccolò. The Prince. Terj. Luigi Ricci. Cet. ke-7. Oxford : Mentor Books,
1957.

Morgenthau, Hans J. Politik Antar Bangsa. Terj. S. Maimoen et al. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2010.

26
Ibid.
11

Nasution, Jenderal A.H. Pokok-pokok Gerilya dan Pertahanan Republik Indonesia di


Masa yang Lalu dan yang Akan Datang, Cet. IV. Bandung: Penerbit
Angkasa, 1980.

Tzu, Sun. The Art of War. Terj. Lionel Giles. The Puppet Press.

Anda mungkin juga menyukai