Anda di halaman 1dari 7

ESSAY RESIKO INFEKSI KEMBALI PASIEN SEMBUH DARI

COVID-19
Untuk memenuhi tugas keperawatan HomeCare

Oleh:
Billy Pratama Winata
18.20.008

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KEPANJEN
2020
Akhir-akhir ini dunia sangat dihebohkan dengan maraknya Covid-19 yang
menyerang hampir seluruh Negara di dunia ini. Hal tersebut menyebabkan darurat
kesehatan global karena mengancam seluruh aspek kehidupan. Covid-19 merupakan
wabah yang memiliki gejala hampir mirip flu biasa yaitu batuk, demam, sesak dan infeksi
pada saluran pernafasan tetapi virus ini lebih berbahaya dari pada virus influenza pada
umumnya karena gejala tersebut diperparah dengan gejala yang mirip dengan pasien-
pasien pneumonia.
Sejak kasus pertama di Wuhan, terjadi peningkatan kasus Covid-19 di china
setiap harinya dan memuncak pada akhir Januari hingga awal Februari 2020. Awalnya
kebanyakan laporan datang dari Hubei dan provinsi si sekitar, kemudian bertambah
hingga ke provinsi-provinsi lain di seluruh China. Tanggal 30 Januari 2020, telah terdapat
kurang lebih 7.736 kasus positif Covid-19 di China dan 86 kausu lain dilaporkan dari
berbagi Negara seperti Taiwan, Thailand, Vietnam, Malaysia, Nepal, Sri Langka, Kambija,
Jepang, Singapura, Arab Saudi, Korea Selatan, Filipina, India, Itali, Kadana dan Jerman.
World Healh Organization (WHO) menyebutkan bahwa virus ini sebagai
penyakit Covid-19 per tanggal 11 Februari 2020. Pernyataan baru dirilis oleh WHO pada
tanggal 11 Maret 2020, Terkait perubahan status PHEIC menjadi Pandemi, setelah
terjadi peningkatan yang signifikan pada jumlah laporan kasus dan jumlah kematian
akibat virus ini di berbagai Negara di seluruh dunia.
Cepatnya penyebaran virus menyadi masalah utama yang harus diselesaikan
guna untuk menenkan jumlah kasus pasien Positif COvid-19. Seperti yang telah kita
ketahui virus ini dapat menyebar lewat lewat kontak langsung dengan pasien positif
korona seperti berjabat tangan serta mengobrol dengan jarak dekat. Oleh karena itu
WHO menekan penyebaran virus dengan upaya lockdown dan juga physical distancing.
Upaya ini diharapkan bisa efektif karena dengan physical distancing kita menghindari
kontak langsung dengan orang lain, karena tidak semua orang atau pasien positif Covid-
19 memiliki tanda atau gejala.
Jumlah kasus Covid-19 yang dikonfirmasi sejak 22 Januari 2020 hingga 31 Maret
2020 mengalami lonjakan yang sangat signifikan. Tercatat jumlah laporan kasus di
seluruh dunia sebanyak 802.639 dengan jumlah kematian 39.014 jiwa dan jumlah pasien
berhasil sembuh sebesar 172.319 jiwa. Sampai tanggal 19April 2020 dilaporkan terdapat
2.329.539 kasus terkonfirmasi dari 185 negara yang 160.717 orang diantaranya
meninggal dunia serta 595.229 orang bisa disembuhkan.
Corona Virus adalah kumpulan virus yang bisa menginfeksi system pernafasan.
Pada beberapa kasus virus ini hanya menyebabkan infeksi pernafasan ringan seperti flu.
Namun virus ini juga bisa menyebabkan infeksi pernafasan berat seperti pneumonia.
Virus ini juga dikenal dengan virus corena jenis baru kenapa demikian karena virus
korona seperti ini pernah muncul sebelumnya yaitu sereve acute respiratory syndrome
corona virus (SARS-CoV). Virus ini menular dari manusia ke manusia. Walaupun lebih
banyak menyerang lansia, virus ini sebenarnya bisa menyerang siapa saja, mulai bayi
anak-anak, hingga orang dewasa.
Sampai saat ini pasien sembuh dari infeksi COVID-19 upaya-upaya terus
dilakukan untuk menyembuhkan pasien yang terinfeksi virus korona, akan tetapi pasien
yang pernah terinfeksi Covid-19 tidak menutup kemungkinan dapat terinfeksi kembali.
Di Korea selatan, para ahli Pusat Kontrol dan Pencegahan Penyakit saat ini sedang
mencoba memecahkan misteri baru terkait pandemic corona Mengapa 163 orang yang
sebelumnya telah dinyatakan sembuh dari Covid-19 kembali positif setelah dilakukan
tes ulang. Fenomena yang sama juga terjadi di China, pasien sembuh kini kembali positif
meski jumlahnya tidak dirilis secara resmi.
Apakah pasien yang telah sembuh dari Covid-19 kembali bisa terinfeksi virus
corona? Mengapa antibodi dalam darah yang telah terbentuk oleh pasien yang telah
terinfeksi tidak memberikan perlindungan terhadap risiko reinfeksi (tertular kembali)
virus corona?. Berdasarkan data yang dirilis KCDC akhir pekan ini, sekitar 2,1 persen dari
7.829 pasien sembuh dari Covid-19 kembali positif setelah dites ulang. Namun, KCDC
menyatakan, belum menemukan indikasi bahwa para pasien yang kembali positif Covid-
19 itu dapat menularkan penyakitnya, meski 44 persen dari mereka menunjukkan gejala
ringan Covid-19.
Muncul beberapa dugaan awal mengapa seorang pasien bisa kembali menjadi
positif Covid-19 setelah dinyatakan sembuh. Yang pertama, kemungkinan adanya
kesalahan atau error dari alat tes. Kedua, virus corona kembali aktif dalam darah pasien
sembuh. Teori lain menyebutkan bahwa ahli kesehatan Korea Selatan mengatakan pada
Rabu, 29 April 2020 bahwa pasien yang sembuh dari virus korona mungkin telah dites
positif lagi karena adanya jejak potongan-potongan virus yang telah mati. Mereka
menyangkal teori-teori yang menyebutkan bahwa pasien infeksi ulang Covid-19
disebabkan oleh hidupnya kembali virus korona di tubuh manusia.
Menurut saya itu memang bisa terjadi akan tetapi pasien sembuh dari Covid-19
dapat terinfeksi kembali mungkin dikarenakan antibody yang belum terbentuk secara
sempurna sehingga firus dapat menyerang pasien kembali. Karena mentes urut artikel
dan juga penelitihan yang saya baca tubuh dapat membentuk antibody dari virus
tersebut secara sempurna yaitu selama 3 tahun. Hal tersebut dapat dibuktikan pada
masa pandemic influenza yang terjadi pada 300 tahun yang lalu. Wabah virus influenza
yang menyebar pada skala dunia dan menginfeksi sebagian besar populasi dunia ini.
Jadi kemungkinan pasien reinfeksi dari Covid-19 sangatlah mungkin karena
belum terbentuknya secara sempurna antibody yang ada dalam tubuh orang tersebut.
Akan tetapi banyak yang mengatakan tidak mungkin dengan alasan, mereka menduga
tes positif setelah pemulihan bisa berarti tes menghasilkan negative palsu dan bahwa
pasien masih terinfeksi. “Mungkin karena kualitas specimen yang mereka ambil dan
mungkin karena tes itu tidak begitu sensitive”, jelas David Hui, seorang ahli pengobatan
pernafasan di Universitas China Hong Kong yang mempelajari wabah sindrom
pernafasan akut (SARS) 2002-2003, yang disebabkan oleh virus korona dalam keluarga
yang sama dengan SARS-CoV2.
Tes positif setelah pemulihan juga dapat mendeteksi sisa RNA(asam
ribonukleat) virus dalam tubuh, tetapi tidak dalam jumlah yang cukup tinggi untuk
menyebabkan penyakit, kata Menachery. “RNA virus dapat bertahan lama bahkan
setelah virus yang sebenarnya telah dihentikan”. Sebuah studi pada pasien Covid-19
yang pulih di kota Shenzhen Cina selatan menemukan bahwa 38 dari 262, atau hampir
15 persen dari pasien, dites positif setelah mereka dipulangkan. Mereka dikonfirmasi
melalu tes Polymerase Chain Reaction, yang saat ini menjadi standart emas untuk
pengujian virus corona. Para pasien umunya tidak bergejala pada saat tes positif ke dua
mereka.
Belum ada penelitian untuk menentukan apakah pasien yang sembuh dari
Covid-19 kebal terhadap penyakit ini dan jika demikian, berapa lama kekebalan akan
bertahan. Namun, studi pendahuluan memberikan beberapa petunjuk. Seperti contoh,
salah satu yang dilakukan oleh para peneliti China menemukan bahwa antibody pada
monyet rhesus menjaga primate yang pulih dari Covid-19 untuk tidak terinfeksi lagi
setelah terpapar virus. Studi yang dilakukan oleh para peneliti Taiwan menemukan
bahwa orang yang selamat dari wabah SARS-CoV2 pada tahun 2003 memiliki antibody
yang bertahan hingga 3 tahun yang menunjukan kekebalan. Hui mencatat bahwa orang
yang selamat dari syndrome pernafasan timur tengah (MERS) yang juga disebabkan oleh
virus yang terkait dengan Covid-19 ditemukan bertahan hanya sekitar satu tahun.
Menacheri memperkirakan bahwa antibody Covid-19 akan tetap berada dalam
system pasien selama dua hingga tiga tahun, berdasarkan apa yang telah diketahui dari
virus corona lain, tetapi ia mengatakan masih terlalu dini untuk mengetahui secara pasti.
Tingkat kekebalan juga bisa berbeda dari orang ke orang lain tergantung pada kekuatan
respons antibody pasien. Orang yang lebih muda, lebih sehat kemungkinan akan
menghasilkan respons sntibodi yang lebih kuat, memberi merka lebih banyak
perlindungan terhadap virus di masa depan.
Salah satu upaya pencegahan lain yaitu dengan pemberian vaksin kepada orang-
orang yang masih belum pernah terinfeksi Covid-19. Vaksin adalah bahan antigenic yang
digunakan untuk menghasilkan kekebalan terhadap suatu penyakit. Pemberian vaksin
atau bisa disebut dengan imunisasi dilakukan untuk mencegah atau mengurangi
pengaruh infeksi penyebab penyakit-penyakit tertentu. Apakah vaksin Covid-19 sudah
ada?. Semenjak WHO mendeklarasikan Covid-19 sebagai pandemic,semua mata tertuju
pada pengembangan vaksinnya. WHO juga mengatakan saat ini ada sekitar 20
perusahaan yang berlomba menciptakan vaksin Covid-19. Yang empat diantaranya
menjadi kandidat kuat karena sudah masuk dalam tahap proses pengujian pada hewan.
Beberapa artikel dan berita menyebutkan bahwa vaksin korona bisa ditemukan
namun membutuhka waktu 18 bulan.”pembangunan biasanya memakan waktu sekitar
lima tahun. Setelah anda memilih suatu penyakit untuk ditargetkan, anda harus
membuat. Vaksin dan menguji pada hewan. Kemudian anda mulai menguji keamanan
dan kemanjuran pada manusia,” tulis Bill Gates dalam blognya pada Kamis 30 April 2020.
Alam blog pribandinya, co-founder Microsoft ini mengatakan, apabila vaksin COvid-19
berhasil dikembangkan secara aman dan efektif dalam waktu 18 bulan, artinya ini akan
menjadi waktu tercepat ilmuan menciptakan vaksin baru.
Studi ekologi pertama pertama terkait hubungan BCG dan Virus SARS-CoV2,
menggunakan data penyebaran Covid-19 pada 21 maret 2020. Studi ini menyimpulkan
bahwa korelasi awal antara vaksinasi BCG dan perlindungan untuk Covid-19
menunjukan bahwa BCG dapat memberi perlindungan jangka panjang terhadap virus
corona baru. 6 ilmuwan dari Department of biomedical Sciences, NYIT College of
Osteopathic Medicine, New York Institute of Technology meneliti hubungan imunisasi
BCG dan tingkat kematian akibat Covid-19. Dilihat detiknet, kamis (9/4/2020) penelitian
mereka baru dipublikasi terbatas di medRxiv, yang artinya ada disclaimer belum peer
reviewed atau penelaahan sejawat. Negara dengan imunisasi BCG punya tingkat
kematian rata-rata 0,4-0,78 per satu juta penduduk. Negara tanpa imunisasi BCG punya
tingkat kematian rata-rata 7,3-16,39 per satu juta penduduk atau lebih tinggi dari
Negara dengan imunisasi BCG
DAFTAR PUSTAKA

CNN Indonesia
Erlino Burhan (2020)., Coronavirus yang Meresahkan Dunia. J Indo Med Assoc, Volume
: 70, Nomer 2, Februari 2020.
John Hopkins University, Wuhan Coronavirus (2019-nCoV) global cases (by John
Hopkins CSSE). 12 Februari 2020.
Muhammad Fajar (2020). ESTIMATION OF COVID-19 REPRODUCTIVE NUMBER CASE OF
INDONESIA ( Estimasi Angka Reproduksi Novel Coronavirus (COVID-19) Kasus
Indonesia).
Replubika.co.id
Susilo, A., Rumende, C. M., Pitoyo, C. W., Santoso, W. D., Yulianti, M., Herikurniawan,
H., ... & Chen, L. K. (2020). Coronavirus Disease 2019 : Tinjauan Literatur
Terkini. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, Vol. 7, No . 1.
WHO, Novel Coronavirus (2019-nCoV) Situation Report – 1. J anuari 21, 2020.

Anda mungkin juga menyukai