Membangun kemampuan berpikir kritis bagi generasi milenial TNI AD saat ini
menjadi sebuah kebutuhan yang sangat mendesak. Meskipun belum ada
kesepakatan dari para ahli psikologi perkembangan mengenai siapa yang dimaksud
dengan generasi milenial, tetapi beberapa ahli psikologi menunjuk generasi milenial
adalah mereka yang dilahirkan antara tahun 1980 sampai 2000-an.1 Mereka adalah
generasi yang sangat dekat dengan dunia digital. Kedekatan pada dunia digital
menjadikan generasi ini sering disebut sebagai generasi internet (the net
generation).2 Kebiasaan mengakses dunia internet membuat mereka menjadi
generasi yang memiliki wawasan informasi yang sangat luas, sering bersikap
kritis terhadap segala sesuatu, tidak mudah terindoktrinasi dan selalu
menghendaki perubahan agar hidup menjadi lebih mudah dan lebih nyaman. Data
dari Sisfopers TNI AD per Januari 2021 menunjukkan bahwa persentase populasi
generasi milenial TNI AD sebesar 60%, dengan perincian Perwira 30%, Bintara 54%
dan Tamtama 96%. Bisa diperkirakan bahwa persentase ini akan semakin meningkat
dari tahun ke tahun hingga pada akhirnya populasi organisasi TNI AD diisi seluruhnya
oleh generasi internet ini.
Akan tetapi fakta menunjukkan bahwa generasi milenial TNI AD masih jauh
dari gambaran ideal dari para ahli psikologi tersebut. Mereka relatif belum mampu
menunjukkan kemampuan berpikir kritis ketika berhadapan dengan informasi yang
disebar melalui media sosial atau media internet lainnya. Kita melihat sendiri
beberapa personel TNI AD dijatuhi hukuman karena menyebar berita bohong dan
ujaran kebencian itu (Hoax, Fake News dan Hate Speech). Berita terakhir yang terkait
dengan hal ini adalah dukungan oknum prajurit TNI AD kepada organisasi terlarang
yang diduga berafilisasi dengan ISIS.3 Tidak hanya berhenti di situ saja, nampaknya
personel TNI AD saat ini lebih mudah me-forward berita yang tidak terklarifikasi ke
rekan-rekan mereka. Fenomena ini menunjukkan bahwa banyak personel TNI AD
yang belum memiliki kemampuan berpikir kritis untuk memilah mana berita yang
benar dan mana berita yang tidak benar, mana yang penting dan mana yang tidak
penting.
Kekurangmampuan berpikir kritis yang melanda personel TNI AD ternyata
berbanding lurus dengan rendahnya kualitas pendidikan nasional kita. Data dari
Hasil survei yang dilakukan oleh OECD (Organisation for Economic Cooperation and
Development) menunjukkan Skor PISA (Programme for International Students
1
Hasanuddin Ali et al, Millennial Nusantara: Pahami Karakternya, Rebut Simpatinya (Jakarta: 2017),
hal. xvii.
2
Lih. David Stillman et al, Gen Z at Work: How the Next Generation is Transforming the Work Place
(New York: 2017), hal. 15.
3
"Ucapkan Selamat Datang ke HRS, Prajurit TNI Disanksi",
https://ihram.co.id/berita/qjmlbu385/ucapkan-selamat-datang-ke-hrs-prajurit-tni-disanksi, diakses 6
Februari 2021, Pkl.11.48 WIB
2
Assesment) tahun 2019, skor membaca pelajar Indonesia berada di peringkat 72 dari
77 negara, sedangkan skor matematika ada di peringkat 72 dari 78 negara dan skor
sains berada di peringkat 70 dari 78 negara.4 Peringkat ini menunjukkan bahwa
kualitas pendidikan nasional Indonesia masih cukup rendah dibandingkan dengan
negara-negara lain. Rendahnya kualitas pendidikan Indonesia berbuntut pada
rendahnya kualitas SDM Indonesia sebagaimana ditunjukkan dari Indeks daya
saing global (The Global Competitiveness Index 4.0) yang dikeluarkan oleh World
Economic Forum (WEF). Menurut WEF, indeks daya saing global untuk Indonesia di
tahun 2019 menurut World Economic Forum (WEF) berada pada urutan ke-50 dari
141 negara.5 Posisi Indonesia menurun dibandingkan posisinya di tahun 2018 yang
berada pada urutan ke-45, sementara itu urutan teratas diraih oleh Singapura dan
urutan kedua adalah Amerika Serikat.6 Dari data ini, bisa dimaklumi bila hoax, fake
news atau hate speech yang disebar melalui media sosial begitu merajalela di tengah
masyarakat Indonesia termasuk di dalam organisasi TNI AD.
4
"Skor Terbaru PISA: Indonesia Merosot di Bidang Membaca, Sains dan Matematika",
https://www.liputan6.com/global/read/4126480/skor-terbaru-pisa-indonesia-merosot-di-bidang-
membaca-sains-dan-matematika, diakses 6 Februari 2021 Pkl.19.54 WIB
5
Klaus Schwab, The Global Competitiveness Report 2019 (Geneva: WEF, 2019)
6
"Indeks Daya Saing Global Indonesia Turun Menjadi 50 Dunia", Kompas.com, 10 Oktober 2019,
https://money.kompas.com/read/2019/10/10/051323226/indeks-daya-saing-global-indonesia-turun-
menjadi-50-dunia, diakses 13 Oktober 2019 Pkl. 20.20 WIB
7
Post Truth dipahami sebagai pembentukan opini publik tidak menggunakan fakta atau data yang
obyektif tetapi menggunakan segala informasi yang dapat mengaduk-aduk emosi dan menyinggung
keyakinan pribadi. Lih. Matthew D'Ancona, Post Truth The New War on Truth and How to Fight Back
(New York: Ebury Press, 2017), hal.3
3
diciptakan oleh orang-orang cerdas seperti yang dilakukan oleh mereka yang
tergabung dalam kelompok Saracen.8 Oleh karena itu, usaha untuk melawannya juga
harus dilakukan dengan cara-cara yang cerdas pula. Sesungguhnya, berbagai media
massa telah menyosialisasikan cara paling ampuh untuk melawan hoax dan fake
news yaitu dengan cara mencari informasi dari sumber-sumber terpercaya untuk
menilai apakah berita yang diterima itu benar atau tidak. Akan tetapi masyarakat
sudah terlanjur terbiasa untuk tidak melakukan check and recheck atas content yang
diterima di media sosial atau situs-situs internet lainnya. Semua informasi diterima
begitu saja tanpa suatu pemikiran yang kritis.
Cara berpikir masyarakat yang selalu menerima informasi begitu saja tanpa
memikirkan secara kritis diistilahkan oleh Michael Kallet sebagai masyarakat yang
terbiasa berpikir otomatis (automatic thinking).9 Kallet melukiskan berpikir otomatis
sebagai berpikir yang menekankan penarikan kesimpulan secara cepat tanpa melalui
proses pengumpulan informasi dan proses analisa yang mendalam.10 Kallet
mengemukakan bahwa sistem pendidikan yang tidak mendorong siswa berpikir
kritis menjadi salah satu penyebab masyarakat lebih suka berpikir otomatis
dalam menghadapi segala sesuatu. Menurutnya, dalam masyarakat yang demikian,
pendidikan tidak mengajarkan murid-muridnya untuk banyak berpikir tetapi
sekolah mengajarkan murid untuk bertindak cepat. Ia mengemukakan bahwa
pendidikan yang mengajarkan muridnya bertindak cepat nampak dari soal-soal ujian
yang selalu memakai model soal pilihan ganda yang selalu dijumpai dalam berbagai
jenjang pendidikan. Dalam soal pilihan ganda tersebut, siswa dihadapkan pada empat
kemungkinan jawaban dan hanya ada satu jawaban yang benar. Tugas siswa adalah
memilih jawaban yang benar dengan cepat, untuk kemudian lanjut ke persoalan
berikutnya. Akibatnya, dalam menjalani kehidupan masyarakat akan terbiasa
mengerjakan segala sesuatu secara cepat tanpa proses analisa yang mendalam.
Akan tetapi realitas kehidupan dunia tidak seperti memilih jawaban dari soal pilihan
ganda. Ketika kita menghadapi masalah, ada banyak cara untuk mengatasinya. Kita
harus membanding-bandingkan pilihan-pilihan yang ada, memilih solusi yang paling
tepat dan kemudian menjelaskan alasannya.
Kallet tidak menyangkal bahwa berpikir otomatis (automatic thinking) itu buruk.
Dalam banyak hal, berpikir otomatis (automatic thinking) sangat diperlukan untuk hal-
hal praktis yang dilakukan sehari-hari. Bahkan Kallet mengatakan bahwa dengan
mode berpikir otomatis (automatic thinking mode), kita terhindar dari kelelahan yang
luar biasa. Dengan mode berpikir otomatis, ketika kita terbangun dari tidur, tidak
semua informasi yang mengalir deras ke dalam otak kita harus dipikirkan. Kita hanya
menerima informasi yang relevan bagi aktivitas kita saat itu saja. Akan tetapi ketika
kita berhadapan dengan permasalahan yang kompleks, mode berpikir otomatis saja
8
"Ini Fakta Sindikat Saracen: Pelaku Punya Kecerdasan di atas Rata-rata Sampai Miliki 800 Ribu
Akun", Tribunnews.com, 27 Agustus 2017, https://www.tribunnews.com/nasional/2017/08/27/ini-fakta-
sindikat-saracen-pelaku-punya-kecerdasan-di-atas-rata-rata-sampai-miliki-800-ribu-akun, diakses 17
November 2019 Pkl.21.20 WIB
9
Michael Kallet, Think Smarter: Critical Thinking to Improve Problem-Solving and Decision-Making
Skils (New Jersey: John Willey and Sons Inc., 2014), hal.4-6
10
Lih. Ibid, hal. 18-19
4
tidak cukup. Kallet mengatakan masih ada satu lagi kemampuan yang harus
dimiliki manusia berhadapan dengan permasalahan yang semakin kompleks
yaitu kemampuan berpikir kritis (Critical Thinking). Menurut Kallet, bila manusia
hanya memiliki kemampuan berpikir otomatis saja tanpa memiliki kemampuan berpikir
kritis, maka banyak pekerjaan akan diselesaikan secara lambat karena keputusan
yang diambil selalu berubah-ubah. Bila ia seorang pemimpin yang memiliki otoritas
untuk memutuskan, keputusan yang diambil bisa dengan cepat berubah. Kallet lebih
jauh mengatakan, bila seseorang hanya memiliki kemampuan berpikir otomatis,
semua pekerjaan yang dilakukan hanyalah copy paste dari pekerjaan orang lain.
Berkaca dari pemikiran Kallet tersebut, nampaknya banyak fenomena yang
dilukiskan oleh Kallet terjadi pada SDM TNI AD. Bisa dikatakan bahwa mayoritas
SDM TNI AD lebih didominasi oleh kemampuan berpikir otomatis. Bukan menjadi
rahasia umum di kalangan perwira TNI AD, bila mereka akan mengikuti suatu
pendidikan, hal pertama yang selalu dicari untuk disimpan dalam laptopnya masing-
masing adalah karmil atau essay. Bila ada tugas-tugas berkaitan dengan karmil
maupun essay, para perwira siswa akan lebih suka untuk meng-copy paste tulisan
orang lain. Nampaknya fenomena copy paste begitu merebak di dalam organisasi TNI
AD. Banyak naskah perencanaan dan laporan serta surat-surat dinas lainnya dibuat
dengan mode copy paste. Model pekerjaan seperti itu didasari pada satu alasan yaitu
supaya cepat selesai, jangan terlalu banyak berteori, yang penting pelaksanaannya.
Fenomena copy paste menjadi semakin menguat ketika generasi milenial yang sangat
dekat dengan dunia digital tidak lagi asing dengan dunia internet dan komputer.
Semua informasi yang relevan dengan mudah akan di copy paste tanpa harus
bersusahpayah untuk menyelesaikan tugas. Seakan-akan semua tulisan di
website benar adanya dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Padahal,
sesungguhnya tidak semua tulisan website bisa dipertanggungjawabkan
kebenarannya. Semua ini menunjukkan bahwa generasi milenial TNI AD benar-benar
membutuhkan kemampuan berpikir kritis. Pertanyaannya, apa yang harus dilakukan?
11
Amarulla Octavian, Militer dan Globalisasi di Era Revolusi Industri 4.0, Bahan Kuliah Umum Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, hal.8
5
sedang berada dalam era perang generasi ke-5 tersebut. Keikutsertaan personel TNI
AD dan keluarganya dalam rangka menyebarkan atau menciptakan hoax, fake news
atau pun hate speech bisa dimaknai sebagai upaya untuk melemahkan kekuatan TNI
AD. Oleh karena itu sebelum semua menjadi terlambat, kita harus berbuat
sesuatu agar TNI AD mampu menjadi kekuatan pertahanan matra darat yang
profesional dan unggul di bidang pertahanan matra darat.
Berkaca dari kasus Saracen, sesungguhnya perang informasi hanya akan
berhasil bila informasi itu diciptakan oleh manusia-manusia yang cerdas. Oleh karena
itu untuk menangkal informasi tersebut, upaya yang perlu dilakukan adalah
membangun SDM yang memiliki kemampuan berpikir kritis. Berpikir kritis (critical
thinking) tidak sama dengan dengan berdebat, menjadi emosional, suka mengkritik.
Kata kritis dalam berpikir kritis tidak sama dengan ketidaksetujuan terhadap suatu
argumen atau pandangan orang lain. Berpikir kritis bersifat netral, tidak emosional
karena tidak ada hubungannya dengan emosi atau perasaan manusia. Berpikir kritis
berkaitan erat dengan ranah kognitif yang akan menghasilkan suatu
kemampuan menganalisa untuk menghasilkan suatu produk atau pekerjaan
yang lebih baik atau unggul.
Ada berbagai macam definisi atau pengertian mengenai berpikir kritis. Dari
berbagai pendapat mengenai definisi atau pengertian berpikir kritis tersebut, ada satu
rumusan yang selalu dipakai oleh para sarjana pendidikan mengenai apa itu berpikir
kritis. Dengan menggunakan taksonomi Bloom, mereka ini memberikan definisi
berpikir kritis (critical thinking) sebagai keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher-
order thinking skills)12 Higher-Order Thinking Skills atau HOTS dalam kacamata
taksonomi Bloom berada dalam ranah kognitif dan dapat digambarkan dengan skema
sebagai berikut:
Gambar-1 Higher-Order Thinking Skills (HOTS) dan Lower-Order Thinking Skills (LOTS) dalam
Taksonomi Bloom
12
"Critical Thinking and other Higher-Order Thinking Skills" https://cetl.uconn.edu/critical-thinking-and-
other-higher-order-thinking-skills/#, diakses 23 November 2019
6
Figure 4:
Bloom’s original and
revised taxonomies
The first dimension, knowledge, now contains four categories of knowledge arranged
from the most concrete to the most abstract:
7
14
Debra McGregor, Developing Thinking Developing Learning: A Guide to Thinking Skills in Education
(Berkshire: McGraw-Hill, 2017), hal. 193-194
15
Ibid, hal.13
16
Lih. "Viral Pidato Nadiem Makarim soal Hari Guru Nasional, Ini Isinya...", Kompas.com, 24 November
2019, https://www.kompas.com/tren/read/2019/11/24/084450565/viral-pidato-nadiem-makarim-soal-
hari-guru-nasional-ini-isinya?page=all, diakses 27 November 2019 Pkl. 10.20 WIB.
8
petunjuk mulai dari cara atau metode mengajar, materi mengajar hingga cara
membuat ujian. Gumil seakan-akan tidak diberi ruang untuk berkreasi ketika
memberi pelajaran di kelas. Bahkan sebelum mengajar, gumil disibukkan dengan
tugas administratif yang membuat gumil tidak memiliki waktu lagi untuk memperluas
pengetahuan yang akan diajarkannya. Tambahan lagi, jumlah Jam Pelajaran (JP)
yang begitu banyak sehingga materi pelajaran begitu banyak, ujian dibuat
bertubi-tubi sehingga serdik tidak memiliki waktu untuk memperdalam. Karena
tidak memiliki waktu untuk belajar dan mendalami materi, maka serdik
mengandalkan kisi-kisi untuk dihafalkan agar ujian mendapatkan nilai yang baik
sehingga gumil tidak dipersalahkan sebagai gumil yang tidak mampu mengajar.
Akhir dari semua "tragedi" sistem pendidikan itu adalah "perubahan" yang diharapkan
menjadi keluaran dari suatu pendidikan tidak terjadi. Selesai ujian, selesai semua,
hilang semua hafalan yang sudah dituangkan dalam ujian. Serdik dinyatakan
lulus tapi tidak tahu apa yang dipelajarinya. Ibaratnya, serdik datang sebagai botol
kosong keluar botol itu masih kosong, kalau pun ada isinya, isinya sangatlah sedikit.
Bila dianalisa lebih dalam lagi, sumber permasalahan di dunia pendidikan TNI
AD terletak pada kesalahan background teori yang digunakan dalam proses belajar
mengajar. Bila kita menyimak Petunjuk Teknis (Juknis) tentang Paket Instruksi
(Keputusan Kasad Nomor Kep/685/IX/2015), taksonomi yang digunakan hanya
meliputi empat tingkatan yaitu mengetahui, mengerti, memahami dan menguasai.
Tingkatan proses kognitif Juknis ini berbeda dengan taksonomi Bloom yang direvisi
oleh Anderson. Ada perbedaan yang bisa dikemukakan antara pentahapan proses
kognitif Juknis ini dengan Taksonomi Bloom yaitu pertama, Taksonomi Bloom
memiliki 6 tingkatan proses kognitif dan setiap tingkatan di atasnya mengandaikan
telah dikuasai tingkatan di bawahnya sedangkan Juknis ini hanya memiliki 4 tingkatan;
kedua, perbedaan tiap tingkatan dalam Juknis ini kurang tajam sehingga berpotensi
membingungkan gumil dalam merancang pembelajaran. Kita bisa bertanya apa
perbedaan antara mengetahui, mengerti, memahami dan menguasai? Bila kita baca
kata kerja yang menjelaskan dari tingkatan itu, akan ditemui banyak persamaan
kata kerja dalam setiap tingkatan. Pada kata kerja nomor urut 1 sampai dengan 5
di tingkatan mengerti, memahami dan menguasai sebagaimana nampak pada
gambar-4, perbedaan antara "mengerti", "memahami" dan "menguasai" hanya
dijelaskan dengan uraian "menjelaskan, menerangkan, menguraikan,
memaparkan, memberi keterangan" secara tidak mendalam (pada tingkatan
mengerti), secara cukup mendalam (pada tingkatan memahami) dan secara
mendalam (pada tingkatan menguasai); ketiga, tidak ada pengertian yang
memadai dari setiap tingkatan dalam kaitan dengan subyek materi yang diajarkan
sehingga taksonomi versi Juknis tidak merangsang gumil untuk melakukan proses
analisa dalam merancang pembelajaran. Proses analisa dalam perencanaan
pembelajaran menjadi sangat penting karena hakekat dari pembelajaran adalah
tercapainya perubahan dalam diri serdik seperti yang diharapkan oleh gumil.
9
membuat struktur
(structuring )
e. Menyimpulkan
(inferring )
f. Membandingkan c. Memaknai
(comparing ) (attributing )
Mengkontraskan dekonstruksi
(contrasting) (deconstructing )
Memetakan (mapping)
Mencocokkan (matching)
g. Menjelaskan
(explaining )
mengkonstruksi
(constructing )
memodelkan (models )
17
Lorin W. Anderson et al, A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assesing: A Revision of Bloom's
Taxonomy of Educational Objectives (New York: Longman, 2001), hal.33
12
18
Lih. "Pemikiran Perhitungan Jumlah SKS Program Pendidikan dan Besaran SKS Mata Kuliah",
http://www.poltekkes-solo.ac.id/attachments/736_6.%20sks.pdf, diakses 16 April 2020 Pkl. 20.30 WIB
13
19
Rhenald Kasali, Self Driving: Menjadi Driver atau Passenger? (Jakarta: Mizan, 2014), hal.84
17
dipelajari siswa dalam waktu yang terbatas di sekolah dan ruang kelas?"; kedua,
"Bagaimana guru merencanakan dan menyampaikan instruksi yang akan
menghasilkan tingkat pembelajaran yang tinggi untuk sejumlah besar siswa?"; ketiga,
Bagaimana guru memilih atau merancang instrumen dan prosedur penilaian yang
memberikan informasi akurat tentang seberapa baik siswa belajar?"; keempat,
"Bagaimana guru dapat memastikan bahwa tujuan, instruksi, dan penilaian konsisten
satu sama lain?" Dengan pertanyaan tersebut, sebelum mengajar, seorang guru
harus memilih materi yang penting untuk dipelajari oleh siswanya, merencanakan
proses belajar mengajar yang akan menghasilkan keterampilan berpikir tingkat
tinggi, merancang EHB yang dapat menggambarkan pencapaian tujuan
pembelajaran dan memeriksa konsistensi antara tujuan pendidikan, tujuan
instruksional dan penilaian (EHB).
Oleh karena itu, seorang guru militer di lembaga pendidikan TNI AD harus
melakukan beberapa langkah sebelum melakukan pengajaran. Langkah pertama,
harus mengetahui tujuan dari pendidikan yang diselenggarakan. Dalam kasus
tujuan mata pelajaran UUD NRI 1945 di Diktukpa, gumil harus tahu bahwa tujuan
pendidikan Diktukpa adalah "mendidik Bintara untuk menjadi Perwira TNI AD
yang dapat menjalankan tugas sebagai Komandan Peleton di Satpur/Satbanpur,
Perwira Staf di Satbanmin dan Satter dan potensial dikembangkan menjadi
Komandan Kompi di Satpur/Satbanpur dan Danramil di Satter". Sayangnya,
tujuan pendidikan yang dirumuskan dalam Kurdik seringkali abstrak dan sulit
ditafsirkan. Contoh Kurdik Diktukpa 2016, merumuskan tujuan pendidikannya "
Membentuk calon Perwira TNI AD agar memiliki sikap dan perilaku sebagai Prajurit
Sapta Marga dan Sumpah Prajurit, berpengetahuan dan keterampilan dasar golongan
Perwira serta kondisi jasmani yang samapta". Berhadapan dengan ketidakjelasan
tersebut, gumil harus merumuskan tujuan pendidikan Diktukpa agar mata pelajaran
yang diberikan memiliki konsistensi dengan tujuan pendidikan.
Langkah kedua, menganalisa pengetahuan yang sudah dimiliki
sebelumnya. Menanyakan sejauh mana siswa telah memiliki pengetahuan mengenai
UUD 1945 baik ketika duduk di bangku SMA, saat mengikuti pendidikan Diktukba atau
pendidikan kursus lainnya. Untuk mengukur pengetahuan yang sudah dimiliki, guru
dapat mempelajari kurikulum SMA, kurikulum Diktukba atau kursus-kursus lainnya
dan kemudian bisa dilanjutkan dengan menyusun pertanyaan pre-test. Dengan
demikian, guru tidak lagi mengulang materi pelajaran yang sudah pernah diterima
tetapi guru meningkatkan pengetahuan dan menyesuaikan kebutuhan pengetahuan
bagi pelaksanaan tugas ke depan. Dari hasil analisa, misalnya, ditemukan bahwa saat
duduk di bangku SMA, siswa sudah pernah belajar mengenai kedudukan
Pembukaan UUD 1945, hubungan Pancasila dan Batang Tubuh UUD 1945,
kedudukan UUD 1945 dan Pancasila dalam tata urutan perundang-undangan di
Indonesia, isi batang tubuh UUD 1945 hasil amandemen. Yang belum terlalu paham
dari para siswa adalah soal isu impeachment presiden yang banyak tersebar di media
sosial, soal hak asasi manusia terutama terkait dengan kasus di Papua atau kasus-
kasus lain, mekanisme checks and balances antar lembaga tinggi negara sebagai
implementasi sistem demokrasi, hubungan Pancasila dengan batang tubuh hasil
18
amandemen. Oleh karena itu, guru perlu mengklasifikasi jenis pengetahuan yang
akan diajarkan kepada peserta didiknya.
Anderson membagi pengetahuan dalam 4 kategori yaitu pengetahuan faktual
(factual knowledge), pengetahuan konseptual (conceptual knowledge), pengetahuan
prosedural (procedural knowledge) dan pengetahuan metakognitif (metacognitive
knowledge).
PENGETAHUAN FAKTUAL Elemen dasar yang dibutuhkan untuk mempelajari suatu disiplin
ilmu dimana setiap bagian menjadi keping-keping yang terpisah
satu sama lain
PENGETAHUAN KONSEPTUAL Hubungan antar elemen dan dengan struktur yang lebih besar
Pengetahuan Klasifikasi dan Kategori Periodisasi sejarah sistem politik Indonesia, pengelompokkan
jenis hewan mamalia, sistem pemerintahan federasi, konfederasi
dan kesatuan, kelompok angka rasional dan irrasional
Pengetahuan Strategi tahu strategi membuat outline untuk dapat menangkap isi buku
atau tulisan atau strategi untuk mengumpulkan data, buat
jembatan keledai untuk menghafal
Pengetahuan tentang tugas kognitif pengetahuan mengenai bentuk test yang akan diberikan oleh
termasuk pengetahuan kontekstual guru, pengetahuan tentang kemampuan kognitif atas tugas-tugas
dan sikon yang tepat yang berbeda
Pengetahuan tentang diri sendiri Penilaian siswa atas kemampuan mereka untuk menyelesaikan
tugas tertentu. motivasi belajar, minat dan penilaian penting
tidaknya tugas atau pelajaran bagi mereka
PROSES KOGNITIF
DIMENSI
1 2 3 4 5 6
PENGETAHUAN
REMEMBER UNDERSTAND APPLY ANALYZE EVALUATE CREATE
A. PENGETAHUAN
FAKTUAL
TUJUAN
B. PENGETAHUAN KURIKULER
Aktivitas-6 Aktivitas-5 Aktivitas-7
KONSEPTUAL Aktivitas-1
Aktivitas-4
C. PENGETAHUAN
Aktivitas-2 Aktivitas-3
PROSEDURAL
D. PENGETAHUAN
METAKOGNITIF
KETERANGAN:
Tujuan Kurikuler: "Siswa dapat menjelaskan hubungan Pancasila dan batang tubuh UUD 1945 hasil amandemen". (understand konseptual knowledge)
Aktivitas-1: “Siswa dapat menjelaskan dan memberikan contoh pelaksanaan dan pelanggaran nilai-nilai Pancasila” (understand konseptual knowledge)
Aktivitas-2: "Siswa dapat menggambarkan prosedur impeachment Presiden (understand prosedural knowledge)
Aktivitas-3: “Siswa dapat mengkritik isu impeachment Presiden berdasarkan UUD 1945” (evaluate prosedural knowledge)
Aktivitas-4: “Siswa dapat menjelaskan dan memberikan contoh pelaksanaan dan pelanggaran HAM” (understand konseptual knowledge)
Aktivitas-5: "Siswa dapat menilai kasus penembakan di Papua berdasarkan kriteria HAM dalam UUD 1945 dan nilai-nilai Pancasila"; (evaluate konseptual knowledge)
Aktivitas-6: "Siswa dapat menemukan koherensi check and balances antara lembaga negara dalam sistem demokrasi". (analyse konseptual knowledge)
Aktivitas-7: "Siswa dapat menciptakan content melawan hoax impeachment presiden berdasarkan UUD 1945” (create konseptual knowledge)
Dengan penggambaran ini, kita bisa melihat ada banyak keunggulan yang bisa
diperoleh dari model penetapan tujuan pembelajaran ini, yaitu pertama, gumil akan
memberikan lebih daripada yang dituntut oleh kurikulum; kedua, gumil akan
mengajarkan materi berdasarkan kebutuhan siswa (student centre); ketiga, mata
pelajaran yang diberikan tidak berulang (redundant) sehingga pelajaran akan lebih
menarik dan tidak terkesan membuang-buang waktu; keempat, proses pembelajaran
diarahkan pada kemampuan berpikir kritis; kelima, hasil akhir mata pelajaran
sesuai dengan tugas keluaran dari pendidikan Diktukpa yaitu menjadi perwira di
era kemajuan digital dengan membuat content untuk menangkal hoax; keenam,
peserta didik akan diajak untuk lebih banyak berdiskusi dengan rekan-rekan
mereka sehingga terbangun semangat kolaboratif yang selama ini kurang
diperhatikan dalam lembaga pendidikan.
Terhadap contoh ini, tinggal dua masalah yang perlu diselesaikan yaitu
bagaimana EHB diberikan dan bagaimana dengan alokasi jumlah JP yang tertulis
21
dalam Kurdik. Untuk menjawab masalah ini, kita cermati gambar-7. Dari gambar-7
nampak jelas bahwa materi UUD 1945 berkaitan erat dengan mata pelajaran
Pancasila, Kerukunan Hidup Umat Beragama, Hukum, Politik dan masih banyak
lagi bila dikembangkan. Oleh karena itu, dalam rangka menghindari pendidikan over
capacity, mata pelajaran serumpun perlu dijadikan satu dan mengambil model
pengajaran team teaching dimana salah satu gumil menjadi koordinatornya.
Koordinator ini akan mengarahkan seluruh gumil untuk menyatukan persepsi,
memimpin perumusan tujuan pembelajaran dan kemudian menata tahapan aktivitas
pengajarannya hingga model tes yang akan diberikan. Koordinator ini pula yang akan
memimpin diskusi, mengawasi pelaksanaannya, mengevaluasi proses pembelajaran
dan untuk selanjutnya memodifikasi untuk proses pembelajaran selanjutnya.
Jadi dalam model ini, gumil harus terbuka untuk berkolaborasi dengan
gumil lain. Bukan hanya siswa yang diajak untuk mau berkolaborasi dengan siswa
lain dalam pencapaian tujuan pembelajaran, tetapi gumil juga dituntut berkolaborasi.
Kolaborasi menjadi penting di era Revolusi Industri 4.0 sebab kolaborasi merupakan
salah satu literasi yang dibutuhkan untuk bisa memaksimalkan Revolusi Industri 4.0.
Gumil diharuskan berkolaborasi dengan gumil lain dalam merancang pembelajaran.
Demikian pula dengan siswa, mereka diharuskan berkolaborasi dengan sesama
siswa dalam menyelesaikan permasalahan yang disampaikan oleh gumil di kelas.
Dengan demikian, model pembelajaran seperti ini disamping siswa mendapatkan
kemampuan berpikir kritis, siswa juga dibangun sikap kolaborasi yang sangat
penting di era kemajuan IPTEK seperti sekarang ini.
Lalu bagaimana dengan EHB karena gumil dituntut untuk memberikan nilai dari
setiap pelajaran yang diberikan? Untuk menjawab pertanyaan itu, pertama-tama perlu
diingat bahwa bentuk EHB sesungguhnya ada dua macam yaitu formatif dan
sumatif. Tes formatif digunakan sebagai evaluasi proses belajar mengajar yang
bertujuan untuk mengukur kualitas proses pembelajaran yang sedang berjalan
sehingga gumil bisa menata strategi untuk meningkatkan bila ternyata hasil
pengukuran menunjukkan kualitas pengajarannya belum optimal. Sedangkan tes
sumatif digunakan sebagai penilaian akhir dari proses belajar mengajar. Untuk
kepentingan ini, gumil dari masing-masing bisa menggunakan kedua bentuk tes ini
sebagai bahan penilaian yang dituntut oleh regulasi yang berlaku di lingkungan TNI
AD. Disamping itu, gumil juga bisa melakukan penilaian selama proses diskusi
berlangsung untuk mengukur kemampuan masing-masing siswanya. Jadi,
sesungguhnya bentuk tes bisa bermacam-macam, tidak harus dalam bentuk lembar
persoalan yang harus dijawab secara tertulis. Gumil dapat menilai kualitas content
kontra hoax yang disebarkan oleh siswa di Instagram, Facebook, Whatsapp, Twitter
atau media sosial lainnya. Gumil bisa menilai siswa dari aktivitasnya di kelas. Gumil
juga bisa menilai siswa dari tugas-tugas yang diberikan kepada mereka.
Dari gambaran ini nampak bahwa model pengajaran seperti ini tidak hanya
membutuhkan dedikasi dan kecintaan seseorang terhadap profesinya sebagai
seorang guru, tetapi juga membutuhkan pengetahuan dan wawasan yang harus
selalu ter-update, terutama berkaitan dengan hal-hal yang menjadi trend generasi
milenial. Gumil harus selalu membaca koran, membaca buku-buku sesuai dengan
22
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Lorin W. et al. 2001. A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assesing: A
Revision of Bloom's Taxonomy of Educational Objectives. New York:
Longman.
Aprianto, Brian et al. 2019. Pedoman Lengkap Soft Skills: Kunci Sukses dalam Karier,
Bisnis, dan Kehidupan Pribadi. Jakarta: PPM.
Chen, Febe Victoria. 2012. Soft Skill for Success: Menciptakan Keharmonisan di
Dunia Kerja. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer
Cottrell, Stella. 2017. Critical Thinking Skills: Developing Effective Argument and
Analysis London: Palgrave.
Kasali, Rhenald. 2014. Self Driving: Menjadi Driver atau Passenger?. Jakarta: Mizan.
_____________ 2018. The Great Shifting: Series on Disruption. Jakarta: Gramedia.
Kirkpatrick, Donald L. et al. 2007. Implementing The Four Levels: A Practical Guide
for Effective Evaluation of Training Programs. San Fransisco:
Barrett-Koehler Publisher.
Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character. New York: Bantam Books.
McGregor, Debra. 2017. Developing Thinking Developing Learning: A Guide to
Thinking Skills in Education. Berkshire: McGraw-Hill.
Octavian, Amarulla. Militer dan Globalisasi di Era Revolusi Industri 4.0, Bahan Kuliah
Umum Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, 13 Mei
2019
Peters, Michael E et al (Eds). 2018. Post-Truth, Fake News: Viral Modernity and
Higher Education. Singapore: Springer.
Rainbolt, George W. et al. 2012. Critical Thinking: The Art of Argument. Boston:
Wadsworth.
Thomas, Michael (Ed). 2011. Digital Education: Opportunities for Social Collaboration.
New York: Palgrave MacMillan.
Whitehead, Alfred North. 1967. The Aims of Education. New York: Free Press.