Anda di halaman 1dari 4

Manifesto Berpikir Kritis di Era Pascapandemi

Ditulis oleh : Faris Abdul Latif

Wabah Virus Corona atau Covid-19 ditetapkan sebagai Bencana Nasional oleh
pemerintah pada tanggal 14 Maret 2020. Sebagai kejadian luar biasa yang datang dengan
tiba-tiba, banyak masyarakat yang tidak siap dengan berbagai perubahan yang terjadi.
Ketidaksiapan masyarakat dalam menghadapi perubahan yang cepat, menciptakan
konsekuensi psikologis. Dikutip dari laman berita antaranews.com, hasil survey yang
dilakukan oleh Psikiater dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia
(PDSKJI) sebanyak 64,3 persen dari 1522 responden memiliki masalah cemas atau depresi
akibat pandemi, ditandai dengan rasa takut dan khawatir berlebih bahkan mengalami
gangguan tidur dan kewaspadaan berlebih.
Efek kecemasan tersebut juga diakibatkan banyaknya informasi yang diterima oleh
masyarakat baik melalui media televisi yang menayangkan berita seputar pandemi corona
selama 24 jam, maupun arus informasi dari sosial media. Hal ini turut diperparah dengan
munculnya hoaks dan teori konspirasi yang muncul selama pandemi ini. Dalam periode
Maret-Mei 2020, Kementerian Komunikasi dan Informatika menemukan setidaknya terdapat
1401 konten hoaks dan disinformasi yang beredar baik melalui pesan singkat maupun media
sosial.
Salah satu efek berita hoaks yang pernah terjadi adalah fenomena panick buying di
Indonesia. Menurut Wakil Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI),
Dicky Pelupessy, fenomena panick buying disebabkan ketidakmampuan masyarkat dalam
menerima informasi yang banyak dalam satu waktu, sehingga secara impulsif melakukan
tindakan secara tidak rasional. Perilaku ketidakmampuan mengolah informasi juga
diasosiasikan dengan lemahnya kemampuan berpikir kritis.
Menurut John Dewey (1910), berpikir kritis merupakan pertimbangan yang aktif,
gigih dan hati-hati atas keyakinan atau bentuk pengetahuan apa pun yang seharusnya
berdasarkan alasan yang berdasar dan menyimpulkan kecenderungan sudut pandang kita
terhadap informasi tersebut. Sedangkan penyebab lemahnya kemampuan seseorang dalam
berpikir kritis menurut Asosiasi Psikologi Amerika disebabkan oleh inherited opinion, yaitu
seseorang mempercayai informasi dari pihak lain tanpa mengkonfirmasi kebenaran berita
yang diterimanya dan bahkan meneruskan informasi tersebut kepada orang lain [ CITATION
Tor04 \l 1033 ]. Oleh sebab itu, perusahaan pengembangan karir, Indeed, mengungkapkan
gagasan cara berpikir kritis untuk mengatasi inherited opinion, yakni dengan melakukan
observasi, analisis, menyimpulkan, mendiskusikan dan memutuskan masalah.
Observasi merupakan kemampuan untuk merespon adanya suatu permasalahan dalam
informasi yang diterima. Menurut Daniel Kahneman (1984), secara naluriah manusia
memiliki 2 sistem respon dalam menerima informasi. System 1 merespon segala sesuatu
informasi dengan secara otomatis dan cepat, tanpa ada usaha dan rasa lebih untuk
mengkontrol akan informasi tersebut. Sementara, sistem 2 merespon segala informasi dengan
meletakan perhatian pada informasi yang diberikan dengan melakukan observasi dan
menganalisa lebih lanjut sebelum menyimpulkan tindakan apa yang perlu dilakukan. Sistem 1
dan sistem 2 pada manusia juga dipengaruhi oleh pengalaman induvidu, tingkat Pendidikan,
bahkan genetik. Berdasarkan informasi tersebut, seseorang tanpa sadar merespon informasi
dengan mempercayai bahkan menyebarluaskan informasi tersebut dikarenakan secara
pengalaman hidup, sistem 1 lebih sering digunakan dalam mengambil tindakan. Sehingga
tingkat observasi terhadap informasi rendah
Rendahnya kemampuan observasi seseorang disebabkan rendahnya minat literasi.
Pada eksperimen yang dilakukan oleh kumpulan ilmuan komputer yang berasal dari
Universitas Colombia dan Institut Nasional Perancis, sebanyak 2,8 juta berita yang dibagikan
via twitter, 59 persen diantaranya tidak pernah dibaca oleh subjek yang membagikan berita
tersebut. Hal ini membuktikan rendahnya minat literasi masyarakat serta mudahnya informasi
hoaks dibagikan secara tidak bertanggungjawab.
Oleh karena itu, observasi sebagai langkah pertama dalam berpikir kritis sangatlah
penting. Untuk membiasakan diri melakukan observasi terhadap informasi dapat dilakukan
dengan cara memeriksa dari mana informasi tersebut diberikan. Jika informasi yang diberikan
berasal dari mulut ke mulut, biasakan untuk secara otomatis tidak langsung percaya. Begitu
pula jika berasal dari internet, pastikan website yang membagikan berita merupakan instansi
terpercaya seperti website instansi pemerintah atau organisasi internasional resmi dan media
yang terverifikasi sebagai institusi pers [ CITATION Yun17 \l 1033 ].
Langkah selanjutnya adalah melakukan analisis terhadap informasi yang didapat
dengan mengumpulkan data terkait informasi yang diberikan. Menurut Nickerson (1998),
tahap pertama yang dilakukan dalam mengumpulkan informasi adalah mengesampingkan
opini pribadi atau kecenderungan awal terkait informasi tersebut yang membuat konfirmasi
bias. Sebagai contoh, seseorang ingin mencari kebenaran infromasi produk Virus Shout Out
dari Jepang yang diklaim mampu memblokir partikel dan bakteri di udara. Padahal menurut
Profesor Peter Collignon dari Universitas Nasional Australia, menyatakan bahwa produk
Virus Shout Out tersebut mengandung klorin dioksida yakni zat yang sangat korosif yang
dapat menyebabkan peradangan pada saluran udara dan iritasi mata [CITATION Tom20 \l 1033 ].
Untuk dapat mengetahui kebenaran klaim tersebut, kita tidak hanya mencari informasi dari
perusahaan yang memproduksi barang tersebut, kita juga harus mengumpulkan data dari
penelitian lembaga independen maupun lembaga perwakilan pemerintah. Karena jika
seseorang memiliki kepercayaan yang kuat terhadap produk tersebut, akan terjadi opini bias
yang menyebabkan orang tersebut kemungkinan menolak informasi yang kontra dan yang
tidak sesuai harapan yang ia miliki. Selain itu, informasi produk dari penjual juga seringkali
overclaim dan belum memiliki penelitian yang jelas.
Setelah menganalisis informasi berdasarkan data yang dikumpulkan, kita dapat
menyimpulkan informasi tersebut. Namun tetap diperlukan diskusi lebih lanjut dengan orang
yang paham dengan informasi yang sedang dikritisi, agar informasi yang kita telah
kumpulkan, analisis dan simpulkan benar dan tidak bias [ CITATION Adi08 \l 1033 ]. Memilih
subjek yang akan diajak diskusi juga perlu berhati-hati karena subjek haruslah mengerti
dengan informasi yang juga telah kita analisis atau subjek memiliki sudut pandang lain
terhadap kesimpulan yang kita miliki dengan pertimbangan subjek tersebut memiliki
informasi pendukung. Hasil diskusi tersebut kemudian menjadi bahan rujukan terakhir untuk
memutuskan pandangan kita terhadap informasi tersebut, apakah kita mempercayai informasi
tersebut atau tidak.
Berpikir kritis sendiri menurut John Dewey (1910) memiliki beberapa manfaat,
seperti menjadi lebih peka terhadap isu sekitar, terhindar dari penipuan berita, membangun
kebiasaan bertanya, memiliki kepercayaan diri akan opini yang ia miliki karena berdasarkan
data pendukung yang mantap, menjadi berpikiran terbuka dan menumbuhkan sikap
tanggungjawab atas informasi yang diterima serta yang dibagikan. Selain itu juga menurut
framework 21-st Century Education yang dikembangkan oleh World Economic Forum
(WEF), salah satu dari 16 keterampilan penting di abad 21 ini adalah berpikir kritis [CITATION
Jen16 \l 1033 ]. Sehingga, dari pandemi ini kita belajar, keterampilan berpikir kritis bukan
hanya teori yang dipelajari dan diterapkan ketika belajar di sekolah, namun juga perlu
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Daftar Pustaka.
DeAngelis, T. (2004, April). Are beliefs inherited? . Sumber dari American Psychological Association:
https://www.apa.org/monitor/apr04/beliefs

Hale, T. (2016, Juli 13). Marijuana Contains "Alien DNA" From Outside Of Our Solar System, NASA
Confirms. Sumber dari IFLSCIENCE!: https://www.iflscience.com/editors-blog/marijuana-
contains-alien-dna-from-outside-of-our-solar-system-nasa-confirms/all/

Herlinawati, M. (2020, Maret 22). Hadapi pandemi, IABI: Perlu komitmen bersama cegah "panic
buying. (A. Jauhary, Editor) Sumber dari ANTARANEWS.com:
https://www.antaranews.com/berita/1373370/hadapi-pandemi-iabi-perlu-komitmen-
bersama-cegah-panic-buying

Hitchcock, D. (2020, September 21). Critical Thinking. Sumber dari The Stanford Encyclopedia of
Philosophy: https://plato.stanford.edu/entries/critical-thinking/

Kahneman, D. (2011). Thinking, Fast and Slow. New York: Farrar, Straus and Giroux.

Livingstone, T. (2020, Juni 20). Preschoolers caught with potentially harmful 'COVID-19 protector'.
Sumber dari 9NEWS: https://www.9news.com.au/national/coronavirus-school-students-
bringing-potentially-dangerous-virus-shut-out-device-to-school/116ccc3e-df9c-4ada-ad0a-
1bcc1588c6c0

Ramadhan, A. (2020, Mei 1). 64,3 persen dari 1.522 orang cemas dan depresi karena COVID-19. (E. S.
AS, Editor) Sumber dari ANTARANEWS.com:
https://www.antaranews.com/berita/1457067/643-persen-dari-1522-orang-cemas-dan-
depresi-karena-covid-19#mobile-src

Soffel, J. (2016, Maret 10). What are the 21st-century skills every student needs? Sumber dari World
Economic Forum: https://www.weforum.org/agenda/2016/03/21st-century-skills-future-
jobs-students/

Somad, A. A., Aminudin, & Irawan, Y. (2008). Aktif dan Kreatif Bahasa Indonesia 3. Jakarta: Pusat
Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.

Taylor, S. (2019). The Psychology of Pandemics: Preparing for the Next Global Outbreak of Infectious
Disease. Newcastle upon Tyne: Cambridge Scholars Publishing.
Team, C. D. (2021, Februari 9). 5 Critical Thinking Skills to Use at Work (And How to Improve Them).
Sumber dari Indeed: https://www.indeed.com/career-advice/career-development/critical-
thinking-skills

Widyawati. (2020, Maret 15). Status Wabah Corona di Indonesia Ditetapkan sebagai Bencana
Nasional. Sumber dari Sehat Negeriku:
https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20200315/3633379/status-wabah-corona-
indonesia-ditetapkan-bencana-nasional/

Yunita. (2017, Januari 19). Ini Cara Mengatasi Berita “Hoax” di Dunia Maya. Sumber dari KOMINFO:
https://kominfo.go.id/content/detail/8949/ini-cara-mengatasi-berita-hoax-di-dunia-
maya/0/sorotan_media

Yusuf. (2020, Mei 7). Kominfo Temukan 1.401 Sebaran Isu Hoaks terkait Covid-19. Sumber dari
Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika, Kementerian Komunikasi dan Informatika:
https://aptika.kominfo.go.id/2020/05/kominfo-temukan-1-401-sebaran-isu-hoaks-terkait-
covid-19/

Anda mungkin juga menyukai