Anda di halaman 1dari 3

Media Sosial sebagai Mediator Penyebaran Misinformasi Vaksin

Salman Rafi Alifiansyah - 1906394265

Vaksinasi merupakan salah satu bukti pencapaian terbesar dari pengobatan modern. Hal ini
dikarenakan vaksin memiliki dampak besar dalam mengurangi penyebaran penyakit menular
(Andre, 2003). Vaksin tidak hanya menjaga kesehatan serta meningkatkan kualitas hidup
masyarkat, tetapi juga secara signifikan mengurangi beban finansial yang disebabkan oleh
penyakit menular (Remy dkk, 2014). Sayangnya, tidak sedikit kelompok dalam masyarakat
meragukan keefektifannya serta mengaitkan vaksin dengan informasi yang tidak benar. Hal
ini membentuk pertikaian yang berkelanjutan secara bertahap dalam beberapa tahun terakhir.
Ditambah lagi dengan kemajuan teknologi, kelompok-kelompok yang meyakini keburukan
dari vaksin mulai menyuarakan suaranya di media sosial guna menyebarkan benih-benih
keraguan masyarakat umum dalam menanggapi vaksin, terutama melihat kembali bahwa
kondisi dunia semenjak akhir tahun 2019 telah digencarkan dengan penyebaran virus
COVID-19 sehingga diberlakukan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat di
Indonesia.

Jika kita membuka kembali lembaran masa lalu, flu spanyol telah terjadi seabad sebelum
kemunculan COVID-19 dan telah berhasil membunuh sekitar 20–50 juta orang di seluruh
dunia. Pada abad yang sama, polio juga telah meneror dunia dengan meninggalkan kegagalan
kemampuan fisik untuk seumur hidup apalagi mereka berhasil bertahan hidup dengan polio,
Penyakit lain seperti cacar air semenjak abad ke-9 juga telah menjadi belenggu bagi manusia
untuk mengeksplorasi dunia dan mengembangkan peradaban seiring berjalannya waktu,
begitu pula dengan penyakit menular lainnya seperti ebola dan COVID-19 yang hingga kini
masih menghantui masyarakat. Namun menurut WHO semua itu pada akhirnya dapat diatasi
dengan pengembangan vaksin yang memerlukan proses waktu yang lama. Oleh karena itu,
dalam ilmu kesehatan vaksin merupakan landasan fondasi untuk mengelola wabah penyakit
menular dan merupakan cara paling pasti untuk meredakan risiko pandemi dan epidemi.

Di sisi lain, vaksin sejak diperkenalkan untuk pertama kalinya, dihadapkan dengan
pandangan skeptis, sikap negatif dan tindakan yang mengkritik, contohnya adalah penolakan
langsung terhadap vaksinasi secara individu atau kampanye aktif yang menolak penggunaan
vaksinasi, aksi-aksi ini dapat membalikkan pencapaian kesehatan masyarakat dari vaksinasi.
Penolakan ini didasari beberapa faktor seperti vaksin COVID-19 yang tidak dihiraukan oleh
beberapa individu dikarenakan manfaat vaksinasi yang dirasakan rendah, risiko tertular
COVID-19 yang dirasakan rendah, masalah kesehatan, kurangnya informasi,
ketidakpercayaan pada pemerintah atau organisasi kesehatan, dan alasan spiritual atau agama
(Fieselmann dkk, 2022). Kurangnya informasi yang didapatkan oleh individu tidak selalu
disebabkan oleh ketidakinginan untuk mencari informasi yang tidak sesuai dengan keyakinan
mereka, namun bisa saja disebabkan oleh informasi yang tersedia dianggap tidak dapat
dipahami dikarenakan penggunaan bahasa yang terlalu akademis sehingga sulit untuk
dipahami oleh masyarakat awam. Kurangnya informasi dalam beberapa kasus mengakibatkan
penyebaran informasi yang salah sehingga membentuk teori konspirasi. Kurangnya
pengetahuan menyebabkan ketidakpercayaan umum dan sikap negatif terhadap informasi
tentang penyakit itu sendiri dan vaksin di kalangan masyarakat. Selain itu, ketidakpercayaan
pada otoritas, pemangku kepentingan politik, atau perwakilan industri farmasi juga
memainkan peran penting. Keraguan tentang reliabilitas dan integritas organisasi atau
institusi tertentu dalam mempromosikan vaksinasi, dapat dikaitkan dengan kesalahan yang
dilakukan oleh aktor-aktor tersebut sebelumnya. Ditambah lagi, pengembangan dan
persetujuan vaksin yang terburu-buru dibandingkan dengan vaksin sebelumnya terhadap
penyakit lain menjadi alasan lain untuk menolak vaksinasi. Dianggap bahwa vaksin tersebut
tidak cukup diuji dan konsekuensi fisik negatif jangka panjang tidak dapat dikesampingkan.

Saat ini, aktivitas anti-vaksin berkembang pesat secara offline dan online, terutama di media
sosial (Kata, 2010; Faasse dkk, 2016) semakin dipengaruhi oleh informasi berkualitas rendah
(Sak dkk, 2015). Penyebaran Informasi yang salah memenuhi kepuasan tersendiri bagi orang-
orang, terlepas dari kebenaran dari informasi tersebut. Sebagai contoh, seseorang dapat
memilih untuk membagikan konten yang mendukung pemikiran yang mereka. Jika sebuah
berita konsisten dengan pandangan dunia seseorang dan membantu mereka melindungi
identitas sosialnya, menyebarkannya dapat bermanfaat bagi mereka (Kahan, 2017).
Komunitas online juga memberikan kontribusi pada masalah yang sudah ada, ketika
sekumpulan orang berkumpul di sekitar ide-ide gerakan anti-vaksin, maka terbentuklah echo
chamber yang mencegah substantif kritik dari mencapai mereka. Gerakan anti-vaksin ini
dapat dikatakan sebagai bentuk separatisme masyarakat beradab dengan kepercayaan mereka
terhadap vaksin sebagai produk jahat yang dikembangkan oleh dunia untuk mengontrol
masing-masing individu sehingga mematikan kebebasan manusia. Ketika individu telah
memiliki keyakinan bahwa vaksin merupakan suatu produk yang amoral, maka kemungkinan
besar dirinya akan melakukan selective exposure atau sikap selektif individu dalam
mengekspos dirinya pada informasi yang sesuai dengan keyakinan mereka. Hal ini dilakukan
untuk menghindari cognitive dissonance atau perasaan tidak nyaman yang dimiliki seseorang
ketika mereka memiliki pendapat yang tidak sesuai dengan keyakinan mereka sendiri. Selain
itu, ketika individu mulai mempertanyakan apa yang telah diyakini, maka dirinya juga akan
meragukan moralitas yang dipegang. Moralitas berkaitan dengan apa yang orang anggap
benar dan salah dan dianggap sebagai dimensi paling penting dari identitas sosial (Ellemers,
Pagliaro, & Barreto, 2013).

Referensi

A brief history of vaccination. (n.d.). WHO | World Health Organization.


https://www.who.int/news-room/spotlight/history-of-vaccination/a-brief-history-of-
vaccination

Andre, F. (2003). Vaccinology: Past achievements, present roadblocks and future promises.
Vaccine, 21(7-8), 593-595. https://doi.org/10.1016/s0264-410x(02)00702-8

Faasse, K., Chatman, C. J., & Martin, L. R. (2016). A comparison of language use in pro- and
anti-vaccination comments in response to a high profile Facebook post,. Vaccine, 34(47),
5808-5814. https://doi.org/10.1016/j.vaccine.2016.09.029

Fieselmann, J., Annac, K., Erdsiek, F., Yilmaz-Aslan, Y., & Brzoska, P. (2022). What are the
reasons for refusing a COVID-19 vaccine? A qualitative analysis of social media in Germany.
BMC Public Health, 22(1). https://doi.org/10.1186/s12889-022-13265-y

Kahan, D. M. (2017). Misconceptions, misinformation, and the logic of identity-protective


cognition. SSRN Electronic Journal. https://doi.org/10.2139/ssrn.2973067

Kata, A. (2010). A postmodern Pandora's box: Anti-vaccination misinformation on the


internet. Vaccine, 28(7), 1709-1716. https://doi.org/10.1016/j.vaccine.2009.12.022

Remy, V., Largeron, N., Quilici, S., & Carroll, S. (2014). The economic value of vaccination:
Why prevention is wealth. Value in Health, 17(7), A450.
https://doi.org/10.1016/j.jval.2014.08.1211

Sak, G., Diviani, N., Allam, A., & Schulz, P. J. (2015). Comparing the quality of pro- and
anti-vaccination online information: A content analysis of vaccination-related webpages.
BMC Public Health, 16(1). https://doi.org/10.1186/s12889-016-2722-9

Anda mungkin juga menyukai