Anda di halaman 1dari 63

Cara kerja vaksinasi adalah dengan memberikan antigen bakteri atau virus tertentu yang

sudah dilemahkan atau dimatikan dengan tujuan merangsang imun tubuh untuk membentuk

antibodi.

Dengan terbentuknya antibodi, maka anak akan memiliki kekebalan terhadap penyakit

tertentu, walau tidak 100%, namun jauh lebih baik dibandingkan anak tanpa vaksinasi.

Peningkatan gerakan antivaksin perlu mendapatkan perhatian serius mengingat berbagai

permasalahan vaksinasi lain yang juga tengah berkembang.

Pertama adalah munculnya KLB atas penyakit yang dulunya telah tereradikasi, misalnya KLB

difteri di Aceh dan Sumatera Barat pada akhir tahun 2014. Kedua adalah angka partisipasi

vaksinasi rutin yang mengalami penurunan dan belum mencapai target.

Cakupan imunisasi lengkap bayi di Indonesia menurun dari angka 90% pada tahun 2008,

menjadi 86,5% pada tahun 2015. Hal ini masih dibawah target cakupan 2015, yakni sebesar

91%.

Berdasarkan argumentasinya menolak vaksin, kelompok antivaksin dapat dibedakan menjadi

tiga kelompok besar, yaitu:

1. Kelompok yang menolak karena status kehalalan vaksin

Kelompok ini menolak vaksin karena menganggap vaksin menggunakan unsur yang diharamkan

seperti babi. Untuk kelompok ini, perlu dilakukan edukasi dan pendekatan ideologis.

Masyarakat harus diedukasi bahwa sebenarnya unsur babi hanya digunakan pada sebagian

kecil vaksin. Unsur babi dalam hal ini enzim tripsin berperan sebagai katalisator yang

memecah protein guna menjadi sumber nutrisi kuman yang dikembangbiakan.

Kuman tersebut diambil antigennya untuk jadi bahan pembentukan vaksin. Namun setelah itu

dilakukan purifikasi dan ultrafikasi dan pengenceran hingga 1/67,5 milyar kali. Sehingga pada
proses akhir sudah tidak terdapat unsur babi.

Pendekatan ideologis, khususnya dari segi agama adalah dengan menyertakan sertifikasi halal

pada vaksin dari pihak berwenang misalnya Majelis Ulama Indonesia. Hal ini sebenarnya sudah

dilakukan, namun pihak antivaksin terus melakukan penyangkalan.

2. Kelompok yang menolak konsep vaksin

Kelompok ini menganggap vaksinasi merupakan konspirasi korporat guna menggarup untung

dari masyarakat atau guna melemahkan kelompok tertentu. Ada juga yang menolak konsep

vaksin karena dianggap sebagai bentuk ketidakpasrahan terhadap Yang Maha Kuasa. Kelompok

inilah yang umumnya sangat bersikeras menolak vaksin karena sudah antipasti terhadap

konsep vaksin itu sendiri.

Bahkan ketika telah diberikan bukti mengenai efektivitas vaksin dan bahaya jika tidak

melakukannya, kelompok ini akan cenderung menolak. Oleh karenanya perlu dilakukan

pendekatan dialog terhadap kelompok ini guna meluruskan pandangan mereka berkaitan

dengan vaksin. Pendekatan melalui tokoh agama juga perlu dilakukan. Hal ini sebagaimana yang

telah ditegaskan oleh MUI bahwa vaksin tidak bertentangan dengan agama dan justru sesuai

dengan anjuran agama.

3. Keamanan dan efektivitas vaksin

Kelompok ini menolak vaksinasi karena takut akan efek samping vaksinasi. Untuk kelompok ini

perlu dilakukan edukasi bahwa vaksin yang beredar di pasaran, utamanya yang menjadi

program wajib pemerintah sudah barang tentu aman. Hal ini dikarenakan pembuatan vaksin

melalui penelitian yang panjang dan sangat memperhatikan keamanan dan keakuratan.

Satu jenis vaksin bisa memakan waktu belasan tahun dimulai dari uji lab, uji pada hewan,

relawan, orang dewasa, kemudian baru diterapkan pada anak. Jika dalam proses tersebut

vaksin menunjukkan dampak negatif yang berbahaya maka vaksin itu akan dicabut. Mengenai
efek samping berupa demam ringan paska imunisasi harus diberikan permakluman kepada

kelompok ini, bahwa hal tersebut hanyalah efek samping ringan yang berlangsung singkat.

Pada akhirnya, kontroversi mengenai vaksin ini akan menjadikan anak Indonesia sebagai

korban. Korban keegoisan, ketidaktahuan dan kebobrokan orangtua, organisasi, LSM dan pihak

lainnya. Ironisnya kelompok antivaksin ini sangat yakin akan kepercayaan informasi yang

mereka miliki dan seringkali tidak membuka ruang dialog.

Propaganda yang mereka lakukan juga cukup masif dan justru lebih dipercaya oleh sebagian

kelompok masyarakat, bukan hanya kalangan ekonomi rendah namun juga mereka dengan

ekonomi menengah keatas. Bahkan ada pula tenaga kesehatan yang turut menjadi pihak yang

antivaksin.

Dilihat dari peraturan perundang-undangan, vaksin dan imunisasi wajib diberikan oleh

pemerintah dan sepatutnya didukung oleh seluruh pihak. Hal ini sesuai dengan Undang-undang

nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 130 yang berbunyi "pemerintah wajib

memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan anak".

Di lain pihak, pelarangan pemberian vaksin kepada anak dapat disamakan dengan bentuk

penelantaran dan pelanggaran akan hak anak. Adapun pelanggaran ini harusnya dikenakan

sanksi pidana sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2003

tentang perlidungan anak.

Pada UU tersebut pasa 77c dan d disebutkan "penelantaran terhadap anak yang

mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan baik fisik, mental, maupun sosial"

"dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp

100.000.000".

Oleh karenanya diperlukan upaya komprehensif dan lintas sektor guna mendorong program

imunisasi dan vaksinasi di masyarakat. Upaya dilakukan dengan mengedukasi masyarakat dan

membuka ruang dialog mengenai hal-hal berkaitan dengan vaksinasi. Hal ini dilakukan utamnaya
oleh tenaga kesehatan dan kader.

Kerjasama lintas sektor misalnya dengan tokoh agama juga diperlukan guna memberikan

keamanan dan ketenangan kepada masyarakat yang ingin melakukan vaksinasi. Selain itu akses

untuk vaksinasi serta cakupan produk vaksinasi juga secara perlahan perlu ditingkatkan demi

menjamin kesehatan masyarakat Indonesia secara umum dan anak Indonesia secara khusus.

Pendapat yang kontra:

 Vaksin haram karena menggunakan media ginjal kera, babi, aborsi bayi, darah orang

yang tertular penyakit infeksi yang notabene pengguna alkohol, obat bius, dan lain-

lain. Ini semua haram dipakai secara syari’at.

 Efek samping yang membahayakan karena mengandung mercuri, thimerosal, aluminium,

benzetonium klorida, dan zat-zat berbahaya lainnya yg akan memicu autisme, cacat

otak, dan lain-lain.

 Lebih banyak bahayanya daripada manfaatnya, banyak efek sampingnya.

 Kekebalan tubuh sebenarnya sudah ada pada setiap orang. Sekarang tinggal bagaimana

menjaganya dan bergaya hidup sehat.

 Konspirasi dan akal-akalan negara barat untuk memperbodoh dan meracuni negara

berkembang dan negara muslim dengan menghancurkan generasi muda mereka.

 Bisnis besar di balik program imunisasi bagi mereka yang berkepentingan. Mengambil

uang orang-orang muslim.

 Menyingkirkan metode pengobatan dan pencegahan dari negara-negara berkembang

dan negara muslim seperti minum madu, minyak zaitun, kurma, dan habbatussauda.

 Adanya ilmuwan yang menentang teori imunisasi dan vaksinasi.

 Adanya beberapa laporan bahwa anak mereka yang tidak di-imunisasi masih tetap

sehat, dan justru lebih sehat dari anak yang di-imunisasi.

Pendapat yang pro:


 Mencegah lebih baik daripada mengobati. Karena telah banyak kasus ibu hamil

membawa virus Toksoplasma, Rubella, Hepatitis B yang membahayakan ibu dan janin.

Bahkan bisa menyebabkan bayi baru lahir langsung meninggal. Dan bisa dicegah dengan

vaksin.

 Vaksinasi penting dilakukan untuk mencegah penyakit infeksi berkembang menjadi

wabah seperti kolera, difteri, dan polio. Apalagi saat ini berkembang virus flu burung

yg telah mewabah. Hal ini menimbulkam keresahan bagi petugas kesahatan yang

menangani. Jika tidak ada, mereka tidak akan mau dekat-dekat. Juga meresahkan

masyarakat sekitar.

 Walaupun kekebalan tubuh sudah ada, akan tetapi kita hidup di negara berkembang

yang notabene standar kesehatan lingkungan masih rendah. Apalagi pola hidup di

zaman modern. Belum lagi kita tidak bisa menjaga gaya hidup sehat. Maka untuk

antisipasi terpapar penyakit infeksi, perlu dilakukan vaksinasi.

 Efek samping yang membahayakan bisa kita minimalisasi dengan tanggap terhadap

kondisi ketika hendak imunisasi dan lebih banyak cari tahu jenis-jenis merk vaksin

serta jadwal yang benar sesuai kondisi setiap orang.

 Jangan hanya percaya isu-isu tidak jelas dan tidak ilmiah. Contohnya vaksinasi MMR

menyebabkan autis. Padahal hasil penelitian lain yang lebih tersistem dan dengan

metodologi yang benar, kasus autis itu ternyata banyak penyebabnya. Penyebab autis

itu multifaktor (banyak faktor yang berpengaruh) dan penyebab utamanya masih

harus diteliti.

 Jika ini memang konspirasi atau akal-akalan negara barat, mereka pun terjadi pro-

kontra juga. Terutama vaksin MMR. Disana juga sempat ribut dan akhirnya diberi

kebebasan memilih. Sampai sekarang negara barat juga tetap memberlakukan vaksin

sesuai dengan kondisi lingkungan dan masyarakatnya.

 Mengapa beberapa negara barat ada yang tidak lagi menggunakan vaksinasi tertentu

atau tidak sama sekali? Karena standar kesehatan mereka sudah lebih tinggi,

lingkungan bersih, epidemik (wabah) penyakit infeksi sudah diberantas, kesadaran dan

pendidikan hidup sehatnya tinggi. Mereka sudah mengkonsumsi sayuran organik.

Bandingkan dengan negara berkembang. Sayuran dan buah penuh dengan pestisida jika

tidak bersih dicuci. Makanan dengan zat pengawet, pewarna, pemanis buatan, mie
instant, dan lain-lain. Dan perlu diketahui jika kita mau masuk ke beberapa negara

maju, kita wajib divaksin dengan vaksin jenis tertentu. Karena mereka juga tidak ingin

mendapatkan kiriman penyakit dari negara kita.

 Ada beberapa fatwa halal dan bolehnya imunisasi. Ada juga sanggahan bahwa vaksin

halal karena hanya sekedar katalisator dan tidak menjadi bagian vaksinContohnya

Fatwa MUI yang menyatakan halal. Dan jika memang benar haram, maka tetap

diperbolehkan karena mengingat keadaan darurat, daripada penyakit infeksi mewabah

di negara kita. Harus segera dicegah karena sudah banyak yang terjangkit polio,

Hepatitis B, dan TBC.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/7073-pro-kontra-hukum-imunisasi-dan-

vaksinasi.html

Kewajiban taat terhadap pemerintah/waliyul ‘amr

Hal ini berkaitan dengan program “wajib” pemerintah berkaitan dengan imunisasi -yang kita

kenal dengan PPI [Program Pengembangan Imunisasi]- di mana ada lima vaksin yang menjadi

imunisasi “wajib”.

Sudah menjadi aqidah ahlus sunnah wal jamaah bahwa kita wajib mentaati pemerintah.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/7073-pro-kontra-hukum-imunisasi-dan-

vaksinasi.html

Wajib imunisasi bukan wajib secara mutlak


Secara ringkas, wallahu a’lam, yang kami dapatkan bahwa pernyataan “wajib” pemerintah di

sini bukanlah wajib secara mutlak dalam pelaksanaannya. Sebagaimana wajib, ada yang

wajib ‘ain dan wajib kifayah. wajib Karena ada beberapa alasan.

1. Memang ada UU no. 4 tahun 1894 tentang wabah penyakit menular dan secara tidak

langsung imunisasi masuk di sini karena salah satu peran imunisasi adalah memberantas

wabah. Bisa dilihat di: : http://medbook.or.id/news/other/170-uu-no-4-tahun-

1984 Ancaman bagi yang tidak mendukungnya, bisa dihukum penjara dan denda.

Akan tetapi, pemerintah juga masih kurang konsisten dalam menerapkan hukuman ini. Bisa

dilihat pernyataan salah satu pemimpin kita.

“Kita tidak bisa memberikan sanksi hukuman, tetapi kita hanya bisa menghimbau kepada

aparat, ibu-ibu, LSM, majelis taklim, ketua RT, dan lurah, agar menggerakkan warganya ke

pos-pos imunisasi. Mudah-mudahan Jakarta bebas polio,,”

[sumber: http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2005/bulan/05/tgl/31/ti

me/115902/idnews/371768/idkanal/10]

Walaupun sumber tersebut tahun 2005, tetapi ini menunjukkan setidaknya pemerintah

pernah tidak konsisten.

2. Belum ada peraturan pemerintah atau undang-undang khusus yang mengatur secara jelas,

tegas, dan shorih tentang kewajiban imunisasi, hukuman, serta kejelasan penerapan

hukuman.

3. Kalaupun mewajibkan lima imunisasi termasuk polio, maka bagaimana dengan daerah yang

terpencil, daerah yang tidak mendapatkan pasokan imunisasi seperti beberapa daerah di

Papua? Apakah mereka dipenjara semua? Atau didenda semua? Haruskah mereka mencari-

cari ke daerah yang ada imunisasi dan vaksin?

Bagimana dengan yang tidak mampu membayar imunisasi? Karena pemerintah belum

menggratiskan secara menyeluruh imunisasi. Walaupun ada yang murah, tetapi tetap saja
ada penduduk yang untuk makan sesuap nasi saja sulit. Apakah orang miskin-papa seperti

mereka harus dipenjara atau didenda karena tidak imunisasi?

4. Sampai sekarang, wallahu a’lam, kami belum pernah mendengar ada kasus orang yang

dihukum penjara atau denda hanya karena anaknya belum atau tidak diimunisasi.

5. Cukup banyak mereka yang kontra imunisasi dan vaksin baik individu, LSM, atau organisai

tertentu mengeluarkan pendapat menolak imunisasi padahal ini sangat bertentangan dengan

pemerintah. Bahkan mereka menghimbau bahkan memprovokasi agar tidak melakukan

imunisasi. Tetapi, wallahu a’lam, kami tidak melihat tindak tegas pemerintah terhadap

mereka.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/7073-pro-kontra-hukum-imunisasi-dan-

vaksinasi.html

Majelis Ulama Eropa untuk Fatwa dan Penelitian telah memberikan jawaban untuk masalah

vaksin yang digunakan dalam vaksinasi anak terhadap polio. Dalam masalah tersebut, Majelis

Ulama Eropa memutuskan dua hal:

Pertama:

Penggunaan obat semacam itu ada manfaatnya dari segi medis. Obat semacam itu dapat

melindungi anak dan mencegah mereka dari kelumpuhan dengan izin Allah. Dan obat semacam

ini (dari enzim babi) belum ada gantinya hingga saat ini. Dengan menimbang hal ini, maka

penggunaan obat semacam itu dalam rangka berobat dan pencegahan dibolehkan. Hal ini

dengan alasan karena mencegah bahaya (penyakit) yang lebih parah jika tidak

mengkonsumsinya. Dalam bab fikih, masalah ini ada sisi kelonggaran yaitu tidak mengapa

menggunakan yang najis (jika memang cairan tersebut dinilai najis). Namun sebenarnya

cairan najis tersebut telah mengalami istihlak (melebur) karena bercampur dengan zat suci

yang berjumlah banyak. Begitu pula masalah ini masuk dalam hal darurat dan begitu primer
yang dibutuhkan untuk menghilangkan bahaya. Dan di antara tujuan syari’at adalah

menggapai maslahat dan manfaat serta menghilangkan mafsadat dan bahaya.

Kedua:

Majelis merekomendasikan pada para imam dan pejabat yang berwenang hendaklah posisi

mereka tidak bersikap keras dalam perkara ijtihadiyah ini yang nampak ada maslahat bagi

anak-anak kaum muslimin selama tidak bertentangan dengan dalil yang definitif (qoth’i).

[Disarikan dari http://www.islamfeqh.com/Forums.aspx?g=posts&t=203]

Perlu diketahui juga bahwa di Saudi Arabia sendiri untuk pendaftaran haji melalui hamlah

(travel) diwajibkan bagi setiap penduduk asli maupun pendatang untuk memenuhi

syarat tath’im (vaksinasi) karena banyaknya wabah yang tersebar saat haji nantinya. Syarat

inilah yang harus dipenuhi sebelum calon haji dari Saudi mendapatkan tashrih atau izin

berhaji yang keluar lima tahun sekali.

Jangan meyebarluaskan penolakan imunisasi

Merupakan tindakan yang kurang bijak bagi mereka yang menolak imunisasi, menyebarkan

keyakinan mereka secara luas di media-media, memprovokasi agar menolak keras imunisasi

dan vaksin, bahkan menjelek-jelekkan pemerintah. Sehingga membuat keresahan

dimasyarakat. Karena bertentangan dengan pemerintah yang membuat dan mendukung

program imunisasi.

Hendaknya ia menerapkan penolakan secara sembunyi-sembunyi. Sebagaimana kasus jika

seseorang melihat hilal Ramadhan dengan jelas dan sangat yakin, kemudian persaksiannya

ditolak oleh pemerintah. Pemerintah belum mengumumkan besok puasa, maka hendaknya ia

puasa sembunyi-sembunyi besok harinya dan jangan membuat keresahan di masyarakat

dengan mengumumkan dan menyebarluaskan persaksiannya akan hilal, padahal sudah ditolak

oleh pemerintah. Karena hal ini akan membuat perpecahan dan keresahan di masyarakat.

Islam mengajarkan kita agar tidak langsung menyebarluaskan setiap berita atau isu ke

masyarakat secara umum. Hendaklah kita jangan mudah termakan berita yang kurang jelas

atau isu murahan kemudian ikut-kutan menyebarkannya padahal ilmu kita terbatas mengenai
hal tersebut. Hendaklah kita menyerahkan kepada kepada ahli dan tokoh yang berwenang

untuk menindak lanjuti, meneliti, mengkaji, dan menelaah berita atau isu tersebut. Kemudian

merekalah yang lebih mengetahui dan mempertimbangkan apakah berita ini perlu diekspos

atau disembunyikan.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/7073-pro-kontra-hukum-imunisasi-dan-

vaksinasi.html

Vaksin haram?

Ini yang cukup meresahkan karena sebagian besar masyarakat Indonesia adalah muslim.

Namun mari kita kaji, kita ambil contoh vaksin polio atau vaksin meningitis yang produksinya

menggunakan enzim tripsin dari serum babi. Belakangan ini menjadi buah bibir karena cukup

meresahkan jama’ah haji yang diwajibkan pemerintah Arab Saudi vaksin, karena mereka

tidak ingin terkena atau ada yang membawa penyakit tersebut ke jama’ah haji di Mekkah.

Banyak penjelasan dari berbagai pihak, salah satunya dari Drs. Iskandar, Apt., MM, -

Direktur Perencanaan dan pengembangan PT. Bio Farma (salah satu perusahaan pembuat

vaksin di Indonesia)- yang mengatakan bahwa enzim tripsin babi masih digunakan dalam

pembuatan vaksin, khususnya vaksin polio (IPV). Beliau mengatakan,

“Air PAM dibuat dari air sungai yang mengandung berbagai macam kotoran dan najis, namun

menjadi bersih dan halal stetalh diproses”. Beliau juga mengatakan, “Dalam proses

pembuatan vaksin, enzim tripsin babi hanya dipakai sebagai enzim proteolitik [enzim yang

digunakan sebagai katalisator pemisah sel/protein]. Pada hasil akhirnya [vaksin], enzim

tripsin yang merupakan unsur turunan dari pankreas babi ini tidak terdeteksi lagi. Enzim ini

akan mengalami proses pencucian, pemurnian dan

penyaringan.” [sumber: http://www.scribd.com/doc/62963410/WHO-Batasi-Penggunaan-

Babi-Untuk-Pembuatan-Vaksin]
Jika ini benar, maka tidak bisa kita katakan bahwa vaksin ini haram, karena minimal bisa

kita kiaskan dengan binatang jallalah, yaitu binatang yang biasa memakan barang-barang

najis. Binatang ini bercampur dengan najis yang haram dimakan, sehingga perlu dikarantina

kemudian diberi makanan yang suci dalam beberapa hari agar halal dikonsumsi. Sebagian

ulama berpendapat minimal tiga hari dan ada juga yang berpendapat sampai aroma, rasa dan

warna najisnya hilang.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/7073-pro-kontra-hukum-imunisasi-dan-

vaksinasi.html

Perubahan benda najis atau haram menjadi suci

Kemudian ada istilah [‫“ ]استحالة‬istihalah” yaitu perubahan benda najis atau haram menjadi

benda yang suci yang telah berubah sifat dan namanya. Contohnya adalah jika kulit bangkai

yang najis dan haram disamak, maka bisa menjadi suci atau jika khamr menjadi cuka -

misalnya dengan penyulingan- maka menjadi suci. Pada enzim babi vaksin tersebut telah

berubah nama dan sifatnya atau bahkan hanya sebagai katalisator pemisah, maka yang

menjadi patokan adalah sifat benda tersebut sekarang.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/7073-pro-kontra-hukum-imunisasi-dan-

vaksinasi.html

Inilah landasan yang digunakan MUI, jika kita kaji sesuai dengan syarat:

1. Saat itu belum ada pengganti vaksin lainnya


Adapun yang berdalil bahwa bisa diganti dengan jamu, habbatussauda, atau madu [bukan

berarti kami merendahkan pengobatan nabi dan tradisional], maka kita jawab bahwa itu

adalah pengobatan yang bersifat umum dan tidak spesifik. Sebagaimana jika kita mengobati

virus tertentu, maka secara teori bisa sembuh dengan meningkatkan daya tahan tubuh, akan

tetapi bisa sangat lama dan banyak faktor, bisa saja dia mati sebelum daya tahan tubuh

meningkat. Apalagi untuk jamaah haji, syarat satu-satunya adalah vaksin.

2. Enzim babi pada vaksin hanya sebagai katalisator, sekedar penggunaannya saja.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/7073-pro-kontra-hukum-imunisasi-dan-

vaksinasi.html

Maka, pendapat terkuat bahwa pada pada asalnya tidak boleh berobat dengan benda-benda

haram kecuali dalam kondisi darurat, dengan syarat:

1. Penyakit tersebut adalah penyakit yang harus diobati.

2. Benar-benar yakin bahwa obat ini sangat bermanfaat pada penyakit tersebut.

3. Tidak ada pengganti lainnya yang mubah.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/7073-pro-kontra-hukum-imunisasi-dan-

vaksinasi.html

Jika masih saja tidak boleh dan haram bagaimanapun juga kondisinya

Jika masih berkeyakinan bahwa vaksin itu omong kosong, haram dan tidak berguna, maka

ketahuilah, vaksin inilah yang memberikan kekuatan psikologis kepada kami para tenaga

kesehatan untuk bisa menolong dan mengobati masyarakat umum. Jika kami -tenaga
kesehatan- tidak melakukan vaksinasi hepatitis B, seandainya mereka yang kontra vaksinasi

terkena hepatitis B dan perlu disuntik atau dioperasi, maka saya atau pun tenaga medis

lainnya akan berpikir dua kali untuk melakukan operasi jika mereka belum divaksin hepatitis

B. Maka hati kami akan gusar dalam menjalankan tugas kami, kita tidak tahu jika ada pasien

yang luka, berdarah, lalu kita bersihkan lukanya, kemudian ternyata diketahui bahwa dia

berpenyakis hepatitis B. Karena keyakinan sudah divaksinasi hepatitis B, maka hal itu

membuat kami bisa menjalaninya.

Begitu juga jika istri mereka hendak melahirkan dan terkena hepatitis B, bidan yang

membantu mereka akan berpikir dua kali untuk membantu persalinan jika dia belum vaksin

hepatitis B. Karena hepatitis B termasuk penyakit kronis dengan prognosis buruk, belum

ditemukan dengan pasti obatnya.

Benarkah konspirasi dan akal-akalan Barat dan Yahudi?

Untuk memastikan hal ini perlu penelitian dan fakta yang jelas, dan sampai sekarang belum

ada bukti yang kuat mengenai hal ini. Walapun mereka kafir tetapi Islam mengajarkan tidak

boleh dzalim tehadap mereka, dengan menuduh tanpa bukti dan berdasar paranoid selama

ini. Begitu juga WHO sebagai antek-anteknya.

Malah yang ada adalah bukti-bukti bahwa tidak ada konspirasi dalam hal ini, berikut kami

bawakan beberapa di antaranya:

1. Pro-kontra imunisasi dan vaksin tidak hanya berada di Negara Islam dan Negara

berkembang saja, tetapi dinegara-negara barat dan Negara non-Islam lainnya seperti di

Filipina dan Australia

Sumber: http://www.metrotvnews.com/ekonomi/news/2011/07/28/59298/Kelompok-

Antivaksin-tak-Hanya-Ada-di-Indonesia

Pro-kontra imunisasi sudah ada sejak Pasteur mengenalkan imunisasi rabies, sampai

keputusan imunisasi demam tifoid semasa perang Boer. Demikian juga penentang imunisasi

cacar di Inggris sampai membawanya di parlemen Inggris. Para Ibu di Jepang dan Inggris
menolak imunisasi DPT karena menyebabkan reaksi panas (demam). [Pedoman Imunisasi di

Indonesia hal. 361]

2. Amerika melakukan imunisasi bagi pasukan perang mereka. Ini menjawab tuduhan bahwa

imuniasi hanya untuk membodohi Negara muslim dan sudah tidak populer di Negara barat,

bahkan mereka mengeluarkan jurnal penelitian resmi untuk meyakinkan dan menjawab pihak

kontra imunisasi. Salah satunya adalah jurnal berjudul, “Immunization to Protect the US

Armed Forces: Heritage, Current Practice, and Prospects” Sangat lucu jika mereka mau

bunuh diri dengan melemahkan dan membodohi pasukan perang mereka dengan imunisasi.

Jurnal tersebut bisa di akses di: http://epirev.oxfordjournals.org/content/28/1/3.full

3. WHO juga sedang meneliti pengembangan imunisasi tanpa menggunakan unsur binatang

sebagaimana kita jelaskan sebelumnya.

Uang dibalik imunisasi?

Jika memang ada bisnis uang orang-orang Yahudi di balik imunisasi, maka ini perlu ditinjau

lagi, karena Indonesia sudah memproduksinya sendiri, misalnya PT. Bio Farma. Jika memang

mereka ingin memeras negara muslim, mengapa mereka tidak monopoli saja, tidak

memberikan teknologinya kepada siapa pun.

Imunisasi tidak menjamin 100%

Tidak ada yang obat yang bisa menjamin 100% kesembuhan dan menjamin 100% pencegahan.

Semua tergantung banyak faktor, salah satunya adalah daya tahan tubuh kita. Begitu juga

dengan imunisasi, sehingga beberapa orang mempertanyakan imunisasi hanya karena

beberapa kasus penyakit campak, padahal penderita sudah diimunisasi campak.

Semua obat pasti ada efek sampingnya

Bahkan madu, habbatussauda, dan bekam juga ada efek sampingnya, hanya saja kita bisa

menghilangkan atau meminimalkannya jika sesuai aturan. Begitu juga dengan imunisasi yang

dikenal dengan istilah KIPI [Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi]. Misalnya, sedikit demam, dan

ini semua sudah dijelaskan dan ada penanganannya.


Anak yang tidak imunisasi lebih sehat?

Ada pengakuan bahwa anaknya yang tidak diimunisasi lebih sehat dan pintar dari yang

diimunisasi. Maka kita jawab, bisa jadi itu karena faktor-faktor lain yang tidak terkait

dengan imunisasi, dan perlu dibuktikan. Banyak orang-orang miskin dan kumuh anaknya lebih

sehat dan lebih pintar dibandingkan mereka yang kaya dan pola hidupnya sehat. Apakah kita

akan mengatakan, jadi orang miskin saja supaya lebih sehat? Kita tahu sebagian besar anak

Indonesia diimunisasi dan lihatlah mereka semuanya banyak yang pintar-pintar dan

menjuarai berbagai olimpiade tingkat internasional. Apakah kita kemudian akan mengatakan,

ikut imunisasi saja supaya bisa menjuarai olimpiade tingkat internasional? Sehingga, jangan

karena satu dua kasus, kemudian kita menyamakannya pada semua kasus.

Penelitian tentang kegagalan imunisasi dan vaksin yang setengah-setengah

Umumnya penelitian-penelitian ini adalah penelitian tahun lama yang kurang bisa dipercaya,

mereka belum memahami benar teori imunologi yang terus berkembang. Kemudian tahun

2000-an muncul kembali yaitu peneliti Wakefield dan Montgomerry yang mengajukan laporan

penelitian adanya hubungan vaksin MMR dengan autism pada anak. Ternyata penelitian ini

tidak menggunakan paradigm epidemiologik, tetapi paradigma imunologi atau biomolekuler

yang belum memberikan bukti shahih. Bukti juga masih sepotong-potong. Baik pengadilan

London maupun redaksi majalah yang memuat tulisan ini akhirnya menyesal dan menyatakan

bukti yang diajukan lemah dan kabur. [Pedoman Imunisasi di Indonesia hal 366-367]

Keberhasilan vaksin memusnahkan cacar [smallpox] di bumi

Bukan cacar air [varicella] yang kami maksud, tetapi cacar smallpox. Yang sebelumnya

mewabah di berbagai negara dan sekarang hampir semua negara menyatakan negaranya

sudah tidak ada lagi penyakit ini.

“Following their jubilant announcement in 1980 that smallpox had finally been eradicated

from the world, the World Health Organization lobbied for the numbers of laboratories

holding samples of the virus to be reduced. In 1984 it was agreed that smallpox be kept in

only two WHO approved laboratories, in Russia and America”


“Setelah pengumuman gembira mereka pada tahun 1980 bahwa cacar akhirnya telah

diberantas dari bumi, WHO melobi agar jumlah laboratorium yang memegang sampel virus

bisa dikurangi. Pada tahun 1984, disepakati bahwa (virus) cacar hanya disimpan di dua

laboratorium yang disetujui WHO, yaitu di Rusia dan Amerika.”

Sumber: http://www.bbc.co.uk/history/british/empire_seapower/smallpox_01.shtml

Lihat bagaimana dua negara adidaya saat itu yang saling berperang berusaha mendapatkan

ilmu ini dengan menyimpan bibit penyakit tersebut. Jika ini hanya main-main dan bohong

belaka, mengapa harus diperebutkan oleh banyak negara dan akhirnya dibatasi dua Negara

saja. Lihat juga karena vaksinlah yang menyelamatkan dunia dari wabah saat itu, dengan izin

Allah Ta’ala.

Dukung Imunisasi Polio Pemerintah

Kita tidak boleh memaksa, kita hanya bisa mengarahkan. Sama dengan wabah cacar, maka

polio juga menjadi sasaran pemusnahan di muka bumi. Oleh karena itu, semua orang harus

ikut serta sehingga virus polio bisa musnah di muka bumi ini. Jika ada beberapa orang saja

yang masih membawa virus ini kemudian menyebar, maka program ini akan gagal. Di

Indonesia pemerintah mencanangkannya dengan “Indonesia Bebas Polio”. Mengingat penyakit

in sangat berbahaya dengan kemunculan gejala yang cepat.

Mungkin kita harus belajar dari kasus yang terjadi di Belanda. Di sana, ada daerah-daerah

yang karena faktor religius, mereka menolak untuk divaksin, biasa disebut “Bible Belt”,

mereka tersebar di beberapa daerah di Belanda. Akibatnya, terjadi outbreak (wabah) virus

Measles antara tahun 1999-2000 dengan lebih dari 3000 kasus virus Measles dan setelah

diteliti ternyata terjadi di daerah-daerah yang didominasi oleh orang-orang Bible Belt.

Padahal kita tahu, sejak vaksin Measles berhasil ditemukan tahun 1965-an [sekarang vaksin

MMR (Measles, Mumps, Rubella)], kasus Measles sudah hampir tidak ada lagi.

Maka ini menjadi pelajaran bagi kita, ketika daya tahan tubuh kita tidak memiliki pertahanan

tubuh spesifik untuk virus tertentu, bisa jadi kita terjangkit virus tersebut dan

menularkannya kepada orang lain bahkan bisa jadi menjadi wabah. Karena bisa jadi, untuk
membangkitkan daya tahan spesifik terhadap serangan virus tertentu yang berbahaya,

sistem imunitas kita kalah cepat dengan serangan virusnya, sehingga bisa barakibat fatal.

Dan inilah yang sebenarnya bisa dicegah dengan imunisasi. Itulah mengapa pemerintah

sangat ingin agar imunisasi bisa mencakup hampir 100% anak, agar setiap orang mempunyai

daya tahan tubuh spesifik terhadap virus tersebut. [dua paragraf di atas adalah tambahan

dari editor, Jazahumullahu khair atas tambahan ilmunya]

Keberhasilan teori dimana teori tersebut menjadi dasar teori imunisasi

Imunisasi dibangun di atas teori sistem imunitas (sistem pertahanan tubuh) dengan istilah-

itilah yang mungkin pernah didengar seperti antibodi, immunoglubulin, sel-B, sel-T, antigen,

dan lain-lain. Teori inilah yang melandasi ilmu kedokteran barat yang saat ini digunakan oleh

sebagian besar masyarakat dunia. Dan sudah terbukti.

Bagaimanakah sebuah obat penekan sistem imunitas bekerja seperti kortikosteroid,

bagaimana obat-obat yang mampu meningkatkan sistem imun. Bahkan habbatussauda pun

diteliti dan sudah ada jurnal kedoktean resmi yang menyatakan bahwa habbatussauda dapat

meningkatkan sistem imun. Semua dibangun di atas teori ini. Dan masih banyak lagi, misalnya

vaksin bisa ular. Bagaimana seorang yang digigit ular berbisa kemudian bisa selamat dengan

perantaraan vaksin ini. Vaksin tetanus, rabies, dan lain-lainnya

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/7073-pro-kontra-hukum-imunisasi-dan-

vaksinasi.html

Selama ini, pemberian vaksin kekebalan tubuh untuk anak-anak berpedoman kepada fatwa

MUI nomor 4 tahun 2016 tentang imunisasi. Fatwa tersebut membolehkan vaksin atau

imunisasi untuk pencegahan.

Namun, hingga kini vaksin MR belum memiliki sertifikasi halal dari MUI.
Wakil Sekretaris Jenderal MUI Pusat Bidang Fatwa, Shalahuddin Al Ayyubi mengakui hingga

kini belum ada pendaftaran sertifikasi halal ke MUI, baik dari importir maupun produsen dari

vaksin tersebut.

Padahal, label halal itu sangat penting bagi umat Muslim.

"Apalagi ini diwajibkan oleh pemerintah. Makanya kita aktif mengajak Kementerian Kesehatan,

kita akan helpful (membantu) kepada pemerintah, kepada Kementerian Kesehatan dalam hal

ini, untuk mencari solusi yang terbaik. Ini komunikasi saja tidak ada," kata Shalahuddin.

Kendati begitu, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Anung

Sugihantono menampik minimnya koordinasi dengan MUI terkait halal atau haramnya vaksin

MR.

"Sejauh ini koordinasi terus dilakukan sejak fase I, dikerjakan untuk kegiatan untuk program

imunisasi secara umum dan pelaksanaan imunisasi MR pada fase kedua ini. Kita sudah lakukan

komunikasi, bukan hanya dengan jajaran kementerian/lembaga tapi juga jajaran MUI," kata

dia.

Dia menambahkan, Kemenkes sudah mengimbau importir dari vaksin ini, yakni perusahaan

kesehatan Biofarma untuk mendorong produsen vaksin mendaftarkan sertifikasi halal.

"Sebagaimana yang tertulis di Undang-Undang bahwa yang mendaftarkan itu adalah produsen,

dan kami sejauh ini mendorong pihak Biofarma selaku penyedia vaksin ini untuk mendorong

produsen untuk mendaftarkan itu di dalam sebuah proses regulasi yang ada," jelasnya.

Ditambahkan pula pemerintah akan tetap menjalankan fase kedua dari program imunisasi MR

yang fokus di 28 provinsi di luar Pulau Jawa selama bulan Agustus dan September.

"Yang jelas kami tetap akan memberikan pelayanan kepada yang memerlukan pelayanan itu

sebagaimana kampanye atau sosialisasi yang sudah kita lakukan.

"Dan waktu kita kan dua bulan, jadi tahapan-tahapan ini tetap kita ikuti sejalan juga nanti apa-

apa yang dilakukan oleh pihak produsen untuk kegiatan itu," katanya.
Bagaimanapun, seperti disebutkan oleh seorang ibu dan pengurus MUI, sertifikasi halal

dianggap penting oleh sebagian anggota masyarakat.

Tanpa kejelasan itu, program vaksinasi gratis untuk pencegahan penyebaran penyakit campak

dan rubella di Indonesia, mungkin tidak dapat menjangkau seluruh sasaran, yang di luar Pulau

Jawa ditargetkan mencapai 31 juta anak.

Menurut Kantor regional Asia Tenggara dari Badan Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia

merupakan salah satu negara tertinggal dalam upaya menangani penyakit campak.

Mengapa anak-anak butuh vaksinasi?

Pasangan Herlina Suryani Oktavia dan Oki Andriansyah percaya anak-anak memiliki kekebalan

tubuh dari asupan makanan dan gizi yang baik sehingga tidak membutuhkan vaksinasi.

"Kita nggak memilih (vaksinasi) karena saya pikir anak itu punya daya tahan tubuh sendiri.

Saya sebagai orang tua harus menjaga daya tahan tubuh anak tiap hari dengan asupan yang

baik dengan madu dan istirahat yang cukup," jelas Oki.

Anak pertama pasangan ini sempat divaksinasi, namun anak keduanya tidak pernah divaksinasi

sama sekali.

 Sekolah yang menolak imunisasi campak dan rubella akan diajak dialog

 Sejumlah fakta tentang vaksin anti kanker serviks

 Uganda berlakukan hukuman penjara pada orangtua yang tak imunisasi anaknya

Dokter spesialis anak dan penulis buku Pro Kontra Imunisasi, dr. Arifianto SPA, menyebutkan

asupan makanan bergizi, suplemen, serta ASI (air susu ibu) bagi anak penting tetapi harus

dibarengi dengan vaksinasi yang memberikan kekebalan spesifik pada anak-anak.

"Vaksin itu memberikan kekebalan spesifik terhadap penyakit tertentu seperti campak dan

polio. Kenapa vaksin diberikan pada usia sangat dini, bahkan bayi baru lahir pun langsung diberi

imunisasi, karena pertama kekebalan tubuh belum sempurna," jelas Arifianto.


"Kedua, (tubuh) mereka belum mengenali kuman-kuman yang bisa membuat penyakit itu,

(tubuh) mereka sudah dikenalkan sejak dini untuk membentuk kekebalan yang spesifik

terhadap penyakit tadi," imbuhnya.

Hak atas fotoBBC INDONESIA

Masalah halal dan haram vaksin

Salah satu orang tua yang aktif menolak vaksinasi melalui media sosial adalah Mega Indah

Tomeala. Dia memiliki sejumlah alasan untuk tidak memvaksinasi anak-anaknya.

Dia yakin pola hidup yang sehat dan seimbang dapat mencegah anak untuk tertular penyakit.

Selain itu, masalah kehalalan vaksin merupakan salah satu pertimbangan dalam memutuskan

untuk tidak memvaksinasi anaknya.

"Saya zero tolerance terhadap babi. Saya tidak akan memasukkan anak saya sesuatu yang ada

sangkut pautnya dengan zat babi. Ada yang bilang kecuali darurat, tapi darurat seperti apa?

Kalau halal-haram itu jadi pertimbangan utama sebagai orang Islam," ungkap Mega.
Laman Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyebutkan vaksin yang beredar di Indonesia

tidak mengandung babi. Akan tetapi, dalam pembuatan vaksin seperti polio, enzim tripsin babi

memang digunakan, walau sudah "dibersihkan dan dihilangkan" sehingga tidak mengganggu

tahapan selanjutnya dalam produksi vaksin.

"Ada dua cara penggunaannya. Pertama, sebagai katalisator ketika dilihat produk akhir itu

sudah tidak terdeteksi sama sekali, secara umum sangat terlarut jadi tak ada produk babinya

dalam produk akhirnya. Kedua, sebagai stabilisator, tapi ketika dalam penelitian DNA sudah

bukan DNA babi lagi, sudah berubah bentuknya," jelas Arifianto.

Meski belum ada sertifikasi halal, bukan berarti vaksin itu haram. Namun untuk menengahi

masalah halal dan haram vaksin, Arifianto mendorong pemerintah dan produsen untuk

mendapatkan sertifikat halal.

Hak atas fotoBBC INDONESIA


Komisi Fatwa MUI telah mengeluarkan sertifikat halal untuk tiga vaksin yang beredar di

Indonesia yaitu vaksin polio, rotavirus dan meningitis.

MUI juga telah mengeluarkan Fatwa No. 4 tahun 2016 yang membolehkan imunisasi sebagai

bentuk ikhtiar atau upaya untuk memberikan kekebalan tubuh dan mencegah penyakit

tertentu.

Ketua Komisi Fatwa MUI, Prof. Hasanuddin AF, mengatakan fatwa itu dikeluarkan karena

banyak masyarakat yang menolak vaksinasi.

"Bahkan kalau tidak divaksinasi menimbulkan penyakit berat, kecacatan, bahkan menimbulkan

kematian maka imunisasi hukumnya wajib, tetapi vaksinasi itu harus menggunakan vaksin yang

(bersertifikat) halal dan suci, " jelas Hasanuddin.

Namun, menurut Hassanudin, dalam keadaan darurat--misalnya akan menimbulkan wabah atau

kematian--imunisasi dapat dilakukan meski belum ada vaksin yang halal. Dia mencontohkan

jemaah yang harus divaksin meningitis sebelum ada vaksin bersertifikat halal, karena

situasinya dianggap darurat.

Bagaimana dengan vaksin MR ?

Hassanudin mengatakan MUI belum mengeluarkan sertifikasi halal untuk vaksin MR yang

digunakan dalam program imunisasi.

"MUI dalam kapasitas tidak menghalalkan dan tidak mengharamkan karena belum diproses,

tetapi jika orang tua memandang perlu divaksinasi yakin divaksinasi dan bermanfaat untuk

kesehatan anak ya saya kira tak masalah divaksinasi saja. Tetapi yang ragu dan belum yakin

halal dan menolak ya tidak apa-apa," jelas Hasanuddin.

 Filipina mulai program vaksinasi demam berdarah pertama dunia

 Tiga negara lakukan vaksinasi massal malaria pertama di dunia

 Tolak vaksinasi, ibu di Australia tularkan batuk pertusis ke bayinya

Dirjen Pencegahan Penularan Penyakit P2P Kemenkes, Muhammad Subuh, mengaku pihaknya

tengah melakukan proses untuk mendapatkan sertifikat halal dari MUI.


Menurutnya, pemerintah menggunakan vaksin yang sama dengan yang digunakan di lebih dari

140 negara, termasuk 48 negara Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Subuh menegaskan tidak

ada unsur babi yang digunakan dalam pembuatan vaksin MR.

"Pada prinsipnya vaksin untuk campaknya sendiri dibuat (dengan dibiakkan pada) embrio ayam,

sedangkan untuk rubellanya sendiri (dibiakkan) bagian sel manusia tetapi tidak langsung,

kemudian dicetak dan didapat karakterisktiknya. Kemudian karakteristiknya ditanam pada

bagian sel yang lain. Itu yang diambil dan digabung jadi campak dan rubella," jelas Subuh.

Dia mengatakan imunisasi ini memiliki manfaat yang lebih besar karena dapat mencegah

kematian akibat komplikasi akibat penyakit campak.

"Campak pada anak-anak gejalanya kesannya ringan tapi komplikasinya yang berbahaya bisa

diare berat, menyerang sistem syaraf, kejang-kejang dan mungkin kebutaan dan kematian,"

jelas Subuh.

Sementara Rubella jika dialami perempuan yang hamil trimester pertama akan menyerang

janin dan dapat lahir dengan kebutaan atau kecacatan; gangguan jantung dan pertumbuhan,

yang disebut rubella congenital.

Data juga menunjukkan campak masih merupakan penyebab kematian 134.200 anak-anak di

seluruh dunia setiap tahunnya, termasuk 54.500 anak di Asia Tenggara.


Hak atas fotoBBC INDONESIA

Bagaimana keamanan vaksin?

Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan vaksinasi terbukti mencegah penyebaran

penyakit serta menyelamatkan nyawa jutaan anak-anak di dunia.

Meski demikian, banyak orangtua yang masih meragukan keamanan vaksin, seringkali

menghubungkan vaksinasi dengan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi atau KIPI.

"Saya tak mau ambil risiko memberikan vaksin untuk menyelamatkan orang lain, tapi anak saya

yang terima risikonya, iya nggak? Udah kejadian kan sekarang risikonya bermunculan. KIPI itu

sekarang udah mulai keluar kasus yang ada lumpuh dan segalanya kan?" ungkap Mega.
Masalah keamanan vaksin ini seringkali dikaitkan dengan asumsi yang berkembang sebelum

investigasi dilakukan oleh pihak berwenang. Salah satu yang banyak diberitakan adalah kasus

anak di Demak yang mengalami kelumpuhan setelah diimunisasi MR.

Tetapi setelah diinvestigasi, Subuh mengatakan kelumpuhan itu tidak ada kaitannya dengan

vaksinasi MR.

"Jadi sebelumnya sudah ada sakit dan sekarang sudah pulih karena onset-nya itu, dari saat

timbul penyakit setelah disuntik nggak pas. Itu sudah dapat ditentukan bukan karena

imunisasi, semua yang masuk kita tampung, tindakan medis pasti ada," jelas Subuh.

Hak atas fotoBBC INDONESIA

Dalam menghadapi penolakan ini, Subuh menyatakan vaksin yang digunakan di Indonesia

terjamin keamanannya. Adapun vaksin MR telah digunakan di 141 negara dan tidak ada laporan

efek samping yang berbahaya.


"Ada demam tetapi itu tidak apa-apa", jelas dia.

Proses produksi vaksin yang melewati beberapa tahap, membuatnya aman untuk digunakan.

"Vaksin itu dibuat dibuat setelah melewati tiga tahap klinis, dibuat sudah sangat aman,

walaupun ada kemungkinan yang dipasarkan ternyata ada efek samping, tapi kasus dibilang

sangat jarang. Ada KIPI demam, nyeri di bekas suntikan itu wajar, tapi misalnya vaksin

menimbulkan alergi berat sampai menimbulkan orang meninggal itu bisa dibilang very rare,

bisa dibilang jumlahnya kurang dari 1 banding 1 juta," jelas Arifianto.

Arifianto mengatakan untuk menjadi satu vaksin harus memenuhi dua syarat aman dan

efektif. Artinya mampu menimbulkan kekebalan tubuh sehingga anak tersebut tidak sakit.

Hak atas fotoBBC INDONESIAImage captionDesi Budi Rejki salah satu orang tua yang

memilih untuk memvaksinasi anak-anaknya untuk mencegah penyakit.

Efektivitas dan cakupan vaksinasi


Orangtua yang menolak vaksinasi menganggap anak mereka tetap sehat meski tidak

diimunisasi. Namun, dr Arifiato mengingatkan anak-anak yang tidak diimunisasi ini justru

mendapat perlindungan dari mereka yang divaksinasi.

"Syarat keberhasilan selain efektif cakupan diatas 95% kalau tidak tercapai maka tidak akan

tercapai yang namanya herd immunity atau kekebalan lingkungan. Kita sadar tak ada vaksin

yang 100% cakupannya, tapi dengan cakupan minimal itu akan melindungi anak-anak yang tidak

diimunisasi," jelas Arifianto.

"Efektivitas vaksin tidak 100%. untuk vaksin cacar air (misalnya), sekitar 70-90%, jadi dari 10

anak yg diimunisasi cacar air, sekitar 1-3 tetap sakit, tetapi lebih dari separuhnya tidak

sakit," tambahnya.

Cakupan imunisasi yang kurang bisa menyebabkan timbulnya Kejadian Luar Biasa (KLB) seperti

pada 2015 lalu, di Padang, Sumatra Barat, dalam penularan difteri.

KLB tersebut disebabkan target cakupan imunisasi kumulatif satu provinsi 90%. Pada 2014

hanya mencapai 77 % dan di Padang jumlahnya hanya mencapai 72%.

Subuh mengatakan sejumlah program imunisasi yang dilakukan untuk mencegah terjadinya

wabah, dan sejumlah keberhasilan vaksinasi antara lain, cacar pada 1974, tetanus

neonatorum pada 2015 lalu, serta bebas polio pada 2014.

"Untuk campak, Indonesia menargetkan bebas pada 2020 mendatang," jelas dia.

Menurut kantor regional Asia Tenggara dari Badan Kesehatan Dunia (WHO SEARO),

Indonesia merupakan salah satu negara yang tertinggal dalam upaya menangani penyakit

campak. Ini disebabkan adanya kesalahpahaman terhadap upaya vaksinasi.

Data WHO SEARO menunjukkan 1,1 juta anak berusia satu tahun tidak mendapatkan vaksinasi

pada 2016 lalu. Indonesia bahkan berada di bawah Maladewa dan Bhutan yang telah

mendeklarasikan bebas campak.

Indonesia memulai program imunisasi pada 1956, tetapi sulit untuk meraih cakupan 100% dari

seluruh target. Data Kementerian Kesehatan, balita yang mendapatkan imunisasi dasar baru

mencapai 91,1%, meningkat sedikit dari tahun sebelumnya, yaitu 86,5%.


"Untuk bahan baku vaksin memang masih impor dari India. Bio Farma adalah produsen vaksin

terbesar keempat di dunia. Setelah impor bahan baku dari India dan diolah, sebagian besar

juga dieskpor ke negara-negara Muslim. Bio Farma tentu melihat dan mencermati dengan baik

bahan baku tersebut," ujar Nila saat temu media di Gorontalo, Senin (17/7).

1. Tokoh masyarakat jadi kunci


ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

Staf Ahli Bidang Ekonomi Kesehatan Mohamad Subuh mengatakan, Indonesia adalah negara

dengan cakupan virus Measles Rubella (MR) tertinggi. Kendati kerap mendapatkan penolakan

dari sebagian masyarakat, Kemenkes memiliki cara jitu untuk menyadarkan masyarakat

tentang pentingnya imunisasi MR.

"Kunci utama adalah peran pemimpin daerah, tokoh masyarakat, atau pimpinan agama. Tahun

2017 lalu daerah yang paling sulit menerima vaksin adalah Madura. Tapi, yang pertama kali

mencapai cakupan 100 persen imunisasi justru Madura. Rahasianya, bupati dan ulama yang

kami rangkul untuk aktif mengajak masyarakat. Strategi komunikasi harus diubah," kata

Subuh.

Baca juga: Targetkan 11 Ribu Imunisasi MR, Pemkab Gorontalo Incar MURI

2. Imunisasi tetap diperlukan

LANJUTKAN MEMBACA ARTIKEL DI BAWAH

Editors’ Picks

 Uji Coba Perdana MRT, Ini Pendapat Dan Harapan Warga Jakarta

 Lowongan Kerja Di BUMN, Ini Dokumen Yang Harus Disiapkan

 [BREAKING] Bom Sibolga Meledak Di Rumah Terduga Teroris Abu Hamzah


IDN Times/Indiana Malia

Menurut Subuh, rajin mengonsumsi makanan sehat tak serta-merta menjamin kekebalan

tubuh. Imunisasi tetap diperlukan agar tubuh mampu menghadapi penyakit tak terduga.

"Pada penyakit-penyakit tertentu, gak bisa dengan cara lain untuk membangkitkan kekebalan

tubuh kecuali dengan imunisasi. Ada imunisasi dasar lengkap yang harus dipatuhi. Oleh sebab

itu, komunikasi yang baik melalui pendekatan multisektor akan berhasil mengkampanyekan

imunisasi," ujarnya.
3. Sertifikasi vaksin halal masih berproses
ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

Soal pro kontra vaksin, lanjut Subuh, Kemenkes sejak tahun 2016 sudah berdiskusi dengan

Majelis Ulama Indonesia (MUI), baik komisi fatwa maupun lembaga sertifikasi halal MUI.

Namun, pemerintah tersendat lantaran harus berkomunikasi dengan produsen bahan dasar

vaksin di India.

"Ada tiga negara yang memproduksi bahan baku vaksin, yaitu Jepang, China, dan India.

Sementara yang diakui oleh WHO adalah India. Sampai sekarang masih berproses sertifikasi

halalnya. Belum ada pengganti lain rubella kecuali produk impor dari India," ujar Subuh.

Subuh menjelaskan, anak yang terserang virus MR berisik terserang kebutaan, ketulian

sampai kematian. Dalam hitungan ekonomi, perlindungan 110 ribu anak dengan anggaran Rp26

miliar bisa terlindungi dari rubella syndrom.

"Sementara kalau gak diimunisasi, anggaran pengobatan bisa mencapai Rp1,1 triliun.

Masyarakat tak perlu takut imunisasi anaknya, kan pemerintah yang menanggung semua

vaksinnya," tutur Subuh.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang membolehkan penggunaan Vaksin MR (Measles-Rubella)

meskipun mengandung babi, menjadi perbincangan publik, khususnya di kalangan orang tua.

Lewat Fatwa Nomor 33 tahun 2018, MUI sebenarnya menegaskan bahwa Vaksin MR produksi

Serum Institute of India (SII) yang digunakan untuk imunisasi di Indonesia, “haram karena

mengandung babi”.
MUI membolehkan penggunaan Vaksin MR karena sejumlah kondisi.

Namun, karena beberapa alasan MUI membolehkan penggunaannya.

“Ada kondisi keterpaksaan. (Selain itu) belum ditemukan Vaksin MR yang halal dan suci. Ada

keterangan dari ahli yang kompeten dan dipercaya tentang bahaya yang ditimbulkan akibat

tidak diimunisasi, dan belum adanya vaksin yang halal.” tulis MUI dalam rilisnya yang

ditandatangani Ketua Komisi Fatwa MUI, Hasanuddin, Senin, (20/08).


Vaksin MR buatan SII disebut mengandung babi.

Meskipun begitu, Chaerul Mufti, seorang ayah di Payakumbuh, Sumatera Barat, tetap “tidak

membolehkan” anak lelakinya yang berusia enam tahun untuk divaksin MR.

“Saya tahu (vaksin) dibutuhkan, tetapi ada rasa tidak menerima, kalau anak saya disuntik

pakai zat yang ada babinya,” kata Chaerul kepada VOA Indonesia lewat sambungan telepon.

Dia pun bercerita bahwa sikapnya itu sejalan dengan sekolah swasta Islam tempat anaknya

baru menempuh pendidikan. “Sekolah menolaknya.”

Vaksin MR menjadi kontroversi di masyarakat.

Pembicaraan soal halal-haram Vaksin MR ramai mencuat sejak pemerintah Indonesia memulai

program imunisasi Vaksin MR secara serentak, pada 1 Agustus hingga akhir September 2018.

Imunisasi ditujukan pada bayi berusia sembilan bulan sampai anak berusia 15 tahun. Targetnya

adalah sekitar 32 juta anak di 28 provinsi.

“Kembalikan saja pada niat orang tua. Penyakit kan datang dari Tuhan. Toh zaman dulu saya

tidak divaksin, dan sampai sekarang tidak apa-apa,” lanjut Chaerul.


Gambar penyakit campak.

Berbeda dengan Chaerul, Andri Pratama yang tinggal di Jakarta, berniat memvaksin lengkap

dua orang anaknya, termasuk dengan Vaksin MR.

“Kan terbukti anak butuh. Kalau secara medis bagus dan dibutuhkan, ditambah lagi dengan

pernyataan MUI yang membolehkan, ya saya tetap imunisasi,” tutur Andri kepada VOA

Indonesia.

Pusat Pemberantasan dan Pencegahan Penyakit Amerika (CDC), lewat situs resminya

menuliskan bahwa Measles atau Campak jika tidak ditangani bisa menimbulkan komplikasi

seperti infeksi paru-paru (Pneumonia) atau pembengkakan otak (Encephalitis).

“Dari setiap 1.000 anak yang kena campak, satu atau dua di antaranya meninggal dunia,” tulis

CDC.
Gambar penyakit Rubella atau Campak Jerman.

Sementara CDC menjabarkan bahwa Rubella atau Campak Jerman yang menginfeksi

perempuan hamil yang tidak divaksin, “berpotensi membuatnya keguguran atau bayinya

meninggal dunia setelah dilahirkan.”

Rubella juga mengakibatkan buta dan tuli.

Dinilai Tidak Tegas?

Fatwa haram tapi boleh MUI ini diikuti sejumlah rekomendasi. Di antaranya adalah

permintaan agar pemerintah “wajib menjamin ketersediaan vaksin halal” bagi masyarakat.

Hingga berita ini diturunkan, Kementerian Kesehatan belum memberikan tanggapan.

Namun, lewat akun Twitter resminya, @KemenkesRI, kementerian yang dikepalai oleh Nila F

Moelek itu pada Selasa (21/08) mencuitkan bahwa “Imunisasi adalah investasi bangsa.

Lindungi buah hati dari penyakit Measles Rubella dengan imunisasi MR. Pemberian imunisasi

MR adalah upaya melindungi generasi selanjutnya.”


Kemenkes RI

✔@KemenkesRI

· Aug 21, 2018

Replying to @KemenkesRI

Jika kekebalan komunitas terjadi 95% maka tidak akan terjadi penyebaran penyakit MR.

#ImunisasiMR

Kemenkes RI

✔@KemenkesRI

Imunisasi merupakan investasi bangsa . Lindungi buah hati dari penyakit Measles

Rubella dengan Imunisasi MR. Pemberian imunisasi MR, merupakan upaya melindungi generasi

selanjutnya #ImunisasiMR

1:17 PM - Aug 21, 2018

Twitter Ads info and privacy

17 people are talking about this


Di media sosial, Fatwa MUI terkait Vaksin MR ini juga ramai dibicarakan. Pro-kontra saling

bersahutan.

Muhammad Nasir lewat akun Twitter-nya @NasirHagu menuding “MUI masuk angin. Kalau

haram ya haram…”

Majelis Ulama Indonesia@MUIPusat

· Aug 21, 2018

#VaksinMR - 2

3. Penggunaan Vaksin MR produk dari Serum Institute of India (SII), pada saat ini,

dibolehkan (mubah) karena :

a. Ada kondisi keterpaksaan (dlarurat syar’iyyah)

b. Belum ditemukan vaksin MR yang halal dan suci

MUHAMMAD NASIR@NasirHagu

Mui masuk angin..

Vaksin yang sama keluaran gsk no pork kenapa perlu india

. kalau haram ya haram..


1:33 AM - Aug 22, 2018

Twitter Ads info and privacy

See MUHAMMAD NASIR's other Tweets

Sementara Prasdianto lewat akunnya @kamentrader mengkritik Fatwa MUI yang dinilainya

tidak tegas.

“Ibu-ibu hamil yang dapat keringanan tidak puasa aja, masih banyak yang sok-sok kuat (puasa)

atau merasa sholeh kalau pas hamil tetap puasa. Apalagi ada pernyataan kayak gini, yakin gw

pada adu sholeh gak pakai vaksin,” cuit Prasdianto.

Tulisannya di Twitter ini telah dicuit ulang lebih dari 60 kali.

Prasdianto@kamentrader

"Walau Haram tapi bisa dipakai" Sadar ga sih MUI keluarin pernyataan ini?. Ibu2 hamil dapet

keringanan ga puasa aja masih buanyak yg sok2 kuat atau bahkan merasa lebih sholeh klo pas

hamil tetep puasa. Apalagi ada pernyataan kaya gini? Yakin gw , pada adu sholeh ga pake

vaksin

21

2:14 PM - Aug 21, 2018

Twitter Ads info and privacy


74 people are talking about this

Ada juga yang beranggapan kalau Vaksin MR ini tidak memerlukan Fatwa MUI. Misalnya akun

Twitter @Dearnoto.

“Ini ushul fiqih tingkat dasar. Kalau kondisi darurat jangankan buat vaksin, makan babi juga

dima“fu dimaafkan atas hukum asalnya. Saya kira betul mereka menggoreng vaksin babi ini

karena tak suka pemerintah,” tulisnya.

ANJARI MARS@anjarisme

· Aug 21, 2018

Ini penting! Akhirnya, Fatwa MUI bolehkan #ImunisasiMR .

Kondisi Mendesak, MUI Fatwakan Penggunaan Vaksin MR Mubah

https://mui.or.id/berita/kondisi-mendesak-mui-fatwakan-penggunaan-vaksin-mr-mubah/ …
68 Channel@dearnoto

Soal beginian ga perlu fatwa MUI. Ini ushul fiqih tingkat dasar. Kalau kondisi darurat

jangankan buat vaksin, makan babi juga dima“fu dimaafkan atas hukum asalnya. Saya kira

betul mrk menggoreng vaksin babi ini krn tak suka pemerintah

10:59 PM - Aug 21, 2018

Twitter Ads info and privacy

See 68 Channel's other Tweets

Sementara Asti Astari mengaku deg-degan karena Fatwa MUI yang mengharamkan tetapi

membolehkan Vaksin MR, akan membuatnya berdebat dengan mertua. “Siapin mental dan

telinga,” katanya.

Bukan yang Pertama

Fatwa haram MUI terkait vaksin yang mengandung babi, sudah pernah terjadi sebelumnya.

Pada tahun 2006, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa haram atas Vaksin Meningitis

karena mengandung enzim babi.

“Kalau prosesnya itu berinteraksi dengan yang haram, maka hasil akhirnya juga haram,” kata

Ketua MUI saat itu, Amidhan.


Arab Saudi mewajibkan Vaksin Meningitis bagi yang ingin berhaji atau umroh.

Padahal kala itu pemerintah Arab Saudi mewajibkan Vaksin Meningitis setelah penyakit itu

mewabah pada Jemaah Haji tahun 2000. Setidaknya 64 orang meninggal dunia karenanya.

Fatwa Haram MUI itu ditujukan pada vaksin buatan Glaxo Smith Kline, sebuah perusahaan

farmasi asal Belgia.

Pemerintah pun sempat merugi hingga Rp20 miliar karena vaksin yang telah dibeli tidak bisa

dikembalikan.
Sebuah sekolah yang sedang melakukan imunisasi.

Meskipun begitu MUI mengeluarkan fatwa halal pada dua produk vaksin meningitis lainnya,

yaitu vaksin produksi Novartis asal Italia dan Tian Yuan asal China.

Pada 2016, MUI terkesan lebih rileks terkait vaksin.

Lewat Fatwa MUI Nomor 4 tahun 2016 tentang Imunisasi, MUI menuliskan “vaksin imunisasi

yang berbahan haram, hukumnya haram. Imunisasi dengan vaksin haram tidak dibolehkan,

kecuali: digunakan pada kondisi darurat, belum ditemukan bahan vaksin yang halal, serta

adanya keterangan tenaga medis kompeten bahwa tidak ada vaksin yang halal.” [rh]

Majelis Ulama Indonesia (MUI) baru saja mengeluarkan fatwa yang memutuskan

memperbolehkan penggunaan vaksin Measless Rubella (MR) digunakan meski mengandung babi

dalam proses produksinya. Keputusan ini menuai reaksi yang beragam dari masyarakat.

Sebagian orang tua mengaku bakal tetap memberikan vaksin MR itu untuk anak mereka.

Sedangkan sebagian lainnya masih enggan menggunakan vaksin itu dan memilih menunggu

vaksin yang halal.


Seperti Feni yang menyatakan bakal memberikan vaksin MR untuk anak pertamanya, Gemala

yang kini berusia 16 bulan. Dia bakal tetap memberikan vaksin MR meski vaksin itu

mengandung babi dan haram bagi seorang Muslim.

Lihat juga:

MUI: Kasus Macam Vaksin MR Pernah Dipraktikkan Rasulullah

Feni beranggapan selama belum ada pengganti untuk vaksin MR, vaksin itu masih boleh

digunakan.

"Menurut saya haram karena ada kandungan babi. Tapi, selama belum ada bahan pengganti ya

mau bagaimana. Kalau memang mendesak insyaallah enggak apa-apa yang penting keamanan dan

kesehatan," kata Feni saat berbincang dengan CNNIndonesia.com.

Feni menilai vaksin MR yang ada saat ini memiliki lebih banyak manfaat. Vaksin itu penting

bagi kesehatan anak dan orang di sekitar. Feni mengaku bakal langsung memberikan vaksin itu

kepada Gemala saat pasokannya sudah tersedia di Posyandu.

"Soalnya MR penting banget. Bukan cuma buat anak, tapi biar anak enggak menularkan virus

Rubella ke orang lain. Dampaknya parah banget kalau sampai menular ke ibu hamil," tutur Feni.

Pada ibu hamil, virus Rubella dapat mengakibatkan keguguran atau bayi cacat lahir seperti

tuli, katarak, cacat jantung dan beberapa komplikasi penyakit lainnya.

Lihat juga:

'Kisruh' Halal-Haram, Menkes Surati Produsen Vaksin MR

Pendapat yang sama juga diutarakan Natatsa. Perempuan 29 tahun ini sudah memberikan
vaksin MR kepada dua anaknya, awal bulan ini.

Natatsa tetap memberikan vaksin MR kepada anaknya meski status kehalalannya saat itu

masih kontroversi. Menurutnya, vaksin itu boleh digunakan karena tak ada penggantinya.

"Saya mikirnya kalo buat vaksin enggak apa-apa, karena kan ada dalilnya selama belum ada

pengganti untuk babi, vaksinnya mubah dan ini bukan hanya untuk vaksin tapi juga obat," ucap

Natatsa.

Setelah memberikan vaksin MR kepada dua anaknya, Natatsa menyebut kedua anaknya

mengalami efek samping yang berbeda. Anak pertamanya Muhammad Maliq yang berusia 8

tahun tidak mengalami efek samping yang berarti. Sedangkan si bungsu, Nabilla Alika yang

berusia tiga tahun mengalami demam serta panas dan bengkak di area bekas suntikan.

Natatsa yang tinggal di Cibubur itu mengaku tak mempermasalahkan efek samping itu.

"Setiap anak beda-beda. Soalnya ada beberapa vaksin yang cara kerjanya seperti itu," ujar

Natatsa.

Tak cuma para ibu yang memutuskan untuk tetap memberikan vaksinasi MR pada anak-

anaknya, para ayah ternyata juga mengambil keputusan untuk melakukan vaksinasi MR.

Iman dan Arif memutuskan untuk tetap memvaksinasi buah hatinya.

"Akan vaksin dalam waktu dekat. Karena pemerintah sudah menyatakan bahwa anak butuh

vaksin itu, secara medis juga bagus dan dibutuhkan, ditambah lagi fatwa MUI yang

menyatakan boleh karena ada keterpaksaan. Karena kalo tidak divaksin akan menimbulkan

bahaya terhadap anak." kata Iman.

"Syariat Islam yang menkondisikan secara fleksibel adalah jika itu haram dan jika memang

tidak ada hal lain yang bisa digunakan maka bisa digunakan," kata Arif.
Lain lagi dengan N (nama disamarkan) yang berusia 36 tahun. Dia tak mau memberikan vaksin

MR kepada anaknya yang kini berusia 20 bulan.

Menurut N, babi merupakan sesuatu yang diharamkan dalam Islam sehingga tak boleh

digunakan.

"Masak di penggorengan bekas babi aja haram, bagaimana pula masuk dalam darah. Kalau

haram ya dosa. pasti terselip mudaratnya," kata N.

N menyebut masih akan menunggu pemerintah untuk mencari pengganti vaksin MR yang halal.

"Sampai kapannya belum tahu. Insyaallah tunggu yang halal. Yakin pemerintah bakal berusaha

banget cari yang halal," ujar N.

Serupa dengan N, A (30) juga menolak vaksin MR lantaran kandungan babi yang ada di

dalamnya. Dia mengaku tak bakal memberikan vaksin MR untuk buah hatinya yang kini baru

berusia setahun, meski orang tua telah mendesaknya.

"Saya percaya vaksin MR bisa membuat anak saya sehat, tapi ya kalau bisa jangan pakai

kandungan babi. Masak saya harus melawan apa yang saya percayai," katanya.

A bakal menunggu hadirnya vaksin MR yang diproduksi sendiri oleh Bio Farma. Jika vaksin MR

buatan Indonesia sudah ada, A bakal langsung memberi putra kesayangannya vaksin MR.

"Nunggu yang dari Bio Farma. Kan, katanya mereka mau ngembangin. Kita tunggu aja,"

ujarnya. (asr/chs)

Bagikan :

Pendapat yang Kontra


- Vaksin haram karena menggunakan mediaginjal kera, babi, aborsi bayi, darah orang yang

tertular infeksi yang notabene pengguna alkohol, obat bius, dan lain-lain. Ini semua haram

dipakai secara syariat.

- Efek samping yang membahayakan karena mengandung mercuri, thimerosal, aluminium,

benzetonium klorida, dan zat-zat berbahaya lainnya yang akan memicu autisme, cacat otak,

dan lain-lain.

- Lebih banyak bahayanya daripada manfaatnya, banyak efek sampingnya.

- Kekebalan tubuh sebenarnya sudah ada pada setiap orang. Sekarang tinggal bagaimana

menjaganya dan bergaya hidup sehat.

- Menyingkirkan metode pengobatan dan pencegahan dari negara-negara berkembang dan

negara muslim seperti minum madu, minyak zaitun, kurma, dan habbatussauda.

- Adanya beberapa laporan bahwa anak mereka tidak diimunisasi masih tetap sehat, dan

justru lebih sehat dari anak yang diimunisasi.

Pendapat yang Pro

- Mencegah lebih baik daripada mengobati. Karena telah banyak kasus ibu hamil membawa

virus Toksoplasma, Rubella, Hepatitis B yang membahayakan ibu dan janin. Bahkan bisa

menyebabkan bayi baru lahir bisa meninggal. Dan bisa dicegah dengan vaksin.

- Vaksinasi penting dilakukan untuk mencegah penyakit inveksi berkembang menjadi wabah

seperti kolera, difteri, dan polio. Apalagi saat ini berkembang virus flu burung yang telah

mewabah. Hal ini menimbulkan keresahan bagi petugas kesehatan yang menangani. Jika tidak

ada, mereka tidak akan mau dekat-dekat. Juga meresahkan masyarakat sekitar.

- Walaupun kekebalan tubuh sudah ada, akan tetapi kita hidup dinegara berkembang yang

notabene standart kesehatan lingkungannya masih rendah. Apalagi pola hidup di zaman
modern. Belum lagi kita tidak bisa menjaga gaya hidup sehat. Maka untuk antisipasi terpapar

penyakit infeksi, perlu dilakukan vaksinasi.

- Efek samping yang membahayakan bisa kita minimalisasi dengan tanggap terhadap kondisi

ketika hendak imunisasi dan lebih banyak cari tahu jenis-jenis merk vaksin serta jadwal yang

benar sesuai kondisisetiap orang.

- Jangan hanya percaya isu-isu tidak jelas dan tidak ilmiah. Contohnya vaksinasi MMR

menyebabkan autis. Padahal hasil penelitian lain yang lebih tersistem dan dengan metodologi

yang benar, kasus autis itu ternyata banyak penyebabnya. Pemyebab autis itu multifaktor

(banyak faktor yang berpengaruh) dan penyebab utamanya masih harus diteliti.

- Ada beberapa fatwa halal dan bolehmya imunisasi. Ada juga sanggahan bahwa vaksin halal

karena hanya sekedar katalisator dan tidak menjadi bagian vaksin. Contohnya fatwa MUI yang

menyatakan halal. Dan jika memang benar haram, maka tetap diperbolehkan karena mengingat

keadaan darurat, daripada penyakit infeksi mewabah di negara kita. Harus segera dicegah

karena sudah banyak yang terjangkit polio, Hepatitis B, dan TBC.

Pro dan kontra sebenarnya terjadi tahun 1962, hal tersebut terjadi 50 tahun yang lalu dimana

saat ini dengan berkembang pesatnya kemajuan teknologi pembuatan vaksin yang lebih aman

sehingga dengan teknologi rekombinan, vaksin polisacharida, conjugated dsb.

Program imunisasi dasar Departemen Kesehatan yang telah dimulai sejak tahun 1970-an

memakai produksi dalam negri yaitu PT Bio Farma, dan telah diklarifikasi bahwa tidak ada

embrio manusia ataupun produk dari bagian tubuh manusia yang dipakai untuk pembuatan

vaksin.

Vaksin didalam program imunisasi ada 7 penyakit yang dapat dicegah dengan imusisasi, yaitu

BCG terhadap TBC, Polio, Campak DPT (difteri, tetanus dan pertusis, hepatitis B dan campak).

Perbincangan soal vaksin kembali mengemuka setelah dua putri pemeran film Oki Setiana Dewi

mengalami demam tinggi karena terinfeksi virus campak, yang bisa dicegah dengan vaksin.
Warganet bersilang pendapat setelah screenshot komentar dokter anak Dr. Piprim Basarah

menjadi viral, yang intinya ia menyayangkan sikap Oki yang ia sebut anti-vaksin.

Terlepas dari sikap Oki yang sesungguhnya, topik vaksin atau imunisasi sejak lama memang

kontroversial. Ada rupa-rupa alasan orang tak mau memvaksin anaknya. Salah satunya terkait

isu agama, tatkala ada bahan vaksin yang disebut-sebut mengandung lemak babi.

Selain alasan religius, ada pula alasan yang didukung argumen dan bukti yang beragam dan

kompleks. Mulai dari argumen yang menyatakan bahwa terdapat efek samping negatif akibat

vaksinasi, peningkatan tingkat disabilitas pada anak terkait imunisasi. Ada pula anggapan

vaksin sebagai racun dan bahan yang tidak diperlukan tubuh, sampai dengan anggapan vaksin

sebagai bagian dari konspirasi dunia.

Dalam skala global gerakan anti-vaksin ini juga punya akar sejarah yang panjang. Heidi J.

Larson, PhD dari London School of Hygiene and Tropical Medicine menyatakan bahwa gerakan

anti-vaksin pertama dibentuk pada 1866 yang bertajuk anti-compulsory vaccination league,

sebuah gerakan menolak vaksin cacar.

Namun, tercatat sepanjang abad ke-20, cacar telah membunuh sekitar 300 sampai 500 juta

orang. Organisasi kesehatan dunia (WHO) bahkan baru menyatakan cacar sebagai penyakit

yang telah berhasil dituntaskan oleh imunisasi sejak tahun 1980 pada kampanye imunisasi

global oleh WHO.

Selain itu, sejak tahun 1988, kasus polio telah menurun lebih dari 99 persen di seluruh dunia,

dan hanya Afganistan, Nigeria dan Pakistan yang terus berjuang melawan penyakit menular

yang dapat menyebabkan atrofi dan kelainan otot tersebut.

"Sekarang ini, misi utama mereka [gerakan anti-vaksin] didedikasikan untuk mempertanyakan

atau menolak vaksinasi," jelas Larson. "Hal lain yang mereka lakukan adalah dengan berkutat

mengurusi isu seperti: anti-vaksin sebagai bentuk kebebasan dari kontrol pemerintah; Anti-

bisnis besar; Naturopati dan homeopati—memasukkan vaksin ke daftar zat non-alami yang
harus dihindari, seperti vaksin yang dirasakan oleh beberapa orang karena mengandung bahan

kimia dan racun yang berlebihan—dan kelompok anti-transgenik yang sentimental," jelas

Larson.

Argumen-Argumen Anti-vaksin

Bagi banyak orang, aktris Amerika Jenny McCarthy adalah sosok ibu dari gerakan anti-vaksin.

Sikapnya yang sangat vokal terhadap vaksin campak, gondok, dan rubela (MMR). Dia percaya

vaksin itulah yang memicu Evan, anaknya mengalami autisme. Anggapan McCarthy dipicu oleh

penelitian Dr. Andrew Wakefield yang diterbitkan di jurnal medis Inggris, The Lancet.

Penelitian itu kemudian dibantah dan ditarik kembali, setelah dilaporkan bahwa data

Wakefield ternyata palsu. Menurut Brian Deer, jurnalis investigatif untuk London’s Sunday

Times, Wakefield dibayar lebih dari £400.000 ($665.000) oleh seorang pengacara yang

bertujuan untuk membuktikan bahwa vaksin tersebut tidak aman.

Dari faktor religius, bukan hanya umat muslim saja yang memperdebatkan kehadiran vaksin.

Seorang warga Amerika Serikat dalam catatannya menyatakan keyakinannya bahwa manusia

diciptakan sudah sebagaimana seharusnya. Campur tangan eksternal seperti vaksin,

menurutnya, adalah hal yang tidak diperlukan.

"Tubuhku dirancang oleh Tuhan untuk menyembuhkan diri sendiri dan mengatur diri sendiri

dan tidak ada orang yang bisa melakukannya untuk melakukan lebih baik dari pada Tuhan,"

tulisnya. Pengguna lain dari Amerika Serikat menyatakan, "[...] apapun yang melibatkan zat

yang seharusnya tidak pernah masuk dalam tubuh manusia, seharusnya tidak disuntikkan atau

dikonsumsi tanpa persetujuan individu itu."

UNICEF dalam catatannya soal gerakan anti-vaksin di Eropa Barat menuliskan bahwa

ketidakpercayaan yang kuat terhadap pemerintah dan industri farmasi dalam komunitas anti-

vaksinasi. Di Polandia, imunisasi dipandang sebagai lahan keuntungan perusahaan farmasi.

Mereka menyebut perusahaan farmasi di sana sebagai ‘mesin pasar yang korup’.
Terkait teori konspirasi dalam vaksin, pendapat lain menyatakan bahwa industri vaksin adalah

perusahaan yang disetir oleh tujuan mendapat laba, dengan dalih menyelamatkan nyawa dan

melindungi manusia. Ketidakpercayaan terhadap pemerintah juga besar. Ada anggapan bahwa

imunisasi digunakan untuk mengendalikan dan mengurangi populasi dunia.

Bantahan dari Pro-vaksin

Namun, Heidi J. Larson dari London School of Hygiene and Tropical Medicine menyatakan

vaksin untuk anak-anak adalah kewajiban, bukan pilihan. Setiap orangtua menurutnya bertugas

merawat semua anak di lingkungannya. Kesehatan masyarakat tidak akan tercapai jika di satu

lingkungan ada satu orang anak saja yang tidak diberikan vaksin, dan kemudian ia sakit.

“Anda merawat semua anak untuk melindungi masyarakat luas. Keluarga yang menerima subsidi

pemerintah atau asuransi kesehatan seharusnya tidak diizinkan untuk tidak ikut vaksinasi.

Seharusnya tidak ada pengecualian agama untuk vaksin,” tambah Larson.

Larson juga menyatakan bahwa gerakan anti-vaksin sangat berbahaya, karena kebanyakan

mereka melulu percaya bahwa dokter menghasilkan uang dengan memberikan vaksin. “Yang

benar adalah biaya untuk dokter dan organisasi kesehatan sangat besar,” katanya.

Vaksin, menurut Larson, adalah salah satu penemuan kesehatan terbaik sepanjang sejarah

yang telah menyelamatkan jutaan nyawa.

"Mereka [vaksin] tidaklah sempurna, dan mereka tidak akan pernah sempurna. Tapi, seperti

semua intervensi sains dan kesehatan, kita harus terus bercita-cita untuk memperbaiki apa

yang harus kita lakukan dengan lebih baik. Sementara itu, gunakan alat terbaik untuk hal yang

harus kita lakukan dalam mencegah penyakit dan menyelamatkan nyawa.


Manfaat Vaksin

Kepala Laboratorium Protein Terapeutik dan Vaksin, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

(LIPI), Dr. Adi Santoso, kepada Tirto menjelaskan bahwa vaksin adalah zat yang berasal dari

virus atau bakteria yang telah dilemahkan atau dimatikan melalui mekanisme ilmiah. Vaksin,

kata Adi, dapat digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif pada tubuh terhadap suatu

penyakit tertentu.

“Selain menimbulkan terjadinya proses kekebalan tubuh secara aktif dalam tubuh manusia,

keberadaan vaksin dalam masyarakat dapat memberikan efek kebaikan-kebaikan lain,”

katanya.

Adi merinci manfaat-manfaat vaksin, salah satunya adalah penghematan biaya dalam jangka

panjang. Menurut dia, vaksinasi memang membutuhkan biaya sangat besar tetapi dalam jangka

panjang penghematan biaya yang berkaitan dengan penyakit tentunya akan lebih besar lagi

manfaatnya.

Manfaat kedua, kata Adi, vaksin mencegah perkembangan resistensi terhadap antibiotik.

“Orang yang telah divaksin tentunya mempunyai kekebalan tubuh yang lebih baik sehingga

secara teori akan dapat mengurangi penggunaan antibiotik,” kata dia.

Keuntungan ketiga vaksin, lanjut Adi, adalah peningkatan harapan hidup. Menurut data WHO,

vaksin juga dapat meningkatkan harapan hidup dengan melindungi terhadap penyakit yang

tidak terpikirkan sebelumnya.

Adi mencontohkan studi di Amerika serikat: orang yang diberi vaksin influenza memiliki

sekitar 20 persen risiko lebih rendah menderita penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular,

dan risiko kematian 50 persen lebih rendah dari semua penyebab, dibandingkan dengan

mereka yang tidak divaksinasi.


Manfaat keempat, jelas Adi lagi, adanya vaksinasi membuat perjalanan akan semakin aman dan

dapat menekan kekhawatiran atas suatu penyakit tertentu. “Dapat dibayangkan betapa

sulitnya kita akan bepergian apabila suatu daerah tertentu terserang suatu penyakit,” jelas

Adi.

Mulai 8 Maret hingga 15 Maret 2016, pemerintah mengadakan pekan imunisasi nasional (PIN)

untuk memperluas cakupan imunisasi polio, terutama pada anak-anak usia 0-59 bulan.

Pemerintah juga menetapkan target eradikasi polio pada 2020 dengan meningkatkan level

imunitas terhadap polio di populasi (herd immunity) di atas 95 persen.

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) oleh Balitbang Kementerian Kesehatan

pada 2013, cakupan imunisasi dasar lengkap masih jauh dari target Renstra Kemenkes tahun

2010-2014. Pada 2013, Kemenkes menetapkan target cakupan imunisasi dasar sebesar 88

persen.

Sedangkan, data Riskesdas menunjukkan cakupan imunisasi dasar baru mencapai 59,2 persen.

Oleh karena itu, diperkirakan masih ada 3,9 juta balita yang diimunisasi tidak lengkap atau

bahkan tak pernah diimunisasi sama sekali.

Di antara berbagai alasan keengganan orang tua untuk mengimunisasi anaknya, yang paling

menonjol adalah persoalan sulitnya akses terhadap layanan kesehatan. Dan yang paling ironis,

perdebatan soal kehalalan dan keamanan vaksin.

Saat ini, penyakit difteri dapat dikatakan sebagai penyakit langka dengan angka kejadian

sangat kecil, hanya 713 kasus per tahun. Namun, menariknya pada Februari 2016 lalu, penyakit

ini ditetapkan sebagai kejadian luar biasa (KLB) di Kabupaten Cirebon, Majalengka, dan

Indramayu. Penyebabnya adalah penolakan komunitas tertentu terhadap vaksinasi DPT yang

dianggap tidak halal.

Perdebatan klasik halal-tidaknya vaksin, nyatanya mampu menutup mata sebagian orang

terhadap manfaatnya yang jauh lebih besar. Padahal, dalam kacamata kebijakan, imunisasi

mempunyai dampak luar biasa.


Tidak hanya berpotensi menyelamatkan banyak jiwa, imunisasi juga menjamin kesejahteraan

suatu bangsa.

Relasi antara kesehatan dan kesejahteraan merupakan topik yang amat digemari para peneliti

kebijakan kesehatan. Sudah menjadi logika umum bahwa kesehatan dan kesejahteraan

memiliki hubungan timbal balik.

Bangsa yang sejahtera memiliki rakyat yang sehat, dan sebaliknya, bangsa yang rakyatnya

sehat tentunya akan sejahtera.

Vaksinasi dalam kacamata kebijakan merupakan proses penting dalam mencegah keluarnya

inefficient cost. Misalnya, dengan melakukan vaksinasi DPT pada anak-anak kita, orang tua

(dan negara) dapat terhindar dari potensi pengeluaran biaya kesehatan yang harus ditanggung

bila anaknya menderita difteri, pertusis, atau tetanus.

Vaksinasi juga dapat mencegah kecacatan permanen yang mungkin diderita anak bila ia

menderita penyakit seperti polio. Dengan memberikan imunisasi kepada anak, mereka dapat

tumbuh sehat dan menjadi manusia produktif.

Sedangkan, orang tua (dan negara) akan terhindar dari pengeluaran yang tidak perlu.

Prinsip inilah yang dikenal dengan eksternalitas positif dalam kajian ekonomi kesehatan.

Dalam riset oleh Bloom, Canning, dan Weston (2005) disebutkan, potensi keuntungan ekonomis

yang mungkin dicapai dengan melakukan imunisasi adalah sekitar 12 persen pada 2005 dan 18

persen pada 2020. Penelitian lainnya oleh Ozawa dkk (2011) menyebutkan, imunisasi tak hanya

berpotensi menyelamatkan 6,4 juta jiwa bayi di seluruh dunia, tetapi juga 231 juta dolar AS

treatment costyang tidak perlu.

Dengan cakupan imunisasi yang tinggi, imunitas kelompok dapat tercapai. Artinya, semakin

banyak anak yang diimunisasi, penyakit akan tereradiksi dengan sendirinya, sekaligus

melindungi penularan kepada anak yang tidak diimunisasi.

Imunisasi tak hanya sekadar melindungi satu-dua anak saja, tapi punya amplifikasi efek positif

yang cukup besar di level sosiologis.


Deviasi logika Pada Januari 2016, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang

menyebutkan imunisasi hukumnya wajib bila dapat berpotensi menyebabkan kematian,

penyakit berat, dan kecacatan permanen. Pun halnya beberapa ormas Islam lain, seperti

Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang mengonfirmasi bolehnya penggunaan vaksin dengan

mempertimbangkan derajat urgensitasnya.

Tentunya dapat disimpulkan bahwa imunisasi dasar (BCG, polio, DPT-HiB, hepatitis B, dan

campak) wajib untuk diberikan dan tidak ada lagi alasan kuat untuk bersikap resisten

terhadap imunisasi.

Pertanyaan soal kehalalan vaksin merupakan isu usang yang berkali-kali dikumandangkan.

Enzim tripsin yang diekstraksi dari pankreas babi hanya berfungsi sebagai katalisator yang

membantu melepaskan induk bibit vaksin dari tempat ia disemai. Setelahnya, induk vaksin itu

dicuci hingga bersih hingga enzim tripsin tersebut tidak lagi dapat dideteksi dalam produk

akhir vaksin.

Sebagian penggiat kampanye antivaksin bahkan menyertakan alasan irasional menyesatkan,

seperti konspirasi untuk membodohi anak-anak Indonesia, bahkan mempertentangkan

imunisasi dengan thibun nabawi (pengobatan cara Nabi).

Menurut mereka, thibun nabawi sudah mampu melindungi anak-anak dari penyakit.

Hal ini tak sepenuhnya salah, tapi thibun nabawi tidak serta-merta menghilangkan urgensitas

imunisasi.

Yang berbahaya, para antivaksin menanamkan pemahaman kepada orang awam bah wa tidak

apa-apa membiarkan anak mereka terjangkit penyakit polio, tetanus, difteri, campak dan

sebagainya supaya terbentuk kekebalan alami.

Hal ini menyesatkan karena penyakit tersebut mematikan yang amat berbahaya bagi bayi dan

balita yang sistem ke kebalan tubuhnya belum sempurna. Iro nisnya, tak hanya orang awam,

nyatanya tak sedikit tenaga kesehatan yang justru meng ambil bagian dalam kampanye

antivaksin.
Imunisasi sudah selayaknya dipandang lebih dari sekadar persoalan mikro. Seharusnya orang

tua sadar, dengan memvaksinasi anaknya, mereka juga sedang melindungi anak lainnya yang

tidak berkesempatan mendapatkan imunisasi.

Berupaya mencari informasi dari tenaga ahli yang kompeten juga merupakan hal penting agar

orang tua tak lagi disesatkan oleh logika irasional dan informasi menyesatkan soal imunisasi.

Oleh karenanya, orang tua tak perlu ragu untuk memberikan anaknya imunisasi dasar yang

lengkap sesuai anjuran pemerintah sebagai wujud cinta kasih orang tua kepada anaknya.

Anda mungkin juga menyukai