Anda di halaman 1dari 8

Tugas Review 2 : Balancing versus Buck-Passing

Mata Kuliah : Teori Hubungan Internasional


NPM : 1506792424
Sumber Utama : Mearsheimer, John J. "Balancing versus Buck-Passing. Chapter
8 in: The Tragedy of Great Power Politics. New York: W. W.
Norton & Company Inc. 2001. pp. 208-261.

Teori dan Strategi Aksi Balancing versus Buck-Passing Menurut Mearsheimer


Balancing merupakan suatu aksi untuk mempertahankan kekuasaan yang dimilikinya,
misalnya dengan memperkuat militer negara itu sendiri atau dengan mendukung sebuah
negara yang keamanannya terancam oleh negara revisionist. Sedangkan buck-passing adalah
suatu aksi untuk menahan diri dan tidak mengambil tindakan apapun, dengan maksud untuk
memindahkan beban perlawanan ke pihak sekutu atau negara lainnya. Strategi untuk
melakukan aksi balancing atau buck-passing tergantung kepada struktur sistem internasional
yang terbagi menjadi tiga jenis; bipolar, balanced multipolar, dan unbalanced multipolar1.
Sistem bipolar dianggap tidak menarik karena aksi buck-passing mustahil dilakukan - tidak
ada satupun negara superpower yang bersedia untuk menerima suatu negara yang
menerapkan aksi buck-passing. Buck-passing merupakan aksi yang paling menarik dalam
sistem multipolar karena dengan kekuatan yang hampir seimbang, setiap negara superpower
tersebut dapat menahan negara agresor secara individual, dan oleh karena itu mereka bersedia
untuk menerima aksi buck-passing. Sedangkan dalam sebuah sistem yang unbalanced,
ketika satu negara dianggap lebih powerful daripada negara tetangganya (berpotensial
menjadi negara hegemon), negara-negara tetangga disekitarnya itu terlalu lemah untuk
menerima aksi buck-passing, sehingga setiap negara tetangga tersebut akan memiliki
kepentingan yang sama dalam melakukan aksi balancing untuk mencegah hegemoni negara
powerful itu yang ingin mendominasi wilayah mereka. Tetapi aksi buck-passing juga dapat
terjadi dalam sebuah sistem yang unbalanced sebagai sebuah pilihan strategi.
Menurut Mearsheimer, ada tiga alasan kenapa negara melakukan aksi buck-passing.
Alasan pertama adalah karena cost-nya murah: biaya pertempuran ditanggung oleh sekutu
dan negara buck-passer tersebut mendapatkan free ride. Alasan kedua, negara agresor dan
buck catcher mungkin terlibat dalam perang yang panjang dan menguras tenaga yang akan
membuat buck-passer lebih kuat daripada kedua pihak yang bertikai itu. Alasan ketiga, jika

1 Istilah kekuatan "balance" dan "unbalanced" merujuk pada distribusi kekuasaan laten dan
kemampuan militer yang sesungguhnya antara great powers dalam sistem, bukan suatu formasi
atau non-formasi dari koalisi defensif.

1
ada satu negara yang menghadapi beberapa musuh, negara tersebut dapat menerapkan aksi
buck-passing dalam menghadapi musuh-musuhnya tersebut secara sekuen.
Di sisi lain, faktor geografis merupakan salah satu alasan apakah negara agresor dan
negara yang terancam bersedia untuk berbagi perbatasan bersama meskipun mereka
dipisahkan oleh perbatasan darat dan perbatasan laut (air). Ketika negara challenger dan
defender memiliki perbatasan darat (tanah), aksi balancing akan lebih disukai karena negara
challenger mungkin dapat dengan mudah untuk melakukan invasi dan menguasai negara
defender. Namun ketika perbatasan mereka tidak berdekatan, dan terutama ketika mereka
dipisahkan oleh perbatasan laut, aksi buck-passing akan lebih disukai karena ada kesempatan
bagi negara defender untuk dapat mempertahankan dirinya sendiri dengan cepat tanpa
bantuan dari negara lain.

Selain itu, great powers yang berbagi perbatasan dengan negara agresor akan merasa
sangat rentan untuk diserang sehingga mereka cenderung untuk mengambil tindakan dengan
tangan mereka sendiri dan melakukan balancing dengan musuh mereka walaupun resikonya
lebih besar dan lebih berbahaya. Mereka tidak mungkin berada dalam posisi yang baik untuk
buck-passing, meskipun kesempatan untuk mencoba strategi itu akan selalu ada. Di sisi lain,
negara-negara yang berada dalam ancaman oleh negara agresor yang dihalangi dengan
barrier yang cukup jauh, misalnya dipisahkan oleh perbatasan laut, mereka merasa kurang
rentan terhadap invasi dan oleh karena itu mereka lebih cenderung melakukan aksi buck-
passing. Ini merupakan suatu keunikan dari faktor geografi yang terkadang menentukan
strategi politik luar negeri suatu negara.

Pandangan Pencetus Teori Classical Realism dan Defensive Realism Dalam Hubungan
Internasional
Teori classical realism merupakan suatu konsep ilmu yang sudah muncul sejak
ratusan bahkan ribuan tahun lalu dan implementasinya sudah dilakukan pada zaman kerajaan-
kerajaan kuno. Pemikiran tentang classical realism ini telah dikemukakan oleh tiga tokoh
realist klasik yang terkenal di dunia internasional; (1) sejarawan Yunani kuno Thucydides; (2)
teoretikus politik Renaissance Italia Niccolo Machiavelli; (3) filsuf politik dan hukum abad
ketujuh belas dari Inggris, Thomas Hobbes2.

2 Robert Jackson and Georg Sorensen. Introduction to International Relations: Theories and Approaches.
(Oxford: Oxford University Press, 2013) hlm 67.

2
Secara singkat, para classical realists tersebut memiliki berbagai persamaan dan
perbedaan tentang nilai classical realism yang digambarkan dalam tabel berikut ini:

Tabel 1: Nilai basic dari ketiga classical realists

Thucydides Machiavelli Hobbes


Political fate Political agility Political will
Necessity and security Oppurtunity and security Security dilemma
Political survival Political survival Political survival
Safety Civic virtue Peace and felicity

Sumber: Robert Jackson and Georg Sorensen. Introduction to International Relations: Theories and
Approaches. (Oxford: Oxford University Press, 2013) hlm. 72.

Tidak ada cara untuk escape dari dilema keamanan internasional seperti cara untuk
escape dari dilema keamanan pribadi, karena tidak ada kemungkinan untuk membentuk
global state dalam sistem pemerintahan dunia. Poin utama tentang international state of
nature adalah bahwa akan selalu terciptanya kondisi perang yang aktual atau setidaknya
terdapat potensi terjadinya perang; dimana tidak ada perdamaian permanen atau jaminan
perdamaian diantara negara-negara berdaulat, sehingga perdamaian internasional tidak akan
pernah ada. Namun perdamaian domestik bisa saja terjadi - perdamaian dalam negara yang
berdaulat - dan suatu kesempatan bagi pria dan wanita untuk menikmati kebahagiaan dalam
lingkup perdamaian masyarakat sipil. Negara ini melakukan perang dalam rangka untuk
memberikan kedamaian domestik bagi negara itu sendiri atau warganya. Perdamaian dalam
negeri bisa diwujudkan dengan cara ini. Sedangkan perdamaian internasional adalah mimpi
yang tidak dapat diwujudkan dan merupakan ilusi yang berbahaya3.
Pada akhirnya, kita dapat meringkas persamaan ketiga realist klasik ini. Pertama,
mereka setuju bahwa manusia berada dalam kondisi yang tidak aman dan konflik harus
diatasi dan ditangani. Kedua, mereka setuju terdapat body of political knowledge, atau
wisdom, untuk menangani masalah keamanan, dan keduanya masing-masing mencoba untuk
mengidentifikasi masalah itu. Ketiga, mereka sepakat bahwa tidak ada jalan keluar terakhir
dari kondisi manusia ini, kecuali dengan cara berperang, yang merupakan fitur permanen
kehidupan manusia. Dengan kata lain, meskipun terdapat body of political wisdom - yang
dapat diidentifikasi dan dinyatakan dalam bentuk maksim politik - tidak ada solusi permanen
atau solusi final untuk masalah politik - termasuk politik internasional. Perdamaian abadi
antara negara-negara diseluruh dunia tidak akan pernah terjadi4.

3 Ibid., hlm 72.

3
Selain itu, tokoh realist terkenal lainnya di abad kedua puluh, Morgenthau, memiliki
pandangan yang hampir sama dengan ketiga tokoh realist klasik diatas. Menurut Morgenthau
(1965), pria dan wanita memiliki sifat seperti binatang; mereka terlahir untuk mengejar
power dan menikmati hasil dari power tersebut. Morgenthau berbicara tentang animus
dominandi, manusia memiliki nafsu untuk mendapatkan power (Morgenthau 1965: 192).
Keinginan untuk mendapatkan power tidak hanya untuk keuntungan relatif, tetapi juga untuk
ruang politik yang aman, contohnya yaitu wilayah - untuk mempertahankan diri dari dictates
politik negara lain. Suatu ruang politik yang paling dalam dimana keamanan dapat diatur dan
dinikmati pada hakekatnya tentu saja adalah suatu negara yang merdeka. Keamanan diluar
negara dan atau keamanan diantara negara-negara di dunia tidak mungkin dapat terwujud5.
Disamping teori classical realism yang telah dijelaskan diatas, terdapat suatu konsep
neorealism (atau sering disebut juga sebagai structural realism) yang bersifat defensif dengan
tokoh terkenalnya Kennenth Waltz. Dalam bukunya, Theory of International Politics (1979),
Waltz berusaha untuk memberikan penjelasan ilmiah dari sistem politik internasional. Dia
mengambil beberapa elemen dari classical realism sebagai titik awal - misalnya, negara-
negara merdeka eksis dan beroperasi dalam sistem internasional yang anarki. Tetapi dia tidak
memperhitungkan pengaruh dari human nature dan mengabaikan etika kenegaraan6.
Dalam pandangan Waltz teori hubungan internasional yang terbaik adalah struktur
(sistem internasional) yang terfokus secara central pada setiap unit yang saling berinteraksi
terhadap kesinambungan dan perubahan sistem tersebut. Dalam classical realism, pemimpin
negara dan keputusan internasional serta aksi mereka menjadi pusat perhatian. Sebaliknya
dalam neorealisme, struktur internasional yang berada di luar aktor (pemimpin negara),
khususnya dalam hal distribusi kekuasaan, menjadi fokus analitis central. Para pemimpin
(aktor negara) secara relatif menjadi tidak penting karena struktur internasional memaksa
mereka untuk bertindak dengan cara tertentu. Struktur internasional, sedikit atau banyak,
menjadi faktor dalam menentukan suatu tindakan7.

4 Ibid., hlm 72.

5 Ibid., hlm 72-73.

6 Ibid., hlm 79.

7 Ibid., hlm 79.

4
Menurut teori neorealisme-nya Waltz, fitur dasar hubungan internasional adalah
struktur anarki antar negara yang terdesentralisasi. Setiap negara sepertinya memiliki dasar
functional respects yang sama - yaitu, terlepas dari budaya, ideologi, konstitusi atau sejarah
yang berbeda, mereka semua melakukan tugas dasar yang sama. Setiap negara harus
mengumpulkan pajak, melakukan kebijakan luar negeri, dan sebagainya. Negara berbeda
secara signifikan hanya dalam hal kemampuan mereka yang sangat bervariasi. Dalam
bahasanya Waltz, unit negara dalam suatu sistem internasional dibedakan terutama oleh
kemampuan mereka yang lebih besar atau lebih kecil untuk melakukan tugas-tugas yang
serupa (seperti yang telah disebutkan diatas) ... struktur dari suatu sistem dengan sendirinya
berubah karena perbedaan kemampuan dalam mendistribusikan power diseluruh unit sistem
tersebut (Waltz 1979: 97).

Classical Realism versus Neorealism (Defensive dan Offensive)


Konsep realisme pada dasarnya terbagi menjadi dua jenis; classical realism dan neorealism.
Neorealism sendiri terbagi menjadi dua bagian; defensive dan offensive. Seperti yang telah
disebutkan diatas, banyak sekali tokoh-tokoh realisme di dunia internasional. Salah satu
pencetus teori classical realism tekenal di abad kedua puluh adalah Morgenthau, sedangkan
tokoh defensive realism yang termahsyur adalah Kennenth Waltz, dan tokoh serta penggagas
teori offensive realism terbaik adalah Mearsheimer, seorang professor dari University of
Chicago, Amerika Serikat.
Ketiga perbedaan konsep realisme ini dapat dilihat dari definisi dan implementasinya.
Secara singkat, para tokoh classical realism berpendapat bahwa untuk mempertahankan
kedaulatan negara dan menjaga perdamaian domestik, negara harus melakukan tindakan
apapun yang diperlukan, termasuk berperang. Aktor yang dianalis dan yang menjadi pusat
perhatian disini adalah para pemimpin negara. Mereka bebas mengambil kebijakan apapun
demi mempertahankan kedaulatan negaranya. Para pemimpin itu baru dikritik atau kalau
perlu diganti jika usaha yang mereka lakukan tersebut gagal menciptakan keamanan dan
kedamaian bagi negara.
Disisi lain, para penggagas teori defensive realism berpendapat bahwa demi
terwujudnya keamanan dan kedamaian domestik, negara tersebut tidak seharusnya untuk
melakukan ekspansi keluar, karena hal tersebut akan menimbulkan reaksi dari negara
tetangga untuk melakukan aksi balancing yang mungkin pada akhirnya akan memicu perang.
Negara sebaiknya tidak melakukan tindakan agresif dan lebih bersifat defensive. Jika suatu
saat terdapat ancaman dari luar, maka negara tersebut baru bergerak dan melakukan semua
tindakan yang diperlukan untuk mencegah negara revisionist yang ingin menginvasi dan

5
menguasai wilayah mereka, termasuk mendeklarasikan perang untuk menjaga kedaulatan dan
mempertahankan keberlangsungan hidup negara.
Sedangkan tokoh offensive realism, Mearsheimer, berpendapat bahwa untuk menjaga
keamanan dan perdamaian, negara harus bertindak agresif dan melakukan ekspansi keluar.
Negara harus melakukan tindakan apapun untuk menjamin kedaulatan domestik meski harus
berperang dan melakukan invasi terhadap negara lain. Menurut Mearsheimer, tindakan
seperti ini wajar untuk dilakukan karena di dunia yang tidak aman, negara lebih baik
menyerang terlebih dahulu sebelum diserang oleh negara lain.
Namun, konsep classical dan offensive realism ini bukan tanpa kritikan karena banyak
sekali para tokoh dunia, khususnya tokoh pro liberalisme, yang menentang realisme dan
beranggapan bahwa konsep itu yang menyebabkan ketidakstabilan dan menyebabkan
terjadinya perang diseluruh dunia.
Salah satu kritikan itu datang dari mantan menteri luar negeri Amerika Serikat, Henry
Alfred Kissinger yang berpendapat bahwa kita harus ingat satu-satunya periode dalam sejarah
dunia ketika kita memiliki waktu perdamaian yang lama adalah pada saat adanya balance of
power. Ini adalah ketika satu negara menjadi jauh lebih kuat dalam kaitan dengan pesaing
potensialnya pada saat bahaya perang muncul. Jadi Kissinger percaya pada sebuah dunia
dimana Amerika Serikat sangat kuat. Dia pikir itu akan menjadi dunia yang lebih aman dan
dunia yang lebih baik jika kita memiliki pesaing yang kuat juga, Amerika Serikat yang sehat,
Eropa, Uni Soviet, Cina, Jepang, masing-masing saling menyeimbangkan satu sama lain8.

Selain itu, Waltz juga memiliki pandangan yang hampir sama dengan Kissinger. Waltz
berpendapat bahwa negara yang sangat penting untuk menentukan perubahan dalam struktur
sistem internasional adalah negara yang memiliki great powers. Suatu balance of power antar
negara dapat dicapai, tetapi perang selalu mungkin terjadi dalam sistem anarkis. Waltz
membedakan antara sistem bipolar - seperti yang terjadi selama Perang Dingin antara
Amerika Serikat dan Uni Soviet - dan sistem multipolar - seperti yang terjadi baik sebelum
dan setelah Perang Dingin. Waltz percaya bahwa sistem bipolar lebih stabil dan dengan
demikian memberikan jaminan yang lebih baik bagi perdamaian dan keamanan daripada
sistem multipolar. "Dengan hanya terdapat dua kekuatan besar, keduanya bisa diharapkan
untuk mengambil tindakan dalam mempertahankan sistem" (Waltz 1979, 204). Alasannya
karena dengan mempertahankan sistem tersebut, berarti mereka mempertahankan diri mereka

8 Dikutip dari Kissinger (1994 : 705).

6
sendiri. Berdasarkan pandangannya itu, Perang Dingin adalah periode dimana terciptanya
stabilitas dan perdamaian internasional9.

Kesimpulan

Secara singkat, untuk melihat perbedaan antara classical realism, defensive realism
dan offensive realism dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

Tabel 2: Perbandingan Classical Realism dan Neorealism (Structural Realism)

Structural Realism
Classical Realism
Offensive Realism Defensive Realism
International International
Phenomena State policy and
Outcomes and modes Outcomes and modes
explained behaviour
of behaviour of behaviour
Level of analysis State System System
Differences such as
Unit-level geography, technology, No difference accross No difference
attributes knowledge, status quo states accross states
states and revisionist state
Means and not an end;
maintain Means and end, Means, not an end;
Power
offensive/defensive maximize power seek sufficient power
balance
Conclusion Enlighted national
Seek hegemonic
about state Expansion interest; maintain the
power
behaviour balance of power

Sumber: Liu Feng and Zhang Ruizhuang. The Typologies of Realism dalam
http://www.irchina.org/en/pdf/liu&zhang.pdf, diakses tanggal 15 Februari 2010.

Ketiga konsep realisme ini memiliki cara dan implementasi yang berbeda walaupun
tujuannya tetap sama, yaitu untuk mempertahankan kedaulatan, perdamaian serta ketahanan
negara. Namun konsep realisme ini juga dianggap kontroversial dan banyak ditentang oleh
banyak pihak, terutama oleh kalangan pro liberalisme yang menyatakan bahwa konsep
realisme merupakan penyebab utama terjadinya perang diseluruh dunia. Tidak dapat
dipungkiri, baik itu realisme maupun liberalisme memiliki kekurangan dan kelebihannya
masing-masing. Sejarah telah membuktikan bahwa kedua konsep ini telah gagal dalam
menjaga ketertiban dan perdamaian dunia. Hal ini bisa dilihat dari perang dunia kesatu,

9 Robert Jackson and Georg Sorensen. Op. Cit. hal 80.

7
perang dunia kedua dan Perang Dingin yang disebabkan oleh penerapan kedua konsep
tersebut yang bertujuan untuk mendapatkan dan meningkatkan power serta meraih hegemoni
dalam bidang militer maupun ekonomi, baik dengan cara hard power maupun soft power.

Daftar Pusaka

Jackson, Robert and Georg Sorensen. 2013. Introduction to International Relations: Theories
and Approaches. Oxford: Oxford University Press.

Mearsheimer, John J. 2001. The Tragedy of Great Power Politics, Chapter 8: "Balancing
versus Buck-Passing. New York: W. W. Norton & Company Inc. pp. 208-261.

Anda mungkin juga menyukai