Oleh:
Sofyan Sjaf2
1
Judul tugas 1 tentang “Teori Konflik”, mata kuliah “Teori Sosial dan Struktur Sosial”
di bawah asuhan Dr. Relius A. Kinseng.
2
Mahasiswa Program Doktor Sosiologi Pedesaan, SPs IPB. NRP: I363070031.
Komponen dan Akar Teori Konflik
Pada bab 11 buku “The Structure of Sociological Theory”, Turner (1998)
memberikan gambaran lahirnya teori konflik yang dimotori oleh tiga orang
tokohnya. Adapun ketiga tokoh yang mempunyai andil lahirnya teori konflik
tersebut, antara lain: Karl Marx, Max Weber, dan George Simmel.
Berdasarkan pijakan yang disusun Sanderson (2003), Karl Marx adalah satu
dari sekian tokoh sosiologi yang menjadikan infrastruktur material sebagai
determinasi sistem sosial yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat.
Dalam kaitannya dengan teori konflik, Turner (1998) menekankan bahwa Marx
dalam menyusun proposisinya tentang proses konflik didasarkan atas
ketidaksetaraan akses terhadap sumberdaya. Ketidaksertaan ini, kemudian
menciptakan kelompok (grup) yang memposisikan dirinya sebagai ordinat
(dominasi) disatu sisi, dan subordinat (termarjinalkan) pada sisi lainnya.
2
Berbeda dengan Marx, analisis Weber (Turner, 1998) lebih menekankan
teori konfliknya dari perspektif suprastruktur ideologis (merujuk pendapat
Sanderson, 2003). Weber dalam Turner (1998) membangun proposisi dalam
proses konflik antara superordinat dengan subordinat. Adapun proposisi yang
dibangun Weber, sebagai berikut:
Kelima proposisi di atas, jika disarikan ke dalam teori Weber yang lebih
komprehensif ditemukan kata kuncinya yakni rasionalitas formal. Dalam hal ini,
Weber memberikan contoh mengenai proses birokratisasi yang ia kemas ke
dalam lembaga politik. Menurutnya, birokrasi mempunyai otoritas yang berbeda-
beda dan terbagi ke dalam tiga sistem otoritas, yakni: tradisional, karismatik, dan
rasional-legal. Dari ketiga sistem otoritas tersebut, otoritas rasional-legal hanya
dapat berkembang dalam masyarakat barat modern dan hanya dalam sistem
otoritas rasional-legas itulah birokrasi modern dapat berkembang penuh.
Tentunya hal ini berbeda dengan birokrasi di dunia lainnya, dimana otoritas
3
karismatik atau tradisional merintangi perkembangan sistem hukum rasional dan
birokrasi modern (Ritzer dan Goodman, 2003).
Jika saja dua pandangan tokoh sosiologi sebelumnya lebih kepada dimensi
masyarakat sebagai unit analisisnya, hal yang berbeda dilakukan Georg Simmel
yang menekankan unit analisis individu dalam teori konfliknya. Menurutnya
bahwa salah satu tugas utama sosiologi adalah memahami interaksi antar
individu yang dapat melahirkan konflik maupun solidaritas antar sesama (Ritzer
dan Goodman, 2003). Berkaitan dengan itu, maka proposisi-proposisi yang
dibangun oleh Simmel cenderung melihat kejadian konflik dikarenakan interaksi
antar individu yang mempunyai ”kekuatan emosional” yang kemudian
membangun ikatan solidaritas antar sesama.
Sebelumnya telah diuraikan tiga tokoh pewaris teori konflik yang berkem-
bang hingga saat ini dengan perspektif yang berbeda. Selanjutnya pada bagian
tulisan ini, penulis menampilkan dua tokoh yang tak kalah penting dalam hal
pengaruhnya mengembangkan teori konflik. Jika kita mencoba membuat bagan
keterkaitan antara tiga tokoh pewaris teori konflik (Marx, Weber, dan Simmel)
dengan dua tokoh yang mengembangkan teori konflik (Dahrendorf dan Coser),
maka terlihat benang merah warisan atau pijakan tokoh pengembang teori
konflik dengan ’pencetus’ teori konflik itu sendiri.
Danrendorf adalah tokoh pewaris teori konflik Marx dan Weber. Sosiolog
ini berpandangan bahwa masyarakat mempunyai dua wajah (konflik dan
konsensus) sehingga teori sosiologi harus dibagi menjadi dua bagian, yakni teori
konflik dan teori konsensus. Teori yang pertama harus menguji konflik
kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat bersama
dihadpaan tekanan itu. Sedangkan teori yang kedua harus menguji nilai integrasi
dalam masyarakat. Dengan kedua teori ini, maka Dahrendorf lebih dikenal
dengan penggagas teori dealektikal (dialectical theory).
4
tesis sentralnya bahwa perbedaan distribusi otoritas ”selalu menjadi faktor yang
menentukan konflik sosial sistematis” (Ritzer dan Goodman, 2003).
Tidak berbeda dengan Marx dan Weber, unit analisis teori konflik
Dahrendorf juga masih dipusatkan pada masyarakat sebagai satu kesatuan
sistem sosial, khusunya kepada struktur sosial yang lebih luas. Sebagaimana
dengan tesis yang dibangunnya, bahwa berbagai posisi di dalam masyarakat
mempunyai kualitas otoritas yang berbeda. Untuk itu, otoritas tidak terletak di
dalam diri individu, tetapi di dalam posisi. Selanjutnya Dahrendorf menekankan
bahwa tugas pertama analisis konflik adalah mengidentifikasi berbagai peran
otoritas di dalam masyarakat. Atau dengan kata lain, struktur sosial yang
berbeda di masyarakat akan menentukan kualitas otoritas yang dimiliki oleh
lapisan tertentu terhadap lapisan lainnya. Dengan demikian, secara tersirat
otoritas menyatakan superordinat dan subordinat yang ada di masyarakat.
5
Berbeda dengan Dahrendorf, Coser adalah tokoh pewaris teori Simmel yang
teori konfliknya dibangunnya lebih kepada analisis individu. Menurut Coser,
bahwa konflik dapat membantu mengeratkan ikatan kelompok yang terstruktur
secara longgar. Masyarakat yang mengalami disintegrasi atau berkonflik dengan
masyarakat lain, dapat memperbaiki kepaduan integrasi.
Dahrendorf Coser
Gambar 1. Akar dan Ragam Teori Konflik Merujuk Buku ” The Structure of Sociological
Theory” Karangan Turner (1998).
6
Referensi
Turner, J. H., The Structure of Sociological Theory (sixth edition), Belmont, CA:
Wadsworth Publishing Company, 1998.
Ritzer, G. dan Goodman, DJ., Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana, 2003.
Sanderson, SK., Makro Sosiologi: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial
(edisi kedua), PT. Raja Grafindo Persada, 2003.