Anda di halaman 1dari 18

Vaksinasi COVID-19

Pendahuluan
Vaksinasi Covid-19 di Indonesia sudah berlangsung sejak Rabu (13/1/2021). Vaksinasi
Covid-19 dilakukan secara bertahap hingga akhirnya menyentuh 181 juta penduduk Indonesia.
Setelah menerima vaksin Covid-19 perlu diketahui apa saja sejumlah reaksi dalam tubuh pasca
vaksinasi. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi orang pertama yang menerima vaksin Covid-
19 di Istana Merdeka. Vaksinasi virus corona ini dilakukan setelah Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) resmi mengeluarkan izin penggunaan darurat untuk vaksin virus corona dari
Sinovac.

Terkait pemberian vaksin Covid-19, banyak masyarakat di Tanah Air mungkin masih
bertanya-tanya mengenai efek samping yang mungkin timbul setelah mendapatkan vaksin virus
corona. Masyarakat khawatir vaksin virus corona bisa menimbulkan efek samping serius Namun,
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah menyatakan bahwa vaksin Covid-19 tidak
menimbulkan efek samping serius. Dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal (Dirjen)
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes No. HK. 02.02/4/1/2021 tentang Petunjuk
Teknis Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona virus Disease
2019 (Covid-19), dijelaskan bahwa secara umum, vaksin Covid-19 tidak menimbulkan reaksi
pada tubuh, atau apabila terjadi, hanya menimbulkan reaksi ringan.

Pendahuluan

Vaksinasi memicu kekebalan tubuh dengan menyebabkan sistem kekebalan tubuh


penerima bereaksi terhadap antigen yang terkandung dalam vaksin virus corona. Reaksi lokal
dan sistemik seperti nyeri pada tempat suntikan atau demam dapat terjadi sebagai bagian dari
respons imun. Komponen vaksin lainnya, misalnya bahan pembantu, penstabil, dan pengawet
juga dapat memicu reaksi. Vaksin yang berkualitas adalah vaksin yang menimbulkan reaksi
ringan seminimal mungkin namun tetap memicu respons imun terbaik. Frekuensi terjadinya
reaksi ringan vaksinasi ditentukan oleh jenis vaksin.
Dalam Surat Keputusan yang ditetapkan Plt. Dirjen Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit, Muhammad Budi Hidayat pada 2 Januari 2021 tersebut, diterangkan bahwa reaksi
yang mungkin terjadi setelah vaksinasi Covid-19 hampir sama dengan vaksin yang lain.

Beberapa gejala / reaksi yang timbul setelah disuntik vaksin virus corona di antaranya, yakni:

Reaksi lokal yang timbul pasca disuntik vaksin virus corona antara lain nyeri, kemerahan,
bengkak pada tempat suntikan. Reaksi lokal lain yang berat, misalnya selulitis. Reaksi sistemik
yang timbul pasca disuntik vaksin virus corona berupa: Demam, Nyeri otot seluruh tubuh
(myalgia), Nyeri sendi (atralgia), Badan lemah, Sakit kepala. Reaksi lain yang timbul pasca
disuntik vaksin virus corona diantaranya: Reaksi alergi, misalnya urtikaria ( biduran), oedem
(pembengkakan), Reaksi anafilaksis, Syncope ( pingsan)

Untuk mengatasi reaksi ringan lokal pasca disuntik vaksin virus corona seperti nyeri,
bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan, petugas kesehatan dapat menganjurkan penerima
vaksin untuk: Melakukan kompres dingin pada lokasi tersebut, meminum obat paracetamol
sesuai dosis Sementara, untuk mengatasi reaksi ringan sistemik pasca disuntik vaksin virus
corona seperti demam dan malaise, petugas kesehatan dapat menganjurkan penerima vaksin
untuk: Minum lebih banyak, Menggunakan pakaian yang nyaman, kompres atau mandi air
hangat, Meminum obat paracetamol sesuai dosis.

Oleh sebab itu, dalam alur pelayanan vaksinasi Covid-19, petugas diarahkan untuk
mempersilakan pasien untuk menunggu 30 menit setelah pemberian vaksin virus corona. Hal ini
dilakukan untuk melihat reaksi yang mungkin muncul setelah penerima vaksin virus corona
disuntikan.

Selain reaksi vaksin, Kejadian Ikutan Pasca Vaksinasi atau biasa disebut KIPI yang terkait
dengan kesalahan prosedur juga dapat terjadi. Untuk itu, sistem pelayanan vaksinasi yang terdiri
dari petugas pelaksana yang kompeten (memiliki pengetahuan cukup, terampil dalam
melaksanakan vaksinasi dan memiliki sikap profesional sebagai tenaga kesehatan), peralatan
yang lengkap dan petunjuk teknis yang jelas harus disiapkan dengan maksimal.

Kemenkes meminta kepada semua jajaran pemerintahan yang masuk dalam sistem ini harus
memahami petunjuk teknis yang diberikan. KIPI yang tidak terkait dengan vaksin atau koinsiden
harus diwaspadai. Untuk itu penapisan status kesehatan sasaran yang akan divaksinasi harus
dilakukan seoptimal mungkin.

Pasca disuntik vaksin virus corona, penerima vaksin harus tetap mematuhi protokol
kesehatan 3M yaitu menjaga jarak, mengenakan masker, serta mencuci tangan dengan sabun dan
air mengalir.

COVID-19 hingga kini belum menunjukkan tanda akan berakhir. Tiap harinya, SARS-
CoV-2 penyebab pandemi ini terus menyerang ribuan masyarakat global. Saat ini, angka positif
COVID-19 global mendekati 32 juta kasus, dan 976,311 (23/9) harus kehilangan nyawa akibat
penyakit ini. Di Indonesia sendiri, menurut data dari Satuan Tugas Penanganan COVID-19 pada
23 September, kasus positif yang tercatat adalah sebanyak 257.388 dan korban meninggal
sebanyak 9.997 jiwa. Kabar baiknya sebanyak 187.958 telah pulih dari COVID-19.
Pertanyaannya jelas, bagaimana cara dunia menghentikan SARS-CoV-2 yang terus menyerang
secara bertubi-tubi? Banyak ahli berpendapat hanya dengan vaksin penduduk Bumi dapat
kembali dengan normal. Lantas, bagaimana perkembangan vaksin COVID-19 saat ini?

1.Vaksin Sinovac dan Merah Putih

Uji klinis fase III vaksin corona buatan Sinovac di Indonesia masih berlangsung hingga
kini. Andaikan tahap ini berjalan mulus, hasilnya akan diregistrasikan ke Badan Pengawas Obat
dan Makanan (BPOM). Bila BPOM memberikan lampu hijau, maka vaksin bisa diproduksi
secara masal pada Januari 2021. Selain vaksin Sinovac, pemerintah juga bekerja sama dengan
perusahaan vaksin G42 UAE dari Uni Emirat Arab. “Tahun depan akan ada 300 juta dosis vaksin
Covid-19,” ujar Menteri BUMN Erick Thohir. Pada 16 September, Sinovac mendaftarkan uji
coba fase 1/2 dari vaksin untuk anak-anak. Kira-kira sebanyak 552 peserta ini akan mendapat
dua dosis vaksin eksperimental CoronaVac buatan Sinovac yang terdaftar di AS. Uji coba
gabungan fase satu dan dua ini diperkirakan akan dilakukan pada 28 September Hebei, China
utara.

Bagaimana kabar vaksin Merah Putih buatan anak negeri? Menurut laman Sekretariat
Kabinet Republik Indonesia (9/9), Lembaga Eijkman sudah memulai upaya pengembangan
vaksin merah putih. Prosesnya sudah mencapai 50 persen. Targetnya, akhir tahun ini uji pada
hewan sudah bisa diselesaikan. Dengan begitu awal tahun depan, sekitar bulan Januari, Lembaga
Eijkman bisa menyerahkan bibit vaksin tersebut kepada PT Biofarma. Selanjutnya, dilakukan
formulasi produksi dalam rangka uji klinis, baik uji klinis tahap I, II, dan III.

2.Vaksin Johnson & Johnson

Satu dekade lalu, para peneliti di Beth Israel Deaconess Medical Center di Boston, AS,
mengembangkan metode untuk membuat vaksin dari virus yang disebut Adenovirus 26, atau
disingkat Ad26. Kemudian, Johnson & Johnson mengembangkan vaksin untuk Ebola dan
penyakit lainnya dengan Ad26. Kini Ad26 juga digunakan untuk membuat virus corona. Johnson
& Johnson memulai uji coba fase I/II pada bulan Juli dan meluncurkan uji klinis fase III dengan
hingga 60.000 peserta pada bulan September. Perusahaan raksasa ini menargetkan satu miliar
dosis pada 2021.

3.Vaksin Moderna

Perusahaan bioteknologi asal AS, Moderna, juga turut andil dalam pengembangan vaksin
virus corona. Moderna menggandeng National Institutes of Health (NIH) untuk membuat vaksin
potensial. Setelah melakukan uji klinis II, Moderna dan NIH melakukan uji klinis III pada 27 Juli
lalu. Uji coba terakhir akan melibatkan 30.000 orang sehat di sekitar 89 lokasi di Amerika
Serikat.

4.Vaksin Oxford

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan vaksin buatan Oxford dan AstraZeneca
sebagai vaksin kandidat utama, dan paling maju dalam hal pengembangnnya. Sayangnya,
pengembangan vaksin COVID-19 sempat ditangguhkan pada 8 September karena memicu
sebuah penyakit pada relawan vaksin. Namun, proses pengujian vaksin besutan Oxford sudah
kembali dimulai.

Dalam percobaan uji klinis fase I/II, para peneliti menemukan vaksin tersebut mampu
meningkatkan antibodi relawan terhadap virus corona. Selanjutnya, vaksin Oxford dan
AstraZeneca memasuki tahap uji klinis fase II/III di Inggris, dan India, serta uji klinis fase III di
Brazil, Afrika Selatan dan Amerika Serikat.
5.Vaksin Pfizer

Perusahaan kesehatan asal AS, Pfizer telah memasuk uji klinis II, III, dan fase gabungan.
Pada Mei lalu, para ahli menemukan vaksin COVID-19 ini menghasilkan antibodi yang mampu
melawan SARS-CoV-2, dan sel kekebalan yang disebut sel T yang dapat merespons virus.

Dalam mengembangkan vaksin ini, Pfizer bekerja sama dengan BioNTech dari Jerman
dan Fosun Pharma dari Tiongkok. Pada Juli lalu, uji klinis fase II/III dilakukan pada 30.000
relawan di AS, Argentina, Brazil, dan Jerman. Hasil studi sementara mengatakan relawan hanya
mengalami efek samping ringan hingga sedang. Pengembangan vaksin COVID-19 menjadi
salah satu pendekatan yang dipertimbangkan untuk mengatasi wabah SARS-CoV-2. Serupa
dengan teknik pengembangan vaksin MERS (Middle East Respiratory Syndrome) dan SARS,
sejumlah teknik pengembangan vaksin coronavirus menggunakan DNA, mRNA, protein
rekombinan, dan vektor adenovirus kini sedang banyak dipelajari. Penggunaan teknik yang
menargetkan protein S dan protein lain yang terkait (misalnya, protein N, S1, S2, dan RBD) juga
dapat dipertimbangkan sebab protein semacam ini juga menjadi target dalam pengembangan
vaksin MERS dan SARS.

Sejak penyebaran informasi tentang urutan genetik SARS-CoV-2 pada pertengahan


Januari 2020, berbagai institusi akademik dan perusahaan farmasi di seluruh dunia telah terlibat
dalam pengembangan vaksin penyakit COVID-19 dan beberapa kandidat vaksin telah mencapai
tahap evaluasi efikasi pada uji pada hewan coba serta uji klinis. Dalam artikel ini akan dibahas
tentang gambaran umum pengembangan vaksin COVID-19, penelitian in vivo terkait vaksin
COVID-19, dan potensi penggunaan vaksin lain sebagai vaksin COVID-19.

Jenis-jenis vaksin COVID-19 yang sedang dikembangkan saat ini:

1. Vaksin Asam Nukleat (Vaksin DNA)

Teknologi pengembangan vaksin menggunakan asam nukleat (vaksin DNA) untuk


SARS-CoV-2 telah dilakukan oleh sejumlah perusahaan di seluruh dunia. IVI (Innovation and
Value Initiative), Inovio, dan KNIH (The Korea National Institute of Health) bekerja sama
dengan CEPI (Coalition for Epidemic Preparedness Innovations) untuk menguji keamanan dan
imunogenisitas vaksin DNA INO-4800 dalam sebuah uji klinis di Korea Selatan (nomor uji
klinis: NCT04336410). Sementara itu, CureVac dan Moderna/NIH mengembangkan vaksin
menggunakan mRNA dan kandidat vaksin mRNA-1273 dari Moderna sedang dalam tahap
perekrutan partisipan sejak Maret 2020 (nomor uji klinis: NCT04283461).

2. Vaksin Subunit

Vaksin subunit dengan menggunakan protein rekombinan SARS-CoV dan MERS-CoV


menunjukkan hasil yang efektif dalam beberapa penelitian. Clover Biopharmaceutical sedang
mengembangkan vaksin yang terdiri dari protein S trimmer SARS-CoV-2. Domain pengikat
reseptor (receptor binding domain/RBD) pada protein S dalam SARS-CoV-2 telah diketahui dan
menunjukkan afinitas ikatan yang lebih tinggi terhadap reseptor ACE-2 (angiotensin converting
enzyme-2) dibandingkan ikatan antara RBD SARS-CoV terhadap reseptor ACE2.[2] Temuan ini
mengisyaratkan bahwa vaksin SARS-CoV-2 berbasis RBD memiliki potensi dalam mencegah
infeksi SARS-CoV-2. Vaksin berbasis RBD kini sedang dalam tahap pengembangan melalui
sebuah kolaborasi internasional.

3. Vaksin Inaktif atau Virus Hidup yang Dilemahkan

Vaksin inaktif utuh maupun vaksin virus hidup yang dilemahkan merupakan salah satu
strategi pengembangan vaksin klasik yang dapat dipertimbangkan pada pengembangan vaksin
COVID-19. Peneliti dari Universitas Hong Kong telah mengembangkan vaksin virus influenza
hidup yang mampu memproduksi protein SARS-CoV-2. Teknologi deoptimasi kodon yang
dimiliki Codagenix membantu dalam melemahkan virus dan meningkatkan kemungkinan
pengembangan vaksin COVID-19.

Kelebihan dari vaksin virus utuh adalah sifat imunogenisitas dan kemampuan vaksin ini
dalam memicu toll-like receptors (misalnya, TLR 3, 7, 8, atau 9). Namun, vaksin yang berasal
dari virus hidup memerlukan pengujian yang lebih banyak sebelum dapat dinyatakan aman untuk
digunakan pada suatu populasi. Faktor ini menjadi sangat penting mengingat adanya temuan
peningkatan infektivitas pasca imunisasi dengan menggunakan virus SARS utuh yang mati
maupun hidup.
4. Vaksin Berbasis Vektor Virus

Vaksin berbasis vektor virus dikembangkan menggunakan vektor yang telah terbukti profil
keamanannya sehingga mampu menghasilkan dan melepaskan antigen imunogenik dari sel yang
terinfeksi selama periode tertentu. Vektor merupakan virus yang berasal dari famili berbeda
(contoh: poxvirus, adenovirus, measles, dan togavirus) dan telah diteliti dalam pengembangan
vaksin coronavirus. Pada MERS-CoV, kandidat yang cukup menjanjikan berasal dari virus
vaksinia Ankara modifikasi (MVA) yang tidak akan bereplikasi di dalam sel mamalia. Dengan
menggunakan vektor ini, fragmen protein S dengan panjang rantai protein yang berbeda-beda
berhasil diekspresikan. Terlepas dari jenis fragmen protein S yang dihasilkan, antibodi penetral
dan respons sel T terhadap MERS-CoV berhasil dipicu.

Sehubungan dengan vaksin SARS-CoV-2, grup Chen Wei telah memulai uji klinis pada
manusia (NCT04313127) dengan menggunakan vaksin berbasis vektor adenovirus sejak
pertengahan Maret 2020. Selain itu, peneliti lain di Wuhan juga sedang melakukan uji keamanan
vaksin menggunakan kandidat vaksin berbasis vektor adenovirus rekombinan Ad5-nCoV. Selain
adenovirus, lentivirus juga menjadi kandidat vektor vaksin (COVID-19/aAPC dan LV-SMENP-
DC) yang sedang diteliti oleh sebuah institusi di Shenzhen. COVID-19/aAPC dikembangkan
dengan cara modifikasi lentivirus, gen mini SARS-CoV-2 dan gen modulator imun ke dalam
APC (antigen presenting cell) buatan. Di sisi lain, LV-SMENP-DC dikembangkan dengan teknik
modifikasi sel dendritik menggunakan vektor lentivirus yang menghasilkan minigen SARS-
CoV-2 SMENP dan sejumlah gen imunomodulatorik. Kedua vaksin ini sedang dalam tahap uji
klinis fase 1 sejak pertengahan Februari 2020 dan diharapkan selesai pada akhir Desember 2024.

Penelitian tentang vaksin COVID-19 pada hewan coba masih menunjukkan hasil yang
terbatas. Penelitian pada Rhesus mengungkap bahwa primata ini menunjukkan respons proteksi
terhadap reinfeksi SARS-CoV-2. Sementara itu, pada penelitian sebelumnya terkait SARS-CoV-
1 dan MERS-CoV, model hewan coba menunjukkan bahwa vaksin terhadap kedua virus ini
dapat melindungi primata non manusia. Namun, pada kasus tertentu yang melibatkan vaksin dari
virus hidup, sejumlah komplikasi pasca vaksinasi seperti kerusakan jaringan serta infiltrasi
eosinofil di paru-paru tampak terjadi pada model tikus sedangkan kerusakan sel hati dialami
pada model musang.
Pemberian vaksin inaktif SARS-CoV-1 pada primata non manusia juga dapat
menimbulkan perburukan manifestasi penyakit. Walaupun terdapat variasi respons terhadap
pemberian vaksin coronavirus pada berbagai model hewan coba, vaksinasi berkaitan dengan
kesintasan yang lebih baik, penurunan titer virus, dan morbiditas dibandingkan hewan yang tidak
mendapatkan vaksin.

Penelitian Fase III Vaksin COVID-19 di Indonesia

Saat ini, sedang berlangsung penelitian fase III vaksin COVID-19 di Indonesia. Fase ini
dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan melibatkan fakultas kedokteran Universitas Padjajaran
bersama dengan Sinovac biotech yang berasalah dari Cina. Hasil penelitian secara preklinik
menunjukan bahwa vaksin PiCoVacc menunjukan perlindungan terhadap SARS-CoV-2 oleh
monyet macaque. Penelitian ini menunjukan dosis terkecil vaksin terbukti memberikan kontrol
pada infeksi COVID-19 dan sampel yang mendapatkan dosis tertinggi tidak lagi ditemukan viral
load pada faring atau paru-paru 7 hari setelah infeksi.

Penggunaan Vaksin Lain sebagai Vaksin COVID-19

Penggunaan vaksin lain yang telah masuk dalam program vaksinasi rutin sebagai
vaksinasi untuk mencegah COVID-19 masih belum dapat dipastikan manfaat dan risikonya.
Pemikiran tentang penggunaan vaksin lain dalam menekan risiko COVID-19 sebagian
didasarkan pada tinjauan epidemiologi tentang perbedaan dampak COVID-19 terhadap populasi
yang berbeda di beberapa negara. Miller et al menduga bahwa perbedaan morbiditas dan
mortalitas COVID-19 antar negara mungkin berkaitan dengan kebijakan pemberian vaksin BCG
nasional.

Dengan membandingkan kebijakan vaksinasi BCG nasional terhadap mortalitas dan


morbiditas COVID-19 di berbagai negara, Miller et al menemukan bahwa terdapat pengaruh
kebijakan pemberian vaksin BCG terhadap dampak COVID-19. Pada penelitian tersebut, Miller
et al menemukan bahwa negara yang tidak memiliki kebijakan vaksinasi BCG universal (contoh:
Itali, Belanda, Amerika Serikat) mengalami dampak epidemiologi COVID-19 yang lebih berat
dibandingkan negara dengan kebijakan vaksinasi BCG universal yang telah berlangsung lama.
Vaksinasi BCG juga tampaknya mengurangi angka pelaporan kasus COVID-19 pada suatu
negara[16]. Namun, studi Miller et al memiliki sejumlah keterbatasan seperti desain non-acak
tanpa kelompok kontrol sehingga hubungan sebab-akibat antara pemberian vaksin BCG dan
perbedaan mortalitas serta morbiditas COVID-19 sulit ditentukan.

Sejumlah penelitian sedang berlangsung untuk menentukan efek vaksinasi BCG terhadap
luaran COVID-19, khususnya pada populasi risiko tinggi. Uji klinis di Australia, Belanda, dan
Amerika Serikat dirancang untuk menguji apakah vaksinasi BCG terhadap petugas kesehatan
mampu melindungi mereka dari COVID-19. Selain itu, penelitian lain juga sedang berlangsung
terkait efek vaksinasi BCG dalam mencegah infeksi COVID-19 berat pada lansia. Sebuah studi
di Jerman juga sedang berjalan untuk menguji apakah VPM1002 (vaksin rekombinan turunan
BCG) dapat mencegah COVID-19 pada petugas kesehatan maupun pasien lansia.

Pengembangan vaksin COVID-19 dilakukan untuk mengatasi wabah SARS-CoV-2


sehingga dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat COVID-19. Sejumlah kandidat
vaksin telah ditemukan dan penelitian untuk pengembangan vaksin sedang dilakukan dengan
menggunakan vaksin berbasis asam nukleat, protein subunit, virus hidup yang dilemahkan, virus
inaktif, dan vektor virus lainnya.

Penelitian lampau mengisyaratkan bahwa model hewan coba menunjukkan respons yang
bervariasi terhadap pemberian vaksin SARS-CoV-1 maupun MERS-CoV sehingga penggunaan
model hewan multipel dalam pengembangan vaksin SARS-CoV-2 sangat penting sebelum
vaksin COVID-19 dinyatakan aman untuk populasi manusia. Di sisi lain, bukti epidemiologi
mengisyaratkan bahwa kebijakan vaksinasi BCG universal mungkin berkaitan dengan variasi
dampak COVID-19 antar negara. Namun, bukti ini perlu didukung dengan hasil uji klinis acak
terkontrol agar hubungan sebab akibat antara penerapan vaksinasi BCG pada populasi berisiko
terhadap perbedaan mortalitas dan morbiditas COVID-19 dapat ditentukan

Saat ini, beberapa uji klinis sedang berjalan untuk menguji efektivitas dan keamanan
kandidat vaksin seperti mRNA-1273 (NCT04283461), INO-4800 (NCT04336410), Ad5-nCOV
(NCT04313127). Berbeda dengan tahap pengembangan vaksin tradisional seperti pada vaksin
dengue, RSV (respiratory syncytial virus), dan influenza, tahap pengembangan vaksin
coronavirus pada era pandemi melalui uji klinis berjalan beriringan atau bahkan mendahului
penelitian mengenai sifat biologis virus dan respons imun pejamu terhadap infeksi coronavirus.
Di satu sisi, kurangnya informasi dari uji coba mengenai sifat biologis dan respons imun
terhadap SARS-CoV-2 menimbulkan banyak pertanyaan terkait cara dan kemampuan setiap
kandidat vaksin dalam memberikan proteksi terhadap infeksi SARS-CoV-2. Hal ini dapat
berdampak pada penelitian lanjutan yang mungkin akan berkembang untuk menjawab vaksin
jenis mana yang kelak dianggap paling efektif untuk pencegahan infeksi SARS-CoV-2.

Berbagai uji klinis kandidat vaksin yang sedang berjalan tersebut dirancang dengan
mempertimbangkan berbagai hasil penelitian coronavirus patogenik jenis lain di masa lampau.
Melalui strategi ini, aspek efektivitas, durasi proteksi, dan keamanan kandidat vaksin coronavirus
diharapkan dapat dipantau dengan baik dan pertanyaan tentang mekanisme kerja kandidat vaksin
dalam memicu imunitas terhadap infeksi SARS-CoV-2 maupun coronavirus patogen lainnya di
masa mendatang dapat terjawab. Vaksinasi di masa depan diharapkan dapat membantu mencapai
herd immunity.

Bio Farma juga berencana melakukan kolaborasi dengan lembaga The Coalition for
Epidemic Preparedness Innovations (CEPI). Hingga saat ini, lembaga tersebut sedang meninjau
proposal yang telah dikirimkan Bio Farma ke CEPI.

Kandidat Doktor bidang Rekayasa Genetik dan peneliti vaksin Universitas Oxford,
Muhammad Hanafi, mengungkapkan saat ini, sudah ada 95 sampai 100 vaksin untuk COVID-19
yang dikembangkan perusahaan dan universitas di seluruh dunia. Namun, dari jumlah tersebut
hanya 33,4 persen atau sekitar lima atau enam vaksin yang sukses masuk clinical trial phase atau
uji coba terhadap manusia.

"Sebagian besar masih dikembangkan di lab bukan dalam pengujian manusia. Salah satu
yang sudah diujikan masuk ke clinical trial atau uji klinis dan sudah diujikan ke manusia adalah
vaksin yang dikembangkan di Oxford," kata Hanifi di program Ngobrol Asik by IDN Times,
Sabtu (9/5). Berikut IDN Times melaporkan langkah demi langkah perkembangan proyek
pembuatan vaksin COVID-19 di berbagai negara.

Pro-Kontra Vaksin, Sosialisasi dan Edukasi

Meski Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) RI, telah mengeluarkan izin
darurat penggunaan vaksin atau Emergency Use Authorization (UEA) vaksin Sinovac produksi
Sinovac Biotech Inc. Namun pro dan kontra penyuntikan vaksin di kalangan masyarakat juga
masih terjadi. Padahal, sosialisasi serta edukasi tentang program vaksinisasi yang dilakukan
pemerintah terus digaungkan oleh jajaran pengurus di kelurahan hingga pengurus Rt/Rw. Wakil
Sekretaris Lurah Kayuringin Jaya, Bekasi Selatan, Agus H Mamun mengatakan, sosilisasi dan
edukasi terus dilakukan dengan menggandeng Rt/Rw hingga DKM dan Karang Taruna guna
memberikan pemahaman akan vaksin Covid-19.

“Kami tetap melakukan sosialisasi, konsolidasi serta edukasi kepada masyarakat


berkaitan dengan vaksin ini, salah satunya kami mengumpulkan kawan-kawan di tingkat RW,
kemudian kami juga menggandeng DKM dan juga karang taruna bahkan kami juga turun
langsung untuk memberikan pemahaman terkait program vaksinisasi yang memang bertujuan
untuk mencegah penularan dari bahaya virus corona tersebut ,” kata Agus kepada RRi.co.id,

Vaksin Corona yang pertama sampai di Indonesia merupakan buatan Sinovac Biotech.
Perusahaan Sinovac BioTech adalah farmasi China yang mengembangkan vaksin COVID-19
mereka bernama CoronaVac. Vaksin Corona sudah sampai di Indonesia. Ada 1,2 juta vaksin
COVID-19 yang tiba di Bandara Soekarno-Hatta pada Minggu (6/12/2020). Usai sampai, vaksin
Corona di Indonesia langsung dibawa ke Kantor Pusat Bio Farma di Bandung, Jawa Barat.
Vaksin Corona yang pertama sampai di Indonesia merupakan buatan Sinovac Biotech.
Perusahaan Sinovac BioTech adalah farmasi China yang mengembangkan vaksin COVID-19
mereka bernama CoronaVac.Lantas, seberapa ampuhkah vaksin Corona Sinovac?

Uji klinis vaksin Corona Sinovac dilakukan di beberapa negara termasuk Indonesia. Kala
itu uji klinis vaksin COVID-19 ini sempat dihentikan sementara di Brasil karena adanya isu
terkait masalah keamanan.Namun, belakangan kejadian tersebut dipastikan tak berkaitan dengan
vaksin COVID-19. Hingga kini, uji klinis vaksin Corona Sinovac di Indonesia sudah sampai
pada penyampaian data interim report uji klinis fase III ke BPOM dan dinyatakan aman.

Beberapa waktu lalu, laporan uji klinis vaksin Corona Sinovac juga memicu respons
imun empat pekan usai suntik. Temuan Sinovac dimuat dalam makalah peer reviewed di jurnal
medis The Lancet Infectious Diseases berdasarkan hasil uji klinis fase I dan fase II vaksin
COVID-19 di China yang melibatkan lebih dari 700 peserta.
"Temuan kami menunjukkan bahwa CoronaVac mampu memicu respons antibodi yang
cepat dalam empat minggu setelah imunisasi dengan memberikan dua dosis vaksin pada interval
14 hari," kata Zhu Fengcai, salah satu penulis makalah tersebut.

Dari hasil tersebut, vaksin ini dirasa cocok untuk penggunaan darurat selama pandemi.
TemanDANA, mari kita sama-sama berdoa dan berharap kalau vaksin ini bisa mengakhiri
pandemi COVID-19 ini secepatnya, dan perekonomian kita akan bangkit kembali.

Pfizer dan BionTech mengklaim bahwa vaksin corona buatannya efektif pada 90 persen
orang. Lalu, mengapa 10 persen sisanya tidak berhasil? Pakar virus dari University of Leeds, Dr.
Stephen Griffin, mengatakan bahwa sulit untuk menjelaskan mengapa vaksin tidak berhasil pada
pasien tanpa mengetahui siapa mereka.

Menurut Griffin, vaksin akan bekerja pada orang yang berbeda secara berlainan juga.
Jadi, seseorang sering mendapatkan tingkat respons yang berbeda dalam populasi, dan sulit
untuk memahami dengan pasti mengapa beberapa orang merespons dan mengapa beberapa tidak
merespons. Diketahui tingkat efektivitas vaksin Pfizer dan BionTech sebesar 90 persen dihitung
tujuh hari setelah suntikan kedua. Namun, hasil tersebut kemungkinan besar akan berubah
seiring dengan pengumpulan data dalam jangka panjang. Untuk memastikan berapa lama
perlindungan vaksin bertahan, penelitian lanjutan akan diperlukan untuk mendeteksi tingkat
kedua jenis tanggapan kekebalan, antibodi dan sel T, serta risiko paparan berulang.

Itulah sedikit update perkembangan dan hal-hal yang perlu diketahui seputar vaksin
corona Pfizer dan BionTech. Sambil menunggu kandidat vaksin mana yang lolos uji klinis tahap
akhir, mari selalu patuhi protokol kesehatan sebagai pencegahan COVID-19.Dengan cara
memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak fisik dengan orang lain. Kalau sakit, di
rumah saja,

Farmasi raksasa milik Tiongkok, Sinopharm, mengumumkan bahwa vaksin COVID-19


mereka memiliki efektivitas 79,34 persen. Seperti dikutip dari laman berita CNN pada Rabu
(30/12/2020), hasil analisis sementara uji klinis tahap tiga vaksin Sinopharm aman digunakan.

Bahkan, anak perusahaan Sinopharm, Beijing Biological Products Insitute Co


mengatakan dua dosis suntikan vaksin COVID-19 Sinopharm mampu menghasilkan antibodi
tingkat tinggi. Sinopharm saat ini, sedang mencari persetujuan resmi dari regulator Tiongkok
untuk bisa mendistribusikan vaksin tersebut ke publik.

Inggris telah menyetujui penggunaan vaksin virus corona (COVID-19) buatan Oxford
University bersama AstraZeneca pada Rabu (30/12/2020). Dalam sebuah pernyataan, pemerintah
Inggris mengatakan Medicines and Healthcare Products Regulatory Agency (MHRA) telah
mengesahkan vaksin COVID-19 dari Oxford University-AstraZeneca setelah uji klinis yang
ketat dan analisis menyeluruh terhadap data oleh para ahli di MHRA dilakukan.

“Vaksin itu telah memenuhi standar keamanan, kualitas dan efektivitas yang ketat,” kata
pernyataan itu, sebagaimana dikutip dari CNN.PT Bio Farma resmi mengantongi sertifikat
perizinan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) untuk memproduksi obat dan vaksin virus
corona atau COVID-19. Dengan begitu, Bio Farma sudah bisa memulai produksi vaksin corona.

"Hari ini kita dapatkan yang ditunggu-tunggu sertifikasi CPOB dari BPOM dengan
demikian Bio Farma sudah sangat layak untuk produksi vaksin COVID-19 ditunggu
kehadirannya masyarakat Indonesia," kata Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir melalui
virtual,

Singapura memulai program vaksinasi COVID-19 nasional pada Rabu (30/12/2020) pagi.
Seorang staf perawat senior di National Center for Infectious Diseases (NCID) menjadi yang
pertama menerima suntikan vaksin buatan Pfizer-BioNTech.

Singapura membagi daftar orang yang menerima vaksinasi dalam berbagai kelompok,
sesuai dengan rekomendasi komite ahli. Di mana kelompok pertama yang menerima vaksin
adalah petugas lini depan dan petugas kesehatan serta mereka yang paling rentan terhadap
komplikasi parah jika tertular COVID-19.

Kelompok selanjutnya yang akan divaksin adalah penduduk Singapura yang berusia 70
ke atas. Mereka akan menerima suntikan mulai Februari tahun depan, diikuti oleh warga
Singapura lainnya dan penduduk jangka panjang yang memenuhi syarat secara medis.

Komite ahli juga menilai bahwa vaksin Pfizer-BioNTech sesuai untuk digunakan pada
orang berusia 16 tahun ke atas untuk pencegahan COVID-19, meskipun vaksin tersebut masih
tidak direkomendasikan untuk perempuan hamil dan individu yang mengalami gangguan
kekebalan hingga informasi lebih lanjut tersedia.

Sejak dikabarkan bahwa vaksin COVID-19 sudah tiba di Indonesia, muncul berbagai isu
yang membuat masyarakat ragu tentang keamanannya. Ditambah lagi, banyak orang belum
paham mengenai proses distribusinya ke seluruh Indonesia. Agar tidak termakan isu, simak fakta
vaksin COVID-19 berikut ini.

Memasuki tahun 2021, penyakit COVID-19 masih menjadi momok terbesar bagi
masyarakat dunia. Di samping penerapan protokol kesehatan, pemberian vaksin COVID-19
merupakan cara yang paling tepat untuk memutus mata rantai penularan virus ini.

Pemerintah Indonesia telah mendatangkan 3 juta vaksin COVID-19 yang diproduksi oleh
produsen Sinovac dari China dalam dua tahap. Sebanyak 1,2 juta dosis telah tiba pada 6
Desember 2020 lalu, kemudian 1,8 juta dosis sampai di Indonesia pada 31 Desember 2020.

Beberapaua fakta penting vaksin COVID-19 yang harus diketahui:

1. Vaksin COVID-19 aman dan halal digunakan

Tidak sedikit masyarakat yang meragukan keamanan dan kehalalan vaksin COVID-19.
Namun, perlu diketahui bahwa vaksin yang akan disebarkan di Indonesia harus dipastikan lulus
uji klinis dan evaluasi dari BPOM terlebih dahulu. Mengenai kandungannya, vaksin COVID-19
buatan Sinovac mengandung virus yang sudah dimatikan (inactivated virus), bukan virus yang
hidup maupun dilemahkan. Vaksin ini pun tidak mengandung boraks, formalin, merkuri, dan
pengawet.

Selain itu, isu bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan vaksin COVID-19
mengandung bahan yang tidak halal merupakan informasi yang telah dipastikan salah.
Keamanan vaksin juga tentunya akan terus dipantau, baik saat diberikan maupun setelahnya.

2. Vaksin COVID-19 yang akan diedarkan bukan untuk uji klinis

Beredar informasi di masyarakat yang menyebutkan bahwa vaksin COVID-19 yang akan
digunakan dalam program vaksinasi hanyalah untuk uji klinis. Faktanya, vaksin ini bukanlah
untuk uji klinis dan telah memperoleh izin penggunaan dari BPOM. Kemasan vaksin Sinovac
yang bernama Corovac untuk uji klinis menggunakan kemasan pre-filled syringe atau suntikan,
di mana vaksin dan jarum suntik ada dalam satu kemasan. Sedangkan vaksin yang akan
didistribusikan oleh pemerintah dikemas dalam bentuk vial single dose (botol kaca), tanpa
penandaan “only for clinical trial”.

3. Vaksin COVID-19 tidak mengandung sel vero

Pemerintah telah mengklarifikasi bahwa vaksin COVID-19 buatan Sinovac tidak


mengandung sel vero yang dikabarkan tidak halal. Sel vero hanya merupakan media kultur untuk
tumbuh kembang virus sebagai bahan baku vaksin.

Setelah mendapatkan jumlah virus yang cukup, virus akan dipisahkan dari media
pertumbuhan dan dimatikan untuk dijadikan vaksin. Jadi, sel vero tidak akan ikut terbawa dalam
proses akhir pembuatan vaksin.

4. Distribusi vaksin COVID-19 akan rampung selama 15 bulan

Distribusi vaksin COVID-19 ke seluruh Indonesia dikabarkan butuh waktu 3,5 tahun.
Fakta sebenarnya adalah waktu tersebut merupakan penyelesaian vaksinasi ke seluruh dunia,
bukan untuk Indonesia.

Pemerintah menyatakan bahwa dibutuhkan waktu selama 15 bulan untuk merampungkan


vaksinasi ke seluruh pelosok Indonesia, yaitu mulai dari Januari 2021 hingga Maret 2022.

5. Tahapan kelompok penerima vaksin COVID-19

Pasokan vaksin COVID-19 tidak cukup untuk diberikan ke seluruh masyarakat Indonesia
sekaligus dalam satu waktu. Jadi, pemberian vaksin COVID-19 oleh pemerintah akan dilakukan
secara bertahap. Periode pertama akan dimulai dari Januari hingga April 2021, dan periode
kedua pada April 2021 hingga Maret 2022.

Ada beberapa kelompok yang diprioritaskan untuk menerima vaksin terlebih dahulu.
Menurut WHO, petugas kesehatan, petugas publik, dan orang yang berisiko tinggi untuk tertular
atau sakit parah akibat COVID-19, misalnya karena memiliki penyakit penyerta, merupakan
kelompok prioritas.
Untuk mengendalikan pandemi dan mengurangi beban COVID-19 di seluruh dunia, vaksin
COVID-19 yang efektif dan aman sangat dibutuhkan. Respon terhadap vaksin biasanya
berkurang pada orang dewasa yang lebih tua karena penuaan kekebalan, perubahan terkait usia
dapat mempengaruhi banyak elemen seluler dan molekuler dari sistem kekebalan bawaan dan
adaptif. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian efektivitas vaksin COVID-19 pada populasi
tersebut.

Para peneliti di seluruh dunia telah berlomba untuk mengembangkan vaksin COVID-19 sejak
dimulainya pandemi, dengan lebih dari 64 kandidat vaksin dalam tahap evaluasi klinis dan 173
vaksin lainnya dalam evaluasi praklinis per 15 Januari 2021. Penelitian telah menunjukkan
bahwa respon antibodi penetral dapat diinduksi pada orang dewasa yang lebih tua dengan
penggunaan platform vaksin yang berbeda, termasuk diantaranya vaksin mRNA, vaksin dengan
vektor adenovirus dan vaksin dengan virus yang tidak aktif. Analisis efikasi sementara dari
empat uji coba fase 3 telah menunjukkan vaksin yang berbeda tersebut sangat efektif dalam
melawan COVID-19 pada orang dewasa berusia 16 tahun atau lebih, termasuk diantaranya dua
vaksin mRNA dengan efikasi 95%, dan dua vaksin vektor adenovirus dengan efikasi 70% dan
91%.

CoronaVac adalah vaksin dengan virus SARS-CoV-2 yang tidak aktif yang dikembangkan
oleh Sinovac Life Sciences (Beijing, Cina). Hasil studi praklinis menunjukkan bahwa CoronaVac
menginduksi respons antibodi penetral yang baik pada hewan dan memberikan perlindungan
parsial atau lengkap dari pneumonia interstisial yang parah pada kera setelah dicoba dengan
percobaan virus SARS-CoV-2 ke tubuh kera.

Penelitian yang dilakukan oleh Wu et al menemukan pada uji klinis tahap 1 dan 2 bahwa dua
dosis CoronaVac aman dan dapat ditoleransi dengan baik pada dosis 1,5 μg, 3 μg, dan 6 μg di
antara orang dewasa berusia 60 tahun ke atas. Insiden terjadinya reaksi merugikan dalam
kelompok dosis yang berbeda adalah serupa, menunjukkan bahwa tidak ada kekhawatiran terkait
dosis yang berhubungan dengan keamanan. Selain itu, reaksi efek samping yang paling sering
muncul adalah bersifat ringan dan sementara. Nyeri di tempat suntikan adalah gejala yang
paling banyak dilaporkan. Efek samping lain setelah nyeri adalah demam, fatigue, pusing,
eritema, dll. Hasilnya serupa dengan penelitian Zhang et al sebelumnya terhadap orang dewasa
berusia 18–59 tahun.
CoronaVac bersifat imunogenik pada orang dewasa berusia 60 tahun ke atas. Respon
antibodi penetral yang diamati pada orang dewasa yang lebih tua yang telah menerima dua dosis
vaksin 3 μg atau 6 μg adalah serupa, dan melebihi respon terhadap dosis 1,5 μg. Data fase 1
menunjukkan bahwa tingkat serokonversi dan GMT (geometric mean titre) antibodi penetral
adalah rendah sebelum vaksinasi kedua, yang mana data ini memberikan bukti untuk jadwal
imunisasi dua dosis. Dalam studi ini, tingkat serokonversi pada mereka yang menerima dosis 3
μg atau 6 μg lebih dari 95% setelah vaksinasi dua dosis.3,4

Di Indonesia sendiri, pemberian vaksin Sinovac pada lansia telah disetujui oleh BPOM
dimulai sejak 8 Februari 2021, berbeda dengan mereka yang berusia 18-59 tahun yang menerima
dua dosis dengan selang waktu 14 hari, mereka yang berusia 60 tahun ke atas akan menerima
dosis kedua setelah 28 hari.

Pemberian Vaksin covid 19 merupakan hal yang baru. Beberapa reaksi tubuh setelah
pemberian vaksin terus diamati antara lain kebanyakan gejala local ringan tetapi dapat juga
menjadi berat seperti alergi. Berbagai macam vaksin dikembangkan dan berbagai macam jenis
dan bahan pula dibuat. Indonesia sendiri memilih menggunakan vaksin Sinovac vaksin asal
tiongkok yang angka efikasinya cukup tinggi dengan harapan menarget pada orang-orang yang
rentan serta dapat terjadi gejala covid berat seperti apada tenaga Kesehatan yang langsung
berhadapan dengan virus ini maupun para lansia.

1. WHO. Men Ageing and Health. Department of Non-Communicable Disease Prevention


and Health Promotion. World Health Organisation. 2001. p. 11
2. Perrota F et al. COVID-19 and the elderly: insights into pathogenesis and clinical
decision making. Aging Clin Exp Res. 2020;16 :1–10. doi: 10.1007/s40520-020-01631-y 
3. Wu Z et al. Safety, tolerability, and immunogenicity of an inactivated SARS-CoV-2
vaccine (CoronaVac) in healthy adults aged 60 years and older: a randomised, double-
blind, placebo-controlled, phase 1/2 clinical trial. The Lancet.2021:1-9.
doi:https://doi.org/10.1016/S1473-3099(20)30987-7
4. Zhang Y et al. Safety, tolerability, and immunogenicity of an inactivated SARS-CoV-2
vaccine in healthy adults aged 18–59 years: a randomised, double-blind, placebo-
controlled, phase 1/2 clinical trial. The Lancet.2021;21:181-92.
doi:https://doi.org/10.1016/S1473-3099(20)30843-4

Anda mungkin juga menyukai