1. Pharmaceutical Research and Manufacturers of America. Vaccine Fact Book 2013. Washington:
Pharmaceutical Research and Manufacturers of America; 2013.
Pengembangan vaksin yang aman dan efektif untuk mengendalikan pandemi sangat penting
karena diharapkan dapat menghambat penyebarannya dan mencegah terulangnya kembali di
masa depan1. Selain itu, karena pandemi ini menyebar dengan cepat, maka diperlukan vaksin
yang dapat diproduksi dalam waktu yang cukup singkat, karena pada umumnya pembuatan
vaksin baru memerlukan waktu bertahun-tahun.
Agar sebuah vaksin dapat disetujui oleh badan terkait dan diberikan kepada masyarakat luas,
perlu dilakukan evaluasi keamanan dan efikasi vaksin. Guideline pembuatan dan persetujuan
penggunaan vaksin dibuat oleh World Health Organization (WHO), European Medicine
Agency (EMA), dan Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat, lalu vaksin
disetujui penggunaannya oleh badan terkait di masing-masing negara. Keseluruhan proses
pembuatan dan persetujuan vaksin bisa memakan waktu 10-15 tahun.2
Pembuatan vaksin memiliki beberapa tahapan yaitu tahap eksplorasi, tahap preklinis, dan
tahap klinis. Tahap eksplorasi adalah tahap penelitian dasar di laboratorium tentang ide dan
konsep vaksin yang akan dibuat. Selanjutnya adalah tahap preklinis yang menggunakan
jaringan atau kultur sel dan uji pada hewan untuk melihat keamanan dan imunogenisitas
kandidat vaksin tersebut. Studi pada hewan menggunakan mencit, marmut, monyet, dan
berbagai binatang uji lainnya sesuai dengan antigen yang digunakan. Studi ini dilakukan
untuk melihat respon imun dan efek samping yang ditimbulkan oleh kandidat vaksin. Hasil
lengkap dari studi ini lalu dilaporkan pada badan terkait dan perusahaan sponsor pembuatan
vaksin, lalu ditentukan apakah akan dilakukan tahap uji klinis selanjutnya.3
Pada tahap ini, keamanan dan tolerabilitas kandidat vaksin dievaluasi pada tingkat lokal dan
sistemik. Informasi awal tentang efikasi dan imunogenisitas pada manusia mungkin
didapatkan. Uji fase ini biasanya dilakukan sebagai studi single-center, randomized, double-
blind, dan terkontrol plasebo yang hanya melibatkan sejumlah kecil orang (20-80 partisipan).4
Pada fase ini, uji klinis dilakukan untuk melihat imunogenisitas dari komponen aktif vaksin
yang relevan, menguji keamanan dari kandidat vaksin di populasi target, serta menentukan
dosis optimal dari kandidat vaksin tersebut. Vaksin biasanya diberikan pada ratusan orang
yang dibagi menjadi beberapa kelompok, seperti anak-anak dan orang tua. 4
Fase ini adalah fase terakhir sebelum lisensi oleh badan terkait. Fase ini bertujuan untuk
menghasilkan konklusi yang dibutuhkan untuk persetujuan sebelum pemasaran, dan
memastikan efikasi dan keamanan formulasi kandidat vaksin di populasi target yang
berukuran besar. Desain uji klinis fase II dan III sebenarnya mirip, namun fase III melibatkan
subjek dalam jumlah yang lebih banyak. Pada bulan Juni 2020, Food and Drug
Administration (FDA) mengatakan bahwa vaksin virus corona harus melindungi setidaknya
50 persen orang yang divaksinasi agar dianggap efektif. Selain itu, uji coba tahap ini berperan
besar untuk mengungkapkan bukti efek samping yang relatif jarang, dan mungkin
terlewatkan dalam penelitian sebelumnya.4,5
Lisensi untuk menggunakan vaksin secara luas dapat diberikan pada kandidat vaksin apabila
uji klinis sudah selesai. Seluruh data keamanan dari uji klinis harus diserahkan kepada
regulator untuk pemeriksaan. Regulator mungkin akan memberikan lisensi kondisional
apabila ada kemungkinan adverse event yang jarang. Lisensi kondisional ini dapat termasuk
pelaksanaan studi post-marketing (Fase IV) pada partisipan yang lebih banyak dalam jangka
waktu yang lama.3,6
Pada kondisi normal, seluruh proses pembuatan vaksin baru dapat memakan waktu 10-15
tahun sampai akhirnya dapat diberikan ke masyarakat luas. Namun, dalam kondisi pandemi,
karena urgensinya, dapat dilakukan penggabungan fase uji klinis yang dapat mempersingkat
waktu pembuatan hingga 12-18 bulan. Penyederhanaan fase uji klinis di era pandemi dapat
dilihat dalam Gambar 1.6
Referensi:
1. Liu C, Zhou Q, Li Y, Garner LV, Watkins SP, Carter LJ, et al. Research and
Development on Therapeutic Agents and Vaccines for COVID-19 and Related
Human Coronavirus Diseases. ACS Cent Sci. 2020 Mar 25;6(3):315–31.
2. Khan K, Dimtri F, Vargas C, Surani S. COVID-19: A Review of Emerging
Preventative Vaccines and Treatment Strategies. Cureus [Internet]. [cited 2020 Nov
5];12(5).
3. Dutta AK. Vaccine Against Covid-19 Disease – Present Status of Development.
Indian J Pediatr. 2020 Sep 3;1–7.
4. Han S. Clinical vaccine development. Clin Exp Vaccine Res. 2015 Jan;4(1):46–53.
5. Corum J, Wee S-L, Zimmer C. Coronavirus Vaccine Tracker. The New York Times
[Internet]. [cited 2020 Nov 5].
6. Lurie N, Saville M, Hatchett R, Halton J. Developing Covid-19 Vaccines at Pandemic
Speed. New England Journal of Medicine [Internet]. 2020 Mar 30 [cited 2020 Nov 2].
Gambar 1. Perbedaan antara pengembangan vaksin tradisional dan paradigma era pandemi. Paradigma di
era pandemi membutuhkan berbagai aktivitas yang menimbulkan risiko finansial bagi pembuat vaksin,
tanpa mengetahui apakah kandidat vaksin aman dan efektif.6
Demam sebagai efek samping sendiri adalah tanda vaksin berhasil memicu sistem kekebalan tubuh kita.
Vaksin dipastikan aman dan ampuh sejak dari proses pengembangannya, sehingga memiliki manfaat yang
jauh lebih besar daripada efek samping yang ditimbulkan.
Peneliti juga melihat kadar thimerosal pada tubuh anak autis dan anak nonautis. Hasilnya, tidak ada
perbedaan di antara keduanya. Hal ini semakin menguatkan bahwa thimerosal tidak menyebabkan autisme,
melainkan genetika.4-5
Silakan gunakan materi edukasi berikut untuk memberikan edukasi pada masyarakat:
Referensi:
1. Nabila F, Herasmaranindar P. 7,6% Warga RI Menolak Divaksin Corona, Negara Perlu Gencar
Edukasi Masyarakat [Internet]. kumparan. [cited 2020 Nov 2].
2. Satgas Penanganan COVID-19 RI. #CariTauVaksin: Bagaimana Cara Kerja Vaksin? - Edukasi |
Satgas Penanganan COVID-19 [Internet]. covid19.go.id. [cited 2020 Nov 2].
3. Price CS, Thompson WW, Goodson B, Weintraub ES, Croen LA, Hinrichsen VL, et al. Prenatal
and Infant Exposure to Thimerosal From Vaccines and Immunoglobulins and Risk of Autism.
Pediatrics. 2010 Oct 1;126(4):656–64.
4. Fombonne E. Thimerosal Disappears but Autism Remains. Arch Gen Psychiatry. 2008 Jan
1;65(1):15–6.
5. Hurley AM, Tadrous M, Miller ES. Thimerosal-Containing Vaccines and Autism: A Review of
Recent Epidemiologic Studies. J Pediatr Pharmacol Ther. 2010;15(3):173–81.
6. Satgas Penanganan COVID-19 RI. Fatwa MUI Dapat Menjadi Rujukan Umat Islam Menghadapi
Pandemi COVID-19 - Berita Terkini | Satgas Penanganan COVID-19 [Internet]. covid19.go.id.
[cited 2020 Nov 5].
7. Satgas Penanganan COVID-19 RI. Pengawasan Ketat Indonesia pada Pembuat Vaksin di
Tiongkok - Berita Terkini | Satgas Penanganan COVID-19 [Internet]. covid19.go.id. [cited 2020
Nov 5].
8. Kementerian Kesehatan RI. Pemerintah Tengah Pastikan Keamanan dan Kehalalan Vaksin
COVID-19 [Internet]. Sehat Negeriku. 2020 [cited 2020 Nov 5].
9. World Health Organization. Episode #5 - Vaccines [Internet]. [cited 2020 Nov 5].
VAKSIN COVID-19 Vaksin melatih tubuh untuk kenal, lawan
dan kebal penyebab penyakit, seperti virus/
Apa itu vaksin? bakteri
Vaksin adalah suatu zat yang bila Apakah Vaksin memiliki efek samping?
diberikan kepada tubuh kita akan
merangsang timbulnya kekebalan terhadap Ya, vaksin memiliki efek samping. Hampir
suatu penyakit yang sifatnya spesifik. semua produk medis memiliki efek
samping. Bahkan produk yang kita temui
Apa Bukti Vaksin betul melindungi kita? sehari-hari juga memiliki efek samping.
Salah satu keberhasilan vaksinasi yang Berdasarkan penelitian, 95% efek samping
paling fenomenal adalah musnahnya dari vaksin bersifat ringan, seperti nyeri
penyakit variola (smallpox) pada tahun pada bekas suntikan, nyeri otot ataupun
1979. Berkat imunisasi massal, Indonesia demam yang biasanya berlangsung paling
juga sudah dinyatakan bebas polio. lama 48 jam setelah divaksin.
Dalam keadaan normal, orang akan kebal Masih diperlukan penelitian lebih lanjut
terhadap suatu penyakit setelah mengalami untuk mengetahui rentang periode jangka
sakit terlebih dahulu. Tentu ini berbahaya, panjang dari perlindungan vaksin COVID-
bagaimana kalau sakitnya ternyata berat? 19.
Dengan vaksinasi, orang dapat kebal tanpa Perlindungan yang akan diberikan vaksin
harus sakit dahulu. COVID-19 perlu tetap diikuti dengan
Bagaimana cara kerja vaksin? kepatuhan menjalankan protokol kesehatan
3M
TAK KENAL MAKA TAK KEBAL