PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Laut China Selatan merupakan kawasan yang sangat kompleks yang di
dalamnya terjadi konflik yang bersinggungan dengan klaim kedaulatan dan yurisdiksi
wilayah. Konflik Laut Cina Selatan merupakan konflik teritori yang melibatkan enam
negara yaitu; China, Taiwan, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Konflik di kawasan ini semakin kompleks ketika elemen militer telah terlibat di dalam
konflik ini. Dengan melibatkan elemen militer di dalam konflik kawasan di kawasan
Laut Cina Selatan, maka sifat pola interaksi antara negara-negara yang
berkepentingan terhadap kawasan ini cenderung menjadi konfliktual.
Indonesia sebagai salah satu negara di kawasan Asia Tenggara memang tidak
terlibat secara langsung di dalam konflik tersebut. Malaysia, Vietnam, Filipina, dan
Brunei Darussalam adalah negara di kawasan Asia Tenggara yang secara langsung
terlibat pada konflik tersebut. Walaupun Indonesia tidak terlibat langsung pada
konflik tersebut, Indonesia memiliki potensi untuk menjadi aktor kunci yang dapat
memberikan peran secara konstruktif dalam upaya penyelesaian masalah konflik di
Laut Cina Selatan secara damai.
Kawasan Asia Tenggara merupakan kawasan yang sangat penting bagi
Indonesia, khususnya tatanan keamanan kawasan. Kemampuan, kredibilitas, dan
postur pertahanan China yang meningkat signifikan dalam 10 tahun terkahir menjadi
perhatian yang serius bagi banyak global major power seperti Amerika Serikat dan
Uni Eropa. Dan ini juga menjadi perhatian bagi banyak negara di kawasan Asia
Tenggara terutama karena sulitnya mengidentifikasi potensi munculnya China sebagai
kawan atau ancaman di kawasan Asia Tenggara.
Tulisan kecil ini mencoba untuk membahas pengaruh Konflik LCS terhadap
lingkungan strategis Indonesia sekaligus melakukan telaah terhadap alternatifalternatif terhadap upaya penyelesaian masalah LCS. Pada bagian pertama pada
tulisan ini akan membahas kerangka pemikiran yang akan menjelaskan pengaruh
konflik LCS terhadap lingkungan strategis Indonesia. Bagian kedua dari tulisan ini
akan membahas kebijakan luar negeri Indonesia terkait dengan upaya penyelesaian
masalah konflik LCS. Pada bagian berikutnya, penulis akan mencoba melakukan
telaah terhadap gagasan-gagasan alternatif dalam bentuk multilateralisme yang dapat
menjadi upaya dalam menghadapi konflik yang ada di kawasan LCS. Pada bagian
akhir dari tulisan ini akan menguraikan kesimpulan uraian pada bagian-bagian
sebelumnya.
B. Rumusan Masalah
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertan Perdamaian
Konsep damai membawa konotasi yang positif; hampir tidak ada orang yang
menentang perdamaian; Perdamaian duniamerupakan tujuan utama dari kemanusiaan.
Beberapa kelompok, berpandangan berbeda tentang apakah damai itu, bagaimana
mencapai kedamaian, dan apakah perdamaian benar-benar mungkin terjadi. Damai
memiliki banyak arti: arti kedamaian berubah sesuai dengan hubungannya dengan
kalimat. Perdamaian dapat menunjuk ke persetujuan mengakhiri sebuah perang, atau
ketiadaan perang, atau ke sebuah periode di mana sebuah angkatan bersenjata tidak
memerangi musuh. Damai dapat juga berarti sebuah keadaan tenang, seperti yang
umum di tempat-tempat yang terpencil, mengijinkan untuk tidur atau meditasi. Damai
dapat juga menggambarkan keadaan emosi dalam diri dan akhirnya damai juga dapat
berarti kombinasi dari definisi-definisi di atas. Konsepsi damai setiap orang berbeda
sesuai dengan budaya dan lingkungan. Orang dengan budaya berbeda kadang-kadang
tidak setuju dengan arti dari kata tersebut, dan juga orang dalam suatu budaya
tertentu.
Sebuah
definisi
yang
sederhana
dan
sempit
dari
damai
adalah
ketiadaan perang. (bahasa Roma kuno untuk damai adalah Pax yang didefinisikan
sebagai Absentia Belli, ketiadaan perang). Dengan definisi seperti ini, kita dapat
menganggap Congo, Sudan, dan mungkinKorea Utara dalam keadaan damai karena
mereka tidak sedang berperang dengan musuh dari luar. Dan lagi, dengan definisi ini,
kita sekarang tinggal di zaman dunia damai, tanpa perang aktif antara negara-negara.
Perawatan perdamaian yang lama antar negara merupakan kesuksesan besar
dari PBB. Damai dapat terjadi secara sukarela, dimana peserta perang memilih untuk
tidak masuk dalam keributan, atau dapat dipaksa, dengan menekan siapa yang
menyebabkan gangguan. Kenetralan yang kuat telah membuat Swiss terkenal sebagai
sebuah negara yang mempertahankan perdamaian sejak lama. Swedia sekarang ini
memiliki
sejarah
perdamaian
yang
berkelanjutan
terlama.
Sejak
Teori
perdamaian
demokratik adalah
teori
yang
menyatakan
Negara-negara demokratis biasanya lebih kaya dari negara lain, sehingga enggan
berperang demi menjaga infrastruktur dan sumber daya.
Asas-asas dasar teori ini pertama kali diajukan oleh Immanuel Kant pada
tahun 1700-an. Dalam esainya Perpetual Peace yang ditulis pada tahun 1795, Kant
berargumen bahwa sebagian besar rakyat tidak akan pernah memilih untuk berperang,
kecuali untuk mempertahankan diri, karena mereka yang akan menanggung beban
perang tersebut. Maka dari itu, apabila semua negara menjadi demokratis, rakyat
selaku pemegang kedaulatan tidak akan memilih untuk berperang, sehingga pada
akhirnya perang akan berakhir. Namun, teori ini juga menuai kritik karena dianggap
menyalahartikan korelasi sebagai sebab-akibat. Selain itu, definisi akademis
"demokrasi" dan "perang" dapat diubah agar seolah terdapat tren tertentu.
C. Teori Konstruktivisme
Teori Konstruktivis menolak asumsi dasar neo-realis teori bahwa keadaan
anarki (kurangnya otoritas yang lebih tinggi atau pemerintah) adalah kondisi
struktural yang melekat dalam sistem negara. Sebaliknya, ia berpendapat, dengan kata
Alexander Wendt, bahwa "Anarki adalah apa yang membuat negara itu. Artinya,
anarki adalah kondisi dari sistem negara karena negara dalam arti tertentu 'memilih'
untuk membuatnya begitu. Anarki adalah hasil dari sebuah proses yang membangun
aturan atau norma yang mengatur interaksi negara. Kondisi sistem negara saat ini
sebagai pembantu diri di tengah-tengah anarki adalah hasil dari proses dimana negara
dan sistem negara itu dibangun. Ini bukan fakta yang melekat pada negara-negara
BAB III
PEMBAHASAN
kepentingan kawasan dan negara tertentu. Demikian halnya dengan kasus Laut China
Selatan, ada dua aspek yang membuat Laut China Selatan menjadi penting bagi
Negara manapun sbb:
Letak Strategis.
Secara Geografi Laut Cina Selatan dikelilingi sepuluh negara pantai (RRC
dan Taiwan, Vietnam, Kamboja,Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei
Darussalam, Filipina). Luas perairan Laut Cina Selatan mencakup Teluk Siam yang
dibatasi Vietnam, Kamboja, Thailand dan Malaysia serta Teluk Tonkin yang dibatasi
Vietnam dan RRC. Kawasan Laut Cina Selatan (LCS) merupakan kawasan bernilai
ekonomis, politis dan strategis yang sangat penting, kondisi geografis posisinya yang
strategis sebagai jalur pelayaran perdagangan (SLOT) dan jalur komunikasi
internasional (SLOC) yang menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Hal ini telah merubah jalur laut China selatan menjadi rute tersibuk di dunia, karena
lebih dari setengah perdagangan dunia berlayar melewati Laut Cina Selatan setiap
tahun. Tentang data perdagangan 3 Negara raksasa ekonomi: India, Amerika Serikat
dan Jepang). Diperkirakan lebih dari setengah dari jumlah kapal kapal super tanker
dunia melewati jalur laut ini.
menyebabkan terjadinya konflik klaim wilayah antara China dan sebagian negara
negara anggota ASEAN yang berada wilayah Laut Cina Selatan. Menurut data
Kementrian Geologi dan Sumber Daya Mineral Daya Republik Rakyat Cina (RRC)
memperkirakan bahwa wilayah Spratly mempunyai cadangan minyak dan gas alam
17,7 miliar ton (1. 60 1010 kg), lebih besar di banding Kuwait negara yang
menempati ranking ke 4 yang mempunyai cadangan minyak terbesar dunia saat ini
dengan jumlah 13 miliar ton (1,17 1010 kg).
Sementara kandungan gas alam di Laut Cina Selatan mungkin merupakan
sumber hidrokarbon yang paling melimpah. Sebagian besar hidrokarbon kawasan
Laut Cina Selatan dieksplorasi oleh Brunei, Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam,
dan Filipina. Perkiraan menurut United States Geological Survey dan sumber lain-lain
menunjukkan bahwa sekitar 60% -70% dari hidrokarbon di Laut Cina Selatan adalah
gas sementara itu, penggunaan gas alam di wilayah ini diproyeksikan akan tumbuh
sebesar 5% per tahun selama dua dekade mendatang, diperkirakan bisa mencapai
sebanyak 20 triliun kaki kubik (Tcf ) per tahun lebih cepat daripada bahan bakar
lainnya.
Potensi kandungan cadangan minyak dan gas di Laut Cina Selatan ini juga telah
memicu semakin intensifnya situasi klaim teritorial dari negara-negara yang terlibat.
adalah sumber daya alam yang sudah di ekplorasi Claimant states dan non Claimant
States di LCS)
Kedua faktor penting yang diuraikan diatas adalah alasan rasional yang
menyebabkan wilayah Laut Cina Selatan menjadi sengketa antara 4 (empat) negara
ASEAN (Vietnam, Philipina, Malaysia dan Brunei) dengan Cina dan Taiwan,
penyelesaian permanen masalah Laut Cina Selatan berdasarkan hukum internasional
dan harus disepakati oleh semua pihak yang bertikai adalah solusi terbaik agar tidak
menimbulkan potensi konflik militer. Namun harus diakui bahwa sengketa Laut Cina
Selatan adalah persoalan yang tidak mudah serta membutuhkan waktu yang panjang,
bagi Indonesia meskipun tidak termasuk Claimant State tetapi juga punya kepentingan
di Laut Cina Selatan, karena konflik klaim wilayah secara tidak langsung dengan
China telah terjadi sekarang, menyangkut wilayah NKRI yakni Pulau Natuna,
Khususnya Natuna Blok A.
Keseimbangan merujuk dimana tidak ada kekuatan yang dominan yang berlandaskan
tiga prinsip utama; common security, common stability, dan common prosperity.
Dengan doktrin tersebut, maka persoalan-persoalan politik dan keamanan global yang
dihadapi oleh Indonesia akan dihadapi dengan tujuan keamanan, kestabilan, dan
kemakmuran bersama. Dari prinsip tersebut pula, maka penyelesaian masalah
keamanan dan politik membutuhkan mekanisme kerjasama. Jika mencari titik temu
antara dua konsepsi diatas, maka baik kebijakan luar negeri bebas aktif dan Doktrin
Natalegawa merupakan konsep yang sesuai dengan amanat Konstitusi Indonesia pada
UUD RI 1945 khususnya alinea ke empat.
Terkait dengan persoalan di kawasan LCS dan kebijakan luar negeri
Indonesia, Declaration on the Conduct of the Parties in the South China Sea pada
tahun 2002 merupakan sebuah langkah yang memberikan gambaran cukup jelas
mengenai penyelesaian masalah dengan mekanisme kerjasama sesuai dengan Doktrin
Natalegawa. Ada beberapa poin yang perlu dicatat sehubungan dengan deklarasi
tersebut. Pertama, deklarasi tersebut adalah langkah awal dalam penyelesaian konflik
dengan kode etik. Deklarasi tersebut juga membuat pihak-pihak yang terlibat di
konflik LCS harus menerapkan prinsip yang terkandung di dalam ASEAN Treaty of
Amity and Cooperation sebagai basis kode etik internasional di kawasan LCS.
Kedua, deklarasi ini menciptakan basis legal terhadap penyelesaian konflik di
LCS. Pihak-pihak yang terlibat di dalam deklarasi tersebut harus memiliki komitmen
untuk melakukan afirmasi kembali terhadap Charter PBB dan UN Convention on the
Law of the Sea 1982, TAC, dan berbagai hukum internasional lainnya yang mengakui
prinsip-prinsip hukum internasional yang mengakomodasi hubungan antar negara.
Ketiga, deklarasi ini memberikan syarat kepada negara-negara yang tergabung di
dalamnya untuk menyelesaikan persoalan di LCS dengan kebiasaan yang baik dan
menjunjung tinggi perdamaian. Poin 4 pada deklarasi ini menjelaskan The Parties
concerned undertake to resolve their territorial and jurisdictional disputes by peaceful
means, without resorting to the threat or use of force, through friendly consultations
and negotiations by sovereign states directly concerned
Dari beberapa poin diatas, ASEAN bersama dengan China memang sudah
melakukan upaya ke arah pengembangan mekanisme penyelesaian konflik LCS
dengan damai. Para pihak di dalam deklarasi tersebut memiliki komitmen untuk
melakukan eksplorasi berbagai cara untuk membangun kepercayaan yang berbasis
kesetaraan dan penghormatan yang mutual. Hingga saat ini, ASEAN bersama China
sedang melakukan upaya yang lebih kongkrit dalam menyelesaikan konflik Laut
diplomasi menjadi solusi dalam mewujudkan situasi damai dan harmonis di kawasan
Asia. Termasuk dalam penyelesaian konflik di laut Cina Selatan. Marty menyatakan
bahwa melalui forum ASEAN maupun forum lainnya, Indonesia akan selalu
menggunakan kekuatan diplomasi untuk berkontribusi mewujudkan perdamaian,
keamanan dan kemakmuran di dunia internasional.
Mekanisme diplomasi preventif memberikan pengaruh yang cukup baik dalam
penyelesaian konfilik secara damai. Negara-negara terkait menyadari bahwa
konfrontasi militer hanya akan berdampak buruk bagi semua pihak. Sebagai negara
yang memprakarsai pola diplomasi dalam menyelesaikan konflik di kawasan Laut
Cina Selatan, partisipasi Indonesia diakui dunia internasional sebagai pihak aktif
dalam mencari celah konsolidasi politik dan menyerukan arti penting kawasan Laut
Cina Selatan yang tidak hanya dianggap signifikan bagi negara-negara yang berada
diwilayah sekitarnya melainkan turut dirasakan demikian bagi dunia internasional.
Hal ini juga pernah di terapkan Indonesia dalam menyelesaikan masalah
perbatasannya dengan Pilipina, tidak perlu menggunakan diplomasi kapal perang.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konflik LCS merupakan konflik yang cukup rumit. Hal ini didasari
pada teori kompleksitas keamanan regional, yang meletakkan konflik LCS
pada level inter-regional. Karena terjadi pada level inter-regional, konflik ini
menjadi sulit untuk diselesaikan secara regional. Walaupun Indonesia tidak
terlibat pada konflik ini, namun potensi ancaman dari konflik ini tetap harus di
hadapi Indonesia. Argumen ini didasarkan pada asumsi bahwa konflik yang
terjadi di suatu kawasan dapat menimbulkan suatu instabilitas keamanan pada
wilayah lain karena adanya suatu interdependensi antara satu kawasan dengan
kawasan lainnya. Dari persoalan tersebut, Indonesia tentu saja harus
memikirkan beberapa alternatif untuk menghadapi kompleksnya persoalan
tersebut. Persoalan di wilayah LCS sangat membutuhkan suatu paradigma
baru dalam perumusan langkah-langkah yang dianggap sesuai untuk
menyelesaikan konflik di LCS. Perspektif baru Kebijakan Luar Negeri yang
dynamic equilibrium menjadi preferensi Indonesia untuk menjawab berbagai
persoalan yang muncul sehubungan dengan konflik di LCS. Tidak hanya
melalui politik luar negeri yang bebas aktif dan perspektif dynamic
equilibrium yang dapat dipromosikan oleh Indonesia. Lebih jauh, Indonesia
memiliki berbagai preferensi dalam menjawab tantangan persoalan di LCS.
Berbagai pilihan alternatif yang dapat dipromosikan oleh Indonesia adalah;
pertama yaitu, Indonesia harus mampu menjadi inisiator untuk mengakselerasi
sebuah konstruksi komunitas keamanan (security community) dalam
menghadapi potensi ancaman konflik LCS. Kedua, Indonesia juga harus dapat
menjadi pemain yang aktif dalam forum dialog keamanan ARF. Kesempatan
di ARF inilah yang harus dimanfaatkan oleh Indonesia untuk menerapkan atau
mengimplementasikan perspektif kebijakan luar negeri Indonesia yang
dynamic equilibrium. Dengan demikian persoalan konflik LCS dapat
diselesaikan dengan proses-proses perdamaian.
B. Saran
Daftar Pustaka
Acharya, Amitav, 2001Constructing a Security Community in Southeast Asia:
ASEAN and Problem of Regional Order, New York: Routledge
Alexander Wendt, 1992. Anarchy adalah Apa yang Membuat Amerika dari
Ini, Organisasi Internasional. New York: Spring
Menlu RI: Hubungan Indonesia-China Berada Pada Level Tertinggi, Tabloid
Diplomasi, No 43 Tahun IV, 15 Mei-14 Juni 2011, hal 23
Nguyen Hong Thao. 2003, The 2002 Declaration on the Conduct of the Parties in the
South China Sea, Ocean Development & International Law No. 34, , hal 279
http://id.wikipedia.org/wiki/Damai
http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_perdamaian_demokratik
http://jejaktamboen.blogspot.com/2014/07/latar-belakang-konflik-laut-cina-selatandan-dampaknya.html
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2010/06/perspektif_perspektif_politik_
luar_negeri.pdf
Mollie Kirk, Natalegawa: ASEAN Needs Blueprint,
http://asiasociety.org/policy
politics/strategic-challenges/intra-asia/natalegawa-asean-needs-blueprint,
Documents on ASEAN and The South China Sea,
http://cil.nus.edu.sg/wp/wp
content/uploads/2011/06/Documents-on-ASEAN-and-South-China-Sea-as-ofJune-2011-pdf.pdf,