Anda di halaman 1dari 8

A.

Sejarah Coronavirus

Coronavirus mempunyai sejarah yang panjang. Virus ini diketahui berada di tubuh manusia pada
penelitian yang dilakukan oleh David Tyrrell dan Bynoe pada 1960-an. Saat itu, mereka mengajak
beberapa ahli virologi di Inggris untuk meneliti virus yang ditemukan pada manusia dan sejumlah
binatang. Bahkan, beberapa virus ternyata dapat menular dari hewan ke manusia. Jenis virus ini
kemudian disebut sebagai virus zoonotik. Nama corona berasal dari bahasa Latin "corona" dan Yunani
"korone" yang bermakna mahkota atau lingkaran cahaya. Hal ini karena bentuk virus seperti mahkota
ketika dilihat di mikroskop.

Berdasarkan penelitian para ahli lain, virus corona pada manusia dapat menyebabkan pneumonia pada
bayi dan anak. Selain itu, virus juga memicu asma pada anak-anak dan orang dewasa. Bahkan, memicu
infeksi saluran pernapasan parah pada orang lanjut usia. Beberapa infeksi pernapasan parah yang
menjadi epidemi dan pandemi adalah SARS, MERS, dan COVID-19.

Epidemi SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) yang muncul pada November 2002 diketahui
disebabkan oleh virus corona yang berasal dari luwak. Virus ini kemudian menyebar sampai ke
Hongkong, Vietnam, Singapura, Indonesia, Malaysia, Inggris, Italia, Swedia, Swiss, Rusia, hingga Amerika
Serikat. Epidemi ini berakhir di pertengahan 2003 dan telah menjangkiti 8. 098 orang dan sebanyak 774
orang harus kehilangan nyawa.

Sementara itu, MERS (Middle East Respiratory Syndrome) muncul pada 2012. Sesuai namanya, virus ini
ditemukan di negara-negara Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Yordania, dan Yaman. Kuat dugaan virus
ini berasal dari unta. Virus ini kemudian menyebar sampai ke Eropa dan Amerika karena terbawa orang
yang habis bepergian dari negara di Timur Tengah. Setidaknya, 22 orang meninggal dari 44 kasus yang
ditemukan di Arab Saudi.

Selanjutnya, COVID-19 yang pertama kali ditemukan di kota Wuhan, China. Setelah dilakukan investigasi,
awal kemunculannya diduga kuat berasal dari kelelawar. Oleh karena penyebarannya sangat cepat, kota
Wuhan kemudian ditutup total selama tiga bulan. Namun, rupanya hal itu belum bisa mengatasi
penyebaran virus karena saat ini virus sudah menyebar ke seluruh dunia.

B. COVID-19
COVID-19 merupakan akronim dari corona virus desease. Angka 19 menunjukkan tahun ditemukannya,
yaitu 2019. Sebelum nama Covid resmi diberlakukan, nama sementara yang digunakan adalah 2019-
nCov. Angka 2019 merujuk tahun, huruf n merujuk pada novel yang berarti new, dan Cov merujuk pada
coronavirus. Nama ini diberikan oleh Centers for Disease Control and Prevention, Amerika Serikat.
Sementara itu, otoritas kesehatan China memberikan nama Novel Coronavirus Pneunomia (NCP).

Untuk memudahkan penyebutan di seluruh dunia, WHO kemudian mengumumkan nama COVID-19
untuk menyebut penyakit ini. Alasan penggunaan nama ini adalah untuk menghindari referensi ke lokasi
geografis tertentu, spesies hewan, dan/atau sekelompok orang. Keputusan ini diambil sesuai
rekomendasi Komite Internasional tentang Taksonomi Virus (International Committe on Taxonomy of
Viruses, ICTV) untuk menghindari stigmatisasi.

COVID-19 ini disebabkan oleh infeksi virus SARS-Cov-2. Disebut virus SARS-Cov-2 karena merupakan
varian dari virus SARS-Cov yang menyebabkan SARS. Ya, secara garis besar, virus SARS-Cov-2 merupakan
bagian dari keluarga virus corona yang menyebabkan SARS dan MERS. Meskipun demikian, para peneliti
mengatakan bahwa virus corona yang menyebabkan COVID-19 mempunyai karakter yang berbeda
dengan virus pada SARS dan MERS. Hal ini tampak pada kecepatan penyebarannya. Pada dasarnya,
COVID-19 dan SARS sama-sama mudah menyebar dari manusia ke manusia dibandingkan dengan MERS.
Namun, dibanding dengan SARS, COVID-19 memegang rekor tertinggi untuk kecepatan penyebarannya.

Menurut para peneliti, hal itu karena COVID-19 memiliki sekitar 10-20 lipat afinitas yang lebih tinggi
pada zat ACE2 dibanding pada SARS. Afinitas adalah kecenderungan suatu unsur untuk membentuk
ikatan kimia dengan unsur atau senyawa lain. Sementara, ACE2 (angiotensin-converting enzyme) adalah
reseptor sel inang di tubuh manusia yang menjadi tempat hidup kedua virus ini. Selain itu, ada dugaan
bahwa COVID-19 tidak memiliki ikatan besar dengan tiga antibodi dalam tubuh manusia yang
sebelumnya berperan saat SARS menyerang seseorang.

Meski belum dapat dipastikan berapa lama virus penyebab COVID-19 bertahan di atas permukaan,
perilaku virus ini menyerupai jenis-jenis coronavirus lainnya. Lamanya coronavirus bertahan mungkin
dipengaruhi kondisi-kondisi yang berbeda (seperti jenis permukaan, suhu atau kelembapan lingkungan).
Penelitian Doremalen menunjukkan bahwa SARS-Cov-2 dapat bertahan selama 72 jam pada permukaan
plastik dan stainless steel, kurang dari 4 jam pada tembaga dan kurang dari 24 jam pada kardus. Seperti
virus corona lain, SARS-Cov-2 sensitif terhadap sinar ultraviolet dan panas. Virus ini efektif dapat
dinonaktifkan dengan pelarut lemak (lipid solvents) seperti eter, etanol 75%, ethanol, disinfektan yang
mengandung klorin, asam peroksiasetat, dan khloroform (kecuali khlorheksidin).
Virus ini dapat menyerang siapa saja tanpa pandang bulu Akan tetapi, bayi dan anak kecil, serta orang
dengan kekebalan tubuh yang lemah lebih rentan terhadap serangan virus ini. Misalnya, orang-orang
yang mempunyai penyakit bawaan lain. Selain itu, seseorang yang tinggal atau pernah berkunjung ke
daerah atau negara yang sudah terjangkit virus corona, juga berisiko terserang. Misalnya, berkunjung ke
China, khususnya kota Wuhan, yang menjadi episentrum pertama wabah ini. Kemudian, orang yang
pernah melakukan kontak erat dengan orang yang telah terinfeksi juga memiliki kemungkinan besar
untuk tertular.

Secara garis besar, virus SARS-Cov-2 di seluruh dunia memiliki tiga strain. Ketiganya adalah varian yang
berbeda, tetapi masih saling berkaitan. Para peneliti dari Cambridge University memetakan sejarah
genetik virus ini sejak Desember hingga Maret 2020. Dalam penelusuran, ditemukan bahwa strain
menunjukkan Tipe A adalah virus asli yang melompat ke manusia dari kelelawar melalui trenggiling. Tipe
A ini bukan yang paling umum ditemukan beredar di China. Sebaliknya, virus yang menghantam China
adalah virus Tipe B.

Hasil penelitian menunjukkan, Tipe A adalah yang paling umum ditemukan di Australia dan AS.
Setidaknya, dua per tiga sampel di Amerika adalah Tipe A. Pasien-pasien yang terserang ini bukan
berasal dari New York, melainkan dari Pantai Barat. Sementara itu, data penyebaran Tipe B itu
terungkap setelah dua studi genetik terpisah menemukan sebagian besar wabah New York berasal dari
Eropa. Studi juga mengungkapkan bahwa infeksi itu menyebar pada pertengahan Februari.

Sementara itu, di Inggris, Swiss, Jerman, Prancis, Belgia, dan Belanda sebagian besar diserang oleh kasus
Tipe B. Hasil ini diperoleh dari tiga per empat sampel pengujian. Kemudian, untuk variasi lain atau Tipe C
yang merupakan turunan Tipe B, menyebar ke Eropa melalui Singapura. Penyebar super pertama di
Inggris diketahui telah menghadiri konferensi bisnis di Singapura dan menginfeksi sejumlah pasien di
Sussex, Inggris.

Para ilmuwan meyakini virus terus bermutasi untuk mengatasi resistensi sistem kekebalan pada populasi
yang berbeda. Tipe B ditemukan nyaman dalam sistem kekebalan tubuh orang-orang di Wuhan sehingga
tidak perlu bermutasi untuk beradaptasi. Namun, di luar Wuhan dan di tubuh orang orang dari lokasi
yang berbeda, virus bermutasi jauh lebih cepat. Hal ini menunjukkan bahwa virus beradaptasi untuk
mencoba dan bertahan dan mengatasi perlawanan di antara populasi lain.

Sementara itu, virus yang menyebar di Indonesia ternyata mempunyai varian yang berbeda. Varian ini
dikategorikan sebagai tipe lain di luar tiga tipe utama yang beredar di dunia. Hal ini diketahui setelah
peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman setelah melakukan analisis genetik pada tiga sampel
virus dari pasien positif.

Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang Brodjonegoro
mengatakan bahwa perbedaan tipe ini terjadi karena virus corona bermutasi. Namun, belum dapat
ditemukan virus ini hasil mutasi tipe yang mana. Informasi tentang perbedaan genetik virus ini sangat
penting karena berkaitan dengan vaksin. Hal ini karena vaksin yang akan dibuat disesuaikan dengan tipe
virus yang ditemukan.

C. Gejala COVID-19

Berdasarkan catatan para dokter terhadap gejala yang ditunjukkan oleh pasien COVID-19, WHO
kemudian memerin cinya sebagai berikut.

1. Napas pendek. Meskipun, sesak napas biasanya bukan merupakan gejala awal COVID-19, melainkan
yang paling serius. Itu bisa terjadi dengan tiba-tiba, tanpa disertai dengan batuk. Jika dada terasa ketat
atau mulai merasa seolah-olah tidak bisa bernapas cukup dalam untuk mengisi paru-paru dengan udara,
itu pertanda untuk bertindak cepat. Jika merasa ada sesak napas, segera hubungi penyedia layanan
perawatan darurat setempat.

2. Demam. Demam adalah tanda utama infeksi virus corona. Hal ini karena beberapa orang dapat
memiliki suhu tubuh inti lebih rendah atau lebih tinggi dari suhu normal (37°C). Salah satu gejala demam
yang paling umum adalah suhu tubuh naik di sore hari. Ini adalah cara umum virus menghasilkan
demam.

3. Batuk kering. Batuk adalah gejala umum lainnya, tetapi batuk karena corona bukan batuk biasa. Batuk
yang dirasakan bukan hanya rasa geli di tenggorokan, bukan membersihkan tenggorokan, dan karena
iritasi. Batuk ini terasa mengganggu dan bisa dirasakan datang dari dalam dada.

4. Menggigil atau rasa sakit di sekujur tubuh. Rasa menggigil dan sakit di sekujur tubuh biasanya datang
pada malam hari. Namun, beberapa orang mungkin tidak menggigil atau sakit sama sekali.

5. Kedinginan, mirip flu. Orang lain mungkin mengalami kedinginan seperti flu yang lebih ringan,
kelelahan, serta sakit pada sendi dan otot. Kondisi ini dapat membuatnya sulit untuk mengetahui
apakah itu flu atau virus corona. Salah satu tanda Anda memiliki COVID-19 adalah jika gejala tidak
membaik setelah seminggu atau lebih dan terus memburuk.
6. Rasa kebingungan secara tiba-tiba. CDC (Centers for Disease Control and Prevention) mengatakan
bahwa kebingungan yang tiba-tiba atau ketidakmampuan untuk bangun dan waspada mungkin
merupakan tanda serius bahwa perawatan darurat diperlukan. Jika Anda atau orang yang dicintai
memiliki gejala-gejala tersebut, terutama dengan tanda-tanda kritis lainnya seperti bibir kebiru-biruan,
kesulitan bernapas atau nyeri dada, segera mencari bantuan.

7. Masalah pencernaan. Sebelumnya, para peneliti berpikir bahwa diare atau masalah lambung khas
lainnya tidak akan muncul sebagai gejala COVID-19. Namun, dengan semakin banyak penelitian tentang
korban yang selamat, ditemukan banyak yang mengalami hal ini. Dalam sebuah studi di luar China,
sekitar 200 orang pasien kasus paling awal ditemukan mengalami gejala masalah pencernaan atau
lambung (gastrointestinal).

8. Mata berwarna merah muda. Penelitian di China, Korea Selatan, dan beberapa negara lain di dunia
menunjukkan bahwa sekitar 1-3% orang dengan COVID-19 juga menderita konjungtivitis. Konjungtivitis
yang umum dikenal sebagai mata merah muda adalah suatu kondisi yang sangat menular ketika
disebabkan oleh virus. Konjungtivitis merupakan peradangan pada lapisan jaringan yang tipis dan
transparan, yang disebut konjungtiva, yang menutupi bagian putih mata dan bagian dalam kelopak
mata. Oleh karena itu, jika Anda mengalami konjungtivitis dan disertai demam, batuk, dan sesak napas,
segara hubungi dokter.

9. Kelelahan. Bagi sebagian orang, kelelahan ekstrem bisa menjadi tanda awal COVID-19. WHO
menemukan 40% dari hampir 6.000 orang dengan kasus yang dikonfirmasi laboratorium mengalami
kelelahan. Kelelahan ini bahkan dapat berlanjut lama setelah virus hilang dan melewati masa pemulihan
standar beberapa minggu.

10. Sakit kepala, sakit tenggorokan, dan hidung tersumbat. WHO juga menemukan hampir 14% dari
6.000 kasus COVID-19 di China memiliki gejala sakit kepala dan sakit tenggorokan, sementara hampir 5%
memiliki hidung tersumbat. Meskipun bukan tanda tanda paling umum dari penyakit ini, tanda-tanda ini
mirip dengan pilek dan flu. Faktanya, banyak gejala COVID-19 dapat menyerupai flu, termasuk sakit
kepala dan masalah pencernaan, sakit tubuh, dan kelelahan. Selain itu, gejala menyerupai pilek atau
alergi, yaitu sakit tenggorokan dan hidung tersumbat.

11. Kehilangan sensasi rasa dan bau. Dalam pemeriksaan, kehilangan bau (anosmia) telah terlihat pada
pasien yang dites dan positif untuk virus corona tanpa gejala lain. Di Jerman, lebih dari dua per tiga
kasus yang dikonfirmasi menderita anosmia. Hilangnya bau dan rasa muncul sebagai salah satu tanda
awal yang paling tidak biasa. Gejala ini merupakan ciri kasus infeksi virus corona yang ringan hingga
sedang. Bahkan, beberapa pihak menyebut sebagai COVID-19 tanpa gejala,
Selanjutnya, beberapa ahli memberikan penjelasan bagai mana virus ini merusak saluran pernapasan
dan apa yang dirasakan oleh pasien. Menurut, Ryenold Panettieri, MS, seorang spesialis paru-paru di
Medicine and Science di Rutgers University, ketika virus ini masuk ke tubuh manusia, ia sangat agresif
menyerang saluran napas bagian atas seperti tenggorokan, sinus, dan rongga mulut. Bahkan, ahli lain
menyatakan bahwa karena saluran pernapasan atas yang terganggu tersebut akan menyumbat paru-
paru.

Untuk infeksi ringan, pasien akan mengalami sakit teng gorokan, hidung tersumbat, dan sedikit demam.
Lalu, infeksi sedang ditunjukkan dengan demam dan batuk. Dalam infeksi sedang ini, virus corona telah
bereplikasi untuk kemudian melakukan perjalanan ke area dada dan masuk ke tabung bronkial. Kondisi
ini bisa menyebabkan peradangan yang kemudian akan mengakibatkan batuk kering. Kemudian, untuk
infeksi parah atau kondisi kritis ditunjukkan dengan sesak napas yang parah. Kondisi ini akan
berkembang menjadi pneumonia yang memengaruhi sebagian besar paru-paru. Hal ini disampaikan oleh
William Schaffner, M.D, seorang spesialis penyakit menular dan profesor di Fakultas Kedokteran
Universitas Vanderbilt, AS.

Kondisi infeksi yang berbeda-beda ini memerlukan penanganan yang tidak sama. Untuk gejala infeksi
yang berat, Anda disarankan untuk segera membawa diri Anda ke pusat layanan kesehatan. Sebaliknya,
untuk orang dengan gejala infeksi yang sedang dan ringan, perawatan diri di rumah dengan isolasi
mandiri lebih disarankan. Hal ini karena penyebaran penyakit yang luas telah menyebabkan rumah sakit
kekurangan ruang rawat dan tenaga medis.

D. Cara Penyebaran

Sebenarnya, virus corona jarang sekali berevolusi dan menginfeksi manusia dan menyebar ke individu
lainnya. Namun, COVID-19 menjadi bukti nyata jika virus ini bisa menyebar dari hewan ke manusia.
Bahkan, kini penularannya bisa dari manusia ke manusia. Secara umum, kebanyakan virus corona
menyebar seperti virus lain sebagai berikut.

1. Percikan air liur (droplet) orang yang terinfeksi (batuk dan bersin). 2. Menyentuh tangan atau wajah
orang yang terinfeksi.

3. Menyentuh mata, hidung, atau mulut setelah memegang barang yang terkena percikan air liur orang
yang terinfeksi.

4. Tinja atau feses (jarang terjadi).


Untuk masa inkubasinya, COVID-19 memerlukan rata-rata 5-6 hari, hingga 14 hari. Risiko penularan
tertinggi terjadi pada hari-hari pertama penyakit disebabkan oleh konsentrasi virus pada sekret yang
tinggi. Orang yang terinfeksi dapat langsung dapat menularkan sampai dengan 48 jam sebelum gejala
(presimptomatik) dan sampai dengan 14 hari setelah gejala. Sebuah studi melaporkan bahwa 12,6%
menunjukkan penularan presimptomatik. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui periode
presimptomatik karena memungkinkan virus menyebar melalui droplet atau kontak dengan benda yang
terkontaminasi. Sebagai tambahan, bahwa terdapat kasus konfirmasi yang tidak bergejala
(asimptomatik). Meskipun risiko penularan sangat rendah, masih ada kemungkinan kecil untuk terjadi
penularan.

Kemudian seiring dengan perkembangan riset, WHO resmi mengeluarkan pernyataan bahwa virus
corona dapat berlama lama di udara dalam ruang tertutup. Kondisi ini tentu saja dapat menyebar
dengan mudah dari satu orang ke orang lain yang berada di dalam satu ruangan. Hal ini karena tetesan
berukuran di bawah 5 mikrometer yang mengandung virus SARS-Cov-2 bisa melayang di udara selama
beberapa jam dan berkelana hingga puluhan meter. Penularan melalui udara ini disebut dengan
airborne. Pernyataan ini dikeluarkan pada 9 Juli 2020 lalu.

Berdasarkan penyataan ini, jelas bahwa batasan jarak antarorang 1-2 meter perlu dikoreksi kembali.
Bahkan, sampai belasan meter pun diduga masih bisa terjadi penularan. Dapat dibayangkan jika ini
terjadi di tempat-tempat umum seperti mal atau tempat rekreasi. Sementara itu, penggunaan alat
pelindung diri seperti masker masih kurang memadai. Bahkan, tidak jarang masker hanya dipakai
sebagai sampiran saja.

Dalam hal penularan penyakit lewat udara, ada dua hal yang perlu dikaji, yaitu waktu dan paparan virus.
Hasil dari paparan, yaitu jumlah virus yang berada di udara dan waktu kita terpapar. Apabila manusia
terpapar virus ini dalam jumlah kecil, risiko untuk sakit dan tertular lebih rendah dibanding jika kita
terpapar dalam waktu lama dan jumlah virusnya banyak.

Pada dasarnya, penyebaran virus secara airborne ini bisa terjadi dalam beberapa metode yang salah
satunya adalah airborne aerosol. Aerosol adalah tetesan atau percikan atau droplet, tetesan adalah
aerosol-mereka tidak berbeda kecuali dalam ukuran. Para ilmuwan adakalanya menyebut tetesan
berdiameter kurang dari 5 mikron sebagai aerosol. Aerosol mengandung virus yang lebih sedikit
dibanding droplet.
Mengingat bahwa aerosol lebih ringan, juga bisa bertahan di udara, khususnya di tempat yang tak punya
sirkulasi udara segar. Dalam ruang tertutup yang padat, satu orang yang terinfeksi dapat melepaskan
cukup virus aerosol dari waktu ke waktu, yang dapat menulari banyak orang. Oleh karena itu,
memungkinkan dapat memunculkan klaster kasus baru. Oleh karena itu, diperlukan kewaspadaan tinggi
bila berada di ruangan tertutup.

Oleh karena itu, penggunaan masker di dalam ruangan sangat dianjurkan. Aktivitas di luar ruangan lebih
disarankan daripada aktivitas di dalam ruangan. Kemudian, sebisa mungkin menghindari berada di
tempat umum yang tertutup, padat, dan sirkulasi udaranya kurang baik. Hal ini mengingat bahwa
kelompok virus bisa menggantung di udara, terbawa angin, atau mendarat di orang lain maka virus bisa
masuk ke dalam tubuh melalui udara yang terhirup atau menyentuh sembarang permukaan. Sementara
itu, tangan yang digunakan menyentuh permukaan kemudian memegang mata, hidung, dan mulut
tanpa dicuci lebih dulu.

Kemudian, perlu pula untuk membatasi orang di dalam satu ruangan. Bila perlu hanya 2-3 orang saja.
Selanjutnya, waktu dalam satu ruangan pun perlu dibatasi. Batasi waktu dalam ruangan seminimal
mungkin. Hal ini karena penularan secara airborne tersebut memungkinkan terjadi jika dalam waktu
lama berada di dalam satu ruangan. Meskipun demikian, tutup mulut saat batuk atau bersin dengan tisu
atau bagian siku pakaian, untuk menekan risiko penularan. Selanjutnya, sediakan ventilasi atau exhaust
fan dalam ruangan. Terakhir, yang tidak kalah penting adalah usahakan sebisa mungkin untuk tidak
keluar rumah.

Anda mungkin juga menyukai