Anda di halaman 1dari 24

MEMBANGUN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN KOLABORATIF BAGI

GENERASI MILENIAL TNI AD


Oleh Kolonel Caj Heru Wahyu Jatmiko

Membangun kemampuan berpikir kritis bagi generasi milenial TNI AD saat ini
menjadi sebuah kebutuhan yang sangat mendesak. Meskipun belum ada
kesepakatan dari para ahli psikologi perkembangan mengenai siapa yang dimaksud
dengan generasi milenial, tetapi beberapa ahli psikologi menunjuk generasi milenial
adalah mereka yang dilahirkan antara tahun 1980 sampai 2000-an.1 Mereka adalah
generasi yang sangat dekat dengan dunia digital. Kedekatan pada dunia digital
menjadikan generasi ini sering disebut sebagai generasi internet (the net
generation).2 Kebiasaan mengakses dunia internet membuat mereka menjadi
generasi yang memiliki wawasan informasi yang sangat luas, sering bersikap
kritis terhadap segala sesuatu, tidak mudah terindoktrinasi dan selalu
menghendaki perubahan agar hidup menjadi lebih mudah dan lebih nyaman. Data
dari Sisfopers TNI AD per Januari 2021 menunjukkan bahwa persentase populasi
generasi milenial TNI AD sebesar 60%, dengan perincian Perwira 30%, Bintara 54%
dan Tamtama 96%. Bisa diperkirakan bahwa persentase ini akan semakin meningkat
dari tahun ke tahun hingga pada akhirnya populasi organisasi TNI AD diisi seluruhnya
oleh generasi internet ini.
Akan tetapi fakta menunjukkan bahwa generasi milenial TNI AD masih jauh
dari gambaran ideal dari para ahli psikologi tersebut. Mereka relatif belum mampu
menunjukkan kemampuan berpikir kritis ketika berhadapan dengan informasi yang
disebar melalui media sosial atau media internet lainnya. Kita melihat sendiri
beberapa personel TNI AD dijatuhi hukuman karena menyebar berita bohong dan
ujaran kebencian itu (Hoax, Fake News dan Hate Speech). Berita terakhir yang terkait
dengan hal ini adalah dukungan oknum prajurit TNI AD kepada organisasi terlarang
yang diduga berafilisasi dengan ISIS.3 Tidak hanya berhenti di situ saja, nampaknya
personel TNI AD saat ini lebih mudah me-forward berita yang tidak terklarifikasi ke
rekan-rekan mereka. Fenomena ini menunjukkan bahwa banyak personel TNI AD
yang belum memiliki kemampuan berpikir kritis untuk memilah mana berita yang
benar dan mana berita yang tidak benar, mana yang penting dan mana yang tidak
penting.
Kekurangmampuan berpikir kritis yang melanda personel TNI AD ternyata
berbanding lurus dengan rendahnya kualitas pendidikan nasional kita. Data dari
Hasil survei yang dilakukan oleh OECD (Organisation for Economic Cooperation and
Development) menunjukkan Skor PISA (Programme for International Students

1
Hasanuddin Ali et al, Millennial Nusantara: Pahami Karakternya, Rebut Simpatinya (Jakarta: 2017),
hal. xvii.
2
Lih. David Stillman et al, Gen Z at Work: How the Next Generation is Transforming the Work Place
(New York: 2017), hal. 15.
3
"Ucapkan Selamat Datang ke HRS, Prajurit TNI Disanksi",
https://ihram.co.id/berita/qjmlbu385/ucapkan-selamat-datang-ke-hrs-prajurit-tni-disanksi, diakses 6
Februari 2021, Pkl.11.48 WIB
2

Assesment) tahun 2019, skor membaca pelajar Indonesia berada di peringkat 72 dari
77 negara, sedangkan skor matematika ada di peringkat 72 dari 78 negara dan skor
sains berada di peringkat 70 dari 78 negara.4 Peringkat ini menunjukkan bahwa
kualitas pendidikan nasional Indonesia masih cukup rendah dibandingkan dengan
negara-negara lain. Rendahnya kualitas pendidikan Indonesia berbuntut pada
rendahnya kualitas SDM Indonesia sebagaimana ditunjukkan dari Indeks daya
saing global (The Global Competitiveness Index 4.0) yang dikeluarkan oleh World
Economic Forum (WEF). Menurut WEF, indeks daya saing global untuk Indonesia di
tahun 2019 menurut World Economic Forum (WEF) berada pada urutan ke-50 dari
141 negara.5 Posisi Indonesia menurun dibandingkan posisinya di tahun 2018 yang
berada pada urutan ke-45, sementara itu urutan teratas diraih oleh Singapura dan
urutan kedua adalah Amerika Serikat.6 Dari data ini, bisa dimaklumi bila hoax, fake
news atau hate speech yang disebar melalui media sosial begitu merajalela di tengah
masyarakat Indonesia termasuk di dalam organisasi TNI AD.

Kualitas Pendidikan Rendah Sebagai Akar Permasalahan


Dari data-data tersebut di atas, jelas kelihatan bahwa rendahnya kualitas
SDM di Indonesia sesungguhnya bersumber dari rendahnya kualitas pendidikan
nasional Indonesia. Sistem pendidikan nasional Indonesia belum sepenuhnya
mampu menghasilkan SDM yang memiliki kemampuan berpikir kritis sehingga semua
informasi yang diterima dianggap sebagai benar adanya. Apalagi di era Post Truth
sekarang ini, ada begitu banyak informasi yang di-viral-kan berisi content yang
langsung menyentuh, mengaduk-aduk dan menyakiti keyakinan dan rasa perasaan
kita sehingga daya nalar kita menjadi tumpul karena daya nalar sudah dikalahkan oleh
keyakinan dan rasa perasaan yang terkoyak-koyak.7 Sekilas, berita bohong dan
ujaran kebencian yang di-viral-kan itu tidak berdampak apa pun. Tapi bila kita cermati
secara lebih mendalam, kerusakan yang ditimbulkan sangatlah luar biasa. Kerusakan
itu bukan hanya menyangkut permasalahan persatuan dan kesatuan bangsa tetapi
juga merambat pada pada dunia ekonomi, politik dan sosial budaya. Di era Post Truth
saat ini, berita bohong dan ujaran kebencian itu sering dimanfaatkan untuk
mengunggulkan pihak tertentu dan mematikan pihak lain.
Hoax, fake news dan hate speech yang berhasil mengaduk-aduk emosi
masyarakat bukanlah sebuah informasi yang dibuat oleh orang-orang tidak terpelajar.
Fakta menunjukkan bahwa berita bohong dan ujaran kebencian seperti itu memang

4
"Skor Terbaru PISA: Indonesia Merosot di Bidang Membaca, Sains dan Matematika",
https://www.liputan6.com/global/read/4126480/skor-terbaru-pisa-indonesia-merosot-di-bidang-
membaca-sains-dan-matematika, diakses 6 Februari 2021 Pkl.19.54 WIB
5
Klaus Schwab, The Global Competitiveness Report 2019 (Geneva: WEF, 2019)
6
"Indeks Daya Saing Global Indonesia Turun Menjadi 50 Dunia", Kompas.com, 10 Oktober 2019,
https://money.kompas.com/read/2019/10/10/051323226/indeks-daya-saing-global-indonesia-turun-
menjadi-50-dunia, diakses 13 Oktober 2019 Pkl. 20.20 WIB
7
Post Truth dipahami sebagai pembentukan opini publik tidak menggunakan fakta atau data yang
obyektif tetapi menggunakan segala informasi yang dapat mengaduk-aduk emosi dan menyinggung
keyakinan pribadi. Lih. Matthew D'Ancona, Post Truth The New War on Truth and How to Fight Back
(New York: Ebury Press, 2017), hal.3
3

diciptakan oleh orang-orang cerdas seperti yang dilakukan oleh mereka yang
tergabung dalam kelompok Saracen.8 Oleh karena itu, usaha untuk melawannya juga
harus dilakukan dengan cara-cara yang cerdas pula. Sesungguhnya, berbagai media
massa telah menyosialisasikan cara paling ampuh untuk melawan hoax dan fake
news yaitu dengan cara mencari informasi dari sumber-sumber terpercaya untuk
menilai apakah berita yang diterima itu benar atau tidak. Akan tetapi masyarakat
sudah terlanjur terbiasa untuk tidak melakukan check and recheck atas content yang
diterima di media sosial atau situs-situs internet lainnya. Semua informasi diterima
begitu saja tanpa suatu pemikiran yang kritis.
Cara berpikir masyarakat yang selalu menerima informasi begitu saja tanpa
memikirkan secara kritis diistilahkan oleh Michael Kallet sebagai masyarakat yang
terbiasa berpikir otomatis (automatic thinking).9 Kallet melukiskan berpikir otomatis
sebagai berpikir yang menekankan penarikan kesimpulan secara cepat tanpa melalui
proses pengumpulan informasi dan proses analisa yang mendalam.10 Kallet
mengemukakan bahwa sistem pendidikan yang tidak mendorong siswa berpikir
kritis menjadi salah satu penyebab masyarakat lebih suka berpikir otomatis
dalam menghadapi segala sesuatu. Menurutnya, dalam masyarakat yang demikian,
pendidikan tidak mengajarkan murid-muridnya untuk banyak berpikir tetapi
sekolah mengajarkan murid untuk bertindak cepat. Ia mengemukakan bahwa
pendidikan yang mengajarkan muridnya bertindak cepat nampak dari soal-soal ujian
yang selalu memakai model soal pilihan ganda yang selalu dijumpai dalam berbagai
jenjang pendidikan. Dalam soal pilihan ganda tersebut, siswa dihadapkan pada empat
kemungkinan jawaban dan hanya ada satu jawaban yang benar. Tugas siswa adalah
memilih jawaban yang benar dengan cepat, untuk kemudian lanjut ke persoalan
berikutnya. Akibatnya, dalam menjalani kehidupan masyarakat akan terbiasa
mengerjakan segala sesuatu secara cepat tanpa proses analisa yang mendalam.
Akan tetapi realitas kehidupan dunia tidak seperti memilih jawaban dari soal pilihan
ganda. Ketika kita menghadapi masalah, ada banyak cara untuk mengatasinya. Kita
harus membanding-bandingkan pilihan-pilihan yang ada, memilih solusi yang paling
tepat dan kemudian menjelaskan alasannya.
Kallet tidak menyangkal bahwa berpikir otomatis (automatic thinking) itu buruk.
Dalam banyak hal, berpikir otomatis (automatic thinking) sangat diperlukan untuk hal-
hal praktis yang dilakukan sehari-hari. Bahkan Kallet mengatakan bahwa dengan
mode berpikir otomatis (automatic thinking mode), kita terhindar dari kelelahan yang
luar biasa. Dengan mode berpikir otomatis, ketika kita terbangun dari tidur, tidak
semua informasi yang mengalir deras ke dalam otak kita harus dipikirkan. Kita hanya
menerima informasi yang relevan bagi aktivitas kita saat itu saja. Akan tetapi ketika
kita berhadapan dengan permasalahan yang kompleks, mode berpikir otomatis saja

8
"Ini Fakta Sindikat Saracen: Pelaku Punya Kecerdasan di atas Rata-rata Sampai Miliki 800 Ribu
Akun", Tribunnews.com, 27 Agustus 2017, https://www.tribunnews.com/nasional/2017/08/27/ini-fakta-
sindikat-saracen-pelaku-punya-kecerdasan-di-atas-rata-rata-sampai-miliki-800-ribu-akun, diakses 17
November 2019 Pkl.21.20 WIB
9
Michael Kallet, Think Smarter: Critical Thinking to Improve Problem-Solving and Decision-Making
Skils (New Jersey: John Willey and Sons Inc., 2014), hal.4-6
10
Lih. Ibid, hal. 18-19
4

tidak cukup. Kallet mengatakan masih ada satu lagi kemampuan yang harus
dimiliki manusia berhadapan dengan permasalahan yang semakin kompleks
yaitu kemampuan berpikir kritis (Critical Thinking). Menurut Kallet, bila manusia
hanya memiliki kemampuan berpikir otomatis saja tanpa memiliki kemampuan berpikir
kritis, maka banyak pekerjaan akan diselesaikan secara lambat karena keputusan
yang diambil selalu berubah-ubah. Bila ia seorang pemimpin yang memiliki otoritas
untuk memutuskan, keputusan yang diambil bisa dengan cepat berubah. Kallet lebih
jauh mengatakan, bila seseorang hanya memiliki kemampuan berpikir otomatis,
semua pekerjaan yang dilakukan hanyalah copy paste dari pekerjaan orang lain.
Berkaca dari pemikiran Kallet tersebut, nampaknya banyak fenomena yang
dilukiskan oleh Kallet terjadi pada SDM TNI AD. Bisa dikatakan bahwa mayoritas
SDM TNI AD lebih didominasi oleh kemampuan berpikir otomatis. Bukan menjadi
rahasia umum di kalangan perwira TNI AD, bila mereka akan mengikuti suatu
pendidikan, hal pertama yang selalu dicari untuk disimpan dalam laptopnya masing-
masing adalah karmil atau essay. Bila ada tugas-tugas berkaitan dengan karmil
maupun essay, para perwira siswa akan lebih suka untuk meng-copy paste tulisan
orang lain. Nampaknya fenomena copy paste begitu merebak di dalam organisasi TNI
AD. Banyak naskah perencanaan dan laporan serta surat-surat dinas lainnya dibuat
dengan mode copy paste. Model pekerjaan seperti itu didasari pada satu alasan yaitu
supaya cepat selesai, jangan terlalu banyak berteori, yang penting pelaksanaannya.
Fenomena copy paste menjadi semakin menguat ketika generasi milenial yang sangat
dekat dengan dunia digital tidak lagi asing dengan dunia internet dan komputer.
Semua informasi yang relevan dengan mudah akan di copy paste tanpa harus
bersusahpayah untuk menyelesaikan tugas. Seakan-akan semua tulisan di
website benar adanya dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Padahal,
sesungguhnya tidak semua tulisan website bisa dipertanggungjawabkan
kebenarannya. Semua ini menunjukkan bahwa generasi milenial TNI AD benar-benar
membutuhkan kemampuan berpikir kritis. Pertanyaannya, apa yang harus dilakukan?

Membangun Kemampuan Berpikir Kritis dari Pendidikan


Bagi TNI AD, kurang dimilikinya kemampuan berpikir kritis menjadi sebuah
keprihatinan mendalam. Masalahnya, perkembangan Revolusi Industri 4.0 ternyata
melahirkan jenis peperangan baru yang disebut sebagai Perang Generasi ke-5 (The
Fifth Generation of Warfare). Dr. Amarulla Octavian dalam tulisannya yang berjudul
"Militer dan Globalisasi di Era Revolusi Industri 4.0" mengatakan bahwa peperangan
generasi ke-5 merupakan perang informasi (Information Warfare) yang dilakukan oleh
oleh aktor bukan negara (non-state actor) dan negara-negara pengacau perdamaian
dunia (rogue state). Dalam peperangan itu, mereka menggunakan media massa
dan internet (ciber warrior) sebagai sarana untuk menghancurkan ekonomi,
politik, transportasi dan aspek-aspek lain dari negara sasaran.11 Melihat fakta-
fakta yang terjadi di masyarakat dan lingkungan TNI AD, sesungguhnya saat ini kita

11
Amarulla Octavian, Militer dan Globalisasi di Era Revolusi Industri 4.0, Bahan Kuliah Umum Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, hal.8
5

sedang berada dalam era perang generasi ke-5 tersebut. Keikutsertaan personel TNI
AD dan keluarganya dalam rangka menyebarkan atau menciptakan hoax, fake news
atau pun hate speech bisa dimaknai sebagai upaya untuk melemahkan kekuatan TNI
AD. Oleh karena itu sebelum semua menjadi terlambat, kita harus berbuat
sesuatu agar TNI AD mampu menjadi kekuatan pertahanan matra darat yang
profesional dan unggul di bidang pertahanan matra darat.
Berkaca dari kasus Saracen, sesungguhnya perang informasi hanya akan
berhasil bila informasi itu diciptakan oleh manusia-manusia yang cerdas. Oleh karena
itu untuk menangkal informasi tersebut, upaya yang perlu dilakukan adalah
membangun SDM yang memiliki kemampuan berpikir kritis. Berpikir kritis (critical
thinking) tidak sama dengan dengan berdebat, menjadi emosional, suka mengkritik.
Kata kritis dalam berpikir kritis tidak sama dengan ketidaksetujuan terhadap suatu
argumen atau pandangan orang lain. Berpikir kritis bersifat netral, tidak emosional
karena tidak ada hubungannya dengan emosi atau perasaan manusia. Berpikir kritis
berkaitan erat dengan ranah kognitif yang akan menghasilkan suatu
kemampuan menganalisa untuk menghasilkan suatu produk atau pekerjaan
yang lebih baik atau unggul.
Ada berbagai macam definisi atau pengertian mengenai berpikir kritis. Dari
berbagai pendapat mengenai definisi atau pengertian berpikir kritis tersebut, ada satu
rumusan yang selalu dipakai oleh para sarjana pendidikan mengenai apa itu berpikir
kritis. Dengan menggunakan taksonomi Bloom, mereka ini memberikan definisi
berpikir kritis (critical thinking) sebagai keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher-
order thinking skills)12 Higher-Order Thinking Skills atau HOTS dalam kacamata
taksonomi Bloom berada dalam ranah kognitif dan dapat digambarkan dengan skema
sebagai berikut:

Gambar-1 Higher-Order Thinking Skills (HOTS) dan Lower-Order Thinking Skills (LOTS) dalam
Taksonomi Bloom

12
"Critical Thinking and other Higher-Order Thinking Skills" https://cetl.uconn.edu/critical-thinking-and-
other-higher-order-thinking-skills/#, diakses 23 November 2019
6

Taksonomi Bloom sebagaimana nampak dalam Gambar-1 tersebut


merupakan taksonomi yang telah direvisi oleh Lorin W. Anderson pada tahun 2001.
Revisi dilakukan pada perubahan nomenklatur dalam tiap tahapan. Taksonomi Bloom
yang asli berupa kata benda yang meliputi pengetahuan, pemahaman, aplikasi,
analisis, sintesis dan evaluasi. Anderson merevisi menjadi kata kerja sekaligus
menggantikan sintesis di tingkat ke-5 dengan kata kerja evaluasi dan pada tahap
tertinggi, Anderson memasukkan "creating" atau mencipta PERSPECTIVES
menggantikan kata benda
Bloom’s Taxonomy: What’s Old Is New Again
evaluasi yang telah dipindahkan di tingkatan ke-5 atau tingkatan di bawahnya. 13

Figure 4:
Bloom’s original and
revised taxonomies

Gambar-2 Perbandingan Taksonomi Bloom Asli dengan


Other differences are more subtle.Bloom
Taksonomi In the original
yangtaxonomy,
direvisi the most important
Anderson
element was the categories. Six categories were arranged in a hierarchy, and it was
assumed that learners must master the lowest level of the hierarchy before they could
advance to the next higher level. The revised taxonomy also arranges skills from
the most basic to the most complex. However, because skills such as understanding
can be exercised on many levels, the developers allowed categories to overlap. For
example, understand is technically lower on the hierarchy than apply. However, the
skill of explaining is more cognitively complex than executing, even though that skill is
associated with a higher category. As a result, “the hierarchy is no longer considered
cumulative,” according to Krathwohl.

From One to Two Dimensions: Knowledge Levels and


Cognitive Processes
While Figure 4 makes it easy to see changes in the six categories, it does not show two
Gambar-3 Cakupan Tujuan Pembelajaran HOTS dan LOTS
important elements of the revised taxonomy: the new version has two dimensions—
knowledge and cognitive processes—and the subcategories within each dimension
13 areDarmawan
Lih. I Putu Ayub more extensiveet
andal,
specific.
"RevisiEachTaksonomi
element is explained below; for a visual
Pembelajaran Benyamin S. Bloom", Jurnal
Satya Widya Vol.29 No.1 Juniof2013,
representation how thehal.30-39
elements relate to each other, see Figure 5 (on page 22).

The first dimension, knowledge, now contains four categories of knowledge arranged
from the most concrete to the most abstract:
7

Bila melihat Gambar-3, nampak bahwa berpikir kritis (critical thinking)


merupakan kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills) yang
meliputi kemampuan untuk menganalisa, mengevaluasi dan mencipta. Untuk sampai
pada keterampilan tersebut diperlukan kemampuan untuk mengingat (remembering),
memahami (understanding) dan menerapkan (applying). Oleh karena itu,
keterampilan berpikir kritis merupakan kemampuan untuk, pertama, mengidentifikasi
unsur-unsur dari suatu kasus, khususnya alasan-alasan dan kesimpulan; kedua,
mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi-asumsi; ketiga memperjelas dan
menafsirkan ungkapan-ungkapan dan gagasan-gagasan; keempat,
mempertimbangkan kebenaran dan kredibilitas argumen; kelima, mengevaluasi
argumen dari sudut pandang yang berbeda; keenam, melakukan analisa, evaluasi
dan membuat keputusan; ketujuh, menarik kesimpulan yang logis dari premis-premis
yang tersedia; dan terakhir membuat argumen atau keputusan yang masuk akal.14
Ketujuh hal tersebut seluruhnya terkandung dalam proses kognitif Bloom hasil revisi
Anderson pada ranah proses berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills).
Untuk memiliki kemampuan berpikir kritis butuh suatu proses pelatihan yang panjang.
Debra McGregor mengemukakan bahwa cara terbaik untuk memiliki keterampilan
berpikir kritis adalah melalui proses pendidikan di sekolah.15 Melalui
pendidikan, guru atau pengajar secara bertahap dapat membimbing peserta
didiknya agar mereka memiliki kemampuan berpikir kritis.
Akan tetapi persoalannya, data PISA tahun 2019 dan fenomena maraknya
berita bohong dan ujaran kebencian menunjukkan bahwa sistem pendidikan nasional
Indonesia belum mengarah pada pembangunan SDM yang memiliki kemampuan
berpikir kritis tersebut. Fakta bahwa sistem pendidikan nasional kita belum
mengarahkan peserta didiknya pada dimilikinya kemampuan berpikir kritis nampak
dari pernyataan Mendikbud RI Nadiem Makarim dalam pidatonya memperingati Hari
Guru Nasional tahun 2019. Dalam pidato singkatnya, ia menggambarkan kondisi
pendidikan nasional saat ini yaitu pertama, para pengajar dibebani dengan banyak
aturan dan "tugas administratif tanpa manfaat yang jelas"; kedua, pengajar
dibebani dengan nilai ujian; ketiga, "kurikulum yang begitu padat menutup pintu
petualangan" pengajar untuk berkreasi dan berinovasi dalam mengajar; keempat,
pendidikan yang mengedepankan kemampuan menghafal; kelima, pendidikan
yang terlalu menekankan keseragaman padahal kebutuhan peserta didik berbeda-
beda.16

Mengevaluasi Taksonomi Kognitif Versi Juknis Paket Instruksi


Bila kita jujur, sesungguhnya apa yang dikatakan oleh Mendikbud RI juga
menimpa sistem pendidikan di lingkungan TNI AD. Gumil banyak diatur dengan buku

14
Debra McGregor, Developing Thinking Developing Learning: A Guide to Thinking Skills in Education
(Berkshire: McGraw-Hill, 2017), hal. 193-194
15
Ibid, hal.13
16
Lih. "Viral Pidato Nadiem Makarim soal Hari Guru Nasional, Ini Isinya...", Kompas.com, 24 November
2019, https://www.kompas.com/tren/read/2019/11/24/084450565/viral-pidato-nadiem-makarim-soal-
hari-guru-nasional-ini-isinya?page=all, diakses 27 November 2019 Pkl. 10.20 WIB.
8

petunjuk mulai dari cara atau metode mengajar, materi mengajar hingga cara
membuat ujian. Gumil seakan-akan tidak diberi ruang untuk berkreasi ketika
memberi pelajaran di kelas. Bahkan sebelum mengajar, gumil disibukkan dengan
tugas administratif yang membuat gumil tidak memiliki waktu lagi untuk memperluas
pengetahuan yang akan diajarkannya. Tambahan lagi, jumlah Jam Pelajaran (JP)
yang begitu banyak sehingga materi pelajaran begitu banyak, ujian dibuat
bertubi-tubi sehingga serdik tidak memiliki waktu untuk memperdalam. Karena
tidak memiliki waktu untuk belajar dan mendalami materi, maka serdik
mengandalkan kisi-kisi untuk dihafalkan agar ujian mendapatkan nilai yang baik
sehingga gumil tidak dipersalahkan sebagai gumil yang tidak mampu mengajar.
Akhir dari semua "tragedi" sistem pendidikan itu adalah "perubahan" yang diharapkan
menjadi keluaran dari suatu pendidikan tidak terjadi. Selesai ujian, selesai semua,
hilang semua hafalan yang sudah dituangkan dalam ujian. Serdik dinyatakan
lulus tapi tidak tahu apa yang dipelajarinya. Ibaratnya, serdik datang sebagai botol
kosong keluar botol itu masih kosong, kalau pun ada isinya, isinya sangatlah sedikit.
Bila dianalisa lebih dalam lagi, sumber permasalahan di dunia pendidikan TNI
AD terletak pada kesalahan background teori yang digunakan dalam proses belajar
mengajar. Bila kita menyimak Petunjuk Teknis (Juknis) tentang Paket Instruksi
(Keputusan Kasad Nomor Kep/685/IX/2015), taksonomi yang digunakan hanya
meliputi empat tingkatan yaitu mengetahui, mengerti, memahami dan menguasai.
Tingkatan proses kognitif Juknis ini berbeda dengan taksonomi Bloom yang direvisi
oleh Anderson. Ada perbedaan yang bisa dikemukakan antara pentahapan proses
kognitif Juknis ini dengan Taksonomi Bloom yaitu pertama, Taksonomi Bloom
memiliki 6 tingkatan proses kognitif dan setiap tingkatan di atasnya mengandaikan
telah dikuasai tingkatan di bawahnya sedangkan Juknis ini hanya memiliki 4 tingkatan;
kedua, perbedaan tiap tingkatan dalam Juknis ini kurang tajam sehingga berpotensi
membingungkan gumil dalam merancang pembelajaran. Kita bisa bertanya apa
perbedaan antara mengetahui, mengerti, memahami dan menguasai? Bila kita baca
kata kerja yang menjelaskan dari tingkatan itu, akan ditemui banyak persamaan
kata kerja dalam setiap tingkatan. Pada kata kerja nomor urut 1 sampai dengan 5
di tingkatan mengerti, memahami dan menguasai sebagaimana nampak pada
gambar-4, perbedaan antara "mengerti", "memahami" dan "menguasai" hanya
dijelaskan dengan uraian "menjelaskan, menerangkan, menguraikan,
memaparkan, memberi keterangan" secara tidak mendalam (pada tingkatan
mengerti), secara cukup mendalam (pada tingkatan memahami) dan secara
mendalam (pada tingkatan menguasai); ketiga, tidak ada pengertian yang
memadai dari setiap tingkatan dalam kaitan dengan subyek materi yang diajarkan
sehingga taksonomi versi Juknis tidak merangsang gumil untuk melakukan proses
analisa dalam merancang pembelajaran. Proses analisa dalam perencanaan
pembelajaran menjadi sangat penting karena hakekat dari pembelajaran adalah
tercapainya perubahan dalam diri serdik seperti yang diharapkan oleh gumil.
9

Gambar-4 Tingkat Kecakapan Kognitif dalam Juknis Paket Instruksi (Kep/685/IX/2015)


10

1. MENGINGAT 2. MEMAHAMI 3. MENGAPLIKASIKAN 4. MENGANALISA 5. MENGEVALUASI 6. MENCIPTA


(REMEMBERING ) (UNDERSTANDING ) (APPLYING ) (ANALYZING ) (EVALUATING ) (CREATING )
a. Mengenali a. Menafsirkan a. Menjalankan a. Membedakan a. Memeriksa (checking ) a. Merumuskan
(recognizing ), (interpreting ) (executing ) (differentiating ) berkaitan dengan (generating ),
mengidentifikasi konsistensi internal,
(identifying )
b. Memanggil kembali Memperjelas (clarifying )melaksanakan (carry out) membuat penilaian suka membawa elemen yang menghipotesakan
hafalan (recalling ) , atau tidak suka berbeda dari (aktivitas atau (hypotesizing )
mengingat kembali (discriminating ), organisasi yang kompleks)
hafalan (retrieving ) ke dalam hubungan yang
akan menjamin efisiensi
atau harmoni
(coordinating ),
Menguraikan dengan kata- b. Mengimplementasikan membedakan mendeteksi (detecting ), b. Merencanakan
kata sendiri (implementing ) (distinguishing ), (planning ),
(paraphrasering )

Menggambarkan atau menggunakan (use) memfokuskan memantau (monitoring ), mendesain (designing )


Menunjukkan atau (focusing ),
Menyimbolkan
(representing )
Menerjemahkan menyeleksi (selecting ) menguji (testing ) c. Memproduksi
(translating ) (producing )
b. Memberi contoh b. Mengorganisir b. Mengkritik (critiquing ), membangun atau
(exemplifying ) (organizing ) mengkonstruksi
(constructing )
membuat ilustrasi atau menemukan koherensi menilai (judging )
gambaran (ilustrating ) (finding coherence),

memberi contoh mengintegrasikan


(instatiating ) (intergrating ),

c. Mengklasifikasi membuat kerangka


(clasifying ) atau (outlining ),
mengkategorikan atau
menggolongkan menguraikan bagian-
bagian (parsing ),

membuat struktur
(structuring )
e. Menyimpulkan
(inferring )

f. Membandingkan c. Memaknai
(comparing ) (attributing )
Mengkontraskan dekonstruksi
(contrasting) (deconstructing )
Memetakan (mapping)
Mencocokkan (matching)

g. Menjelaskan
(explaining )
mengkonstruksi
(constructing )
memodelkan (models )

Gambar-5 Kategori dan Kata Kerja Proses Kognitif Taksonomi Bloom


11

Perbedaan yang cukup mencolok dari taksonomi versi Juknis tersebut


dengan Taksonomi Bloom adalah tingkatan tertinggi dari taksonomi Juknis
ternyata merupakan tingkatan rendah dari Taksonomi Bloom. Bila kita melihat
kata kerja di tingkatan "menguasai", salah satu rumusan kata kerja yang ada dalam
tingkatan tersebut adalah "menjelaskan secara mendalam", pada tingkatan
"memahami" dikatakan "menjelaskan secara cukup mendalam" dan di tingkatan
"mengerti" rumusannya "menjelaskan tidak mendalam". Kata kerja "menjelaskan"
dalam Taksonomi Bloom berada pada tingkatan Memahami (Understanding). Bloom
mengatakan, kategori "mendalam", "cukup mendalam" dan "tidak mendalam" dalam
proses analisa penentuan tujuan pembelajaran dapat dihilangkan untuk
mempermudah penentuan tujuan pembelajaran.17 Oleh karena itu, sesungguhnya
tingkatan "Menguasai" yang selama ini dipandang sebagai tingkatan paling
tinggi dalam proses belajar mengajar, ternyata dari kacamata Taksonomi Bloom
masih berada dalam tataran kemampuan berpikir tingkat rendah (Low Order
Thinking Skills). Begitu juga dengan kata kerja "mengidentifikasi" yang terdapat
pada tingkatan "Mengetahui" dan "Mengerti" dalam kacamata Taksonomi Bloom
berada pada tingkatan "Mengingat" (Remembering). Dengan demikian, sebenarnya
yang selama ini tingkatan "mengerti" dipandang satu tingkat lebih tinggi dari tingkatan
paling bawah dalam taksonomi Juknis ternyata tingkatan "mengerti" identik
dengan tingkatan "remembering" yang berada pada tingkatan paling bawah dari
Taksonomi Bloom. Dengan demikian, ada perbedaan yang sangat mendasar antara
taksonomi yang digunakan di lingkungan TNI AD dengan taksonomi yang digunakan
oleh lembaga pendidikan di seluruh dunia termasuk. Akibatnya, apa yang dianggap
sebagai tujuan pembelajaran yang tinggi di lemdik TNI AD ternyata secara
teoritis dan ilmiah, masih berada pada tingkatan terbawah.

Pendidikan Over Capacity dan Over Cognitif


Bila dihadapkan pada taksonomi Bloom, sesungguhnya pelaksanaan EHB
(Evaluasi Hasil Belajar) yang dilakukan selama ini tidak seluruhnya keliru. Evaluasi
belajar yang bersifat hafalan pada tingkatan remember adalah tepat, akan tetapi
menjadi keliru bila persoalan hafalan menjadi bahan evaluasi pada tujuan
pembelajaran "memahami" atau understand. Pada tahapan understand, siswa diminta
merumuskan dengan kalimatnya sendiri atas pengertian pelajaran yang sudah
diterimanya. Jadi, dipandang dari taksonomi Bloom, bentuk EHB di jajaran lemdik TNI
AD sesungguhnya hanya dua jenis yaitu menguji hafalan dan menguji pemahaman
pelajaran yang sudah diterima serdik. Persoalannya, mengapa pendidikan di TNI AD
tidak sampai pada pembelajaran tingkat tinggi? Apakah ada sebab lain yang
menyebabkan semua itu terjadi selain karena ketidaktepatan taksonomi dalam tujuan
pembelajaran?
Hasil dari wawancara beberapa peserta didik yang sedang mengikuti
pendidikan diperoleh masukan bahwa mata pelajaran yang diberikan di lemdik

17
Lorin W. Anderson et al, A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assesing: A Revision of Bloom's
Taxonomy of Educational Objectives (New York: Longman, 2001), hal.33
12

sedemikian banyaknya sehingga hari-hari mereka selama mengikuti pendidikan


diwarnai oleh ujian-ujian. Pendapat mereka ini bisa dipahami sebab dengan
menggunakan sistem JP (Jam Pelajaran), setiap materi pelajaran yang selesai
diajarkan akan selalu ditutup dengan ujian. Padahal setiap minggu ada lebih dari tiga
mata pelajaran yang selesai diajarkan karena rata-rata mata pelajaran memiliki jumlah
JP yang relatif kecil. Akibatnya, dengan sistem JP tersebut, hari-hari yang dipenuhi
dengan ujian tidak bisa dihindari.
Untuk membuktikan pendapat peserta didik tersebut, bisa diambil contoh
kurikulum pendidikan (kurdik) Diktukpa tahun 2016. Dalam kurdik itu, jumlah mata
pelajaran yang dicantumkan dalam kurdik tersebut sebanyak 84 mata pelajaran,
ditambah 10 jenis kegiatan yang bukan pelajaran tetapi dimasukkan sebagai bagian
dari kurdik tersebut seperti Upacara Buka/Tutup Pendidikan, Jam Komandan, Jam
Pemeriksaan, Masa Penyegaran, Upacara Kenaikan Taraf, Ceramah Asisten Kasad
dan Praspa. Diktukpa yang berlangsung dalam kurun waktu 28 Minggu atau 7 bulan
harus mempelajari 84 mata pelajaran, dengan jumlah jam pelajaran sebanyak 1.400
JP. Dengan 84 mata pelajaran tersebut berarti ada 84 ujian di akhir masing-masing
mata pelajaran. Bila dibagi dalam hitungan hari efektif berdasarkan asumsi bahwa
pelajaran tatap muka di kelas berlangsung dari hari Senin hingga Sabtu (6 hari), maka
setiap minggu akan ada 3 mata pelajaran yang diujikan. Asumsi 6 hari itu berdasarkan
pengandaian bahwa hari-hari efektif tidak diganggu dengan kegiatan lainnya yang
menyita waktu proses belajar mengajar di kelas atau hari libur nasional lainnya yang
menjadikan kegiatan belajar mengajar di kelas terhenti. Tetapi fakta di lapangan
sering berbeda, adanya hari libur nasional atau kegiatan protokoler lainnya yang bisa
menghentikan proses belajar mengajar di kelas membuat ujian yang dilaksanakan
dalam satu minggu bisa lebih dari 3 mata pelajaran. Jadi selama 7 bulan mengikuti
pendidikan itu, hari-hari yang dilalui oleh siswa dipenuhi dengan jadwal ujian, yang
kadang-kadang harus menghadapi ujian untuk 2 mata pelajaran dalam sehari.
Dengan kondisi yang demikian, siswa tidak akan memiliki waktu yang cukup untuk
memperdalam dan mengendapkan pengetahuan yang diterimanya.
Barangkali bisa dikatakan bahwa waktu untuk mengendapkan pengetahuan
yang diterima memang benar-benar tidak ada sehingga wajarlah bila kemudian
muncul pemeo "selesai ujian, selesai semua pengetahuan yang diterima". Ketiadaan
waktu untuk memperdalam atau mengendapkan pelajaran yang diterima serdik terjadi
karena saat merancang sebuah kurikulum pendidikan, tidak ada SOP (Standard
Operating Procedure) yang mengharuskan perancang kurikulum untuk terlebih dahulu
menghitung waktu yang dibutuhkan oleh siswa guna memperdalam dan
mengendapkan pengetahuan yang telah diterima.
Sebagai gambaran, bisa diperbandingkan dengan apa yang dilakukan oleh
salah satu Poltekkes di Solo pada saat merencanakan kurikulum pendidikan yang
akan mereka gelar.18 Sebelum para dosen menyusun kurikulum pendidikan untuk
program Sarjana Terapan, Magister Terapan dan Doktor Terapan, terlebih dahulu

18
Lih. "Pemikiran Perhitungan Jumlah SKS Program Pendidikan dan Besaran SKS Mata Kuliah",
http://www.poltekkes-solo.ac.id/attachments/736_6.%20sks.pdf, diakses 16 April 2020 Pkl. 20.30 WIB
13

mereka menghitung waktu yang dibutuhkan mahasiswanya untuk belajar mandiri,


melaksanakan tugas terstruktur dan melaksanakan kegiatan tatap muka sesuai
ketentuan Permenristekdikti Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional
Perguruan Tinggi. Dalam peraturan itu dikatakan bahwa jumlah SKS (Satuan
Kredit Semester) paling banyak 24 SKS dalam satu semester atau dalam rentang
waktu pendidikan 6 bulan (Pasal 18). Jumlah 24 SKS tersebut merupakan
perhitungan maksimal bagi peserta didik untuk dapat mendalami dan mengendapkan
pengetahuan yang telah dimilikinya. Dalam Permenristekdikti tersebut dikatakan 1
SKS sama dengan 170 menit kegiatan belajar mengajar per minggu. Bila materi
tersebut dalam bentuk teori, 1 SKS terdiri dari 50 menit tatap muka di kelas, 60
menit kegiatan terstruktur dan 60 menit kegiatan mandiri. Bila materi tersebut
dalam bentuk praktek, 1 SKS sama dengan 170 menit kegiatan di laboratorium
atau di lapangan. Bila 1 SKS dalam bentuk seminar atau responsi atau tutorial,
maka 100 menit digunakan untuk kegiatan tatap muka dan 70 menit untuk
kegiatan mandiri. Berdasarkan perhitungan yang dibuat, para dosen di Poltekkes itu
sepakat bahwa beban SKS setiap semester untuk mahasiswa Sarjana Terapan,
Magister Terapan dan Doktor Terapan adalah 18 SKS. Mereka tidak mengambil
jumlah SKS maksimal sebab jumlah 24 SKS merupakan jumlah yang sangat
membebani bagi mahasiswa yang memiliki kemampuan rata-rata. Oleh karena
itu, berdasarkan pertimbangan untuk memelihara mutu lulusannya, para dosen
menetapkan beban belajar tiap semester sebesar 18 SKS. Hanya mahasiswa yang
cerdas saja yang boleh mengambil 24 SKS setelah berkonsultasi dengan dosen
pembimbing bidang akademik. Dari gambaran ini, bisa dilihat bahwa para dosen di
lembaga pendidikan tersebut menyadari adanya korelasi positif antara beban
belajar dengan kualitas hasil didik sebuah Lemdik. Mereka menghitung terlebih
dahulu kemampuan belajar mahasiswanya agar mutu lulusannya tetap terjaga.
Harus diakui bahwa TNI AD belum memiliki tradisi untuk menghitung waktu
yang dibutuhkan oleh serdiknya untuk memperdalam pelajaran yang diterimanya dan
untuk belajar mandiri. Ketika kurikulum suatu pendidikan akan disusun, pokja
penyusun kurikulum selalu menghitung jumlah JP maksimal seminggu sebagaimana
telah diatur dalam Juknis yang terkait dengan penyusunan Kurdik. Harus pula diakui
bahwa ketika Juknis itu disusun, Juknis tersebut belum melakukan perhitungan
waktu yang dibutuhkan serdik untuk memperdalam dan mengendapkan
pelajaran yang telah diterimanya. Ada pun penetapan jumlah JP maksimal per
minggu itu kemungkinan besar didasarkan pada perhitungan waktu efektif yang
tersedia pada jam dinas antara hari Senin hingga Sabtu, tanpa
memperhitungkan waktu yang dibutuhkan serdik untuk memperdalam materi
dan belajar mandiri.
Belum adanya perhitungan waktu bagi serdik untuk memperdalam dan
mengendapkan pelajaran yang diterimanya barangkali bukanlah sesuatu yang
disengaja. Sebagaimana diketahui, TNI AD menggelar Kurikulum berdasarkan sistem
JP, bukan SKS. Lagi pula, barangkali kita juga melupakan bahwa sistem pendidikan
di lingkungan TNI AD merupakan bagian integral dari Sisdiknas sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003. Akibatnya, sistem
14

pendidikan di lingkungan TNI AD sulit terstandarisasikan secara nasional dan sering


memunculkan perdebatan mengenai golongan pendidikan di lemdik jajaran TNI AD:
apakah pendidikan di lingkungan TNI AD bisa disetarakan dengan pendidikan vokasi
ataukah merupakan pendidikan kedinasan? apakah nilai-nilai pelajaran yang
diperoleh dalam bentuk JP bisa dikonversi dengan SKS agar bisa dilakukan transfer
nilai guna melanjutkan studi di perguruan tinggi negeri maupun swasta?
Permenristekdikti Nomor 44 Tahun 2015 telah memberi gambaran batas
maksimal kemampuan manusia untuk belajar. Mungkin tidak ada salahnya bila dicoba
ukuran itu digunakan untuk melihat apakah beban belajar serdik di lemdik lingkungan
TNI AD telah sesuai dengan standar nasional yang ditetapkan ataukah justru melebihi
batas daya kemampuan manusia. Untuk itu, akan dicoba untuk mengkonversi jumlah
JP dalam kurikulum yang dioperasionalkan di lemdik jajaran TNI AD dengan jumlah
SKS yang distandarkan oleh pemerintah.
Bila JP dikonversi dalam bentuk SKS, ada banyak kesulitan yang dihadapi
yaitu pertama, jumlah mata pelajaran dalam sistem JP jauh lebih banyak
ketimbang jumlah mata pelajaran (MP) dengan sistem SKS. Jumlah mata
pelajaran (MP) dalam sistem SKS menyesuaikan dengan jumlah jam tatap muka
selama satu minggu. Kedua, jumlah JP yang tertera dalam Kurdik TNI AD merupakan
jumlah jam tatap muka di kelas sedangkan jumlah JP dalam sistem SKS tidak
hanya mencerminkan jumlah jam tatap muka tetapi termasuk pula jumlah jam
belajar mandiri dan tugas terstruktur. Oleh karena itu, bila dicoba untuk
dikonversikan, ada beberapa asumsi yang perlu dikemukakan, pertama konversi
dihitung hanya jumlah tatap muka di kelas yaitu 1 SKS = 1 JP tatap muka per minggu.
Kedua, konversi tidak memperhitungkan jumlah jam belajar mandiri dan tugas
terstruktur. Ketiga, konversi dilakukan tanpa melihat jumlah mata pelajaran (MP)
sehingga konversi murni menghitung jumlah JP yang dioperasionalkan selama 6
bulan (1 Semester). Keempat, konversi ke SKS memperhitungkan jumlah minggu
dalam 1 semester yaitu 4 minggu X 6 bulan = 24 minggu sehingga 1 SKS setara
dengan 24 JP karena terjadi 24 JP tatap muka di kelas sesuai dengan asumsi
pertama.
Berdasarkan asumsi tersebut, untuk melihat perkiraan beban Pasis Diktukpa
berdasarkan Kurdik Diktukpa 2016 yang berjumlah 1.400 JP dalam waktu 7 bulan
seperti disebutkan di atas, pertama-tama perlu dicari rata-rata jumlah JP per bulan,
yaitu 1.400 JP : 7 bulan = 200 JP sehingga dalam 1 semester jumlah JP adalah 6
bulan X 200 JP = 1.200 JP. Berdasarkan jumlah JP tersebut, bila dikonversi beban
Pasis Diktukpa ke dalam sistem SKS, maka dalam 1 semester jumlah SKS Diktukpa
= 1.200 JP : 24 JP yaitu 50 SKS. Jumlah SKS sebesar ini masih merupakan SKS
yang hanya dihitung dari jumlah jam tatap muka di kelas, belum termasuk jumlah
jam untuk melaksanakan kegiatan secara mandiri (belajar mandiri) dan kegiatan
terstruktur (seperti misalnya membuat kliping, makalah dengan tema tertentu dan lain-
lain). Jadi, dihadapkan pada kemampuan belajar mengajar yang efektif sebagaimana
telah dituangkan dalam Permenristekdikti Nomor 44 Tahun 2015, beban Pasis
Diktukpa ternyata jauh melebihi kemampuan kognitif manusia untuk bisa
menyerap dan memahami pelajaran yang diterimanya.
15

Nampaknya, beban belajar yang melebihi batas kemampuan manusia bukan


hanya melanda Pasis Diktukpa saja, tetapi bila melihat Juknis yang menjadi acuan
penyusunan Kurdik di jajaran TNI AD, kurikulum yang over capacity kemungkinan
besar melanda semua lemdik jajaran TNI AD. Bila seluruh kurdik di lingkungan TNI
AD dicermati lebih lanjut, akan ditemui persoalan yang sama yaitu beban belajar yang
melebihi beban maksimal yang ditetapkan oleh standar nasional. Beban belajar
maksimal 24 SKS sebagai standar nasional yang ditetapkan oleh Kemenristekdikti
bukanlah tanpa alasan. Berdasarkan survei terhadap efektivitas belajar peserta didik,
ditemukan bahwa kemampuan belajar peserta didik setiap hari minimal 8 jam dan
maksimal 10 jam sehingga per minggu (dalam 6 hari), peserta didik belajar paling
sedikit 48 jam (8 jam x 6 hari) dan paling banyak 60 jam (10 jam x 6 hari). Dengan
perhitungan itu, bila 1 SKS rata-rata paralel dengan 3 jam belajar dalam seminggu,
maka seharusnya siswa paling sedikit memiliki waktu 1 jam untuk belajar
mandiri, 1 jam untuk menyelesaikan tugas terstruktur dan 1 jam untuk kegiatan
tatap muka di kampus. Dihadapkan pada beban belajar di lemdik jajaran TNI AD
yang sedemikian berat, persoalannya adalah bagaimana peserta didik di lemdik TNI
AD dapat belajar untuk menyiapkan ujian yang sedemikian banyak?
Pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang erat terkait dengan kualitas
belajar dan kualitas ujian. Ujian atau Evaluasi Hasil Belajar merupakan salah satu
alat untuk mengukur pencapaian proses pembelajaran yang direncanakan.
Dalam rumusan Permendiknas RI Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses
untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dikatakan bahwa evaluasi merupakan
penilaian yang dilakukan oleh guru terhadap hasil pembelajaran untuk mengukur
tingkat pencapaian kompetensi peserta didik serta digunakan sebagai bahan
penyusunan laporan kemajuan hasil belajar dan memperbaiki proses
pembelajaran. Dengan rumusan ini, maka evaluasi memiliki dua fungsi yaitu
mengukur tingkat pencapaian kompetensi (summative assessment) dan untuk
memperbaiki proses belajar mengajar selanjutnya (formative assessment).
Berdasarkan perhitungan konversi JP ke SKS yang menunjukkan bahwa
peserta didik tidak memiliki cukup waktu untuk belajar mandiri dan memperdalam
pelajaran yang telah diterimanya, maka konsekuensi logisnya adalah evaluasi
belajar akan didominasi oleh persoalan-persoalan yang membutuhkan jawaban
berdasarkan hafalan. Dalam situasi tidak ada waktu untuk memperdalam pelajaran
yang diberikan, tidak mungkinlah dibuat persoalan-persoalan yang bersifat
analitis yang membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang subyek yang
dipelajari. Oleh karena itu, ketika sistem pendidikan menuntut nilai dari setiap
mata pelajaran yang digelar, dengan keterbatasan waktu untuk belajar mandiri dan
mendalami materi yang diajarkan, maka bentuk evaluasi yang mengandalkan hafalan
merupakan bentuk yang paling tepat untuk memenuhi tuntutan tersebut. Akan tetapi
sebagai evaluasi untuk mengukur capaian tujuan kurikuler bisa jadi bentuk evaluasi
yang didominasi oleh persoalan hafalan merupakan bentuk yang kurang tepat,
terutama bila tujuan kurikuler tersebut tidak berada pada tingkatan hafalan
(remember).
16

Jadi, akhirnya bisa disimpulkan bahwa absennya kemampuan berpikir kritis


disebabkan oleh sistem pendidikan yang didominasi oleh metode pembelajaran
hafalan dimana serdik diberi kisi-kisi seperti bocoran soal untuk kemudian dihafalkan
semalam suntuk (sistem kebut semalam) dan kemudian dituliskan dalam lembar
jawaban ujian. Bentuk pendidikan seperti ini, yaitu pendidikan yang menekankan
dimensi hafalan, oleh Kasali disebut sebagai pendidikan yang over cognitive.19 Dalam
kerangka taksonomi Bloom, hafalan seperti itu merupakan proses kognitif terendah
yang masuk dalam kategori taraf berpikir tingkat rendah (Lower Order Thinking Skills).
Berhadapan dengan kebijakan pimpinan TNI AD untuk menjadikan pendidikan
sebaga pembekalan berkarir, bukan lagi sebagai seleksi karir, pendidikan harus
mengubah paradigmanya dan mengarahkan diri pada usaha untuk membekali
peserta didiknya dengan pengetahuan dan keterampilan agar dapat menapaki
karirnya secara profesional. Lalu apa yang dapat dilakukan? Menurut hemat kami ada
dua hal yang harus ditata dalam waktu dekat yaitu menata kembali metode
pembelajaran dan kurikulum pendidikan. Menata metode pembelajaran meliputi
menata kembali perumusan tujuan pembelajaran, metode pengajaran dan model
evaluasi belajar. Penataan kurikulum pendidikan meliputi penataan subyek
pembelajaran (mata pelajaran) dan jumlah jam pelajaran. Kedua hal tersebut menjadi
persyaratan penting dalam rangka mewujudkan keluaran pendidikan yang memiliki
kemampuan berpikir kritis.

Mengarahkan Tujuan Pembelajaran Berpikir Kritis dan Kolaboratif


Persoalan yang harus segera diatasi adalah bagaimana menjadikan proses
pembelajaran sebagai pembelajaran berpikir tingkat tinggi (higher order thinking
skills)? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita lebih baik melihat contoh tujuan
pembelajaran yang diambil dari Kurdik Diktukpa 2016 untuk MP UUD NRI 1945: "Agar
Pasis mengerti tentang UUD NKRI 1945". Berhadapan dengan tujuan pelajaran ini,
ada berbagai macam reaksi gumil seperti tidak peduli dengan tujuan tersebut atau
menganggap "mengerti" berarti bentuk ujiannya "menjelaskan" apa yang menjadi
ruang lingkup pelajaran atau mungkin hanya melihat berapa JP tatap muka, berapa
JP ujian, sehingga bisa merencanakan pemberian materi pelajaran berdasarkan
waktu yang tersedia. Jadi, nampaknya ada berbagai macam reaksi yang muncul
ketika gumil akan mengajar. Tapi dari berbagai macam reaksi tersebut, tidak ada satu
reaksi yang terkait langsung dengan penetapan tujuan pendidikan.
Dalam dunia pendidikan, tujuan pembelajaran merupakan instrumen yang
sangat penting dalam proses belajar mengajar. Tujuan pembelajaran mencerminkan
apa yang diinginkan guru untuk dipelajari oleh siswanya. Tujuan pembelajaran
merupakan rumusan eksplisit mengenai apa yang akan siswa dapat lakukan
setelah mengikuti proses belajar mengajar, keterampilan apa yang akan
dikuasainya, bagaimana mengukur keberhasilan tujuan pembelajaran dan apa
deskripsi dari keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran tersebut. Oleh karena
itu, sebelum mengajar, guru harus bertanya, pertama, "Apa yang penting untuk

19
Rhenald Kasali, Self Driving: Menjadi Driver atau Passenger? (Jakarta: Mizan, 2014), hal.84
17

dipelajari siswa dalam waktu yang terbatas di sekolah dan ruang kelas?"; kedua,
"Bagaimana guru merencanakan dan menyampaikan instruksi yang akan
menghasilkan tingkat pembelajaran yang tinggi untuk sejumlah besar siswa?"; ketiga,
Bagaimana guru memilih atau merancang instrumen dan prosedur penilaian yang
memberikan informasi akurat tentang seberapa baik siswa belajar?"; keempat,
"Bagaimana guru dapat memastikan bahwa tujuan, instruksi, dan penilaian konsisten
satu sama lain?" Dengan pertanyaan tersebut, sebelum mengajar, seorang guru
harus memilih materi yang penting untuk dipelajari oleh siswanya, merencanakan
proses belajar mengajar yang akan menghasilkan keterampilan berpikir tingkat
tinggi, merancang EHB yang dapat menggambarkan pencapaian tujuan
pembelajaran dan memeriksa konsistensi antara tujuan pendidikan, tujuan
instruksional dan penilaian (EHB).
Oleh karena itu, seorang guru militer di lembaga pendidikan TNI AD harus
melakukan beberapa langkah sebelum melakukan pengajaran. Langkah pertama,
harus mengetahui tujuan dari pendidikan yang diselenggarakan. Dalam kasus
tujuan mata pelajaran UUD NRI 1945 di Diktukpa, gumil harus tahu bahwa tujuan
pendidikan Diktukpa adalah "mendidik Bintara untuk menjadi Perwira TNI AD
yang dapat menjalankan tugas sebagai Komandan Peleton di Satpur/Satbanpur,
Perwira Staf di Satbanmin dan Satter dan potensial dikembangkan menjadi
Komandan Kompi di Satpur/Satbanpur dan Danramil di Satter". Sayangnya,
tujuan pendidikan yang dirumuskan dalam Kurdik seringkali abstrak dan sulit
ditafsirkan. Contoh Kurdik Diktukpa 2016, merumuskan tujuan pendidikannya "
Membentuk calon Perwira TNI AD agar memiliki sikap dan perilaku sebagai Prajurit
Sapta Marga dan Sumpah Prajurit, berpengetahuan dan keterampilan dasar golongan
Perwira serta kondisi jasmani yang samapta". Berhadapan dengan ketidakjelasan
tersebut, gumil harus merumuskan tujuan pendidikan Diktukpa agar mata pelajaran
yang diberikan memiliki konsistensi dengan tujuan pendidikan.
Langkah kedua, menganalisa pengetahuan yang sudah dimiliki
sebelumnya. Menanyakan sejauh mana siswa telah memiliki pengetahuan mengenai
UUD 1945 baik ketika duduk di bangku SMA, saat mengikuti pendidikan Diktukba atau
pendidikan kursus lainnya. Untuk mengukur pengetahuan yang sudah dimiliki, guru
dapat mempelajari kurikulum SMA, kurikulum Diktukba atau kursus-kursus lainnya
dan kemudian bisa dilanjutkan dengan menyusun pertanyaan pre-test. Dengan
demikian, guru tidak lagi mengulang materi pelajaran yang sudah pernah diterima
tetapi guru meningkatkan pengetahuan dan menyesuaikan kebutuhan pengetahuan
bagi pelaksanaan tugas ke depan. Dari hasil analisa, misalnya, ditemukan bahwa saat
duduk di bangku SMA, siswa sudah pernah belajar mengenai kedudukan
Pembukaan UUD 1945, hubungan Pancasila dan Batang Tubuh UUD 1945,
kedudukan UUD 1945 dan Pancasila dalam tata urutan perundang-undangan di
Indonesia, isi batang tubuh UUD 1945 hasil amandemen. Yang belum terlalu paham
dari para siswa adalah soal isu impeachment presiden yang banyak tersebar di media
sosial, soal hak asasi manusia terutama terkait dengan kasus di Papua atau kasus-
kasus lain, mekanisme checks and balances antar lembaga tinggi negara sebagai
implementasi sistem demokrasi, hubungan Pancasila dengan batang tubuh hasil
18

amandemen. Oleh karena itu, guru perlu mengklasifikasi jenis pengetahuan yang
akan diajarkan kepada peserta didiknya.
Anderson membagi pengetahuan dalam 4 kategori yaitu pengetahuan faktual
(factual knowledge), pengetahuan konseptual (conceptual knowledge), pengetahuan
prosedural (procedural knowledge) dan pengetahuan metakognitif (metacognitive
knowledge).

PENGETAHUAN FAKTUAL Elemen dasar yang dibutuhkan untuk mempelajari suatu disiplin
ilmu dimana setiap bagian menjadi keping-keping yang terpisah
satu sama lain

Pengetahuan Terminologi Istilah-istilah dalam kedokteran, musik dan lain-lain


Pengetahuan Detil dan Spesifik Judul buku terkenal, budaya masyarakat tertentu, sejarah
peristiwa tertentu

PENGETAHUAN KONSEPTUAL Hubungan antar elemen dan dengan struktur yang lebih besar

Pengetahuan Klasifikasi dan Kategori Periodisasi sejarah sistem politik Indonesia, pengelompokkan
jenis hewan mamalia, sistem pemerintahan federasi, konfederasi
dan kesatuan, kelompok angka rasional dan irrasional

Pengetahuan Prinsip-prinsip dan teori phytagoras, hukum permintaan dan penawaran


Generalisasi
Pengetahuan Teori, Model dan Teori Evolusi, Stuktur Lembaga Tinggi Negara Indonesia
Struktur

PENGETAHUAN PROSEDURAL bagaimana melakukan sesuatu, metode penelitian, kriteria untuk


menggunakan sesuatu, alogaritma, teknik, metode

Pengetahuan tentang keterampilan Keterampilan menjumlahkan, menggunakan cat air


materi khusus dan alogaritma
Pengetahuan tentang teknik dan Teknik wawancara, metode ilmiah
metode materi spesifik
Pengetahuan tentang kriteria untuk kriteria untuk menentukan kapan hukum Newton digunakan,
menentukan kapan suatu prosedur kriteria untuk menentukan feasibility suatu metode dalam
yang tepat digunakan membuat perkiraan bisnis

PENGETAHUAN METAKOGNITIF Pengetahuan tentang kesadaran diri secara umum

Pengetahuan Strategi tahu strategi membuat outline untuk dapat menangkap isi buku
atau tulisan atau strategi untuk mengumpulkan data, buat
jembatan keledai untuk menghafal
Pengetahuan tentang tugas kognitif pengetahuan mengenai bentuk test yang akan diberikan oleh
termasuk pengetahuan kontekstual guru, pengetahuan tentang kemampuan kognitif atas tugas-tugas
dan sikon yang tepat yang berbeda
Pengetahuan tentang diri sendiri Penilaian siswa atas kemampuan mereka untuk menyelesaikan
tugas tertentu. motivasi belajar, minat dan penilaian penting
tidaknya tugas atau pelajaran bagi mereka

Gambar-6 Dimensi Pengetahuan

Dari gambar-6, pengetahuan tentang UUD 1945 merupakan pengetahuan


konspetual karena berisi pengetahuan tentang sistem politik Indonesia (pengetahuan
klasifikasi dan kategori), struktur lembaga negara di Indonesia (pengetahuan Teori,
Model dan Struktur), hak asasi manusia dan Pancasila yang berada dalam
Pembukaan UUD 1945 (pengetahuan prinsip dan generalisasi). Sebagai
pengetahuan konseptual, pengetahuan UUD 1945 erat berkaitan dengan Pancasila,
politik, hukum nasional dan internasional termasuk di dalamnya hukum yang terkait
dengan peperangan, sistem ekonomi negara, sistem pertahanan negara, hak asasi
manusia.
Langkah ketiga, menganalisa tujuan pembelajaran, metode pengajaran
dan pengukuran keberhasilan pembelajaran. Setelah mengetahui jenis
19

pengetahuan, sekarang saatnya menentukan tujuan pembelajaran. Anderson


merumuskan tujuan pembelajaran terdiri dari kata kerja dan kata benda. Kata kerja
diambilkan dari taksonomi Bloom (gambar-5) sedangkan kata benda diambilkan
dimensi pengetahuan (gambar-6). Anderson merumuskan tujuan pembelajaran "the
students will be able to or to learn to verb noun”. Verb sebagai proses kognitif
(gambar-5) dan noun sebagai dimensi pengetahuan (gambar-6).
Tujuan pembelajaran UUD 1945 dalam Kurdik Diktukpa harus diterjemahkan
agar memiliki paralelisme dengan taksonomi Bloom. "Mengerti" dalam taksonomi
versi Juknis ditemukan kata kerja yang sama dengan taksonomi Bloom yaitu
"menjelaskan". Kata kerja "menjelaskan" dalam taksonomi Bloom berada dalam
tingkatan understand. Dengan demikian, sesuai dengan Acara Pendidikan, guru
merumuskan tujuan pembelajaran UUD 1945 dengan rumusan "Siswa dapat
menjelaskan hubungan Pancasila dan batang tubuh UUD 1945 hasil amandemen".
"Hubungan Pancasila dan batang tubuh UUD 1945 hasil amandemen" dipilih oleh
gumil berdasarkan hasil analisa gumil atas kebutuhan siswa dan harapan gumil itu
sendiri. Gumil berharap siswa memiliki pengetahuan konseptual bahwa Pancasila dan
UUD 1945 memiliki kaitan yang erat dan di pihak lain, gumil melihat bahwa siswa
belum memiliki pengetahuan yang memadai mengenai hubungan dari kedua hal
tersebut.
Tapi tidak cukup hanya berhenti di situ, sesuai dengan hasil analisa gumil atas
pengetahuan siswa yang belum dimiliki dan perkiraan gumil untuk membekali serdik
dalam melaksanakan tugas ke depan, gumil dapat menambahkan tujuan
pembelajaran lebih lanjut yaitu pertama, "Siswa dapat menggambarkan prosedur
impeachment Presiden dan mengkritik isu impeachment Presiden berdasarkan UUD
1945"; kedua, "Siswa dapat menilai kasus penembakan di Papua berdasarkan kriteria
HAM dalam UUD 1945 dan nilai-nilai Pancasila"; ketiga, "Siswa dapat menemukan
koherensi check and balances antara lembaga negara dalam sistem demokrasi".
Dengan tujuan pembelajaran ini, gumil berusaha untuk memenuhi tuntutan tujuan
pendidikan Diktukpa. Tetapi karena gumil merasa bahwa para siswa nantinya akan
hidup dalam lingkungan dunia digital yang sangat kompleks, maka gumil merasa perlu
untuk menambahkan pembekalan selanjutnya agar serdiknya dapat menjadi Perwira
(Danton atau Danramil) yang sesuai dengan perkembangan jaman. Oleh karena itu,
gumil menambahkan satu tujuan pembelajaran lagi agar siswa dapat menjadi Danton,
Danki atau Danramil yang dapat melawan hoax di media sosial "Siswa dapat
menciptakan content melawan hoax impeachment presiden berdasarkan UUD 1945"
Berdasarkan rumusan tujuan pembelajaran itu, gumil selanjutnya menata
secara sistematis urutan kegiatan atau aktivitas pengajarannya sebagaimana nampak
dari Gambar-7. Perumusan tujuan pendidikan yang dikemukakan di atas
hanyalah sebuah contoh. Gumil dapat mengembangkan tujuan secara lebih
mendalam lagi bersama gumil lainnya dalam suatu diskusi formal maupun informal.
Anderson sendiri dalam tulisannya meminta pengajar untuk saling berdiskusi dalam
menetapkan tujuan pembelajaran agar proses belajar mengajar dapat memenuhi
kebutuhan serdik.
20

PROSES KOGNITIF
DIMENSI
1 2 3 4 5 6
PENGETAHUAN
REMEMBER UNDERSTAND APPLY ANALYZE EVALUATE CREATE

A. PENGETAHUAN
FAKTUAL

TUJUAN
B. PENGETAHUAN KURIKULER
Aktivitas-6 Aktivitas-5 Aktivitas-7
KONSEPTUAL Aktivitas-1
Aktivitas-4

C. PENGETAHUAN
Aktivitas-2 Aktivitas-3
PROSEDURAL

D. PENGETAHUAN
METAKOGNITIF

KETERANGAN:
Tujuan Kurikuler: "Siswa dapat menjelaskan hubungan Pancasila dan batang tubuh UUD 1945 hasil amandemen". (understand konseptual knowledge)
Aktivitas-1: “Siswa dapat menjelaskan dan memberikan contoh pelaksanaan dan pelanggaran nilai-nilai Pancasila” (understand konseptual knowledge)
Aktivitas-2: "Siswa dapat menggambarkan prosedur impeachment Presiden (understand prosedural knowledge)
Aktivitas-3: “Siswa dapat mengkritik isu impeachment Presiden berdasarkan UUD 1945” (evaluate prosedural knowledge)
Aktivitas-4: “Siswa dapat menjelaskan dan memberikan contoh pelaksanaan dan pelanggaran HAM” (understand konseptual knowledge)
Aktivitas-5: "Siswa dapat menilai kasus penembakan di Papua berdasarkan kriteria HAM dalam UUD 1945 dan nilai-nilai Pancasila"; (evaluate konseptual knowledge)
Aktivitas-6: "Siswa dapat menemukan koherensi check and balances antara lembaga negara dalam sistem demokrasi". (analyse konseptual knowledge)
Aktivitas-7: "Siswa dapat menciptakan content melawan hoax impeachment presiden berdasarkan UUD 1945” (create konseptual knowledge)

Gambar-7 Contoh Skema Tujuan Pembelajaran

Dengan penggambaran ini, kita bisa melihat ada banyak keunggulan yang bisa
diperoleh dari model penetapan tujuan pembelajaran ini, yaitu pertama, gumil akan
memberikan lebih daripada yang dituntut oleh kurikulum; kedua, gumil akan
mengajarkan materi berdasarkan kebutuhan siswa (student centre); ketiga, mata
pelajaran yang diberikan tidak berulang (redundant) sehingga pelajaran akan lebih
menarik dan tidak terkesan membuang-buang waktu; keempat, proses pembelajaran
diarahkan pada kemampuan berpikir kritis; kelima, hasil akhir mata pelajaran
sesuai dengan tugas keluaran dari pendidikan Diktukpa yaitu menjadi perwira di
era kemajuan digital dengan membuat content untuk menangkal hoax; keenam,
peserta didik akan diajak untuk lebih banyak berdiskusi dengan rekan-rekan
mereka sehingga terbangun semangat kolaboratif yang selama ini kurang
diperhatikan dalam lembaga pendidikan.
Terhadap contoh ini, tinggal dua masalah yang perlu diselesaikan yaitu
bagaimana EHB diberikan dan bagaimana dengan alokasi jumlah JP yang tertulis
21

dalam Kurdik. Untuk menjawab masalah ini, kita cermati gambar-7. Dari gambar-7
nampak jelas bahwa materi UUD 1945 berkaitan erat dengan mata pelajaran
Pancasila, Kerukunan Hidup Umat Beragama, Hukum, Politik dan masih banyak
lagi bila dikembangkan. Oleh karena itu, dalam rangka menghindari pendidikan over
capacity, mata pelajaran serumpun perlu dijadikan satu dan mengambil model
pengajaran team teaching dimana salah satu gumil menjadi koordinatornya.
Koordinator ini akan mengarahkan seluruh gumil untuk menyatukan persepsi,
memimpin perumusan tujuan pembelajaran dan kemudian menata tahapan aktivitas
pengajarannya hingga model tes yang akan diberikan. Koordinator ini pula yang akan
memimpin diskusi, mengawasi pelaksanaannya, mengevaluasi proses pembelajaran
dan untuk selanjutnya memodifikasi untuk proses pembelajaran selanjutnya.
Jadi dalam model ini, gumil harus terbuka untuk berkolaborasi dengan
gumil lain. Bukan hanya siswa yang diajak untuk mau berkolaborasi dengan siswa
lain dalam pencapaian tujuan pembelajaran, tetapi gumil juga dituntut berkolaborasi.
Kolaborasi menjadi penting di era Revolusi Industri 4.0 sebab kolaborasi merupakan
salah satu literasi yang dibutuhkan untuk bisa memaksimalkan Revolusi Industri 4.0.
Gumil diharuskan berkolaborasi dengan gumil lain dalam merancang pembelajaran.
Demikian pula dengan siswa, mereka diharuskan berkolaborasi dengan sesama
siswa dalam menyelesaikan permasalahan yang disampaikan oleh gumil di kelas.
Dengan demikian, model pembelajaran seperti ini disamping siswa mendapatkan
kemampuan berpikir kritis, siswa juga dibangun sikap kolaborasi yang sangat
penting di era kemajuan IPTEK seperti sekarang ini.
Lalu bagaimana dengan EHB karena gumil dituntut untuk memberikan nilai dari
setiap pelajaran yang diberikan? Untuk menjawab pertanyaan itu, pertama-tama perlu
diingat bahwa bentuk EHB sesungguhnya ada dua macam yaitu formatif dan
sumatif. Tes formatif digunakan sebagai evaluasi proses belajar mengajar yang
bertujuan untuk mengukur kualitas proses pembelajaran yang sedang berjalan
sehingga gumil bisa menata strategi untuk meningkatkan bila ternyata hasil
pengukuran menunjukkan kualitas pengajarannya belum optimal. Sedangkan tes
sumatif digunakan sebagai penilaian akhir dari proses belajar mengajar. Untuk
kepentingan ini, gumil dari masing-masing bisa menggunakan kedua bentuk tes ini
sebagai bahan penilaian yang dituntut oleh regulasi yang berlaku di lingkungan TNI
AD. Disamping itu, gumil juga bisa melakukan penilaian selama proses diskusi
berlangsung untuk mengukur kemampuan masing-masing siswanya. Jadi,
sesungguhnya bentuk tes bisa bermacam-macam, tidak harus dalam bentuk lembar
persoalan yang harus dijawab secara tertulis. Gumil dapat menilai kualitas content
kontra hoax yang disebarkan oleh siswa di Instagram, Facebook, Whatsapp, Twitter
atau media sosial lainnya. Gumil bisa menilai siswa dari aktivitasnya di kelas. Gumil
juga bisa menilai siswa dari tugas-tugas yang diberikan kepada mereka.
Dari gambaran ini nampak bahwa model pengajaran seperti ini tidak hanya
membutuhkan dedikasi dan kecintaan seseorang terhadap profesinya sebagai
seorang guru, tetapi juga membutuhkan pengetahuan dan wawasan yang harus
selalu ter-update, terutama berkaitan dengan hal-hal yang menjadi trend generasi
milenial. Gumil harus selalu membaca koran, membaca buku-buku sesuai dengan
22

profesi mengajarnya, membuat tulisan di jurnal atau majalah, mengikuti


perkembangan teknologi dan mengikuti perkembangan jaman terutama yang
melanda generasi milenial. Dengan perkataan lain, gumil di era saat ini adalah gumil
yang harus terus menerus belajar (continuous learning) agar dapat memberikan
pengajarannya yang terbaik bagi peserta didiknya. Gumil harus punya mimpi dan
angan-angan yang tinggi bagi peserta didiknya dan mampu merancang sebuah
proses belajar mengajar yang dapat menghasilkan peserta didik yang profesional.
Kemampuan gumil semacam ini semakin dibutuhkan ketika pendidikan dalam
sistem manajemen SDM saat ini merupakan sarana untuk membekali kompetensi
serdik dalam rangka mengembangkan organisasi. Pimpinan TNI AD berkali-kali
menekankan bahwa pendidikan merupakan pembekalan bagi pelaksanaan tugas
personel. Pendidikan tidak lagi menjadi seleksi karir tapi menjadi sarana
pembekalan dalam berkarir. Bila keinginan Pimpinan ini tidak diikuti dengan
perubahan sistem dan metode dalam belajar mengajar, pendidikan tidak akan dapat
memberikan kontribusi apa pun bagi organisasi. Oleh karena itu, sudah saatnya kita
berubah karena the wind of change sudah terasa hembusannya.......Mari berubah.

Bandung, medio Februari 2021


23

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Lorin W. et al. 2001. A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assesing: A
Revision of Bloom's Taxonomy of Educational Objectives. New York:
Longman.

Aprianto, Brian et al. 2019. Pedoman Lengkap Soft Skills: Kunci Sukses dalam Karier,
Bisnis, dan Kehidupan Pribadi. Jakarta: PPM.
Chen, Febe Victoria. 2012. Soft Skill for Success: Menciptakan Keharmonisan di
Dunia Kerja. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer
Cottrell, Stella. 2017. Critical Thinking Skills: Developing Effective Argument and
Analysis London: Palgrave.

Darmawan, I Putu Ayub et al, "Revisi Taksonomi Pembelajaran Benyamin S. Bloom",


Jurnal Satya Widya Vol.29 No.1 Juni 2013, hal.30-39

Dubois, David D. et al. 2004. Competency-Based Human Resource Management.


California: Davis-Black Publishing.
Foucault, Michel. 1997. Disiplin Tubuh: Bengkel Individu Modern. Jakarta: LKiS.
Harari, Yuval Noah. 2018. 21 Lesson for the 21st Century. London: Jonathan Cape.
Kallet, Michael. 2014. Think Smarter: Critical Thinking to Improve Problem-Solving
and Decision-Making Skils. New Jersey: John Willey and Sons Inc.

Kasali, Rhenald. 2014. Self Driving: Menjadi Driver atau Passenger?. Jakarta: Mizan.
_____________ 2018. The Great Shifting: Series on Disruption. Jakarta: Gramedia.
Kirkpatrick, Donald L. et al. 2007. Implementing The Four Levels: A Practical Guide
for Effective Evaluation of Training Programs. San Fransisco:
Barrett-Koehler Publisher.
Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character. New York: Bantam Books.
McGregor, Debra. 2017. Developing Thinking Developing Learning: A Guide to
Thinking Skills in Education. Berkshire: McGraw-Hill.

Octavian, Amarulla. Militer dan Globalisasi di Era Revolusi Industri 4.0, Bahan Kuliah
Umum Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, 13 Mei
2019
Peters, Michael E et al (Eds). 2018. Post-Truth, Fake News: Viral Modernity and
Higher Education. Singapore: Springer.

Rainbolt, George W. et al. 2012. Critical Thinking: The Art of Argument. Boston:
Wadsworth.

Septiarti, S.W, M.Si et al (Eds). 2017. Sosiologi dan Antropologi Pendidikan.


Yogyakarta: UNY Press.
24

Thomas, Michael (Ed). 2011. Digital Education: Opportunities for Social Collaboration.
New York: Palgrave MacMillan.
Whitehead, Alfred North. 1967. The Aims of Education. New York: Free Press.

Anda mungkin juga menyukai