Anda di halaman 1dari 13

VAKSIN

1.1 Pengertian Vaksin


Vaksin berasal dari Bahasa Latin “Vaccine” dari bakteri Variolae vaccinae yang pertama kali
didemonstrasikan pada 1798 dapat mencegah dampak dari smallpox atau cacar pada manusia. Kata
vaksin saat ini digunakan pada seluruh preparasi biologis dan produksi material menggunakan
makhluk hidup yang meningkatkan imunitas melawan penyakit, mencegah (prophylactic vaccines)
atau perawatan penyakit (therapeutic vaccines). Vaksin dimasukkan ke dalam tubuh dalam bentuk
cairan baik melalui injeksi, oral, maupun rute intranasal (World Health Organization, 2012).

1.2 Jenis Vaksin dan Komponennya


Vaksin terdiri dari mikroorganisme yang menjadi penyebab penyakit, maupun beberapa komponen
yang ada pada mikroorganisme seperti DNA atau RNA. Pembuatan vaksin dapat dilakukan dengan
berbagai cara sebagaimana ditunjukkan pada tabel 1 dan pembuatan vaksin secara umum pada
gambar 1. Pembuatan vaksin dari organisme hidup yang dilemahkan dapat dibuat pengolahan di
bawah kondisi sub-optimal atau attenuation process maupun modifikasi genetic yang memiliki
kemampuan untuk mereduksi kemampuan infeksi. Selain itu dapat pula dilakukan dari keseluruhan
organisme yang terdeaktivasi melalui proses kimia, termal, maupun proses lainnya dan dari toksin
yang telah terdeaktivasi.
Table 1

Vaksin dari komponen mikroorganisme yang menjadi penyebab penyakit seperti protein spesifik,
polisakarida, atau asam nukleat. Serta vaksin yang dibuat dengan konjugasi polisakarida terhadap
protein yang dapat meningkatkan efektivitas vaksin polisakarida.
Gambar 1
Dalam pembuatan vaksin secara umum melalui proses pencampuran dengan fluida (air atau garam),
bahan aditif atau pengawet, dan beberapa adjuvant (bahan pembantu). Secara umum bahan ini disebut
dengan excipient. Hal ini memastikan kualitas dan potensi dari vaksin dalam melengkapi kemampuan
vaksin itu sendiri. Vaksin harus memiliki tingkat keamanan dan imunogenisitas yang baik jika
diinjeksikan ke dalam manusia. Dikarenakan vaksin biasa diigunakan dalam bentuk cairan, dapat
menyebabkan terjadinya Gambar 1. Pengembang vaksin Covid-19 berdasarkan jenis dan lokasi
freeze-dried (lyophilized) sehingga membutuhkan waktu recovery sebelum digunakan. Preservative
atau bahan pengawet untuk vaksin berfungsi dalam memastikan kesterilan vaksin selama masa vaksin
tersebut dapat digunakan. Bahan ini digunakan untuk mencegah kontaminasi pada proses pembuatan,
ketika dosis pertama diekstraksi, akan melindungi produk sisa dari bakteri yang akan mempengaruhi
media pembuatan. Penambahan bahan ini ditambahkan selama pembuatan untuk mencegah
kontaminasi mikroba.

Table 2

Namun, tidak semua bahan pengawet ini dapat digunakan pada seluruh vaksin. Contoh bahan
pengawet yang telah digunakan pada vaksin ditunjukkan oleh tabel 2. Selain bahan pengawet,
digunakan pula bahan pembantu yang bertugas untuk meningkatkan pengaruh imun dari antigen
vaksin, namun tidak berperan sebagai antigen. Adjuvant yang biasa digunakan dalam pembuatan
vaksin adalah garam alminium. Vaksin yang menggunakan adjuvant memiliki kecepatan yang lebih
tinggi dalam mengatasi reaksi yang merugikan seperti rasa sakit pada sisi injeksi, malaise (tidak enak
badan), dan demam. Contoh adjuvant yang telah digunakan pada vaksin ditunjukkan pada tabel 3
(World Health Organization, 2012).

table 3

1.3 Cara Vaksin Bekerja Tabel 2. Contoh bahan pengawet dalam vaksin Tabel 3. Contoh adjuvant dalam
vaksin. Mikroorganisme yang telah dilemahkan atau terdeaktivasi masuk ke dalam tubuh dan akan
menginisiasi respon imun dalam tubuh. Respon ini dapat meniru respon natural jika terjadi infeksi.
Namun, tidak seperti organisme yang menyebabkan penyakit, vaksin yang dibuat tidak memiliki
kemampuan untuk menyebabkan penyakit lain yang ditunjukkan pada gambar 2.

Gambar 2
Komponen organisme yang menyebabkan penyakit atau vaksin yang memicu respon imun yang
dikenal dengan antigen. Antigen ini akan memicu produksi antibody oleh sistem imun. Antibodi
terikat pada antigen dan menginduksi penghancuran antigen oleh sel imun lainnya (gambar 3) (World
Health Organization, 2012).

Gambar 3

2. PENDAHULUAN COVID-19 (SARS-CoV-2)


Pada akhir tahun 2019, di Wuhan, China terdapat kasus yang menyebabkan ribuan pasien meninggal
dan secara cepat menyebar hingga seluruh dunia dalam beberapa bulan. Virus tersebut diberi nama
SARS-CoV-2 atau Covid-19 (Corona virus disease) yang merupakan mutasi dari virus SARS-CoV
yang merebak pada tahun 2002 dan MERS-CoV pada 2012. Virus ini menjadi jenis coronavirus
ketiga yang muncul dan mengancam populasi manusia dikarenakan penyebaran yang sangat cepat
dan menyerang bagian vital yakni paru-paru. Gejala yang ditimbulkan oleh para pasien antara lain
demam tinggi, sulit bernapas, dan batuk serta untuk pengenalan gejala ini membutuhkan waktu 2
hingga 14 hari setelah terinfeksi. Kebutuhan mengembangkan vaksin secara cepat untuk melawan
virus SARS-CoV-2 sangat tinggi beberapa bulan belakangan. Seluruh peneliti di berbagai dunia
dalam segala bidang yang berkaitan seperti ahli genomik dan struktur biologi saling bahu-membahu
untuk mengembangkan vaksin ini. Para peneliti telah bekerja keras dalam mengembangkan vaksin
berbagai macam virus setidaknya 20 tahun belakangan dikarenakan munculnya berbagai virus baru
yang menggemparkan dunia, di antaranya virus H1N1, ebola, zika, SARS, MERS, hingga saat ini
Covid-19. Terdapat beberapa instansi peneliti yang telah melakukan penelitian dan didanai oleh
organisasi pemerintah maupun swasta di berbagai negara, salah satunya adalah Coalition for
Epidemic Preparedness Innovation (CEPI) yang merupakan organisasi swasta dalam penanganan
epideimi yang didanai oleh Welcome Trust, Bill and Melinda gates Foundation, European
Commission, dan delapan negara lain yang mendukung pengembangan vaksin melawan patogen
epidemik yang masuk dalam prioritas World Health Organization (WHO) (Lurie et al, 2020). Selain
itu terdapat pula instansi lainnya seperti Moderna, BioNTech, Imperial College London, InoVio,
AstraZeneca, Merck, dan masih banyak lagi yang lainnya. Pada gambar 4 ditunjukkan jumlah
developer vaksin Covid-19 berdasarkan jenis instansi dan lokasi instansi tersebut (Thanh Le et al,
2020).
Gambar 4

Setidaknya membutuhkan waktu 12 hingga 18 bulan untuk mengembangkan vaksin baru hingga
dapat diproduksi massal. Perkembangan vaksin hingga dapat digunakan secara massal harus melewati
setidaknya 3 fase. Fase awal adalah uji coba pra-klinis (Preclinical Testing) yang diujikan kepada
hewan seperti monyet atau tikus untuk melihat respon kekebalan tubuh penerima. Setelahnya
beranjak ke fase pertama (Phase I: Safety Trials), vaksin diberikan kepada sejumlah pasien untuk
menguji keamanan, ketepatan dosis, dan memastikan rangsangan terhadap sistem imun tubuh
penerima. Fase kedua (Phase II: Expanded Trials), vaksin yang telah lolos uji fase pertama diujikan
kepada ratusan orang yang dikelompokkan berdasarkan usia untuk melihat keterikatan usia pada
pengaruh vaksin. Uji coba ini kemudian diuji keamanan dan kemampuan vaksin untuk merangsang
kekebalan tubuh pada masingmasing usia. Fase ketiga (Phase III: Efficacy Trials), vaksin diujikan
kembali kepada ribuan orang dan melihat seberapa banyak yang terinfeksi dibandingkan dengan
sukarelawan placebo Gambar 4. Pengembang vaksin Covid-19 berdasarkan jenis dan lokasi
(pengobatan yang tidak berdampak atau penanganan palsu). Uji coba ini bertujuan untuk menentukan
kemampuan vaksin melindungi terhadap virus korona. Tahap berikutnya adalah approval atau
persetujuan, yakni vaksin yang telah melalui berbagai tahap sebelumnya ditinjau oleh pemerintah tiap
negara (regulator approval) untuk memutuskan vaksin akan disetujui atau tidak. Selama pandemi,
vaksin dapat hak untuk penggunaan darurat sebelum disetujui secara resmi. Jika kondisi darurat,
dapat pula dengan menggabungkan beberapa fase sehingga akan lebih cepat dikarenakan kebutuhan
seperti yang ditunjukkan pada gambar 5.
Data pada tanggal 19 Juni 2020 menunjukkan jumlah vaksin di dunia yang sedang dikembangkan
sejumlah lebih dari 140 vaksin untuk melawan Covid-19. Dari keseluruhan penelitian vaksin, belum
ada yang disepakati untuk diproduksi massal, terdapat lebih dari 125 vaksin yang terdapat pada tahap
pra-klinis, 10 vaksin yang sedang uji coba fase pertama, 8 vaksin pada fase kedua, dan hanya 2 vaksin
yang diujikan pada fase ketiga (The New York Times, 2020).
Gambar 5

3. VAKSIN COVID-19 YANG DIKEMBANGKAN


Pengembangan vaksin oleh berbagai instansi menunjukkan penggunaan berbagai platform teknologi
untuk Covid-19, di antaranya penggunaan asam nukleat termasuk DNA dan RNA, partikel yang
menyerupai virus, peptida, vektor virus (replikasi dan non-replikasi), protein rekombinan, serta
pendekatan virus yang dilemahkan dan virus yang tidak aktif. Platform tersebut tidak seluruhnya
dapat dijadikan landasan untuk pembuatan vaksin, namun digunakan sebagai pelajaran untuk
mendalami dalam berbagai bidang, seperti onkologi yang dapat mendorong pengembangan vaksin
untuk pendekatan generasi selanjutnya yang dapat vaksin tersebut dapat dicocokkan untuk kelompok-
kelompok manusia yang didasarkan pada umur, kehamilan, maupun kelainan pada pasien seperti
kelainan imun (Thanh Le et al, 2020). Berdasarkan tabel 4, platform terbaru yang digunakan untuk
Covid-19 yakni didasarkan pada DNA atau mRNA dikarenakan fleksibilitas yang tinggi dalam
manipulasi antigen dan kecepatan yang baik. Moderna memulai uji klinis dengan vaksin berdasarkan
mRNA-1273 Gambar 5. Perbedaan antara pengembangan vaksin biasa menggunakan paradigma
pandemik hanya selama dua bulan sejak identifikasi untai RNA yang menunjukkan keberadaan virus
Covid-19. Vaksin yang didasarkan pada vektor virus menunjukkan tingkat ekspresi protein
meningkatkan kecepatan pengembangan dan pembuatannya. Nantinya, berbagai platform yang tinggi,
kestabilan yang baik, dan kemampuan menginduksi respon imun yang tinggi. Saat ini telah
dikembangkan berbagai macam platform teknologi untuk mengembangkan virus, namun
permasalahannya adalah ketersediaan informasi mengenai antigen Covid-19 yang masih terbatas.
Sebagian besar, informasi yang telah tersedia digunakan untuk menginduksi antibodi agar dapat
meredam protein spike pada virus. Namun, masih diteliti hubungan antar antibodi ini dengan reseptor
manusia ACE2 (Angiotensin-converting Enzyme) pada penyakit ini. Pada kasus beberapa tahun
belakangan dengan virus SARS menunjukkan potensi untuk dieksplor lebih dalam dan dikembangkan
dalam pengujian in-vivo dikarenakan virus Covid-19 dapat dikatakan sebagai mutase dari virus SARS
yang sebelumnya telah ada (Thanh Le et al, 2020).
Table 4

PLATFORM TEKNOLOGI VAKSIN


4.1 Vaksin Berbasis mRNA-SARS-CoV-2 (mRNA-1273) RNA virus dalam kaitannya dengan vaksin
Covid-19 telah diumumkan oleh International Committee on Taxonomy of Viruses (ICTV)
dikarenakan memiliki untai homolog dengan SARS yang juga disebabkan oleh virus korona. SARS-
CoV-2 berasal dari subfamily Coronavirinae dengan struktur genomik (+)ss-RNA 30 kb (kilo-base
pair) termasuk struktur 5’-cap dan lebar 3’poly-A.
Berdasarkan Wang F. et al (2020), vaksin didasarkan pada ekspresi sitoplasma dari chimeric mRNA
yag mengandunng open reading frame (ORF) dari untaian virus yang memiliki potensi untuk
ditranslasi secara langsung dalam sitoplasma dan menghambat integrasi kromosom. Sekali
diinjeksikan, mRNA yang Tabel 4. Fase klinis kandidat vaksin Covid-19 (hingga 6 Juni 2020 2020)
dikirimkan akan diproses oleh sel imun secara cepat dan mulai memproduksi protein target secara
langsung melalui translasi, dan diikuti dengan aktivasi sel imun lainnya untuk mengenali protein virus
yang baru terbentuk sehingga akan terbentuklah antibodi. Dimulai pada tanggal 16 Maret 2020, mulai
dikembangkan fase pertama oleh Moderna dan Vaccine Research Center (VRC) menggunakan vaksin
berbasis mRNA yang dilapisi oleh lipid nanopartikel (mRNA-1273) yang mengkode protein spike (S)
dari virus SARS-CoV-2. Terdapat dua jenis vaksin RNA yang dapat digunakan untuk melawan
infeksi pathogen, yakni vaksin mRNA non-replikasi dan vaksin mRNA yang bereplikasi atau
melakukan self-amplifying. Dikarenakan perbedaan metode pengirimannya, vaksin mRNA non-
replikasi selanjutnya dikelompokkan menjadi dua yakni pemuatan sel dendritic secara ex-vivo dan
injeksi in-vivo secara langsung ke sisi anatomi yang terserang. Penetrasi terhadap batas membrane
lipid menjadi langkah awal untuk mRNA eksogen dalam menacapai sitoplasma sebelum terjadinya
translasi protein fungsional.Selain itu, mekaisme pengambilan vaksin mRNA menunjukkan
spesifisitas sel dan sifat fisika kimia dari mRNA secara signifikan akan mempengaruhi kemampuan
pengiriman menuju sel dan distribusi menuju organ. Faktor-faktor tersebut patut dipertimbangkan
untuk membuat vaksin berbasis mRNA yang efektif dan hingga saat ini mRNA tetap menjadi
pertimbangan utama dalam mengembangan vaksin Covid-19 dikarenakan kecepatan yang sangat
tinggi (Wang F. et al, 2020). Dikarenakan memiliki struktur genomik (+)ss-RNA, SARS-CoV-2 dapat
melakukan self-amplifying yang menyebabkan terjadinya replikasi RNA secara ekstrem di dalam
sitosol. Hal ini sangat membantu untuk perkembangan fungsi mRNA sebagai vaksin Covid-19.
Namun, keamanan dan efisiensi vaksin mRNA untuk manusia masih belum diketahui. Keunggulan
mRNA dibandingkan dengan platform lainnya memberikan kekuatan tersendiri meskipun terdapat
beberapa keterbatasan pada pengiriman dan stabilitas dikarenakan degradasi RNA, dan keamanan
dikarenakan imunogenisitas yang menghalangi perkembangannya. Vaksin berbasis mRNA secara
aktif menginduksi aktivasi sel B respon dan sel T sitotoksisitas. Gambar 6 menunjukkan skema
vaksin berbasis mRNA dalam mengaktifkan imun tubuh. Pertama, vaksin mRNA menggunakan untai
mRNA target protein yang digabungkan secara in-vitro, dibandingkan dengan untai antibodi target.
Kemudian, untai mRNA rekombinan protein target akan dibawa oleh lipid nanopartikel (LNPs) dan
memasuki sel somatik sitoplasma untuk bertranslasi dan mengkode protein target. Ketika protein
target dilepas dari sel inang, sel penyedia antigen akan dengan cepat merekam dan memproses protein
heterolog. Kemudian penyajian MHC I dan MHC II (Major Histocompatibility Compex) pada
permukanan membrane sel penyedia antigen. Tahap ini sangat penting untuk aktivasi selanjutnya dari
sel B, sel T, dan juga menjadi kunci untuk respon humoral dan sitotoksik (Wang F. et al, 2020).

Gambar 6
Pengembangan vaksin berbasis mRNA ini memiliki tantangan dalam menargetkan untaian DNA
kepada spike protein (S) sehingga dapat menimbulkan aktivitas selanjutnya. Glikoprotein spike
menjadi target kunci untuk perkembangan vaksin, terapi antibodi, dan diagnosis klinis Covid-19.
Proses untuk mencapai situs yang tepat pada pengembangan vaksin ini diawali dengan masuknya sel
inang menggunakan protein homometrik s terglikolisasi yang tinggi untuk mencapai titik fusi dengan
membrane sel melalui perubahan struktur.Proses ini meliputi pengikatan subunit S1 pada reseptor sel
inang ACE2, yang memicu ketidakstabilan trimetric dan diikuti oleh pemisahan subunit S1 dari
subunit S2 membentuk struktur gabungan yang sangat stabil. Reseptor sel inang dapat dimasuki
dengan cara RBD (Receptor Binding Domain) dalam subunit S1 mengalami perubahan konformasi
seperti engsel untuk menyembunyikan atau menunjukkan situs kunci utuk berikatan dengan reseptor,
yang sangat mirip dengan SARS-CoV. Tingkat homolog yang tinggi dari RBD menunjukkan bahwa
virus Covid-19 disebarkan oleh reseptor inang yang sama seperti SARS-CoV. Meskipun memiliki
kemiripan, Covid-19 tetap memiliki karakteristik tersendiri. Hal yang paling signifikan adalah pada
untai asam amino RRAR (Arginin-Arginin-Alanin-Arginin) dengan situs pemutusan protease S1/S2
yang konsisten dengan karakteristik dari situs pengenalan Furin. Hal ini lebih banyak terdapat dalam
virus influenza dibandingkan dengan virus SARS yang hanya memiliki arginin tunggal. Selain itu,
terdapat berbagai perbedaan jika dibandingkan dengan virus influenza lainnya yang menandakan
bahwa dasar struktur biologis untuk mendesain vaksin Covid-19 telah lebih akurat dan dapat
digunakan untuk menemukan obat anti virusnya (Wang F. et al, 2020). Terdapat empat keunggulan
utama dalam keamanan dan efektivitas penggunaan vaksin berbasis mRNA ini dibandingkan dengan
pendekatan konvensional. Pertama, Gambar 6. Skema vaksin berbasis mRNA ditargetkan kepada
protein spike (S) dari Covid-19 S protein: Spike protein IM: Intramuscular DC: Dendritic cell Ag:
Antigen vaksin berbasis mRNA meminimalisir potensi risiko infeksi dan induksi insersi mutagenesis
akibat degradasi mRNA dalam sel lingkungan mikro. Kedua, efektivitas yang tinggi untuk
meningkatkan imun karena perancangan modifikasi struktur mRNA akan meningkatkan kestabilan
dan translasi yang baik. Ketiga, potensi yang tinggi dari vaksin berbasis mRNA dalam imunisasi
dosis rendah untuk menetralisir immunoglobulin sehingga dapat menginduksi respon imun yang kuat
dengan mengaktivasi sel T. Keempat, dapat diproduksi secara massal dengan cepat untuk dapat
mengobati populasi yang terjangkit. Keseluruhan faktor ini membuat penggunaan vaksin berbasis
mRNA lebih cocok dijadikan respon cepat yang dapat dioptimalkan selama pandemi (Wang F. et al,
2020). 4.2 Vaksin Berbasis Vektor Adenovirus Type-5 SARS-CoV-2 (Ad5-nCoV) Di tengah
kebutuhan vaksin untuk melindungi manusia dari Covid-19 dengan vaksin yang aman, dapat diterima
tubuh, dan berdampak pada imun dengan cepat dan tepat, maka dikembangkan vaksin menggunakan
vektor rekombinan adenovirus jenis 5 (Ad5) melalui spike glikoprotein dari untai Covid-19.
Pengembangan vaksin ini dipimpin oleh CanSino Biologics bekerja sama dengan berbagai institusi
mulai dari pendidikan hingga professional memulai penelitiannya pada 17 Maret 2020. Uji coba
pengembangan vaksin ini dilakukan di Wuhan, China yang meliputi pemberian dosis yang meningkat
secara berkala, single-center, pasien yang dipilih, hingga fase pertama vaksin vektor Ad5 Covid19.
Metode pengujian yakni diujikan kepada peserta tidak terinfeksi Covid-19 yang berusia 18 dan 60
tahun dan dikonfirmasi oleh hasil negative menggunakan serum spesifik antibodi IgM dan IgG yang
diuji dengan rapid test komersial Covid-19, uji asam nukleat negative pada uji swab pada faring atau
sputum dan dubur yang dideteksi dengan alat PCR (Polymer Chain Reaction), dan hasil CT scan dada
yang menunjukkan tidak adanya tanda infeksi Covid-19. Seluruh relawan diinjeksikan vaksin Ad5-
nCoV pada intermuscular dengan dosis rendah (5 x 1010 partikel virus/0,5 mL), dosis menengah (1 x
1011 partikel virus/ 1 mL), atau dosis tinggi (1,5 x 1011 partikel virus/ 1,5 mL) (Zhu et al, 2020).
Gambar 7

Pengembangan vaksin secara klinis menggunakan vektor Ad5 Covid-19 merupakan yang pertama
pada manusia. Vaksin ini dapat ditoleransi pada orang dewasa yang sehat dengan tiga kelompok dosis
dan memiliki beberapa efek samping seperti demam, kelelahan, sakit kepala, dan nyeri otot namun
tidak terlalu mempengaruhi keseluruhan Gambar 7. Skema vaksin berbasis vektor dalam memicu
respon imun Replicating viral vector Non-replicating viral vector penerima vaksin. Penggunaan virus
influenza yang telah umum yakni adenovirus yang dapat menginfeksi sel manusia dengan mudah,
namun tidak menimbulkan dampak yang vatal. Virus ini digunakan untuk mengirimkan materi
genetik yang dapat mengkode spike protein SARS-CoV-2 menuju sel (Gambar 7). Sel ini kemudian
menghasilkan spike protein dan mengantarnya ke kelenjar getah bening tempat sistem kekebalan
tubuh terbentuk dan menciptakan antibodi yang akan mengenali spike protein tersebut sehingga dapat
melawan virus SARS-CoV-2. Dilaporkan bahwa pada 22 Mei 2020, vaksin dengan vektor Ad5-nCoV
ini dapat ditoleransi dan dapat memicu imun tubuh pada 28 hari setelah proses vaksinasi. Respon
humoral terhadap Covid-19 memuncak pada hari ke-28 setelah vaksinasi pada orang dewasa yang
sehat dan merespon dengan cepat sel T spesifik dicatat pada hari ke-14 setelah vaksinasi. Hal ini
menunjukkan bahwa vaksin ini masih perlu dikembangkan lebih lanjut (Zhu et al, 2020). 4.3 Vaksin
Berbasis Virus Terdeaktivasi (PiCoVacc) Pemurnian DNA yang dilemahkan merupakan
pengembangan vaksin secara konvensional dan telah ditemukan bahwa platform teknologi ini aman
dan efektif dalam mencegah penyebab terjadinya penyakit yang disebabkan oleh virus seperti
influenza, dan polio. Dalam pengembangan pra-klinis secara in-vitro untuk menetralisir dan menuji
model vaksin Covid-19, dilakukan isolasi untai virs SARS-CoV-2 dari sampel bronchoalbeloar
lavage fluid (BALF) 11 pasien rumah sakit yang terinfeksi virus ini. Seluruh untai sampel yang
tersebar di berbagai negara dibentuk dalam pohon filogenik yang mewakili seluruh untai dan populasi
Covid-19 di dunia (Gambar 8A).

Gambar 8

Preparasi PiCoVacc dapat dilihat pada gambar 8B. Pemilihan untai CN2 untuk pemurnian virus
SARS-CoV-2 yang dilemahkan, vaksin PiCoVacc dan 10 untai lain (CN1, CN3-CN5, dan OS1-OS6)
secara praklinis dikarenakan memiliki kemiripan dengan 2019-nCoV-BetaCoV dan EPI_ISL_412973
secara berurutan, yang telah diteliti dan terbukti menyebabkan gejala klinis termasuk kegagalan
pernapasan sehingga membutuhkan ventilator mekanik. Membuat stok untai virus dengan
pertumbuhan yang efisien dalam sel Vero untuk produksi PiCoVacc, untai CN2 dimurnikan dan satu
passage dalam sel Vero untuk menghasilkan stok P1. Setelah itu, empat passage yang lain digunakan
untuk menghasilkan stok P2-P5. Evaluasi kestabilan genetic dari PiCoVacc ini, lima passage yag lain
digunakan untuk memperoleh stok P10, keseluruhan genom digambungkan dengan untai P1, P3, dan
P5 (Gao et al, 2020). Skema vaksin berbasis virus terdeaktivasi dapat dilihat pada gambar 9 dalam
memicu respon imun. Vaksin ini Gambar 8. (A) Gambar pohon filogenik hasil isolasi. (B) Flowchart
preparasi PiCoVacc (A) (B) didasarkan pada memicu replikasi virus dan meningkatkan produksi
antigen sehingga imun akan terbentuk dengan baik dan cepat untuk melawan Covid-19.

Gambar 9

Uji imunogenisitas PiCoVacc, kelompok tikus BALB/c diinjeksikan pada hari ke-0 dan ke-7 dengan
variasi dosis (0; 1,5; 3; dan 6 µg dalam garam fisiologis. Hasil uji ini menunjukkan tidak terjadinya
inflamasi maupun efek lainnya. Protein spike, RBD, dan respon antibodi N-spesifik dievaluasi
dengan ELISA (Enzyme-linked Immunosorbent Assays). Kemudian diuji coba kembali pada kera
(Macaca mulatta) dengan perbedaan dosis rendah dan dosis tinggi. Hasil uji imunitas pada vaksin ini
menunjukkan respon yang baik dalam memicu sel T untuk melawan virus, namun tetap harus
dikontrol agar imunitas humoral dapat tetap muncul. Sel T dapat mengiduksi cytokine storm untuk
menekan pathogen Covid-19. Oleh karena itu, respon sel T dimunculkan oleh vaksin Covid-19 untuk
dapat dikontrol dengan baik agar mengindari terjadinya imunopatologi. Evaluasi keamanan PiCoVacc
dilakukan secara sistematis pada kera dengan mencatat sejumlah pengamatan klinis dan indeks
biologis. Dua kelompok kera (n=10) diimunisasi dengan injeksi intramuskular dengan dosis rendah
(1,5µg) atau tinggi (6µg) dan dua kelompok kera lainnya diimunisasi dengan adjuvant (sham) dan
garam fisiologis (placebo) selama tiga kali pada hari ke-0, 7, dan 14. Hasil histopatologis pada
berbagai organ termasuk paruparu, jantung limpa, hati, ginjal, dan otak dari empat kelompo kera pada
hari ke-29 ditunjukkan pada gambar 6 dan tidak menyebabkan dampak yang signifikan pada kera
(Gao et al, 2020). Dampak yang berbahaya dari Covid-19 dan meningkatkan jumlah kematian di
dunia, sehingga membutuhkan vaksin untuk menanggulangi dan mencegah penularan virus tersebut
menggunakan proses dengan paradigma pandemik. Keamanan dan efektivitas menjadi hal yang
sangat penting untuk perkembangan vaksin pada tahap uji coba pra-klinis dan klinis. Meskipun terlalu
cepat untuk mengatakan model yang paling baik untuk mengetahui infeksi virus Covid-19,
penggunaan kera menunjukkan hasil yang menjanjikan. Pada penelitian terhadap kera, tidak
menunjukkan peningkatan infeksi ataupun imunopatologis yang dapat membahayakan sel inang
(Gambar 10). Penelitian ini juga menunjukkan perlindungan yang baik terhadap virus Covid-19
dengan dosis 6µg Gambar 9. Skema vaksin berbasis virus terdeaktivasi dalam memicu respon imun
Weakened Virus Inactivated Virus PiCoVacc pada kera. Hasil ini membuka jalan untuk
pengembangan klinis atau vaksin Covid-19 untuk digunakan, serta kandidat vaksin Covid-19 pada
manusia. Fase pertama, kedua, dan ketiga pada uji klinis dengan PiCoVacc dan kandidat vaksin
lainnya akan dilakukan setidaknya akhir tahun 2020 (Gao et al, 2020).

Gambar 10

PENUTUP
Terdapat banyak perusahaan yang bersifat akademis, non-profit, hingga professional ikut
mengembangkan pembuatan vaksin melalui berbagai macam platform teknologi seperti yang telah
diuraikan sebelumnya. Uji klinis menggunakan obat-obatan yang berbeda akan secepatnya
dirampungkan melalui paradigm pandemik. Meskipun pengembangan vaksin masih lebih lambat
dibandingkan penyebaran virus Covid-19, diharapkan tetap diperoleh vaksin yang aman dan efektif
untuk mencegah penyebaran virus ini. Penggunaan hewan sebagai bahan percobaan menunjukkan
hasil efektivitas yang tinggi dari para kandidat vaksin meskipun hanya beberapa vasin yang telah diuji
coba pada manusia. Vaksin Covid-19 mungkin terlambat untuk menekan jumlah korban pada
gelombang pertama di seluruh dunia, namun akan sangat berguna untuk kemudian hari agar tidak
terjadi gelombang-gelombang berikutnya setelah pandemik ini berakhir

Anda mungkin juga menyukai