Anda di halaman 1dari 16

judul

Covid -19
berbagai jenis vaksin dan efektivitasnya

ABSTRAK

Terhitung sejak tahun 2020, covid-19 telah memasuki Indonesia. Kasus positif Covid-19
di Indonesia pertama kali dideteksi tepatnya pada tanggal 2 Maret 2020, ketika dua orang
terkonfirmasi tertular dari seorang warga negara Jepang. Pada tanggal 9 April, pandemi sudah
menyebar ke 34 provinsi dengan DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah sebagai provinsi
paling terpapar SARS-CoV-2 di Indonesia.
Sampai tanggal 31 Desember 2021, Indonesia telah melaporkan 4.262.720 kasus positif
menempati peringkat pertama terbanyak di Asia Tenggara. Dalam hal angka kematian, Indonesia
menempati peringkat ketiga terbanyak di Asia dengan 144.094 kematian. Namun, angka
kematian diperkirakan jauh lebih tinggi dari data yang dilaporkan lantaran tidak terhitungnya
kasus kematian dengan gejala Covid-19 akut yang belum dikonfirmasi atau dites. Sementara itu,
diumumkan 4.114.334 orang telah sembuh, menyisakan 4.292 kasus yang sedang dirawat.
Pemerintah Indonesia telah menguji 42.486.162 orang dari total 269 juta penduduk, yang berarti
hanya sekitar 157.588 orang per satu juta penduduk.
Seluruh tipe vaksin yang digunakan dalam program vaksinasi saat ini, telah lolos
berbagai rangkaian uji klinis, sehingga dapat memerangi Covid-19. Jika tidak dapat
membuktikan kemampuan tersebut, tentu vaksin tersebut tak akan lolos uji dan tidak bisa
digunakan. Berbagai penelitian telah dilakukan para ahli untuk membuktikan efektivitas vaksin.
Bahkan menurut CDC, berdasarkan data uji klinis yang diketahui, vaksin dapat mencegah
penyakit berat yang ditimbulkan jika seseorang terinfeksi Covid-19. Dengan demikian, tentu
dapat sangat membantu menekan jumlah keterisian tempat tidur rumah sakit dan mengurangi
angka kematian akibat Covid-19. Namun pertanyaan seputar daya lindung vaksin menjadi hal
yang perlu dijawab. Munculnya berbagai merek vaksin membuat masyarakat tak berhenti
mencari tahu, vaksin yang paling mujarab dalam mengatasi penyebaran virus tersebut.
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Di masa lalu, vaksin dikembangkan melalui serangkaian langkah yang dapat berlangsung
selama bertahun-tahun. Pada setiap tahun di abad-18, hampir setengah juta orang di Eropa dan
begitu pula di beberapa negara di seluruh dunia meninggal karena cacar (smallpox). Hingga
akhirnya seorang dokter Inggris menemukan cara yang mengubah sejarah medis. yakni melalui
vaksinasi.
Saat ini, dengan mendesaknya kebutuhan akan suatu vaksin COVID-19, investasi
keuangan dan kolaborasi ilmiah yang belum pernah ada sebelumnya menimbulkan perubahan-
perubahan dalam pengembangan vaksin. Perubahan ini berarti bahwa beberapa langkah di dalam
proses penelitian dan pengembangan dilakukan secara paralel, sambil mempertahankan standar-
standar klinis dan keamanan yang ketat. Sebagai contoh, beberapa uji klinis mengevaluasi
beberapa vaksin secara bersamaan. Hai ini merupakan kemajuan yang cukup signifikan dalam
dunia medis, dimana untuk pembentukan vaksin terdapat tahpan-tahapan dan metode-metode
yang sebenarnya memakan waktu relatif lama. Dikala pandemic mewabah dalam tingkat dunia
setiap negara bersatu padu dalam penelitian untuk memulihkan kembali kondisi kesehatan dunia.
Saat ini, kesemua vaksin yang direkomendasikan oleh BPOM adalah vaksin yang telah
teruji memiliki keamanan dan efikasi yang baik untuk mencegah Covid-19. Semua jenis vaksin
yang direkomendasikan ini dinilai cukup baik untuk membentuk antibodi.

RUMUSAN MASALAH

 Apa itu covid 19 dan bagaimana penyebarannya?


 Bagaimana vaksin dapat ditemukan?
 Ada berapa banyak vaksin yang telah ditemukan?
 Seberapa besarkah keefektifan dari vaksin saat ini

TUJUAN

 Memahami tentang bahaya dari virus covid 19 serta mengetahui perkembangan virus
covid 19
 Memberikan pemahaman akan tingkat uji safety dan effectivity vaksin covi-19
 Menyadarkan pembaca untuk selalu berantisipasi dan menjaga kesehatan
 Mengenal mengenai vaksin covid 19 beserta jenis-jenisnya
BAB II PEMBAHASAN

MENGENAL COVID 19

Virus Corona atau severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2)


adalah virus yang menyerang sistem pernapasan. Penyakit akibat infeksi virus ini disebut
COVID-19. Virus Corona bisa menyebabkan gangguan ringan pada sistem pernapasan, infeksi
paru-paru yang berat, hingga kematian. Pada banyak kasus, virus ini hanya menyebabkan infeksi
pernapasan ringan, seperti flu. Namun, virus ini juga bisa menyebabkan infeksi pernapasan berat,
seperti infeksi paru-paru (pneumonia).
Selain virus SARS-CoV-2 atau virus Corona, virus yang termasuk dalam kelompok
Coronavirus adalah virus penyebab Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) dan virus
penyebab Middle-East Respiratory Syndrome (MERS). Meski disebabkan oleh virus dari
kelompok yang sama, yakni Coronavirus, COVID-19 memiliki beberapa perbedaan dengan
SARS dan MERS, antara lain dalam hal kecepatan penyebaran dan keparahan gejala. Virus
Corona dapat menginfeksi siapa saja, tetapi efeknya akan lebih berbahaya atau bahkan fatal bila
terjadi pada orang lanjut usia, ibu hamil, orang yang memiliki penyakit tertentu, perokok, atau
orang yang daya tahan tubuhnya lemah, misalnya pada penderita kanker. Karena mudah
menular, virus Corona juga berisiko tinggi menginfeksi para tenaga medis yang merawat pasien
COVID-19. Oleh sebab itu, para tenaga medis dan orang-orang yang sering kontak dengan
pasien COVID-19 perlu menggunakan alat pelindung diri (APD).

AWAL MULA COVID 19 DAN PENYEBARANNYA

Sebelum kita membahas vaksinasi covid 19, perlu kita ketahui darimana virus tersebut
berasal. Hingga saat ini belum ada yang dapat mengatakan secara pasti darimana virus tersebut.
Mengingat dalam setiap penelitian membutuhkan waktu dan kesabaran. . Meskipun sejumlah
besar penelitian tentang virus corona baru atau SARS-CoV-2 telah dilakukan, belum ada yang
bisa memastikan asal-usulnya.
Namun dari beberapa peneliti dan negara-negara yang telah mencoba mencari tahu dari
mana virus covid ini berasal, muncullah beberapa pendapat berikut dengan penyebarannya.

1. Pertama kali ditemukan di Wuhan, China

Pada akhir Desember 2019, pejabat kesehatan mengeluarkan peringatan pertama tentang
klaster kasus pneumonia di Wuhan, China. Kasus-kasus itu akan menjadi kasus COVID-19
pertama yang dilaporkan di dunia. Pada awal Januari 2020, para peneliti telah mengidentifikasi
virus corona Baru di balik kasus-kasus tersebut. Nantinya, virus itu akan resmi diberi nama
SARS-CoV-2.
2. Disebut bersumber dari kelelawar

Menurut FactCheck, kerabat terdekat dengan SARS-CoV-2 diketahui adalah virus corona
yang pertama kali diidentifikasi pada kelelawar tapal kuda di provinsi Yunnan, Cina, pada 2013.
Virus ini dikenal sebagai RaTG13, berbagi 96% genomnya dengan SARS-CoV-2. Namun,
RaTG13 memiliki urutan genetik tertentu yang berarti tidak mungkin melompat langsung dari
kelelawar ke manusia. Virusnya pun cukup berbeda sehingga para peneliti percaya bahwa
SARS-CoV-2 bukan keturunannya. Sebaliknya, diduga bahwa beberapa prekursor SARS-CoV-2
yang tidak diketahui melompat ke inang perantara dan inang ini menularkan virus ke manusia.
Sayangnya, perantara ini belum dapat diidentifikasi.
Sejumlah hewan seperti trenggiling, anjing, bahkan ular telah diusulkan sebagai inang
perantara yang mungkin, tetapi tidak ada yang terbukti. Menurut FactCheck, mungkin juga tidak
ada inang perantara dan virus melompat langsung dari kelelawar ke manusia. Tetapi untuk
mendukung teori ini, para peneliti perlu menemukan virus pada kelelawar yang lebih dekat
hubungannya dengan SARS-CoV-2. Beberapa ilmuwan mengatakan bahwa mengidentifikasi
sumber hewan untuk SARS-CoV-2 bisa memakan waktu bertahun-tahun.

3. Pasar di Wuhan diduga jadi tempat penyebaran

Banyak kasus pertama COVID-19 terkait dengan Pasar Makanan Laut Huanan di Wuhan.
Para peneliti awalnya menduga bahwa pasar ini adalah tempat virus berpindah dari hewan ke
manusia. Tetapi ketika para peneliti menguji produk hewani yang dijual di pasar, tidak ada yang
dinyatakan positif SARS-CoV-2. Hasil investigasi WHO yang dirilis pada bulan Maret
menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang kuat antara pasar Huanan dan asal-usul virus
yang dapat dibuat.
Tetapi penelitian lain menunjukkan kemungkinan virus itu masih berasal dari pasar.
Sebuah studi yang diterbitkan pada bulan Juni di jurnal Scientific Reports mensurvei pasar di
Wuhan yang menjual hewan liar antara 2017 dan 2019, dan menemukan bahwa ada lebih dari
47.000 hewan dari 38 spesies yang dijual di pasar selama waktu ini. Dari jumlah tersebut, 33
spesies diketahui membawa penyakit yang juga dapat menginfeksi manusia. Secara khusus,
penelitian ini menemukan bahwa cerpelai, musang sawit, dan anjing rakun dijual di pasar, dan
hewan-hewan ini diketahui mengandung virus corona.

4. Lab khusus untuk meneliti virus Corona

Tak lama setelah pandemi COVID-19 dimulai, banyak orang mencatat bahwa Wuhan
juga merupakan rumah dari laboratorium virologi terkemuka, yang dikenal sebagai Institut
Virologi Wuhan. Di sini, para peneliti mempelajari coronavirus, keluarga virus yang juga
termasuk virus penyebab penyakit akut parah sindrom pernapasan (SARS) dan sindrom
pernapasan Timur Tengah (MERS). Laboratorium itu adalah laboratorium "keamanan hayati
level 4" pertama di China, yang berarti memenuhi kriteria untuk menangani patogen paling
berbahaya di dunia.
Satu kelompok di laboratorium, yang dipimpin oleh ahli virologi Shi Zhengli, berfokus
pada virus corona dan menemukan kemungkinan asal mula wabah SARS pertama yang terjadi
pada tahun 2003. Kelompok tersebut juga mengidentifikasi virus RaTG13. Beberapa orang
bertanya-tanya apakah seorang peneliti di lab mungkin secara tidak sengaja terinfeksi virus
corona yang sedang dipelajari tim. Namun, tidak ada bukti kuat untuk mendukung teori ini.
5. Penyebaran alami vs kebocoran laboratorium

Laporan WHO pada Maret 2021 menyimpulkan bahwa penularan dari satwa liar melalui
inang perantara adalah "jalur yang sangat mungkin" untuk transmisi asli SARS-CoV-2 ke
manusia. Teori ini pun disetujui banyak ahli. Dikutip dari Times, Kistian Andersen, seorang
profesor imunologi dan mikrobiologi di The Scripps Research Institute di La Jolla, California,
mengatakan berdasarkan prioritas, data, dan bukti lainnya, teori kebocoran laboratorium tetap
merupakan hipotesis spekulatif, berdasarkan dugaan.

6. Teori kebocoran laboratorium

Di sisi lain, para ahli mengatakan teori kebocoran laboratorium masih merupakan
kemungkinan yang perlu diselidiki. Pada bulan Mei, lebih dari selusin peneliti menerbitkan surat
di Jurnal Science yang menyatakan bahwa teori kebocoran laboratorium dan teori spillover
keduanya tetap perlu dipelajari lebih lanjut.

https://www.bbc.com/indonesia/dunia-57590872
https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-5657975/7-fakta-pencarian-asal-usul-virus-corona-
yang-selalu-bikin-penasaran/2

PENEMUAN VAKSINASI

Di masa lalu, vaksin dikembangkan melalui serangkaian langkah yang dapat berlangsung
selama bertahun-tahun. Saat ini, dengan mendesaknya kebutuhan akan suatu vaksin COVID-19,
investasi keuangan dan kolaborasi ilmiah yang belum pernah ada sebelumnya menimbulkan
perubahan-perubahan dalam pengembangan vaksin. Perubahan ini berarti bahwa beberapa
langkah di dalam proses penelitian dan pengembangan dilakukan secara paralel, sambil
mempertahankan standar-standar klinis dan keamanan yang ketat.
Pada setiap tahun di abad-18, hampir setengah juta orang di Eropa dan begitu pula di
beberapa negara di seluruh dunia meninggal karena cacar (smallpox). Hingga akhirnya seorang
dokter Inggris menemukan cara yang mengubah sejarah medis. yakni melalui vaksinasi.
Dikutip dari buku Science The Devinitive Visual Guide, Adam Hart-Davis, seorang peneliti dan
penulis menjelaskan sejarah ditemukannya vaksin cacar.
Pada 1773, Edward Jenner mendirikan praktik medis di desa Berkeley di Gloucestershire Inggris.
Jenner telah dibimbing John Hunter, seorang ahli bedah yang terkenal karena eksperimen-
eksperimennya yang inovatif. Dan dokter desa yang muda itu begitu setia pada moto Hunter,
"Jangan berpikir, coba."
Jenner begitu bersemangat dengan profesinya dan ia pun ikut memikirkan pengobatan cacar.
Penyakit ini sebenarnya sudah dikendalikan secara tradisional dengan inokulasi, menggoreskan
bahan yang diambil dari koreng cacar yang lebih ringan ke dalam kulit untuk meningkatkan
kekebalan.
"Cara ini sudah dipraktikkan secara luas di Asia sejak zaman dahulu, dan pada awal 1700-an
cara itu diadopsi elite Eropa," tulis Hart-Davis.
Jelas cara perlindungan dari cacar seperti ini berisiko infeksi. Karenanya, pengobatan tersebut
membutuhkan alternatif yang lebih aman.

Vaksinasi Ditemukan

Jenner sebagai ilmuwan ikut mencari solusinya dengan mencatat sebuah pola, pemerah
susu yang mengunjungi praktik medisnya karena terjangkit cacar sapi (cowpox) dari sapi-sapi
mereka, penyakit yang jauh lebih jinak, tapi tidak terjangkit cacar (smallpox).
Jadi, pada tahun 1796, ketika seorang gadis pemerah susu yang menderita cacar sapi
memeriksakan diri ke Jenner, dia melihat kesempatannya untuk menguji potensi perlindungan
dari penyakit tersebut terhadap cacar.
Pada 14 Mei 1796, Jenner memindahkan cairan lepuh dari pemerah susu yang terkena cowpox
ke kedua lengan James Phipps, putra tukang kebunnya yang berusia delapan tahun. Ini yang
menjadi vaksinasi pertama di dunia. Selanjutnya, Jenner mencari tahu apakah vaksinasi itu
berhasil dan pada 1 Juli dia melakukan hal yang tidak terpikirkan. Jenner dengan sengaja
mencoba menginfeksi Phipps dengan cacar (smallpox).
"Yang membuat Jenner lega, bocah itu tidak hanya selamat, tetapi tes lebih lanjut terus
membuktikan bahwa dia tidak terpengaruh oleh cacar selama sisa hidupnya yang panjang," ujar
Hart-Davis.
Pada tahun 1840, dengan uji coba awal Jenner tersebut akhirnya membuat pemerintah Inggris
mengganti inokulasi dengan vaksinasi yang baru. Pemerintah dan ratu kagum dengan Jenner.
Vaksinasi cacar tersebut selanjutnya menyelamatkan miliaran nyawa dan pada akhirnya memicu
inisiatif global yang akan menjadi program pertama dan satu-satunya untuk memberantas
penyakit menular.

https://www.liputan6.com/health/read/4426810/sejarah-penemuan-vaksin-dan-vaksinasi-
pertama-di-dunia
https://www.who.int/indonesia/news/novel-coronavirus/qa/qa-vaksin-penelitian-dan-
pengembangan

EFEKTIVITAS DAN UJI KLINIS VAKSIN COVID 19

Pertanyaan seputar daya lindung vaksin menjadi hal yang perlu dijawab. Agar
masyarakat seperti Rian tidak kebingungan. Munculnya berbagai merek vaksin membuat
masyarakat tak berhenti mencari tahu, vaksin yang paling manjur. Kepala Lembaga Biologi
Molekuler (LBM) Eijkman, Prof. Amin Soebandrio menjelaskan, saat ini memang ada beberapa
merek vaksin yang digunakan di Indonesia. Setiap produsen vaksin mengklaim buatannya paling
manjur menangkal Covid. Masyarakat tak perlu bingung. Cukup berpegang pada pedoman
Badan Kesehatan dunia alias WHO.
"Pedoman WHO selama vaksin di atas 50 persen efikasinya masih dianggap cukup efektif untuk
mencegah dan membuat orang kalau sakit tidak berat dan tidak menularkan ke orang lain,"
katanya kepada Merdeka.com, pekan lalu.

Perbedaan Efikasi dan Efektivitas

Angka efikasi maupun efektivitas setiap vaksin harus diterjemahkan dan dipahami
dengan baik agar tak salah faham. Angka efikasi diperoleh dari uji klinik. Dalam uji klinik,
biasanya subjek yang diuji dibagi menjadi dua kelompok. Ada kelompok yang mendapat vaksin
dan kelompok yang tidak mendapat vaksin. Hasil yang didapat dari dua kelompok itu kemudian
dibandingkan. Sementara efektivitas vaksin merupakan kinerja vaksin dalam situasi riil. Karena
itu, angka efikasi dan efektivitas tidak akan sama.
Amin Soebandrio memberi penjelasan yang mudah dipahami. Misalnya, jika efikasi
disebut 65 persen. Tidak berarti kalau ada 100 orang disuntik, yang terlindung hanya 65 orang.
Yang dimaksud 65 persen itu artinya orang yang divaksin menurun risikonya sebesar 65 persen.
Sederhananya, orang yang tidak divaksin risikonya 3 kali lipat dibandingkan orang yang
divaksin.

Jangka Waktu Perlindungan Vaksin

Terkait jangka waktu daya lindung vaksin khususnya bagi penerima vaksin di Indonesia,
belum bisa dijelaskan pasti. Karena data yang menjadi basis perhitungan masih sangat minim.
Rata-rata, jangka waktu sejak vaksin disuntikkan hingga saat ini baru mencapai enam bulan.
Sementara untuk melihat daya lindung vaksin, diperlukan waktu pemantauan yang lebih lama.
Dilihat dari sisi keilmuan, daya lindung vaksin pasti akan menurun. Namun, belum diketahui
jangka waktu daya lindung vaksin setelah disuntikkan. Sekali lagi, karena data pemantauan yang
dimiliki saat ini masih sangat singkat.
Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Prof Zubairi Djoerban memperkuat
penjelasan Amin. Saat ini belum diketahui jangka waktu daya lindung vaksin bagi penerima.
Belum bisa disimpulkan daya lindung vaksin hanya bertahan enam bulan.
"Karena kita belum cukup lama, tapi mestinya vaksin sudah mulai bulan Desember negara-
negara lain sehingga mungkin akhir tahun ini kita sudah dapat bayangan," tegas dia saat
dihubungi terpisah.
Informasi terkait daya lindung vaksin menimbulkan beragam pertanyaan tentang dampak
yang bakal terjadi terhadap penerima ketika daya lindung vaksin sudah mencapai batasnya. Alias
sudah habis. Menurut pakar Virologi dan Molekuler Biologi Universitas Udayana Prof I Gusti
Ngurah Mahardika, dalam tubuh manusia terdapat sel memori. Sel ini akan banyak berperan
menghadapi penyakit termasuk Covid-19.
Dia mencontohkan vaksin cacar yang diberikan saat anak-anak. Antibodinya tidak akan
bertahan seumur hidup. Tetapi sampai sekarang kebanyakan masih kebal terhadap cacar. Karena
dalam tubuh ada sel memori. Sel memori biasanya membuat zat kebal jauh lebih cepat dan lebih
kuat dibandingkan virus. Namun ada orang yang membutuhkan dukungan antibodi aktif berupa
suntikan dosis ketiga atau booster. Yakni para tenaga kesehatan. Tuntutan pelayanan dan lokasi
kerja membuat mereka harus terus memiliki antibodi yang tinggi. Sementara untuk masyarakat
umum, belum perlu. Ketika seseorang terserang virus, maka akan terbentuk dua jenis sel. Yakni
sel antibodi dan sel memori. Setelah virus berhasil dikalahkan, sel antibodi otomatis akan
menurun. Lantaran tak ada lagi ‘musuh’ yang harus dihadapi. Sel memori menyimpan informasi
terkait virus yang pernah masuk dan dihadapi. Sehingga lebih cepat reaksi dan responsnya ketika
virus masuk dalam tubuh.

https://www.merdeka.com/khas/membedah-efikasi-dan-efektivitas-vaksin-covid-19.html
Keamanan Vaksin dan Efektivitasnya

Vaksin dinyatakan aman jika tidak ada efek samping, atau efek sampingnya ringan; tidak
ada kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI), atau KIPI yang ringan seperti demam dan nyeri.
Namun, sebenarnya tidak ada zat yang sama sekali aman. Bahkan air dan oksigen saja bisa
menimbulkan bahaya pada keadaan tertentu. Keamanan vaksin dapat dilihat pada laporan uji
klinik fase 1 dan 2. Tanpa bukti hasil uji klinis fase 1 dan 2 yang baik, maka uji klinis fase 3
tidak dapat dilaksanakan. Artinya, jika sebuah vaksin sedang atau akan menjalani uji klinis fase
3, seperti vaksin Sinovac di Bandung yang melibatkan lebih dari 1.600 relawan, dapat diduga
bahwa vaksin tersebut terbukti aman. Dalam uji ini, menurut anggota tim uji klinis vaksin Covid-
19 Unpad ini, akan terjawab berapa banyak orang yang mendapat vaksin akan terkena penyakit
Covid-19 dibandingkan dengan orang yang mendapat plasebo (vaksin kosong). Jika mereka yang
mendapat vaksin Covid-19 jauh lebih sedikit mengalami sakit dibandingkan dengan mereka yang
mendapat vaksin kosong dan secara statistik perbedaannya signifikan, maka vaksin tersebut
efektif dalam situasi penelitian. Efektivitas dalam masyarakat umum masih harus dibuktikan
lebih lanjut.
Jika sebagian besar populasi disuntik vaksin, berapa lama vaksin tersebut akan
memberikan perlindungan kepada semua populasi? Untuk menjawabnya, diperlukan pemahaman
akan sejarah vaksin sepanjang masa.

Frekuensi Vaksinasi

Pengajar pada Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat Divisi Epidemiologi dan


Biostatistika FK Unpad ini menjelaskan, vaksin yang sampai saat ini paling efektif dalam sejarah
adalah vaksin untuk mencegah penyakit cacar (smallpox). Ini vaksin paling awal yang
merupakan cikal bakal teori vaksinasi.
Vaksinasi yang berdasarkan pada metode vaksin ciptaan Edward Jenner pada 1798 ini telah
berhasil menumpas virus cacar dari seluruh penduduk dunia pada 1977. Sejak itu vaksinasi cacar
tidak pernah lagi diberikan kepada penduduk. Vaksin lain yang hampir berhasil menumpas
penyakit adalah vaksin polio. Berbeda dengan vaksin cacar yang hanya diberikan sekali seumur
hidup, vaksin polio harus diberikan berulang-ulang agar tercapai kadar antibodi yang memadai.
Vaksin terhadap diferi (DPT atau DT) adalah contoh vaksin lain yang dianggap efektif. Namun,
untuk mempertahankan efek maksimal dari vaksin ini, vaksinasi harus diulang setiap 10 tahun
setelah pemberian pada masa bayi dan kanak-kanak.
Vaksin lain yang perlu dipelajari adalah vaksin influenza. Flu di negara empat musim sering
menyebabkan kematian, atau minimal perawatan di rumah sakit. Karena itu, vaksinasi terhadap
flu sangat diperlukan, terutama untuk orang-orang yang mempunyai faktor risiko yang tinggi,
misalnya lansia atau orang dengan gangguan paru. Karena virus-virus penyebab influenza mudah
bermutasi dan kemudian tidak dikenali oleh sistem pertahanan tubuh, maka vaksin flu harus
diulang setiap tahun.

Efikasi

Vaksin terbaik diukur dari sudut keamanan, efek samping, pembentukan antibodi dan
efikasinya. Efikasi adalah tingkat daya lindung vaksin pada kondisi uji klinis. Kondisi uji klinis
sifatnya optimal dan terkendali, baik dari penyiapan vaksinnya, maupun dari faktor orang yang
mendapat vaksinnya, yaitu orang yang sehat dan memenuhi berbagai kriteria yang ditentukan
peneliti. Efikasi didapat dari uji klinis fase 3, dengan menghitung risiko terjadinya penyakit pada
kelompok orang yang mendapat vaksin dan yang tidak mendapat vaksin. Jika dari 100 orang
yang mendapat vaksin terdapat 5 orang yang terbukti (terkonfirmasi) sakit dan pada 200 orang
yang tidak divaksin terdapat 40 orang yang terbukti (terkonfirmasi) sakit, maka efikasi dapat
dihitung: ((40/200)-(5/100))/(40/200)= 0,8 atau 80%. Ini berarti kelompok yang mendapat vaksin
mengalami sakit (terkonfirmasi) 80% lebih sedikit daripada yang tidak mendapat vaksin.

JENIS-JENIS VAKSIN YANG TELAH DIGUNAKAN

Seluruh tipe vaksin yang digunakan dalam program vaksinasi saat ini, telah lolos
berbagai rangkaian uji klinis, sehingga dapat memerangi Covid-19. Jika tidak dapat
membuktikan kemampuan tersebut, tentu vaksin tersebut tak akan lolos uji dan tidak bisa
digunakan. Berbagai penelitian telah dilakukan para ahli untuk membuktikan efektivitas vaksin.
Bahkan menurut CDC, berdasarkan data uji klinis yang diketahui, vaksin dapat mencegah
penyakit berat yang ditimbulkan jika seseorang terinfeksi Covid-19. Dengan demikian, tentu
dapat sangat membantu menekan jumlah keterisian tempat tidur rumah sakit dan mengurangi
angka kematian akibat Covid-19.
Berikut ini adalah beberapa jenis vaksin yang telah dipergunakan untuk menambah
antibodi dalam melawan virus Covid-19:
https://smartcity.jakarta.go.id/blog/679/kenalan-dengan-vaksin-vaksin-covid-19-yuk

Vaksin Pfizer-BioNTech

Pfizer-BioNTech adalah vaksin pertama di dunia yang diberikan untuk masyarakat


umum. Vaksin ini merupakan hasil kolaborasi antara perusahaan bioteknologi asal Jerman,
BioNTech, dengan perusahaan farmasi asal Amerika, Pfizer. Pfizer-BioNTech merupakan
vaksin tipe messenger RNA (mRNA) atau vaksin asam nuklea. Vaksin ini menggunakan materi
genetik, yaitu protein spike dari Covid-19, yang dimanfaatkan untuk memberikan instruksi
kepada sel tubuh kita agar membentuk antibodi.
Vaksin Pfizer-BioNTech memiliki efikasi sekitar 95% dan telah mengantongi izin
penggunaan darurat dari World Health Organization (WHO). Pendistribusian dan penggunaan
vaksin ini pertama kali dilakukan di Inggris, kemudian disusul Australia, Amerika Serikat, Israel,
Arab Saudi, Korea Selatan, Filipina, Singapura, dan Malaysia.
Tipe vaksin: mRNA Dosis: 2 kali Efikasi: 95%

Vaksin Moderna

Vaksin berikutnya yang ditemukan untuk memerangi Covid-19 adalah vaksin Moderna.
Vaksin ini diproduksi perusahaan bioteknologi asal Amerika Serikat, Moderna. Sama halnya
dengan vaksin Pfizer-BioNTech, vaksin ini merupakan tipe messenger RNA (mRNA) yang
menggunakan materi genetik untuk memberikan stimulus kepada sel tubuh kita agar membentuk
antibodi.
Efikasi dari vaksin Moderna sekitar 95% dan telah mendapatkan izin penggunaan darurat
dari United State Food and Drug Administration (FDA). Pendistribusian dan penggunaan vaksin
ini lebih banyak dilakukan di negara asalnya, Amerika Serikat. Negara lain yang menggunakan
vaksin ini di antaranya Inggris, Israel, dan Singapura.
Tipe vaksin: mRNA Dosis: 2 kali Efikasi: 95%

Vaksin AstraZeneca

Vaksin AstraZeneca atau Oxford-AstraZeneca merupakan vaksin yang diproduksi


perusahaan biofarmasi asal Inggris bersama Universitas Oxford. Vaksin ini merupakan tipe
vaksin viral vector yang memanfaatkan adenovirus simpanse (yang sudah dilemahkan sehingga
tidak berbahaya), untuk mengantarkan protein spike dari Covid-19 ke dalam sel tubuh kita,
sehingga memicu pembentukan antibodi.
Efikasi dari vaksin AstraZeneca berada di angka 70% secara keseluruhan. Setelah mengantongi
izin penggunaan darurat dari World Health Organization (WHO), vaksin ini mulai
didistribusikan dan digunakan di berbagai negara. Penggunaan paling banyak di benua Eropa,
Afrika, serta Asia seperti Vietnam, India, Malaysia, Filipina, Taiwan, Korea Selatan, dan
Indonesia.
Tipe vaksin: Viral vector Dosis: 2 kali Efikasi: 70%

Vaksin Janssen

Perusahaan farmasi ternama Johnson & Johnson asal Amerika Serikat ikut andil dalam
pembuatan vaksin Covid-19. Melalui Janssen Vaccines yang bermarkas di Belanda, vaksin
Janssen diciptakan untuk membantu memerangi Covid-19. Perbedaan mencolok dari vaksin ini
adalah dosis pemakaiannya yang hanya satu kali, berbeda dengan ketiga vaksin sebelumnya yang
memerlukan dosis dua kali pakai dengan rentang waktu sekitar 28 hari.
Hampir mirip dengan vaksin AstraZeneca, vaksin Janssen merupakan tipe vaksin viral
vector yang memanfaatkan adenovirus nonaktif untuk mengantarkan protein spike dari Covid-19
ke dalam sel tubuh kita, agar memicu pembentukan antibodi. Dalam percobaan klinis J&J,
vaksin Janssen memiliki efikasi sebesar 66%. Sedangkan dalam percobaan di Amerika Serikat,
efikasinya lebih tinggi, yakni mencapai 77%, bahkan sampai 100%, untuk menghindari gejala
Covid-19 yang menimbulkan perawatan dan kematian. Setelah mendapatkan izin penggunaan
darurat dari United State Food and Drug Administration (FDA), vaksin Janssen mulai
didistribusikan dan digunakan di Amerika Serikat.
Tipe vaksin: Viral vector Dosis: 1 kali Efikasi: 66% hingga 100%

Vaksin Sputnik V

Sputnik V adalah vaksin asal Rusia yang dikembangkan Gamaleya Research Institute of
Epidemiology and Microbiology. Vaksin dengan nama lain Gam-COVID-Vac ini, merupakan
tipe vaksin viral vector yang memanfaatkan adenovirus nonaktif untuk mengantarkan protein
spike dari Covid-19 ke dalam sel tubuh kita, sehingga memicu pembentukan antibodi.
Efikasi vaksin Sputnik V dilaporkan mencapai sekitar 96,1%. Dengan begitu, pemerintah
Rusia mengizinkan vaksin Sputnik V untuk didistribusikan dan digunakan di Rusia dan beberapa
negara lain seperti Belarusia, Serbia, Argentina, Palestina, Arab Saudi, Iran, Tunisia, dan
Armenia. Pada pertengahan Maret, vaksin ini juga diizinkan Philippines Food and Drug
Administration (FDA) untuk menyasar negara-negara Asia seperti Filipina dan Vietnam.
Tipe vaksin: Viral vector Dosis: 2 kali Efikasi: 96,1%

Vaksin Sinovac

Sinovac merupakan vaksin yang diproduksi perusahaan biofarmasi Cina, Sinovac


BioTech. Vaksin bernama lain CoronaVac ini, merupakan tipe vaksin whole virus yang
memanfaatkan virus SARS-CoV-2 nonaktif. Virus tersebut sudah tidak dapat menginfeksi tubuh,
namun dapat memicu pembentukan imun dalam tubuh kita.
Vaksin Sinovac memiliki berbagai angka efikasi dari beberapa negara yang telah
melakukan uji coba. Dalam uji coba di Brazil, vaksin Sinovac memiliki efikasi sekitar 50,65%.
Di Turki, efikasi vaksin Sinovac mencapai sekitar 91,25%. Sedangkan di Indonesia, efikasi
vaksin Sinovac sekitar 65,3%. Setelah mendapatkan izin penggunaan darurat dari Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), vaksin Sinovac mulai digunakan untuk program
vaksinasi di Indonesia. Selain Indonesia, negara-negara lain yang sudah memesan vaksin
Sinovac di antaranya Brasil, Chili, Turki, Singapura, Filipina, dan Malaysia.
Tipe vaksin: Whole virus (Virus SARS-CoV-2 nonaktif) Dosis: 2 kali
Efikasi: 50,65% hingga 91,25%

Vaksin Novavax

Novavax merupakan vaksin yang dikembangkan perusahaan biofarmasi Novavax. Vaksin


ini merupakan tipe vaksin berbasis protein, berisi spike protein Covid-19 khusus yang dibuat
menggunakan teknologi milik perusahaan itu sendiri, sehingga dapat merangsang pembentukan
antibodi di tubuh kita. Efikasi vaksin Novavax mencapai 89,3% pada percobaan ketiga di
Inggris. Saat ini, Novavax masih menunggu izin penggunaan darurat dari United State Food and
Drug Administration (FDA), sembari menggencarkan produksi untuk persiapan distribusi ke
berbagai negara termasuk Indonesia.
Tipe vaksin: Protein-based Dosis: 2 kali Efikasi: 89,3%

Vaksin CanSino

CanSino adalah vaksin hasil kolaborasi antara perusahaan vaksin Cina, CanSino
Biologics, bersama ilmuwan militer Cina. Vaksin CanSino yang bernama dagang Convidecia,
merupakan vaksin yang hanya memerlukan satu dosis penggunaan dengan tipe vaksin viral
vector. Vaksin ini memanfaatkan adenovirus nonaktif untuk mengantarkan protein spike dari
Covid-19 ke dalam sel tubuh kita, sehingga memicu pembentukan antibodi.
Efikasi dari vaksin CanSino mencapai 65,7% untuk mencegah gejala Covid-19, dan
90,98% dalam mencegah penyakit berat akibat Covid-19. Meski belum lama dibuat, vaksin
CanSino telah mengantongi izin penggunaan darurat dari Hungaria dan Meksiko. Saat ini, vaksin
CanSino tengah merencanakan distribusinya ke Meksiko, Malaysia, dan Pakistan.
Tipe vaksin: Viral vector Dosis: 1 kali Efikasi: 65,7% hingga 90,98%
WHO VS COVID-19

WHO adalah salah satu pemimpin (bersama dengan Gavi dan CEPI)upaya global yang
dikenal dengan nama COVAX, yang mempercepat penemuan vaksin-vaksin COVID-19 yang
aman dan efektif dengan cara menggabungkan sumber daya dari berbagai negara. Upaya ini
meliputi Fasilitas COVAX, suatu mekanisme pembagian risiko global untuk bersama-sama
melakukan pengadaan dan distribusi setara akan vaksin-vaksin COVID-19 yang akan tersedia
nantinya. Selain investasi dalam penelitian dan pengembangan vaksin, COVAX membantu
meningkatkan kemampuan pembuatan vaksin dan komitmen pembelian dosis vaksin jika vaksin
terbukti aman dan efektif, dengan tujuan mendistribusikan dua miliar dosis di tempat-tempat di
seluruh dunia di mana dosis-dosis ini paling dibutuhkan, pada akhir tahun 2021.
COVAX adalah pilar vaksin Access to COVID-19 Tools (ACT) Accelerator (Instrumen
Percepatan Akses Alat-alat COVID-19), suatu kolaborasi global untuk mempercepat
pengembangan, produksi, dan akses setara pada tes, pengobatan, dan vaksin COVID-19. Selain
itu, WHO mengadakan uji klinis “Solidarity” yang akan efisien mengevaluasi kandidat vaksin-
vaksin COVID-19 di berbagai tempat di seluruh dunia.
Dalam penelitian vaksin pada umumnya, sekelompok sukarelawan yang berisiko terkena
suatu penyakit diberi vaksin uji coba, dan kelompok lainnya tidak; para peneliti memantau kedua
kelompok ini dari waktu ke waktu dan membandingkan hasilnya untuk memastikan apakah
vaksin tersebut aman dan efektif.
Dalam penelitian vaksin yang menggunakan infeksi manusia terkontrol, para sukarelawan
yang sehat diberi vaksin uji coba, kemudian dengan sengaja dipaparkan kepada organisme yang
menyebabkan penyakit tersebut untuk melihat apakah vaksin tersebut bekerja. Sebagian peneliti
meyakini bahwa pendekatan ini dapat mempercepat pengembangan vaksin COVID-19, antara
lain karena penelitian jenis ini membutuhkan jauh lebih sedikit sukarelawan dibandingkan
penelitian biasa. Namun, ada pertimbangan-pertimbangan etis penting yang perlu diperhatikan –
terutama untuk penyakit baru seperti COVID-19, yang belum kita pahami sepenuhnya dan yang
pengobatannya masih kita pelajari; komunitas medis dan kandidat sukarelawan mungkin akan
kesulitan untuk cukup memperkirakan kemungkinan risiko dari partisipasi dalam sebuah
penelitian infeksi manusia terkontrol COVID-19.
BAB III PENUTUP

KESIMPULAN

Vaksin adalah zat atau senyawa yang berfungsi untuk membentuk daya tahan tubuh.
Vaksin dapat merangsang tubuh agar menghasilkan antibodi yang dapat melawan kuman
penyebab infeksi. Vaksin mengandung virus atau bakteri, baik yang masih hidup maupun yang
sudah dilemahkan. Tidak hanya melindungi tubuh dari serangan penyakit serius, pemberian
vaksin juga dapat membantu mencegah penyebaran penyakit. Pada umumnya, tubuh akan
membentuk antibodi sebagai sistem kekebalan tubuh terhadap jenis virus tertentu setelah dua
minggu vaksinasi atau imunisasi dilakukan.
Seluruh tipe vaksin yang digunakan dalam program vaksinasi saat ini, telah lolos
berbagai rangkaian uji klinis, sehingga dapat memerangi Covid-19. Jika tidak dapat
membuktikan kemampuan tersebut, tentu vaksin tersebut tak akan lolos uji dan tidak bisa
digunakan. Berbagai penelitian telah dilakukan para ahli untuk membuktikan efektivitas vaksin.
Bahkan menurut CDC, berdasarkan data uji klinis yang diketahui, vaksin dapat mencegah
penyakit berat yang ditimbulkan jika seseorang terinfeksi Covid-19. Dengan demikian, tentu
dapat sangat membantu menekan jumlah keterisian tempat tidur rumah sakit dan mengurangi
angka kematian akibat Covid-19.

SARAN

Meskipun teknologi mengakselerasi penemuan vaksin baru, faktor kunci yang tidak boleh
dikesampingkan dalam prosedur adalah, memastikan tingkat keamanannya. Pada dasarnya
peneliti dan pengembang vaksin tidak mengkompromikan aspek kualitas, daya guna, dan
keamanannya, termasuk keamanan vaksin Covid-19 yang nanti hendak ditemukan, harus
terjamin.
Perlu diingat, memakai masker, menjaga jarak minimal 1 meter, dan mencuci tangan dengan
sabun, tetap merupakan cara pencegahan yang terbaik hingga saat ini. Kita perlu untuk terus
disiplin mempraktekkan langkah 3M ini secara sepaket agar terhindar dari penyakit. Salah satu
usaha pencegahan penularan Covid-19. Keberhasilan usaha menekan penularan menurutnya
merupakan hasil komposit dari berbagai usaha, seperti penerapan protokol kesehatan, bergaya
hidup sehat, dan memelihara imunitas tubuh.

https://ugm.ac.id/id/berita/21469-pakar-ugm-bicara-tentang-vaksin-dan-antibodi
https://www.kompas.com/tren/read/2020/10/19/114700965/rekam-jejak-upaya-penemuan-
vaksin-covid-19-dan-tahapan-yang-dilalui?page=all
https://covid19.go.id/p/berita/kemajuan-teknologi-meningkatkan-penemuan-vaksin-lebih-cepat

Anda mungkin juga menyukai