PENDIDIKAN
XII IPS 2
DINAS PENDIDIKAN
SMAN 7 BANJARMASIN
Penulis memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga
artikel yang menjadi tugas akhir dari mata pelajaran Bahasa Indonesia ini dapat
selesai pada waktunya.
Penulis
Masih ingatkah dengan kasus hoax yang dilakukan oleh seorang aktivis Ratna
Sarumpaet yang sempat menjadi trending di tahun 2018? Pada kasus tersebut,
Ratna menyebut bahwa dirinya mengalami penganiayaan oleh beberapa orang tak
dikenal. Bahkan disertai dengan bukti berupa foto wajahnya yang mengalami
pembengkakan. Ratna pun sempat mendapatkan beberapa simpati dari kalangan
elite pemerintah.
Tak dapat dielakkan lagi, berita dan foto tersebut semakin menyebar luas di
media massa hingga pada satu titik dimana polisi berupaya untuk menyelidiki
kasus penganiayaan tersebut. Setelah berhasil diusut, terungkap fakta baru bahwa
kasus penganiayaan tersebut hanyalah omong kosong dari seorang Ratna
Sarumpaet. Membengkaknya wajah Ratna bukanlah karena sebuah penganiayaan,
melainkan hanya efek dari sebuah prosedur sedot lemak dari sebuah klinik
kecantikan di Jakarta.
Pemuka politik seperti Prabowo Subianto bahkan sempat termakan isu hoax
tersebut dan meminta maaf kepada publik karena telah ikut menyuarakan sesuatu
yang belum diyakini kebenarannya.
Dari contoh kasus diatas, dapat kita lihat bahwa berita hoax bisa menjebak
siapa saja entah dalam bentuk tulisan, foto, maupun video. Berita hoax dapat
tampil sangat meyakinkan di depan umum. Namun sesuatu yang mampu
meyakinkan khalayak, belum tentu benar adanya.
Beredarnya berita bohong, palsu, fitnah atau hoaks, yang menjadi konsumsi
sehari-hari masyarakat, telah dianggap sebagai informasi atau berita yang benar
akibat masifnya berita hoaks tersebut. Sementara, masyarakat juga tidak memiliki
pengetahuan dan sumber yang cukup, untuk membedakan informasi atau berita
yang diperolehnya benar atau salah.
Dalam sebuah studi, para psikolog sepakat bahwa berita hoax bisa
memberikan dampak buruk pada kesehatan mental, seperti post-traumatic stress
syndrome (PTSD), menimbulkan kecemasan, sampai kekerasan. Tidak hanya itu,
psikolog percaya, orang yang terpapar berita hoax juga bisa membutuhkan terapi,
karena diselimuti kecemasan, stres, dan merasa kesepian karena berita palsu.
Kita patut menengok sejenak pada negara maju di belahan bumi lain yang
telah terkenal akan sistem pendidikannya yaitu Finlandia. Ya, proses pendidikan
di Finlandia patut untuk diteladani. Salah satu yang perlu dipelajari dari dunia
pendidikan di Finlandia adalah bagaimana pendidikan di negara ini mengajari
para siswa sekolah dasar melawan kehadiran dan pengaruh berita Hoax.
Menurut salah satu kepala sekolah di Finlandia, Kari Kivinen, sangat penting
untuk mengajarkan anak-anak berpikir kritis di tengah perkembangan arus media
sosial. Berhadapan dengan situasi ini, Kivinin coba mengajarkan anak-anak untuk
melihat segala berita di media sosial dengan pikiran kritis (theguardian.com
29/1/2020). Salah satu upaya yang coba dibangun oleh Kari Kivinen di
sekolahnya adalah melatih dan membiarkan anak-anak untuk bertanya. Mereka
dituntun pada berita tertentu dan menuntun para siswa mempertanyakan berita
tersebut.
Para siswa juga dituntun untuk menganalisis berbagai berita yang mereka
temukan di media sosial. Analisis ini bertujuan untuk menguji keabsahan sebuah
berita. Para siswa akan mencoba menemukan apakah sebuah berita itu benar-
benar terjadi ataukah hanyalah hasil dari sebuah rekayasa.