Anda di halaman 1dari 25

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Virus korona atau coronavirus adalah sekumpulan virus dari subfamili

Orthocoronavirinae dalam keluarga Coronaviridae dan ordo Nidovirales.Kelompok

virus ini yang dapat menyebabkan penyakit pada burung dan mamalia (termasuk

manusia).Pada manusia, koronavirus menyebabkan infeksi saluran pernapasan yang

umumnya ringan, seperti pilek, meskipun beberapa bentuk penyakit seperti SARS,

MERS, dan COVID-19 sifatnya lebih mematikan. Koronavirus dapat menyebabkan

pneumonia, baik pneumonia virus langsung atau pneumonia bakterial sekunder, dan

dapat menyebabkan bronkitis, baik bronkitis virus langsung atau bronkitis bakterial

sekunder. Koronavirus manusia yang ditemukan pada tahun 2003, SARS-CoV, yang

menyebabkan sindrom pernafasan akut berat (SARS), memiliki patogenesis yang unik

karena menyebabkan infeksi saluran pernapasan bagian atas dan bawah. (WIKIPEDIA)

Penyebaran virus corona di penghujung tahun 2019 yang kemudian diberi

nama Covid -19 sangat menjadi perhatian dan kekhawatiran dunia. Covid-19 pertama

kali ditemukan di kota Wuhan China yang kemudia bermigrasi dan mewabah ke seluruh

dunia. Akibat dari penyebarannya yang cukup masiv tersebut pada akhirnya pada

tanggal 11 Maret 2020 organisasi kesehatan dunia World Health Organizatin (WHO)

menetapkan penyebacaran Covid 19 sebagai pandemi.

Asal usul virus Corona penyebab COVID-19 masih menjadi misteri. Meskipun

sejumlah besar penelitian tentang virus corona baru atau SARS-CoV-2 telah dilakukan,

belum ada yang bisa memastikan asal-usulnya.Di awal kemunculannya, virus ini

dianggap bersumber di sebuah pasar di China. Beragam spekulasi pun muncul mengenai

asal usul virus Corona seperti klaim virus itu secara tidak sengaja bocor dari
laboratorium. Pada akhir Desember 2019, pejabat kesehatan mengeluarkan peringatan

pertama tentang klaster kasus pneumonia di Wuhan, China. Kasus-kasus itu akan

menjadi kasus COVID-19 pertama yang dilaporkan di dunia. Sejak diketahui pertama

kali di Wuhan tanggal 30 Desember 2020, COVID-19 menjadi sumber masalah

kesehatan di seluruh dunia hingga menjadi pandemik saat ini. Tiap negara menerapkan

strategi pencegahan dengan cara tersendiri. Di Indonesia, kasus ini pertama kali

dideteksi pada tanggal 2 Maret 2020 pada dua pasien di Jakarta, yang diikuti dengan

penyebaran virus COVID-19 yang begitu cepat dan meluas ke seluruh daerah di

Indonesia . Berkaitan dengan pencegahan ini, beberapa pemerintah daerah di Indonesia

menerapkan sistem lock down. Memasuki kondisi era baru, pemerintah menghimbau

masyarakat untuk menerapkan cara hidup yang baru untuk mencegah penularan lebih

luas sekaligus mencegah tidak terinfeksi, yaitu mengenakan masker, menjaga jarak,

menjaga kebersihan terutama tangan. Berbagai kontroversi muncul di masyarakat

Indonesia tentang metode uji COVID-19 dan kebijakan yang diterapkan pemerintah

terkait dengan hal ini. Saat angka kasus COVID-19 di Indonesia semakin meningkat,

masyarakat mendesak pemerintah untuk melakukan rapid test seperti di Korea Selatan.

lain pihak, Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Corona, Achmad Yurianto,

menyatakan bahwa rapid test di Indonesia yang dilaksanakan saat itu berbeda dari rapid

test di Korea Selatan . Kontroversi tentang deteksi Corona juga terlihat di masyarakat,

seperti saat pasien COVID-19 dijemput paksa petugas untuk dibawa ke pusat karantina

atau rumah sakit . Mereka menolak dengan alasan hasil rapid test awal mereka negatif

dan tidak bisa diterima di akal kalau mereka kemudian dinyatakan positif oleh tenaga

medis. Mereka berasumsi bahwa sekali hasil ujinya negatif maka hasil uji selanjutnya

seharusnya juga akan negatif. Ada kecurigaan di masyarakat bahwa hasilnya tidak

konsisten, di samping adanya ketakutan untuk dikarantina dan dikucilkan dari


lingkungan sosialnya. Selama bulan Mei – Juni 2020, berita di televisi dan media masa

diwarnai dengan beberapa kasus pasien COVID-19 dan jenazah dibawa paksa pulang

oleh keluarganya. Keluarga dan masyarakat yang terlibat di dalamnya beranggapan

bahwa keluarganya hanyalah orang tanpa gejala (OTG) atau si pasien bukanlah

penderita COVID-19 . Pendapat-pendapat tersebut di sisi lain disanggah oleh apparat

kesehatan terkait yang memberikan informasi bahwa pasien terkonfirmasi positif

COVID-19 pada uji swab pertama atau kedua. Pada 15 Juli 2020 Menteri Kesehatan

mengeluarkan peraturan Nomor HK.01.07/MENKES/413/2020 tentang Pedoman

Pencegahan dan Pengendalian Virus Corona (Covid-19), yang melarang penggunaan

rapid test untuk deteksi coronavirus. Di sisi lain, banyak ahli kesehatan menyetujui

dasar ilmiah di balik alasan tersebut tetapi menyayangkan pelaksanaan praktis di

lapangan yang menetapkan rapid test sebagai syarat perjalanan .

Penyakit COVID-19 pertama kali ditemukan atau terjadi di Wuhan, Cina pada

bulan desember 2019 lalu, kini telah menyebar di penjuru dunia. Setidaknya hingga saat

ini tanggal 14 April 2020, tercatat ada 1.844.863 kasus yang sudah terkonfirmasi

COVID-19 di seluruh negara, dimana 117.021 diantaranya telah meninggal dunia.

Jumlah kasus yang sudah terkonfirmasi di Indonesia mencapai 4.839 jiwa, 426

dinyatakan kesembuhan sedangkan 459 diantaranya meninggal dunia.

Menurut angka terbaru dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah kasus

Covid-19 di seluruh dunia telah melampaui 90 juta kasus, tepatnya mencapai 90.054.813

pada Rabu (13/1/2021).

Melansir Xinhua, secara global, pada pukul 9:47 pagi pada hari rabu, ada

90.054.813 kasus covid-19 yang dikonfirmasi, termasuk 1.945.610 kasus kematian, yang

dilaporkan ke WHO. Update terakhir: 13-01-2022. Menurut WHO dari 226 Negara
terdapat 312.173.462 kasus terkonfirmasi dan 5.501.000 di antaranya meninggal

dunia.

Di indonesia, update terakhir: pada tanggal 13-01-2022 sebanyak 4.268.890

kasus terkonfirmasi positif dan sebanyak 4.117.347 di nyatakan sembuh, sedangkan

144.155 meninggal dunia.(berandacovid19.go.id). Di Maluku sendiri terdapat 14,596

jumlah kasus terkonfirmasi positif 0.3% dari jumlah terkonfirmasi nasional 14,329

jumlah kasus sembuh 98.2% dari jumlah terkonfirmasi provinsi 265jumlah kasus

meninggal 1.8% dari jumlah terkonfirmasi provinsi.( berandacovid19.go.id). Melansir

data dari kemkes.go.id, covid19.go.id, BNPB, hingga Jumat (14/1/2022) jam 21:50:53,

jumlah orang yang terkonfirmasi positif virus corona di Kota Ambon telah mencapai

3.962. Selanjutnya yang meninggal akibat COVID-19 sebanyak 50 orang, dan 0 positif

aktif (dirawat), serta 3.912 orang dinyatakan sembuh (kemkes.go.id).

Salah satu kunci penting penanggulangan COVID-19 adalah


vaksinasi yang dapat memberi kekebalan pada masyarakat. Ini yang
menyebabkan negara-negara di dunia, badan internasional, para
pakar dan perusahan produsen berupaya amat keras agar vaksin dapat
segera tersedia. Di sisi lain, kita tahu bahwa ada dua aspek utama
dari sebuah vaksin, yaitu efektifitas proteksinya agar yang mendapat
vaksin memang bisa terlindung sehingga tidak sakit, dan keamanan
bagi orang yang di vaksin agar tidak ada hal membahayakan yang
terjadi. Status ke dua aspek ini harus jelas dulu secara menyeluruh
sebelum program vaksinasi dilaksanakan, di tambah lagi satu faktor
yang amat penting, yaitu akseptabilitas masyarakat.
Data yang didapat dari pengambilan data awal tanggal 4 November 2021 di

Rumah Sakit Bayankara Ambon, jumlah pasien yang melakukan pemeriksaan rapid tes

dari awal Januari- November adalah sebanyak 4.452 org sedangkan Hingga akhir

desember 2021 jumlah orang yang terkonfirmasi positif virus corona di Kota Ambon

telah mencapai 3.962. (http://www.covid19maluku.com)


Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian

dengan judul : “Gambaran Pemeriksaan Rapid test Antigen Di Rmah Sakit Bhayangkara

Pasca Vasinasi Covid 19”.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah Bagaimana “Gambaran Pemeriksaan Rapid test Antigen Di Rmah Sakit

Bhayangkara Pasca Vasinasi Covid 19”.

C. Tujuan Penilitian

1. Tujuan

Untuk mengetahui “Gambaran Pemeriksaan Rapid test Antigen Di Rmah Sakit

Bhayangkara Pasca Vasinasi Covid 19”

D. Manfaat Penelitan

1. Bagi Rumah Sakit

Dapat memberikan informasi melalui hasil penelitian kepada Rumah sakit tentang

bagaimana Gambaran Pemeriksaan Rapid test Antigen Di Rmah Sakit Bhayangkara

Pasca Vasinasi Covid 19.

2. Bagi Institusi

Sebagai referensi untuk menambah pengetahuan tentang hasil pemeriksaan hasil

uji Pemeriksaan Rapid test Antigen Di Rmah Sakit Bhayangkara Pasca Vasinasi

Covid 19.

3. Bagi Penulis

Sebagai pengalaman ilmiah yang berharga dalam rangka meningkatkan

wawasan dan pengetahuan tentang hasil Pemeriksaan Rapid test Antigen Di Rmah

Sakit Bhayangkara Pasca Vasinasi Covid 19.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Pemeriksaan Rapid Test

1. Definisi pemeriksaan Rapid test

Rapid Diagnostic Test (RDT) merupakan suatu metode diagnostik cepat

yang mendeteksi antigen (protein virus) SARS-CoV-2 pada sampel dari saluran

pernapasan pasien atau antibodi IgG/IgM pada sampel serum pasien (Ying dkk.

2020). Saat ini, pemeriksaan dengan metode deteksi antibodi lebih banyak

digunakan (Zhao dkk. 2020). RDT dapat digunakan mulai minggu kedua setelah

awal infeksi, karena kadar antibodi IgM memuncak pada minggu kedua dan

antibodi IgG memuncak pada minggu ketiga (CDC, 2020). Kinerja alat RDT

dipengaruhi beberapa faktor, seperti awitan gejala penyakit, konsentrasi virus pada

spesimen dan kualitas spesimen yang diambil. Sensitivitas RDT diperkirakan

berkisar dari 35,8% sampai 80% berdasarkan penggunaan RDT berbasis antigen

untuk penyakit saluran pernapasan bukan COVID-19 (Ruíz, 2015). Hingga saat ini,

RDT untuk COVID-19 masih terus dikembangkan dan akurasi diagnostiknya

bervariasi.(www.upnvj.ac.id– www.library.upnvj.ac.id – www.repository.upnvj.ac.id)

Rapid Diagnostic Test Antigen (RDT-Ag) dengan swab merupakan salah satu

cara untuk mendeteksi adanya materi genetik atau protein spesifik dari Virus SARS

CoV-2. Metode pemeriksaan ini digunakan untuk pelacakan kasus ataupun screening,

termasuk screening yang dilakukan pada saat akan melakukan aktivitas perjalanan

orang dalam negeri. Masyarakat dapat memperoleh layanan tes rapid antigen secara

mandiri Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes), berupa Rumah Sakit,

Laboratorium dan Fasyankes lainnya. Rapid test yang banyak beredar saat ini adalah

metode untuk mendeteksi antibodi, yaitu IgM dan IgG, yang diproduksi oleh tubuh
untuk melawan virus Corona. Antibodi ini akan dibentuk oleh tubuh bila ada paparan

virus Corona. Dengan kata lain, bila antibodi ini terdeteksi di dalam tubuh seseorang,

artinya tubuh orang tersebut pernah terpapar atau dimasuki oleh virus Corona.

Namun, perlu Anda ketahui, pembentukan antibodi ini memerlukan waktu, bahkan

bisa sampai beberapa minggu. Hal inilah yang menyebabkan keakuratan dari rapid

test antibodi ini sangat rendah. Bahkan dalam sebuah pengamatan, disimpulkan bahwa

keakuratan rapid test dalam mendeteksi antibodi terhadap SARS-CoV-2 hanya 18%.

Artinya, jika 100 orang mendapatkan hasil negatif dari rapid test, hanya 18 orang

yang benar-benar tidak terinfeksi virus ini. Sementara itu, 92 orang lainnya

sebenarnya telah terinfeksi, tapi tidak terdeteksi dengan alat ini. WHO secara tegas

tidak menyarankan rapid test antibodi sebagai sarana untuk mendiagnosis COVID-19.

Meski begitu, WHO tetap memperbolehkan penggunaan tes ini untuk penelitian atau

pemeriksaan epidemiologi. Selain rapid test untuk antibodi, baru-baru ini juga dibuat

rapid test untuk mendeteksi antigen atau protein yang membentuk badan virus

penyebab COVID-19 atau SARS-CoV-2. Metode rapid test ini memang lebih akurat

dari rapid test antibodi. Namun, tes ini hanya akurat untuk pasien dengan jumlah virus

yang tinggi di tubuhnya. Sementara untuk orang yang belum diketahui statusnya,

keakuratannya cukup rendah, yaitu hanya 30%. Jadi, penggunaan tes ini untuk

diagnosis awal sangat tidak disarankan. Selain rapid test, kini alat GeNose juga telah

digunakan sebagai alternatif skrining awal untuk COVID-19. Meski demikian, alat ini

masih belum jelas tingkat akurasinya. Tes yang dapat memastikan apakah seseorang

positif terinfeksi virus Corona sejauh ini hanyalah pemeriksaan polymerase chain

reaction (PCR). Pemeriksaan ini bisa mendeteksi langsung keberadaan virus Corona,

bukan melalui ada tidaknya antibodi terhadap virus ini. Pengamilan sampel untuk

metode ini bisa menggunakan teknik usap (swab), maupun dengan PCR kumur.
A. Konsep Virus Corona

COVID-19 adalah infeksi virus family coronaviridae, dengan nama spesies


SARS-CoV-2 (severe acute respiratory syndrome virus corona 2). Transmisi virus antar
manusia melalui droplet yang disebarkan baik secara langsung maupun tidak langsung
dari permukaan benda yang terkontaminasi.
a) Epidemiologi Virus Covid 19
Asal usul virus Corona penyebab COVID-19 masih menjadi misteri. Meskipun
sejumlah besar penelitian tentang virus corona baru atau SARS-CoV-2 telah dilakukan,
belum ada yang bisa memastikan asal-usulnya.Di awal kemunculannya, virus ini
dianggap bersumber di sebuah pasar di China. Beragam spekulasi pun muncul
mengenai asal usul virus Corona seperti klaim virus itu secara tidak sengaja bocor dari
laboratorium. Pada akhir Desember 2019, pejabat kesehatan mengeluarkan peringatan
pertama tentang klaster kasus pneumonia di Wuhan, China. Kasus-kasus itu akan
menjadi kasus COVID-19 pertama yang dilaporkan di dunia.Pada awal Januari 2020,
para peneliti telah mengidentifikasi virus corona Baru di balik kasus-kasus tersebut.
Nantinya, virus itu akan resmi diberi nama SARS-CoV-2.
Menurut FactCheck, kerabat terdekat dengan SARS-CoV-2 diketahui adalah
virus corona yang pertama kali diidentifikasi pada kelelawar tapal kuda di provinsi
Yunnan, Cina, pada 2013.Virus ini dikenal sebagai RaTG13, berbagi 96% genomnya
dengan SARS-CoV-2. Namun RaTG13 memiliki urutan genetik tertentu yang berarti
tidak mungkin melompat langsung dari kelelawar ke manusia.Virusnya pun cukup
berbeda sehingga para peneliti percaya bahwa SARS-CoV-2 bukan keturunannya.
Sebaliknya, diduga bahwa beberapa prekursor SARS-CoV-2 yang tidak diketahui
melompat ke inang perantara dan inang ini menularkan virus ke manusia.Sayangnya,
perantara ini belum dapat diidentifikasi. Sejumlah hewan seperti trenggiling, anjing,
bahkan ular telah diusulkan sebagai inang perantara yang mungkin, tetapi tidak ada
yang terbukti.
Menurut FactCheck, mungkin juga tidak ada inang perantara dan virus melompat
langsung dari kelelawar ke manusia. Tetapi untuk mendukung teori ini, para peneliti
perlu menemukan virus pada kelelawar yang lebih dekat hubungannya dengan SARS-
CoV-2.Sebagai bagian dari penyelidikan asal-usul SARS-CoV-2 untuk Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO), para peneliti menguji lebih dari 80.000 sampel dari satwa liar
dan hewan ternak termasuk kelelawar, sapi dan ayam tetapi tidak mendeteksi SARS-
CoV-2 di salah satu sampel.Beberapa ilmuwan mengatakan bahwa mengidentifikasi
sumber hewan untuk SARS-CoV-2 bisa memakan waktu bertahun-tahun.

b) Metode Pemeriksaan Virus Covid 19


Diagnosis COVID-19 didasarkan pada latar belakang pasien, hasil pemeriksaan

laboratorium termasuk keberadaan protein dan RNA genomik virus, patologi dan

radiografi . Diagnosis pada tahap awal infeksi meliputi pengujian sampel saluran

pernafasan secara PCR, uji serum untuk IgM dan IgG terhadap SARS-CoV-2, foto

thoraks, pemeriksaan darah lengkap untuk abnormalitas limfopenia dan neutrofilia, dan

uji fungsi hati . Ada dua tipe uji untuk COVID-19 berdasarkan Food and Drug

Administration (FDA), yaitu uji diagnostik dan uji antibodi. Uji diagnostic sendiri ada

dua tipe, yaitu uji molekuler secara reverse-real time-polymerase chain reaction

(reverse-RT-PCR atau sering disingkat sebagai RT-PCR saja) dan uji antigen. Uji

antibody mendeteksi keberadaan antibody yang melawan coronavirus ini . Masing-

masing metode berbeda dari segi pengambilan sampelnya, elemen yang dideteksi,

kecepatan dan kapasitas deteksi. Karena keterbatasan kapasitas uji di Indonesia maka

uji diagnosa untuk orang terbukti atau terduga COVID-19 dilakukan sesuai skala

prioritas. Berdasarkan arahan dari WHO, konfirmasi rutin kasus COVID-19 didasarkan

pada metode nucleic acid amplification tests (NAAT) yang mendeteksi urutan unik dari

RNA virus. Salah satu metode NAAT adalah RT-PCR yang sering disebut sebagai uji

molekuler. Uji serologis bukan metode yang direkomendasikan untuk deteksi kasus

tetapi sangat diperlukan untuk penelitian dan surveillance. Begitu pula uji antigen

untuk COVID-19 tidak direkomendasikan untuk diagnosis klinis. Selain ketiga tipe uji

tersebut, terdapat juga beberapa metode yang dikembangkan untuk diagnosis penyakit

COVID-19 ini.
Konfirmasi rutin kasus COVID-19 dilakukan dengan metoda nucleic acid

amplification tests (NAAT), seperti reverse-transcription polymerase chain reaction

(rRT-PCR atau RT-PCR) sesuai rekomendasi oleh WHO. Bila diperlukan, konfirmasi

dilanjutkan dengan sekuensing asam amino. Uji molekuler ini juga dikenal sebagai uji

diagnostik, dan uji viral. Sampel untuk uji RT-PCR diambil dari sampel saluran

pernapasan atas dan bawah nasofaringeal (sputum atau apusan / swab / aspirate) [38].

Beberapa kit komersial diambil dari saliva (air liur). Pelaksanaan metode ini,

seluruhnya harus dilakukan dalam suatu biosafety cabinet dengan fasilitas di

laboratorium level 2 (BSL-2).

Selain itu pelaksanaan uji memerlukan tenaga terlatih. RT-PCR mendeteksi

keberadaan RNA genom virus (SARS-CoV-2) dari lingkungan atau permukaan suatu

benda, atau dari suatu sampel klinis (seperti sputum). Uji didasarkan pada keberadaan

urutan spesifik dan unik dari RNA virus. Sebelum proses PCR dilakukan, RNA genom

virus diekstraksi terlebih dahulu. RNA virus kemudian diubah menjadi complementary

DNA (cDNA) karena pada reaksi PCR, hanya DNA yang dapat berfungsi sebagai

cetakan. Dalam campuran reaksi PCR, salah satu komponen penting dalam campuran

reaksi adalah probe, terdapat daerah tertentu pada genom virus diperbanyak sehingga

jumlah potongan DNA ini cukup banyak untuk dideteksi dengan mudah. Perbanyakan

hanya dapat terjadi bila seseorang terinfeksi oleh coronavirus target. Daerah pada RNA

virus yang umumnya menjadi target PCR adalah gen N, E, S dan RdRP . Hasil uji

molekuler sangat akurat. Metode PCR dari sampel swab saluran pernapasan atas akan

memberikan hasil terpercaya hanya bila sampel diambil pada tahap awal infeksi.

Kemudian seminggu setelah infeksi maka virus akan menghilang dari tenggorokan dan

berkembang biak dalam paru-paru. Uji ini akan bermanfaat bila sampel berasal dari

infeksi tahap awal, yaitu beberapa hari hingga 2 minggu setelah infeksi. Pada pasien
akut, keberadaan virus di saluran pernafasan atas ini bisa lebih lama. Pada pasien yang

terinfeksi lebih dari 2 minggu, diperlukan pengambilan sampel dari saluran napas yang

lebih dalam, dengan cara penyedotan dengan kateter (aspirasi) atau pengeluaran lewat

batuk). Pelaksanaan uji RT-PCR memerlukan waktu antara beberapa jam hingga 2 hari,

bahkan seminggu. Oleh karena itu, uji lebih bermanfaat untuk konfirmasi keberadaan

infeksi dibandingkan menunjukkan hilangnya virus. Uji ini juga memungkinkan

identifikasi dan isolasi orang terinfeksi dan dengan demikian dapat memutus mata

rantai penyebaran. Ada beberapa kelemahan metoda RT-PCR.

1. Walaupun metode ini efektif, tetapi kelemahannya adalah bila pada proses

pengambilan sampel swab virus tidak terambil maka uji akan negatif.

Menurut literatur, ada sekitar 30% kejadian false negative. Selain itu

penanganan dan pengiriman sampel yang tidak tepat juga dapat

menyebabkan hasil negatif.

2. Kelemahan lainnya adalah bila sampel diambil di awal atau di akhir fase

infeksi. Keberadaan virus selama proses infeksi COVID-19 terdeteksi

sekitar 4 hari setelah terjadinya infeksi dan akan menghilang di akhir fase

infeksi.

3. Hasil uji molekuler yang positif bukan indikasi bahwa terdapat partikel

virus yang infeksious.

4. Adanya perubahan komposisi atau urutan basa RNA virus karena mutasi

dapat menyebabkan hasil false negative.

c) Uji Antigen

Uji antigen Deteksi keberadaan virus juga dapat dilakukan dengan uji deteksi

antigen virus. Uji ini mendeteksi protein spesifik virus. Protein virus yang dapat

digunakan untuk mendeteksi SARS-CoV pada umumnya adalah protein nukleokapsid.


Nukleokapsid protein dapat dideteksi secara ELISA dalam spesimen aspirasi nasofaring

dari hari ke 6 sampai dengan 24 hari; dalam spesimen urin dari hari ke 11 ke 31, dan

dalam specimens fekal dari hari ke 8 ke 32 setelah sakit dimulai.

d) Uji Antibodi

Uji antibodi sebaiknya diambil dari sampel darah (keseluruhan darah, serum

atau plasma) orang terinfeksi setelah satu minggu sejak gejala menghilang. Uji ini

sering disebut sebagai Rapid Diagnostic Tests. Keberadaan virus tidak dapat dideteksi

dengan uji ini. Infeksi oleh virus, termasuk SARS-CoV-2, memicu respon immun tubuh

baik innate maupun adaptif. Antibodi terhadap virus ini dapat dideteksi dari darah

perifer. Dari sistem immun adaptif. dihasilkan antara lain antibodi IgM dan IgG yang

dapat mengenali antigen SARS-CoV-2 terutama IgG. Pembentukan antibodi ini

dihasilkan sekitar satu atau dua minggu setelah infeksi, yang akan melindungi tubuh

dan memberikan immunitas terhadap SARS-CoV-2 setelah orang sembuh dari sakitnya.

Diduga antibodi yang dibentuk tersebut dapat melindungi tubuh terhadap re-infeksi

oleh SARS-CoV-2. Berdasarkan penelitian dengan coronavirus lainnya (terutama

SARS-CoV-1), diduga antibodi bertahan dalam tubuh selama satu hingga dua tahun.

Antibodi IgM (Immunoglobulin M) dibentuk di awal infeksi (5-10 hari setelah infeksi)

sebagai respon cepat tubuh. Antibodi IgG (Immunoglobulin G) terbentuk beberapa hari

setelah IgM. IgG merupakan antibodi yang sangat spesifik melawan virus yang

menginfeksi dan umumnya dapat dideteksi dalam sampel darah dalam waktu 14 hari

setelah infeksi. Hasil uji positif untuk IgM dan IgG menunjukkan bahwa infeksi terjadi

dalam bulan pertama infeksi. Pada paparan berikutnya, maka IgG diduga segera

diproduksi dalam waktu 24 – 48 jam untuk mencegah infeksi. Berbagai kit uji

komersial yang ada di pasaran saat ini dapat membedakan IgM dan IgG.
Kepentingan pelaksanaan uji antibodi bagi individu terinfeksi adalah untuk

identifikasi jika seseorang pernah terpapar dan terinfeksi oleh SARS-CoV-2. Selain

itu dapat memberikan informasi fase infeksi (awal/saat sekarang vs tahap akhir/infeksi

masa lalu). Kepentingan untuk surveillance adalah dapat digunakan untuk mengetahui

dinamika penyebaran virus dalam komunitas dan mengetahui berapa banyak orang

dalam suatu populasi telah menjadi kebal. Informasi dari uji antibodi bermanfaat dari

segi epidemiologi sehingga sering disebut sebagai uji surveillance atau sero-surveys.

Informasi keberadaan dan kuantitas antibodi juga memberikan informasi apakah

seseorang berkualitas untuk mendonorkan darahnya yang dapat digunakan untuk

produksi plasma konvalescen untuk pasien COVID-19 yang sangat parah.

C. Konsep Vaksin

a. Definisi vaksin

Vaksinasi merupakan suatu pencegahan medis yang sudah tidak asing di

telinga masyarakat modern saat ini. Vaksinasi dianggap sebagai salah satu terobosan

mutakhir dalam dunia kesehatan karena bersifat prefentif dan kabarnya banyak

menyelamatkan nyawa manusia. Selain vaksin kita juga mengenal imunisasi,

perbedaan mendasar antar vaksin dan imunisasi adalah, imunisasi merupakan proses

dimana tubuh manusia menjadi kebal terhadap penyakit terntentu, dan vaksinasi

memicu meningkatnya system kekebalan tubuh terhadap penyakit. Imunisasi tidak

harus selalu melalui vaksin, seseorang yang sudah pernah tertular penyakit dan

berhasil sembuh, maka secara natural tubuhnya imun terhadap penyakit tersebut di

kemudian hari.

Seiring dengan meningkatnya ancaman akan berbagai penyakit membuat

berbagai Negara mempersiapkan dirinya dalam mencegah wabah penyakit tersebut

menyebar di wilayah mereka. Salah satu wabah yang terjadi di dunia saat ini adalah
covid-19. Wabah ini banyak sekali menghancur sendi-sendi kehidupan hampir di

seluruh dunia termasuk di Indonesia.

Pemerintah Indonesia dan juga negara negara di dunia tengah berupaya

mengembangkan dan menghadirkan Vaksin COVID-19 serta merencanakan

pelaksana imunisasi untuk warganya. Vaksin tidak hanya melindungi individu namun

juga memberikan perlindungan bagi orang orang yang tidak dapat diimunisasi

contohmya pada usia tertentu maupun orang dengan penyakit tertentu. Vaksin tidak

menimbulkan penyakit. Vaksin yang sudah dipakai di masyarakat sudah dijamin

keamanannya dan umumnya tidak menimbulkan reaksi simpang (efek samping) yang

berat.

Vaksinasi Covid-19 di Indonesia sudah berlangsung sejak Rabu (13/1/2021).

Vaksinasi Covid-19 dilakukan secara bertahap hingga akhirnya menyentuh 181 juta

penduduk Indonesia. Setelah menerima vaksin Covid-19 perlu diketahui apa saja

sejumlah reaksi dalam tubuh pasca vaksinasi. Presiden Joko Widodo (Jokowi)

menjadi orang pertama yang menerima vaksin Covid- 19 di Istana Merdeka.

Vaksinasi virus corona ini dilakukan setelah Badan Pengawas Obat dan Makanan

(BPOM) resmi mengeluarkan izin penggunaan darurat untuk vaksin virus corona dari

Sinovac.

Terkait pemberian vaksin Covid-19, banyak masyarakat di Tanah Air mungkin

masih bertanya-tanya mengenai efek samping yang mungkin timbul setelah

mendapatkan vaksin virus corona. Masyarakat khawatir vaksin virus corona bisa

menimbulkan efek samping serius Namun, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah

menyatakan bahwa vaksin Covid-19 tidak menimbulkan efek samping serius. Dalam

Surat Keputusan Direktur Jenderal (Dirjen) Pencegahan dan Pengendalian Penyakit

Kemenkes No. HK. 02.02/4/1/2021 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Vaksinasi


dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona virus Disease 2019 (Covid-19),

dijelaskan bahwa secara umum, vaksin Covid-19 tidak menimbulkan reaksi pada

tubuh, atau apabila terjadi, hanya menimbulkan reaksi ringan.

D. JENIS DAN MEKANISME PEMBERIAN VAKSIN.

Vaksinasi memicu kekebalan tubuh dengan menyebabkan sistem kekebalan


tubuh penerima bereaksi terhadap antigen yang terkandung dalam vaksin virus
corona. Reaksi lokal dan sistemik seperti nyeri pada tempat suntikan atau demam
dapat terjadi sebagai bagian dari respons imun. Komponen vaksin lainnya, misalnya
bahan pembantu, penstabil, dan pengawet juga dapat memicu reaksi. Vaksin yang
berkualitas adalah vaksin yang menimbulkan reaksi ringan seminimal mungkin
namun tetap memicu respons imun terbaik. Frekuensi terjadinya reaksi ringan
vaksinasi ditentukan oleh jenis vaksin.

Dalam Surat Keputusan yang ditetapkan Plt. Dirjen Peniegahan dan


Pengendalian Penyakit, Muhammad Budi Hidayat pada 2 Januari 2021 tersebut,
diterangkan bahwa reaksi yang mungkin terjadi setelah vaksinasi Covid-19 hampir
sama dengan vaksin yang lain. Beberapa gejala / reaksi yang timbul setelah disuntik
vaksin virus korona di antaranya, yakni: Reaksi lokal yang timbul pasien disuntik
vaksin virus korona antara lain nyeri, kemerahan, bengkak pada tempat suntikan.
Reaksi lokal lain yang berat, misalnya selulitis. Reaksi sistemik yang timbul pasia
disuntik vaksin virus iorona berupa: Demam, Nyeri otot seluruh tubuh (myalgia),
Nyeri sendi (atralgia), Badan lemah, Sakit kepala. Reaksi lain yang timbul pasia
disuntik vaksin virus iorona diantaranya: Reaksi alergi, misalnya urtikaria ( biduran),
oedem (pembengkakan), Reaksi anafilaksis, Syniope ( pingsan).
Oleh sebab itu, dalam alur pelayanan vaksinasi Covid-19, petugas diarahkan
untuk mempersilahkan pasien untuk menunggu 30 menit setelah pemberian vaksin
virus iorona. Hal ini dilakukan untuk melihat reaksi yang mungkin muncul setelah
penerima vaksin virus korona disuntikan
Selain reaksi vaksin, Kejadian Ikutan Pasca Vaksinasi atau biasa disebut KIPI
yang terkait dengan kesalahan prosedur juga dapat terjadi. Untuk itu, sistem
pelayanan vaksinasi yang terdiri dari petugas pelaksana yang kompeten (memiliki
pengetahuan cukup, terampil dalam melaksanakan vaksinasi dan memiliki sikap
profesional sebagai tenaga kesehatan), peralatan yang lengkap dan petunjuk teknis
yang jelas harus disiapkan dengan maksimal.
Kemenkes meminta kepada semua jajaran pemerintahan yang masuk dalam
sistem ini harus memahami petunjuk teknis yang diberikan. KIPI yang tidak terkait
dengan vaksin atau koinsiden harus diwaspadai. Untuk itu penapisan status kesehatan
sasaran yang akan divaksinasi harus dilakukan seoptimal mungkin.
Pasca disuntik vaksin virus corona, penerima vaksin harus tetap mematuhi

protokol kesehatan 3M yaitu menjaga jarak, mengenakan masker, serta mencuci

tangan dengan sabun dan air mengalir.

COVID-19 hingga kini belum menunjukkan tanda akan berakhir. Tiap harinya,
SARS- CoV-2 penyebab pandemi ini terus menyerang ribuan masyarakat global. Saat
ini, angka positif COVID-19 global mendekati 32 juta kasus, dan 976,311 (23/9)
harus kehilangan nyawa akibat penyakit ini. Di Indonesia sendiri, menurut data dari
Satuan Tugas Penanganan COVID-19 pada 23 September, kasus positif yang tercatat
adalah sebanyak 257.388 dan korban meninggal sebanyak 9.997 jiwa. Kabar baiknya
sebanyak 187.958 telah pulih dari COVID-19. Pertanyaannya jelas, bagaimana cara
dunia menghentikan SARS-CoV-2 yang terus menyerang secara bertubi-tubi? Banyak
ahli berpendapat hanya dengan vaksin penduduk Bumi dapat kembali dengan normal.
Lantas, bagaimana perkembangan vaksin COVID-19 saat ini ?

1. Vaksin Asam Nukleat (Vaksin DNA)

Uji klinis fase III vaksin corona buatan Sinovac di Indonesia masih
berlangsung hingga kini. Andaikan tahap ini berjalan mulus, hasilnya akan
diregistrasikan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Bila BPOM
memberikan lampu hijau, maka vaksin bisa diproduksi secara masal pada Januari
2021. Selain vaksin Sinovac, pemerintah juga bekerja sama dengan perusahaan vaksin
G42 UAE dari Uni Emirat Arab. “Tahun depan akan ada 300 juta dosis vaksin Covid-
19,” ujar Menteri BUMN Erick Thohir. Pada 16 September, Sinovac mendaftarkan uji
coba fase 1/2 dari vaksin untuk anak-anak. Kira-kira sebanyak 552 peserta ini akan
mendapat dua dosis vaksin eksperimental CoronaVac buatan Sinovac yang terdaftar di
AS. Uji coba gabungan fase satu dan dua ini diperkirakan akan dilakukan pada 28
September Hebei, China utara.
Bagaimana kabar vaksin Merah Putih buatan anak negeri? Menurut laman
Sekretariat Kabinet Republik Indonesia (9/9), Lembaga Eijkman sudah memulai
upaya pengembangan vaksin merah putih. Prosesnya sudah mencapai 50 persen.
Targetnya, akhir tahun ini uji pada hewan sudah bisa diselesaikan. Dengan begitu
awal tahun depan, sekitar bulan Januari, Lembaga Eijkman bisa menyerahkan bibit
vaksin tersebut kepada PT Biofarma. Selanjutnya, dilakukan formulasi produksi
dalam rangka uji klinis, baik uji klinis tahap I, II, dan III.
2. Vaksin Johnson & Johnson

Satu dekade lalu, para peneliti di Beth Israel Deaconess Medical Center di
Boston, AS, mengembangkan metode untuk membuat vaksin dari virus yang disebut
Adenovirus 26, atau disingkat Ad26. Kemudian, Johnson & Johnson mengembangkan
vaksin untuk Ebola dan penyakit lainnya dengan Ad26. Kini Ad26 juga digunakan
untuk membuat virus corona. Johnson & Johnson memulai uji coba fase I/II pada
bulan Juli dan meluncurkan uji klinis fase III dengan hingga 60.000 peserta pada
bulan September. Perusahaan raksasa ini menargetkan satu miliar dosis pada 2021.
3. Vaksin Moderna

Perusahaan bioteknologi asal AS, Moderna, juga turut andil dalam


pengembangan vaksin virus corona. Moderna menggandeng National Institutes of
Health (NIH) untuk membuat vaksin potensial. Setelah melakukan uji klinis II,
Moderna dan NIH melakukan uji klinis III pada 27 Juli lalu. Uji coba terakhir akan
melibatkan 30.000 orang sehat di sekitar 89 lokasi di Amerika Serikat.

4. Vaksin Oxford

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan vaksin buatan Oxford dan


AstraZeneca sebagai vaksin kandidat utama, dan paling maju dalam hal
pengembangnnya. Sayangnya, pengembangan vaksin COVID-19 sempat
ditangguhkan pada 8 September karena memicu sebuah penyakit pada relawan vaksin.
Namun, proses pengujian vaksin besutan Oxford sudah kembali dimulai.
Dalam percobaan uji klinis fase I/II, para peneliti menemukan vaksin tersebut
mampu meningkatkan antibodi relawan terhadap virus corona. Selanjutnya, vaksin
Oxford dan AstraZeneca memasuki tahap uji klinis fase II/III di Inggris, dan India,
serta uji klinis fase III di Brazil, Afrika Selatan dan Amerika Serikat.
5. Vaksin Pfizer

Perusahaan kesehatan asal AS, Pfizer telah memasuk uji klinis II, III, dan fase
gabungan. Pada Mei lalu, para ahli menemukan vaksin COVID-19 ini menghasilkan
antibodi yang mampu melawan SARS-CoV-2, dan sel kekebalan yang disebut sel T
yang dapat merespons virus.

Dalam mengembangkan vaksin ini, Pfizer bekerja sama dengan BioNTech dari
Jerman dan Fosun Pharma dari Tiongkok. Pada Juli lalu, uji klinis fase II/III
dilakukan pada 30.000 relawan di AS, Argentina, Brazil, dan Jerman. Hasil studi
sementara mengatakan relawan hanya mengalami efek samping ringan hingga sedang.
Pengembangan vaksin COVID-19 menjadi salah satu pendekatan yang
dipertimbangkan untuk mengatasi wabah SARS-CoV-2. Serupa dengan teknik
pengembangan vaksin MERS (Middle East Respiratory Syndrome) dan SARS,
sejumlah teknik pengembangan vaksin coronavirus menggunakan DNA, mRNA,
protein rekombinan, dan vektor adenovirus kini sedang banyak dipelajari. Penggunaan
teknik yang menargetkan protein S dan protein lain yang terkait (misalnya, protein N,
S1, S2, dan RBD) juga dapat dipertimbangkan sebab protein semacam ini juga
menjadi target dalam pengembangan vaksin MERS dan SARS. Sejak penyebaran
informasi tentang urutan genetik SARS-CoV-2 pada pertengahan Januari 2020,
berbagai institusi akademik dan perusahaan farmasi di seluruh dunia telah terlibat
dalam pengembangan vaksin penyakit COVID-19 dan beberapa kandidat vaksin telah
mencapai tahap evaluasi efikasi pada uji pada hewan coba serta uji klinis. Dalam
artikel ini akan dibahas tentang gambaran umum pengembangan vaksin COVID-19,
penelitian in vivo terkait vaksin COVID-19, dan potensi penggunaan vaksin lain
sebagai vaksin COVID-19.
B. KERANGKA KONSEP

Pemeriksaan rapid Re- aktif (+)


Pemeriksaan rapid
test Antigen test Antigen Pasca
Vaksinasi
Non Re-Aktif(-)
)

Keterangan :

= Diteliti

= Tidak diteliti
BAB III

METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif, yaitu penelitian yang

bertujuan untuk mendeskripsikan tentang suatu hasil penelitian dengan data

penelitian serta melakukan pemeriksaan langsung terhadap Pasien yang datang untuk

melakukan pemeriksaan Rapid test Antigen di rumah sakit Bhayankara Ambon.

Populasi dalam penelitian ini adalah semua Pasien yang datang untuk

melakukan pemeriksaan Rapid test Antigen di rumah sakit Bhayankara Ambon.

Sampel dalam penelitian ini adalah Pasien yang sudah melakukan vaksinasi yang

datang untuk melakukan pemeriksaan Rapid test Antigen di rumah sakit Bhayankara

Ambon.

B. Waktu dan lokasi penelitian

1. Waktu Penelitian

Waktu penelitian direncanakan pada bulan Januari- november 2021

2. Lokasi Penilitian

Lokasi penelitian dilakukan di Rumah Sakit Bhayankara Ambon.

C. Populasi dan sampel

1. Populasi

Populasi adalah kumpulan elemen-elemen atau objek yang memiliki informasi

yang di cari oleh peneliti dan akan digunakan dalam membuat kesimpulan (Amirullah

2015). Populasi dari penelitian ini adalah Pasien yang datang untuk melakukan

pemeriksaan Rapid test Antigen di rumah sakit Bhayankara Ambon pada Bulan

November sebanyak 371 orang.


Sampel adalah sebagian atau wakil dari dari populasi yang diteliti (Arikunto,

2002:112). Apabila jumlah responden kurang dari 100,sampel diambil semua

sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Sedangkan apabila jumlah

responden lebih dari 100, maka pengambilan sampel 10-15% atau 20-25% atau lebih

(Arikunto,2002:112).

1. Beberapa alas an pengambilan sampel adalah:

a. Kemampuan peneliti dilihat dari waktu,tenaga dari setiap subjek ,karena hal

ini menyangkut banyak sedikitnya data.

b. Lebih mudah dalam penyebaran angka teknik pengumpulan data karena

sudah ditentukan jumlahnya. Berpijak pada pendapat tersebut ,maka

pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah 10% dari populasi yang

ada, karena jumlah populasi melebihi 100 yaitu sekitar 371 orang. Berarti

377 x 10% =38 , jadi sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak

38 orang yang akan Melakukan Pemeriksaan Rapid Test Antigen Di Rumah

Sakit Bhayangkara Ambon Pasca Vaksinasi Covid 19.


D. Variabel dan Definisi Operasional Penelitian

1. Variabel penelitian pada peneliti ini adalah Pemeriksaan Rapid Test Antigen Di
Rumah Sakit Bhayangkara Ambon Pasca Vaksinasi Covid 19.
2. Definisi operasional

Tabel1. Definisi operasional

Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil ukur Skala


Operasional ukur
Pemeriksaan Pemeriksaan Pemeriksaan Rapid Test -Negative Nominal
Rapid Test laboratorium laboratorium Antigen (-) jika
antigen untuk deteksi hanya
Sistem Imun terbentuk
Pasca garis
Vasinasi control
Covid 2019 (C)
-Positif
jika
terbentuk
dua garis
(garis’T’
& ‘C’)

E. Pengumpulan data

1. Data primer

Data prmer yaitu data yang dikumpulkan secara langsung dari hasil uji laboratorium

yang akan didapat setelah pemeriksaan Rapid Test natigen Pasca Vaksinasi.

2. Data sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung. Data sekunder

dalam penelitian ini diperoleh dari data umum seperti buku,internet ,jurnal,artikel

dan sumber lainnya yang relevan dengan permasalahan penelitian.

F. Bahan /instrumen penelitian

1. Pengambilan sampel

a. Alat dan Bahan

 APD

 Formulir pengambilan spesimen, sesuai Lampiran 7 Pedoman Pencegahan


dan Pengendalian Coronavirus Disease (COVID-19) Kemenkes revisi 05.

 Swab dakron atau flocked swab, viscous, rayon.

 Tongue spatel.

 Plastik klip.

 Marker atau label.

 Parafilm.

b.Prosedur Pemeriksaan.

1. Gunakan APD sesuai standar.

2. Gunakan swab yang terbuat dari dakron/rayon steril dengan tangkai

plastic atau jenis flocked swab (tangkai lebih lentur).

3. Pastikan tidak ada obstruksi (hambatan pada lubang hidung).

4. Masukkan secara perlahan swab ke dalam hidung, pastikan posisi swab

pada septum bawah hidung, secara perlahan-lahan ke bagian nasofaring.

5. Swab kemudian dilakukan gerak memutar secara perlahan.

G. Pengelolaan dan Analisis Data

1. Pengelolaan Data

Setelah pemeriksaan laboratorium selesai dilaksanakan, maka hasilnya diolah

secara tekstular dan disajikan dalam bentuk tabel.

2. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan analisis deskriptif terhadap data-data yang

diperoleh pada pengumpulan data.

H. Penyajian Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian akan disajikan dalam dua bentuk antara

lain :

1. Tekstular yaitu penyajian data dengan menggunakan bahasa yang benar, ringkas
dan jelas.

2. Tabular yaitu penyajian data dalam bentuk table.

I. Etika Penelitian

Penelitian ini yang menjadi responden adalah manusia, maka peneliti harus

memahami hak dasar manusia. Masalah etik yang harus diperhatikan antara lain

adalah sebagai berikut :

1. Informed Concent

Informed Concent merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan responden

penelitian ini dan memberikan lembar persetujuan. Infromed consent diberikan

sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi

responden.

2. Anonymity (tanpa nama)

Jaminan kepada responden dengan tidak mencantumkan nama responden pada

lembar alat ukur, Pada instrument penelitian dan hasil penelitian, nama responden

hanya akan dicantumkan inisial saja untuk menjaga kerahasiaan responden.

3. Confidenuality

Penelitian ini menjamin kerahasiaan informasi yang telah diberikan oleh

responden hanya data-data tertentu yang merupakan hasil penelitian sebagai laporan.

Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaan oleh peneliti, hanya

pada kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset. Penelitian ini akan

menjamin kerahasiaan data yang diperoleh dari responden untuk tidak disebarluaskan.

Anda mungkin juga menyukai