Anda di halaman 1dari 11

UAS SOSIOLOGI TERAPAN

OLEH :
MARGARITA M. LIDA (1603080003)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

SOSIOLOGI

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

2020
Pada tanggal 31 Desember 2019, World Health

Organization (WHO) mendapatkan informasi mengenai kasus

pneumonia yang terjadi di kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. Tanggal

7 Januari 2020, otoritas Cina mengkonfirmasi telah mengidentifikasi

virus baru, yaitu virus Corona, yang merupakan famili virus flu,

seperti virus SARS dan MERS, yang mana dilaporkan lebih dari 2.000

kasus infeksi virus tersebut terjadi di Cina, termasuk di luar Provinsi

Hubei. Virus Corona (CoV) merupakan famili virus yang

menyebabkan penyakit mulai dari flu biasa hingga penyakit yang

lebih berat seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS-SoV)

dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS-CoV). Pada 11

Februari 2020, WHO mengumumkan nama virus Corona jenis baru

tersebut adalah Corona Virus Disease 2019 (disingkat menjadi

COVID-19).

COVID-19 disebabkan oleh SARS-COV2 yang termasuk dalam


keluarga besar coronavirus yang sama dengan penyebab SARS pada
tahun 2003, hanya berbeda jenis virusnya. Gejalanya mirip dengan
SARS, namun angka kematian SARS (9,6%) lebih tinggi dibanding
COVID-19 (kurang dari 5%), walaupun jumlah kasus COVID-19 jauh
lebih banyak dibanding SARS. COVID-19 juga memiliki penyebaran
yang lebih luas dan cepat ke beberapa negara dibanding SARS.
Gejala umum berupa demam ≥380C, batuk kering, dan sesak napas.

Masa inkubasi dapat bervariasi antar pasien, yaitu 2-14 hari setelah

terpapar virus berdasarkan periode inkubasi yang ditunjukkan

sebelumnya pada virus MERS. Masa inkubasi 24 hari telah diamati

dalam penelitian terbaru. WHO mengatakan periode inkubasi yang

panjang dapat mencerminkan paparan ganda Coronavirus.

Menurut laporan terbaru, ada kemungkinan orang yang terinfeksi

Covid-19 dapat menular sebelum menunjukkan gejala yang signifikan.

Seperti penyakit pernapasan lainnya, COVID-19 dapat


menyebabkan gejala ringan termasuk pilek, sakit tenggorokan, batuk,
dan demam. Sekitar 80% kasus dapat pulih tanpa perlu perawatan
khusus. Sekitar 1 dari setiap 6 orang mungkin akan menderita sakit
yang parah, seperti disertai pneumonia atau kesulitan bernafas, yang
biasanya muncul secara bertahap. Walaupun angka kematian penyakit
ini masih rendah (sekitar 3%), namun bagi orang yang berusia lanjut,
dan orang-orang dengan kondisi medis yang sudah ada sebelumnya
(seperti diabetes, tekanan darah tinggi dan penyakit jantung), mereka
biasanya lebih rentan untuk menjadi sakit parah. Melihat
perkembangan hingga saat ini, lebih dari 50% kasus konfirmasi telah
dinyatakan membaik, dan angka kesembuhan akan terus meningkat.

Seseorang dapat terinfeksi dari penderita COVID-19. Penyakit


ini dapat menyebar melalui tetesan kecil (droplet) dari hidung atau
mulut pada saat batuk atau bersin. Droplet tersebut kemudian jatuh
pada benda di sekitarnya. Kemudian jika ada orang lain menyentuh
benda yang sudah terkontaminasi dengan droplet tersebut, lalu orang
itu menyentuh mata, hidung atau mulut (segitiga wajah), maka orang
itu dapat terinfeksi COVID19. Atau bisa juga seseorang terinfeksi
COVID-19 ketika tanpa sengaja menghirup droplet dari penderita.
Inilah sebabnya mengapa kita penting untuk menjaga jarak hingga
kurang lebih satu meter dari orang yang sakit.

Sampai saat ini, para ahli masih terus melakukan penyelidikan


untuk menentukan sumber virus, jenis paparan, dan cara
penularannya. Tetap pantau sumber informasi yang akurat dan resmi
mengenai perkembangan penyakit ini.

Cara penularan utama penyakit ini adalah melalui tetesan kecil


(droplet) yang dikeluarkan pada saat seseorang batuk atau bersin. Saat
ini WHO menilai bahwa risiko penularan dari seseorang yang tidak
bergejala COVID19 sama sekali sangat kecil kemungkinannya.
Namun, banyak orang yang teridentifikasi COVID-19 hanya
mengalami gejala ringan seperti batuk ringan, atau tidak mengeluh
sakit, yang mungkin terjadi pada tahap awal penyakit. Sampai saat ini,
para ahli masih terus melakukan penyelidikan untuk menentukan
periode penularan atau masa inkubasi COVID-19. Tetap pantau
sumber informasi yang akurat dan resmi mengenai perkembangan
penyakit ini.

COVID-19 disebabkan oleh salah satu jenis virus dari keluarga


besar Coronavirus, yang umumnya ditemukan pada hewan. Sampai
saat ini sumber hewan penular COVID-19 belum diketahui, para ahli
terus menyelidiki berbagai kemungkinan jenis hewan penularnya.
Saat ini, belum ditemukan bukti bahwa hewan peliharaan
seperti anjing atau kucing dapat terinfeksi virus COVID-19. Namun,
akan jauh lebih baik untuk selalu mencuci tangan dengan sabun dan
air setelah kontak dengan hewan peliharaan. Kebiasaan ini dapat
melindungi Anda terhadap berbagai bakteri umum seperti E.coli dan
Salmonella yang dapat berpindah antara hewan peliharaan dan
manusia.

Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti berapa lama


COVID-19 mampu bertahan di permukaan suatu benda, meskipun
studi awal menunjukkan bahwa COVID-19 dapat bertahan hingga
beberapa jam, tergantung jenis permukaan, suhu, atau kelembaban
lingkungan. Namun disinfektan sederhana dapat membunuh virus
tersebut sehingga tidak mungkin menginfeksi orang lagi. Dan
membiasakan cuci tangan dengan air dan sabun, atau hand-rub
berbasis alkohol, serta hindari menyentuh mata, mulut atau hidung
(segitiga wajah) lebih efektif melindungi diri Anda.

Menurut ahli virus yang telah ikut membantu mengidentifikasi


virus SARS ini, pemerintah tidak melakukan upaya yang cukup untuk
menghentikan penyebaran coronavirus di lokasi pertama virus corona
itu menyebar. Terutama ketika masa-masa awal sebelum virus corona
menyebar seperti sekarang..

Penyebarannya virus ini sangat cepat membuat beberapa negara


menerapkan kebijakan untuk memberlakukan lockdown untuk
mencegah penyebaran virus Corona. Di Indonesia, pemerintah
menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)
untuk menekan penyebaran virus ini.
1. Risiko Covid’19
COVID-19 dapat menginfeksi siapa saja, tetapi efeknya akan
lebih berbahaya atau bahkan fatal bila menyerang orang lanjut
usia, ibu hamil, perokok, penderita penyakit bawaan. Karena
mudah menular, penyakit ini juga berisiko tinggi menginfeksi
para tenaga medis yang merawat pasien COVID-19. Oleh
karena itu, tenaga medis dan orang yang melakukan kontak
dengan pasien COVID-19 perlu menggunakan alat pelindung
diri (APD). Selain itu, pemerintah bersama perusahaan farmasi
dan berbagai institusi kesehatan kini juga tengah
mengembangkan dan meneliti vaksin COVID-19. Setelah
melalui uji klinis dan dinyatakan efektif dan aman diberikan
pada manusia, pembuatan vaksin COVID-19 akan diteruskan
agar dapat diberikan kepada masyarakat.
2. MONETISASI.
Vonis dari rumah saki yang sangat meresahkan bagi masyarakat
dimana ada pasien yang pada saat sakit biasa saja dari pihak
rumah sakit langsung memvonis bahwa pasien terpapar
covid’19 hal ini membuat keluarga pasien dikucilkan oleh
masyarakat. Hal ini mencakup konten yang mendorong tes atau
pemeriksaan nonmedis untuk COVID-19, atau klaim
palsu/tidak berdasar mengenai penyebab virus tersebut,
mempromosikan proses pengobatan atau penyembuhan yang
berbahaya, menjelaskan asal penyebaran COVID-19 yang
bertentangan dengan konsensus ilmiah. Contohnya:
a. Virus tersebut diciptakan oleh satu atau beberapa pemerintah
sebagai senjata biologis
b. Virus tersebut diciptakan oleh beberapa perusahaan
c. COVID-19 disebarkan melalui teknologi 5G
d. COVID-19 menyasar kelompok etnis tertentu
e. Konten yang mengklaim bahwa pandemik tersebut merupakan
hoaks, pengalihan kasus, atau serangan yang disengaja.
3. KAPITALISASI
Indonesia pertama kali mengumumkan penyebaran coronavirus
pada tanggal 2 Maret 2020. Mungkin kita tidak akan pernah
menduga bahwa 2 orang awal yang menjadi korban coronavirus
kini telah mencapai jumlah 514 dalam kurun waktu 20 hari saja.
Hal ini diumumkan Presiden Joko Widodo bahwa ada 2 pasien
yang positif terdeteksi COVID-19 di Depok, diduga setelah
bertemu dengan warga asal Jepang yang sehabis singgah dari
Malaysia. Kasus COVID-19 di Indonesia begitu pesat di
Indonesia hal ini tentu sangat berdampak negatif terhadap
segala aspek sosial dan interaksi masyarakat Indonesia. Terjadi
banyak polemik setelah Indonesia terus memberikan kabar
tentang perkembangan COVID-19 di Indonesia. Kejadian ini
menuai banyak reaksi dari bermacam-macam kalangan
masyarakat. Hal ini berdampak pada berbagai ranah, seperti
diliburkannya sekolah, peruguruan, dan instansi. Permasalahan
virus corona tidak hanya sampai disitu. Saat pertama kali
presiden Jokowi menetapkan kasus coronavirus di Indonesia,
terjadi banyak polemik di kalangan masyarakat Indonesia.
Tentu peran media sosial di sini sangat penting untuk
menyaring informasi yang ada, menjadi sebuah kekuatan
sinergitas positif dan optimistik untuk masyarakat Indonesia,
nyatanya justru banyak faktor yang tidak diharapkan terjadi.
Banyaknya isu yang beredar dan berita yang simpang siur
membuat seluruh warga Indonesia memillki rasa takut yang
berlebihan. Hal ini memicu kepanikan dan stigma di masyarakat
bahwa coronavirus sangat mengerikan hingga menimbulkan
kematian karena belum ada solusi dari penyebaran virus ini. Hal
itu akan terus berlanjut dan akan menjadi kegelisahan semua
orang. Terlebih lagi melihat beberapa orang yang berbondong-
bondong pergi ke minimarket terdekat, memborong semua
stock makanan, perobat-obatan, bahkan masker dan juga
Banyak oknum yang kemudian memanfaatkan hegemoni
coronavirus untuk mengkapitalisasi barang-barang kebutuhan
pokok, hal ini tentu merugikan dan sangat tidak bermoral.

Sangat miris melihat fenomena ini, di mana negara lain


berlomba-lomba saling menguatkan, justru kita di sini saling
menjatuhkan. Menurut saya, hal ini justru tidak akan pernah selaras
dengan nilai-nilai kemanusiaan, oknum-oknum kapitalisasi ini seperti
menginjak-nginjak moral dan meludahi etika.

Fenomena ini terjadi di Indonesia, percaya atau tidak. Lalu


beberapa berita muncul di media sosial. Berita tersebut mengatakan
bahwa kita sedang dilanda kepanikan, barang persediaan masker
seharusnya digunakan untuk orang-orang yang sedang terjangkit
penyakit, tenaga medis dan terduga pasien COVID-19, bukan justru
orang-orang yang masih tergolong secara fisik, jauh dari gejala
COVID-19.

Maka dari itu sebaiknya dan sebijaknya kita adalah bagaimana


tidak memanfaatkan kesempatan sebagai keuntungam pribadi, prinsip
mengatakan kejahatan terjadi karena adanya kesempatan dan
kesempatan ini dimanfaatkan oleh oknum penimbun masker.

Adapun Pandemi Covid-19 turut berdampak pada pola utilisasi


atau pemanfaatan JKN-KIS. Jumlah peserta yang memanfaatkan
layanan JKN-KIS menurun drastis dibanding sebelum pandemi.
Penurunan ini diduga bukan hanya karena orang takut berobat ke
fasilitas kesehatan (faskes), tetapi bisa jadi pemanfaatan layanan JKN
sebelum pandemi tidak sesuai kebutuhan medis pasien.

Menurut Budi, utilisasi JKN cenderung turun saat Indonesia


terkena pandemi. Ini fenomena yang menarik, mengingat selama ini
pemanfaatan terus meningkat hingga dana JKN-KIS mengalami
defisit. Defisit merupakan salah satu refleksi tingginya utilisasi yang
membutuhkan biaya klaim tinggi.

Chairul Radjab Nasution mengatakan, utilisasi atau kunjungan


pasien JKN-KIS ke faskes memang berkurang, tetapi biaya manfaat
tetap tinggi. Meskipun penurunan ini berpengaruh pada potensi
perbaikan rasio klaim, tetapi hanya bersifat insidental karena
momentum Covid-19 dan adanya kenaikan iuran peserta. Klaim
Tinggi Dihubungi terpisah, Koordinator Advokasi BPJS Watch,
Timboel Siregar mengatakan, meski utilisasi menurun, tetapi biaya
klaim tinggi karena tidak sedikit pasien yang selama pandemi
menunda kunjungan ke faskes. Akibatnya, ketika mereka datang ke
RS sudah menagalmi komplikasi atau kondisi berat, yang tentu
membutuhkan biaya perawatan yang lebih tinggi.

Dalam negara demokratis, perwujudan good governance atau


pemerintahan yang baik tidak akan pernah bisa lepas dari apa yang
namanya transparansi. Hal itu karena tata kelola pemerintahan yang
baik mensyaratkan adanya akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi
masyarakat dalam setiap penentuan kebijakan publik. Tidak terkecuali
bagi kebijakan yang menjadi respon terhadap wabah penyakit dan itu
jika dihubungkan dengan keadaan saat ini adalah bahwa
menghadirkan transparansi terkait kasus COVID-19 merupakan salah
satu upaya membentuk pemerintahan yang baik. Mendel (2004)
mengatakan bahwa keterbukaan informasi merupakan kewajiban bagi
pemerintah karena pada dasarnya informasi merupakan milik publik.

Maka dari itu, salah satu tujuan dari adanya transparansi atau
dapat juga disebut dengan keterbukaan informasi adalah supaya dapat
menimbulkan partisipasi masyarakat, dengan adanya transparansi
itulah masyarakat dapat berpartisipasi aktif terhadap segala bentuk
penanganan COVID-19 baik yang melibatkan diri dengan kebijakan
dan program pemerintah ataupun yang berbentuk inisiatif. Partisipasi
aktif dapat menjadi salah satu faktor pendorong keberhasilan bangsa
Indonesia menghadapi COVID-19. Hal tersebut yang menyebabkan
masyrakat menuntut transparansi atas data persebaran kasus COVID-
19 serta dana penanggulangan yang di dalamnya termasuk sumber dan
prioritas alokasi. Akan tetapi pada prakteknya pemerintah tidak
dengan sungguh-sungguh menciptakan transparansi dalam menangani
COVID-19. Meskipun pemerintah sudah memberikan beberapa
informasi dan data terkait Covid-19, namun yang menjadi
permasalahannya adalah informasi yang tersaji tidak sesuai dengan
fakta yang sebenarnya. Hal itu terbukti ketika data yang selama ini
disajikan pemerintah pusat tidak sinkron dengan pemerintah daerah.23
Bahkan sejauh ini pemerintah terkesan menutupi beberapa data dan
fakta yang dicurigai publik berkaitan dengan persebaran virus dan
kasus positif COVID-19 di Indonesia. Menyusul fakta yang
sebenarnya, muncul keraguan ketika informasi yang disampaikan oleh
pemerintah dengan fakta di lapangan tidak memiliki kecocokan. Tidak
hanya itu, upaya penanggulangan yang erat kaitannya dengan
penanggulangan juga masih belum dapat memuaskan harapan
masyarakat karena akuntabilitas nominalnya yang masih diragukan

Anda mungkin juga menyukai