Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejumlah kasus pneumonia yang tidak diketahui sebabnya ditemukan pertama


kali dilaporkan di Wuhan, Provinsi Hubei, Cina pada 31 Desember 2019. Kasus
ini diduga berasal dari pasar yang menjual berbagai macam hewan. World Health
Organization (WHO) mengeluarkan petunjuk protokol kesehatan darurat yang
sudah dilakukan pada pandemi sebelumnya pada tanggal 10 Januari 2020.
Kemudian pada tanggal 12 Januari 2020 didapatkan kode genetik virus tersebut
yaitu virus corona baru. Penyakit ini menyebar dengan cepat ke berbagai wilayah
di China, Thailand, Jepang, dan Korea Selatan. Status Global Emergency
ditetapkan oleh World Health Organization (WHO) pada akhir Januari 2020. Lalu
WHO mengumumkan nama penyakit ini sebagai Coronavirus Disease (COVID-
19) yang disebabkan oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS-CoV-
2), yang sebelumnya disebut novel coronavirus 2019 (2019-nCoV), pada 11
Februari 2020 dan dinyatakan sebagai pandemik pada tanggal 11 Maret 2020.1.2
Hingga 23 Mei 2021, terdapat 166.346.635 kasus dan 3.449.117 jumlah kematian
menurut WHO. Sementara di Indonesia, terdapat 1.769.940 kasus dan 49.205
jumlah kematian.3

Penelitian mengenai COVID-19 masih dilanjutkan seiring meningkatnya kasus.


SARS-CoV-2 berasal dari genus betacoronavirus, yang merupakan genus yang
sama dengan agen penyebab Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) dan
Middle East Respiratory Syndrome (MERS).1 Beberapa penelitian hingga saat ini
menunjukkan kemungkinan proses masuknya COVID-19 ke dalam sel mirip
dengan SARS. Hai ini didasarkan pada kesamaan struktur 79% antara SARS dan
SARS-CoV-2.4 Virus ini menyebar melalui droplet dan kontak dengan membran
mukosa, terutama mukosa nasal dan laring, kemudian memasuki paru-paru
melewati traktus respiratorius. Lalu virus ini menyerang organ target yang
terdapat reseptor angiotensin converting enzyme 2 (ACE2).5,6

Manifestasi klinis COVID-19 pada setiap orang berbeda. Berdasarkan berat


kasusnya, COVID-19 dibedakan menjadi tanpa gejala, ringan, sedang, berat dan
kritis. Gejala paling umum ditemukan yaitu demam, batuk, dan kelelahan.
Kehilangan indera penciuman dan pengecapan, diare, sakit tenggorakan, myalgia,
dan sakit kepala juga merupakan gejala yang sering ditemukan. Dalam kasus yang
berat terdapat gejala sesak nafas yang dapat menjadi Acute Respiratory Distress
Syndrome (ARDS). 7,8,9
Manifestasi klinis ini dapat diperberat dengan adanya
faktor risiko usia dan komorbid seperti penyakit jantung, diabetes mellitus,
penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), kanker, dan penyakit ginjal. 8 Centers for
Disease Control and Prevention (CDC) menetapkan beberapa faktor risiko lain
yaitu adanya kontak erat, termasuk tinggal satu rumah dengan pasien COVID-19
dan riwayat perjalanan ke daerah yang terinfeksi.10

Pemeriksaan swab polymerase chain reaction (PCR) dilakukan pada pasien


terduga COVID-19. Apabila sudah terkonfirmasi positif, pasien diisolasi dan
dipantau. Pemberian obat dilakukan sesuai dengan beratnya kasus. Mulai dari
kasus tanpa gejala yang diberikan suplemen vitamin hingga antivirus pada kasus
dengan gejala berat. Adapun terapi tambahan yang dapat dilakukan yaitu anti IL-
6, anti-IL-1, mesenchymal stem cell (MSCs), intravenous immunoglobulin (IVIg),
dan plasma konvalesen. Diantara terapi-terapi tambahan tersebut, plasma
konvalesen lebih banyak digunakan.9,11

Terapi plasma konvalesen merupakan terapi dimana pasien diberikan antibodi


terhadap penyakit infeksi tertentu yang bertujuan untuk mengobati atau mencegah
penyakit tersebut dengan cara memberikan imunitas yang bersifat cepat. Plasma
konvalesen diperoleh dari pasien COVID-19 yang telah sembuh, diambil melalui
metoda plasmaferesis dan diberikan kepada pasien COVID-19 yang berat atau
potensial mengancam nyawa. Terapi plasma konvalesen diberikan bersama-sama
dengan terapi standar COVID-19 dan bertujuan untuk menurunkan angka
kematian dengan memberikan antibodi yang spesifik.. Dosis plasma konvalesen
yang diberikan di berbagai negara/uji klinis sangan bervariasi. Hingga kini, terapi
plasma konvalesen pada kasus COVID-19 masih dalam tahap uji klinis di
berbagai negara.9,12

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis tertarik untuk melakukan


penelitian dengan judul efektivitas pemberian plasma konvalesen sebagai terapi
COVID-19 pada pasien derajat berat.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaruh terapi plasma konvalesen sebagai pengobatan pasien


COVID 19 pada pasien derajat berat?
2. Bagaimana efektivitas terapi plasma konvalesen sebagai pengobatan
pasien COVID 19 pada pasien derajat berat?
3.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Literature review ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pemberian


plasma konvalesen sebagai terapi COVID-19 pada pasien derajat berat. Hal
ini dapat berguna untuk mengetahui bagaimana pengaruh pemberian plasma
konvalesen sebagai pengobatan COVID-19 .

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Untuk mengetahui pengaruh plasma konvalesen sebagai pengobatan
pasien COVID 19 pada pasien derajat berat.
2. Untuk mengetahui efektivitas plasma konvalesen sebagai pengobatan
pasien COVID 19 pada pasien derajat berat.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Akademik

Literature review ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada tenaga


kesehatan dan masyarakat serta menambah data epidemiologi pada sub bagian
farmakoterapi mengenai efektvitas terapi plasma konvalesen sebagai pengobatan
COVID-19 pada pasien derajat berat.

1.4.2 Manfaat Praktis

Literature review ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada


masyarakat khususnya pasien COVID-19 mengenai pengobatan menggunakan
plasma konvalesen. Selain itu, literature review ini juga diharapkan dapat
menambah informasi tentang efektivitas pengobatan menggunakan plasma
konvalesen.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Alur Kejadian Covid-19


Sejumlah kasus pneumonia yang tidak diketahui sebabnya ditemukan pertama
kali dilaporkan di Wuhan, Provinsi Hubei, Cina pada 31 Desember 2019. Kasus
ini diduga berasal dari pasar yang menjual berbagai macam hewan. World Health
Organization (WHO) mengeluarkan petunjuk protokol kesehatan darurat yang
sudah dilakukan pada pandemi sebelumnya pada tanggal 10 Januari 2020.
Kemudian pada tanggal 12 Januari 2020 didapatkan kode genetik virus tersebut
yaitu virus corona baru. Penyakit ini menyebar dengan cepat ke berbagai wilayah
di China, Thailand, Jepang, dan Korea Selatan. Status Global Emergency
ditetapkan oleh World Health Organization (WHO) pada akhir Januari 2020. Lalu
WHO mengumumkan nama penyakit ini sebagai Coronavirus Disease (COVID-
19) yang disebabkan oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS-CoV-
2), yang sebelumnya disebut novel coronavirus 2019 (2019-nCoV), pada 11
Februari 2020 dan dinyatakan sebagai pandemik pada tanggal 11 Maret 2020.1.2

Gambar 2.1 Alur Kejadian COVID-19.4


2.2 Epidemiologi
Jumlah kasus infeksi COVID-19 terkonfirmasi mencapai 166.346.635 kasus
pada tanggal 23 Mei 2020. Meskipun kasus terbanyak awalnya terdapat di Cina,
namun saat ini kasus terbanyak terdapat di Amerika Serikat dengan 32.762.914
kasus, diikuti oleh India dengan 26.530.132 kasus dan Brazil dengan 15.970.949
kasus. Penyakit ini sudah menyebar ke berbagai negara. Berdasarkan laporan
WHO, pada tanggal 23 Mei 2021, terdapat 166.346.635 kasus konfirmasi
COVID-19 di seluruh dunia dengan 3.449.117 kematian (CFR 2,07%). Wilayah
Amerika memiliki kasus terkonfirmasi terbanyak, yaitu 65.979.469 kasus.
Selanjutnya wilayah Eropa dengan 54.108.090 kasus, wilayah Asia dengan
30.088.649 kasus, wilayah Mediterania Timur dengan 9.862.629 kasus, wilayah
Afrika dengan 3.446.089 kasus, dan wilayah Pasifik Barat dengan 2.860.945
kasus.3

Pertama kali COVID-19 dilaporkan di Indonesia tanggal 2 Maret 2020, diduga


berasal dari orang asing yang berkunjung, sejumlah dua kasus.10 Data 23 Mei
2021 menunjukkan kasus yang terkonfirmasi berjumlah 1.769.940 kasus dan
49.205 kasus kematian. Tingkat mortalitas COVID-19 di Indonesia sebesar
2,78%, angka ini merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara.3

2.3 Patogenesis
Kebanyakan Coronavirus menginfeksi hewan dan bersirkulasi di hewan.
Coronavirus menyebabkan sejumlah besar penyakit pada hewan dan
kemampuannya menyebabkan penyakit berat pada hewan seperti babi, sapi, kuda,
kucing dan ayam. Coronavirus disebut dengan virus zoonotik yaitu virus yang
ditransmisikan dari hewan ke manusia. Banyak hewan liar yang dapat membawa
patogen dan bertindak sebagai vektor untuk penyakit menular tertentu. Kelelawar,
tikus bambu, unta dan musang merupakan host yang biasa ditemukan untuk
Coronavirus. Coronavirus pada kelelawar merupakan sumber utama untuk
kejadian severe acute respiratorysyndrome (SARS) dan Middle East respiratory
syndrome (MERS).11
Coronavirus hanya bisa memperbanyak diri melalui sel host-nya. Virus tidak
bisa hidup tanpa sel host. Berikut siklus dari Coronavirus setelah menemukan sel
host sesuai tropismenya. Pertama, penempelan dan masuk virus ke sel host
diperantarai oleh Protein S yang ada dipermukaan virus. Protein S penentu utama
dalam menginfeksi spesies host-nya serta penentu tropisnya.11

Studi SARS-CoV protein S berikatan dengan reseptor di sel host yaitu enzim
ACE-2 (angiotensin-converting enzyme 2). ACE-2 dapat ditemukan pada mukosa
oral dan nasal, nasofaring, paru, lambung, usus halus, usus besar, kulit, timus,
sumsum tulang, limpa, hati, ginjal, otak, sel epitel alveolar paru, sel enterosit usus
halus, sel endotel arteri vena, dan sel otot polos.20 Setelah berhasil masuk
selanjutnya translasi replikasi gen dari RNA genom virus. Selanjutnya replikasi
dan transkripsi dimana sintesis virus RNA melalui translasi dan perakitan dari
kompleks replikasi virus. Tahap selanjutnya adalah perakitan dan rilis virus.11

Setelah terjadi transmisi, virus masuk ke saluran napas atas kemudian


bereplikasi di sel epitel saluran napas atas (melakukan siklus hidupnya). Setelah
itu menyebar ke saluran napas bawah. Pada infeksi akut terjadi peluruhan virus
dari saluran napas dan virus dapat berlanjut meluruh beberapa waktu di sel
gastrointestinal setelah penyembuhan. Masa inkubasi virus sampai muncul
penyakit sekitar 3-7 hari.11

Manifestasi Klinis
Infeksi COVID-19 dapat menimbulkan gejala ringan, sedang atau berat. Gejala
klinis utama yang muncul yaitu demam (suhu >380C), batuk dan kesulitan
bernapas. Selain itu dapat disertai dengan sesak memberat, fatigue, mialgia, gejala
gastrointestinal seperti diare dan gejala saluran napas lain. Setengah dari pasien
timbul sesak dalam satu minggu. Pada kasus berat perburukan secara cepat dan
progresif, seperti ARDS, syok septik, asidosis metabolik yang sulit dikoreksi dan
perdarahan atau disfungsi sistem koagulasi dalam beberapa hari. Beberapa pasien
muncul gejala yang ringan bahkan tidak disertai dengan demam. Kebanyakan
pasien memiliki prognosis baik, dengan sebagian kecil dalam kondisi kritis
bahkan meninggal.11
Berdasarkan beratnya kasus, COVID-19 dibedakan menjadi tanpa gejala,
ringan, sedang, berat dan kritis.

a. Tanpa gejala
Kondisi ini merupakan kondisi paling ringan. Pasien tidak ditemukan
gejala.
b. Ringan
Pasien dengan gejala tanpa ada bukti pneumonia virus atau tanpa hipoksia.
Gejala yang muncul seperti demam, batuk, fatigue, anoreksia, napas
pendek, mialgia. Gejala tidak spesifik lainnya seperti sakit tenggorokan,
kongesti hidung, sakit kepala, diare, mual dan muntah, penghidu (anosmia)
atau hilang pengecapan (ageusia) yang muncul sebelum onset gejala
pernapasan juga sering dilaporkan. Pasien usia tua dan
immunocompromised gejala atipikal seperti fatigue, penurunan kesadaran,
mobilitas menurun, diare, hilang nafsu makan, delirium, dan tidak ada
demam.
c. Sedang
Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis pneumonia
(demam, batuk, sesak, napas cepat) tetapi tidak ada tanda pneumonia berat
termasuk SpO2 > 93% dengan udara Pedoman Tatalaksana COVID-19 7
ruangan ATAU Anak-anak : pasien dengan tanda klinis pneumonia tidak
berat (batuk atau sulit bernapas + napas cepat dan/atau tarikan dinding
dada) dan tidak ada tanda pneumonia berat). Kriteria napas cepat : usia 5
tahun, ≥30x/menit.
d. Berat /Pneumonia Berat
Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis pneumonia
(demam, batuk, sesak, napas cepat) ditambah satu dari: frekuensi napas >
30 x/menit, distres pernapasan berat, atau SpO2 < 93% pada udara ruangan.
ATAU Pada pasien anak : pasien dengan tanda klinis pneumonia (batuk
atau kesulitan bernapas), ditambah setidaknya satu dari berikut ini: 
sianosis sentral atau SpO25 tahun, ≥30x/menit.
e. Kritis
Pasien dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan
syok sepsis.1,11

2.2.1 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Labotorium
Pemeriksaan laboratorium lain seperti hematologi rutin, hitung jenis,
fungsi ginjal, elektroliy, analisis gas darah, hemostasis, laktat, dan
prokalsitonin dapat dikerjakan sesuai dengan indikasi. Trombositopenia
juga kadang dijumpai, sehingga kadang diduga sebagai pasien demam
berdarah.
foto toraks, CT-scan toraks, USG toraks. Pada pencitraan menunjukkan
opasitas bilateral, konsolidasi subsegmental, lobar atau kolaps paru atau
nodul, tampilan groundglass.
2. Pemeriksaan spesimen saluran napas atas dan bawah. Saluran napas atas
dengan swab tenggorok(nasofaring dan orofaring). Saluran napas bawah
(sputum, bilasan bronkus, BAL, bila menggunakan endotrakeal tube dapat
berupa aspirat endotrakeal.
3. Bronkoskopi
4. Pungsi pleura sesuai kondisi
5. Pemeriksaan kimia darah
6. Biakan mikroorganisme dan uji kepekaan dari bahan saluran napas
(sputum, bilasan bronkus, cairan pleura) dan darah
7. Kultur darah untuk bakteri dilakukan, idealnya sebelum terapi antibiotik.
Namun, jangan menunda terapi antibiotik dengan menunggu hasil kultur
darah
8. Pemeriksaan feses dan urin (untuk investasigasi kemungkinan penularan).

2.2.2 Penatalaksanaan
2.1.6.1 Tanpa Gejala
a. Isolasi dan Pemantauan
Isolasi mandiri di rumah selama 10 hari sejak pengambilan spesimen
diagnosis konfirmasi, baik isolasi mandiri di rumah maupun di fasilitas
publik yang dipersiapkan pemerintah. Pasien dipantau melalui telepon
oleh petugas Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Lalu,
melakukan kontrol di FKTP terdekat setelah 10 hari karantina untuk
pemantauan klinis.
b. Non-farmakologis
Pemberian edukasi terkait tindakan yang perlu dikerjakan (leaflet untuk
dibawa ke rumah) perlu dilakukan. Pasien dihimbau agar selalu
menggunakan masker jika keluar kamar dan saat berinteraksi dengan
anggota keluarga, mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau
hand sanitizer sesering mungkin, menjaga jarak dengan keluarga (physical
distancing), mengupayakan kamar tidur sendiri / terpisah, menerapkan
etika batuk (diajarkan oleh tenaga medis), alat makan-minum segera dicuci
dengan air/sabun, berjemur matahari minimal sekitar 10-15 menit setiap
harinya (sebelum jam 9 pagi dan setelah jam 3 sore), memisahkan pakaian
yg telah dipakai lalu dimasukkan dalam kantong plastik / wadah tertutup
yang terpisah dengan pakaian kotor keluarga yang lainnya sebelum dicuci
dan segera dimasukkan mesin cuci, mengukur dan mencatat suhu tubuh 2
kali sehari (pagi dan malam hari), dan memberi informasi ke petugas
pemantau/FKTP atau keluarga jika terjadi peningkatan suhu tubuh > 38oC.
Pasien atau keluarga harus memerhatikan ventilasi, cahaya dan udara,
membuka jendela kamar secara berkala, bila memungkinkan
menggunakan APD saat membersihkan kamar (setidaknya masker, dan
bila memungkinkan sarung tangan dan goggle), mencuci tangan dengan air
mengalir dan sabun atau hand sanitizer sesering mungkin. membersihkan
kamar setiap hari , bisa dengan air sabun atau bahan desinfektan lainnya.
Bagi anggota keluarga yang berkontak erat dengan pasien sebaiknya
memeriksakan diri ke FKTP/Rumah Sakit, memakai masker, menjaga
jarak minimal 1 meter dari pasien, rajin mencuci tangan, jangan
menyentuh daerah wajah kalau tidak yakin tangan bersih, dan
membersihkan sesering mungkin daerah yg mungkin tersentuh pasien
misalnya gagang pintu.
c. Farmakologi
Bila terdapat penyakit penyerta / komorbid, dianjurkan untuk tetap
melanjutkan pengobatan yang rutin dikonsumsi. Apabila pasien rutin
meminum terapi obat antihipertensi dengan golongan obat ACE-inhibitor
dan Angiotensin Reseptor Blocker perlu berkonsultasi ke Dokter Spesialis
Penyakit Dalam atau Dokter Spesialis Jantung. Pasien dapat diberikan
vitamin C (untuk 14 hari), dengan pilihan tablet vitamin C non acidic 500
mg/6-8 jam oral (untuk 14 hari) atau tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam
oral (selama 30 hari). Multivitamin juga dapat diberikan terutama yang
mengandung vitamin C 1-2 tablet /24 jam (selama 30 hari) vitamin B,
vitamin E, Zinc. Kemudian, dapat ditambah vitamin D dengan bentuk
suplemen 400 IU-1000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet, kapsul, tablet
effervescent, tablet kunyah, tablet hisap, kapsul lunak, serbuk, sirup), obat-
obatan suportif baik tradisional (Fitofarmaka) maupun Obat Modern Asli
Indonesia (OMAI) yang teregistrasi di BPOM dapat dipertimbangkan
untuk diberikan namun dengan tetap memperhatikan perkembangan
kondisi klinis pasien, serta obat-obatan yang memiliki sifat antioksidan
dapat diberikan.

2.1.6.2 Derajat Ringan


a. Isolasi dan Pemantauan
Isolasi mandiri di rumah/ fasilitas karantina selama maksimal 10 hari sejak
muncul gejala ditambah 3 hari bebas gejala demam dan gangguan
pernapasan. Jika gejala lebih dari 10 hari, maka isolasi dilanjutkan hingga
gejala hilang ditambah dengan 3 hari bebas gejala. Isolasi dapat dilakukan
mandiri di rumah maupun di fasilitas publik yang dipersiapkan
pemerintah. Petugas FKTP diharapkan proaktif melakukan pemantauan
kondisi pasien. Setelah melewati masa isolasi pasien akan kontrol ke
FKTP terdekat.
b. Non Farmakologis
Edukasi terkait tindakan yang harus dilakukan sama dengan edukasi tanpa
gejala
c. Farmakologis
Pasien dapat diberikan vitamin C (untuk 14 hari), dengan pilihan tablet
vitamin C non acidic 500 mg/6-8 jam oral (untuk 14 hari) atau tablet isap
vitamin C 500 mg/12 jam oral (selama 30 hari). Multivitamin juga dapat
diberikan terutama yang mengandung vitamin C 1-2 tablet /24 jam (selama
30 hari) vitamin B, vitamin E, Zinc. Kemudian, dapat ditambah vitamin D
dengan bentuk suplemen 400 IU-1000 IU/hari (tersedia dalam bentuk
tablet, kapsul, tablet effervescent, tablet kunyah, tablet hisap, kapsul lunak,
serbuk, sirup), Azitromisin 1 x 500 mg perhari selama 5 hari. Lalu bisa
dikombinasi dengan Oseltamivir (Tamiflu) 75 mg/12 jam/oral selama 5- 7
hari (terutama bila diduga ada infeksi influenza) atau Favipiravir (Avigan
sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12 jam/oral hari ke-1 dan
selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5). Pemberian obat-obatan simptomatik
seperti paracetamol dapat diberikan sesuai gejala. Obat-obatan suportif
baik tradisional (Fitofarmaka) maupun Obat Modern Asli Indonesia
(OMAI) yang teregistrasi di BPOM dapat dipertimbangkan untuk
diberikan namun dengan tetap memperhatikan perkembangan kondisi
klinis pasien, serta obat-obatan yang memiliki sifat antioksidan dapat
diberikan.

2.1.6.3 Derajat Sedang


a. Isolasi dan Pemantauan
Pasien dirujuk ke Rumah Sakit ke Ruang Perawatan COVID-19/ Rumah
Sakit Darurat COVID-19 dan melakukan isolasi di Rumah Sakit ke Ruang
PerawatanCOVID-19/ Rumah Sakit Darurat COVID-19
b. Non Farmakologis
Beristirahat total, memenuhi asupan kalori adekuat, mengontrol kadar
elektrolit, status hidrasi/terapi cairan, dan oksigen. Memantau pemeriksaan
laboratorium hematologi lengkap berikut dengan hitung jenis, bila
memungkinkan ditambahkan dengan C-reactive Protein(CRP), fungsi
ginjal, fungsi hati dan foto toraks secara berkala.
c. Farmakologis
Pemberian vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis
dalam 1 jam diberikan secara drip Intravena (IV) selama perawatan,
Azitromisin 500 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari) atau
sebagai alternatif Levofloksasin dapat diberikan apabila curiga ada infeksi
bakteri dengan dosis 750 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari).
Ditambah salah satu antivirus berikut yaitu Favipiravir (Avigan sediaan
200 mg) loading dose 1600 mg/12 jam/oral hari ke-1 dan selanjutnya 2 x
600 mg (hari ke 2-5) atau Remdesivir 200 mg IV drip (hari ke-1)
dilanjutkan 1x100 mg IV drip (hari ke 2-5 atau hari ke 2-10). Pengobatan
simtomatis sesuai gejala serta pengobatan komorbid dan komplikasi yang
ada.

2.1.6.4 Derajat Berat atau Kritis


a. Isolasi dan Pemantauan
Melakukan solasi di ruang isolasi Rumah Sakit Rujukan atau rawat secara
kohorting dan melakukan pengambilan swab untuk PCR
b. Non Farmakologis
Beristirahat total, memenuhi asupan kalori adekuat, mengontrol kadar
elektrolit, status hidrasi/terapi cairan, dan oksigen. Memantau pemeriksaan
laboratorium hematologi lengkap berikut dengan hitung jenis, bila
memungkinkan ditambahkan dengan C-reactive Protein(CRP), fungsi
ginjal, fungsi hati, hemostasis, LDH, D-dimer dan foto toraks secara
berkala. Memonitor tanda-tanda berikut yaitu, frekuensi napas ≥ 30x/min,
saturasi oksigen dengan pulse oximetry ≤93% (di jari), PaO2/FiO2 ≤ 300
mmHg, terjadi peningkatan sebanyak >50% di keterlibatan area paru-paru
pada pencitraan thoraks dalam 24-48 jam, limfopenia progresif,
peningkatan CRP progresif, asidosis laktat progresif. Lalu Monitor keadaan
kritis seperti gagal napas yg membutuhkan ventilasi mekanik, syok atau
gagal multiorgan yang memerlukan perawatan ICU. Bila terjadi gagal
napas disertai ARDS pertimbangkan penggunaan ventilator mekanik yang
penting dalam pencegahan perburukan penyakit.

2.2.3 Terapi Tambahan


a. Anti IL-6 (Tocilizumab)
Cytokine storm adalah respons sistem kekebalan tubuh yang berlebihan
akibat infeksi maupun penyebab lain yang ditandai dengan pelepasan
sitokin yang tidak terkontrol yang menyebabkan inflamasi sistemik dan
kerusakan multi-organ. Beberapa studi yang menganalisis karakteristik
klinis pasien COVID-19 secara konsisten menunjukkan penurunan jumlah
limfosit yang signifikan pada pasien pneumonia serta peningkatan tajam
pada sebagian besar sitokin, terutama interleukin (IL) - 6. Pada pasien
COVID-19, kadar IL-6 meningkat tajam dan berperan dalam induksi
diferensiasi limfosit B dan produksi antibodi serta proliferasi dan
diferensiasi limfosit T. Cytokine storm pada COVID-19 dapat
meningkatkan permeabilitas vaskuler, terjadi perpindahan cairan dan sel
darah dalam alveolus yang mengakibatkan ARDS hingga kematian.
Dengan demikian, menghambat kerja IL-6 merupakan salah satu terapi
potensial untuk pasien COVID-19 dengan pneumonia berat atau kritis.
Transduksi sinyal sel oleh IL-6 harus diinisiasi oleh ikatan antara IL-6
dan reseptornya, Reseptor IL-6 (IL-6R) yang bersama sama membentuk
kompleks dan berikatan dengan protein membran sel. Reseptor IL-6 (IL-
6R) memiliki dua bentuk yaitu membrane bound IL-6R (mIL-6R) dan
soluble IL-6R (sIL-6R). Tocilizumab merupakan antibodi monoclonal
penghambat IL-6 yang dapat secara spesifik berikatan dengan mIL-6R dan
sIL-6R. Tocilizumab telah dipakai pada kasus artritis rheumatoid dengan.
Hingga saat ini uji klinis pemakaian tocilizumab masih diteliti.
Beberapa penelitian menunjukkan tidak terdapat penurunan mortalitas
yang bermakna antara pasien yang diberikan tocilizumab dan plasebo.
Namun, berdasarkan hasil berbagai studi, dapat disimpulkan sementara
bahwa terapi tocilizumab kemungkinan memberikan hasil yang baik pada
pasien COVID-19 yang berat, meskipun perlu ditunggu publikasi-
publikasi berbagai clinical trial yang saat ini sedang dan telah berlangsung
untuk mengambil kesimpulan yang valid. Meskipun tocilizumab
bermanfaat untuk menekan dampak IL 6 terhadap peradangan paru dan
vaskular, tetapi dampak imunosupresannya dapat menyebabkan infeksi
sekunder sehingga pemberian terlambat pada pasien yang telah
terventilator lama mungkin perlu dihindari. Efek imunosupresi tocilizumab
juga dapat memperlama persistensi virus (prolong viral shedding),
sehingga pemberian dini pada saat virus masih berkembang juga berisiko.
Karena itu pemilihan waktu yang tepat penting bagi keberhasilan terapi
Tocilizumab.
b. Anti IL-1 (Anakinra)
Anakinra merupakan antagonis reseptor IL-1 rekombinan yang
memiliki mekanisme untuk menetralisasi reaksi hiperinflamasi yang
terjadi pada kondisi ARDS yang disebabkan oleh infeksi SARS-CoV-2.
Pada sebuah studi klinis yang melibatkan 52 pasien, Anakinra dapat
menurunkan kebutuhan pemakaian ventilasi mekanis invasif dan
menurunkan kematian pada pasien COVID-19 tanpa efek samping yang
serius. Dosis yang dapat diberikan adalah 100 mg/ 12 jam selama 72 jam
dilanjutkan dengan 100 mg/ 24 jam selama 7 hari.
c. Mesenchymal Stem Cell (MSCs)/ Sel Punca
Pada prinsipnya pemberian MSCs dapat menyeimbangkan proses
inflamasi yang terjadi pada kondisi ARDS yang ditandai dengan eksudat
fibromixoid seluler, inflamasi paru yang luas, edema paru, dan
pembentukan membran hyalin. MSCs bekerja sebagai imunoregulasi
dengan nekan profilerasi sel T. Selain itu sel punca dapat berinteraksi
dengan sel-sel dendritik sehingga menyebabkan pergeseran sel Th-2
proinflamasi menjadi Th anti-inflamasi, termasuk perubahan profil stikoin
menuju anti-inflamasi. Hingga saat ini, belum ada MSCs yang mendapat
rekomendasi oleh FDA Amerika sebagai pengobatan COVID-19, dan
penggunannya pun dibatasi hanya untuk kepentingan uji klinis, expanded
access programs, atau emergency investigational new drug application.,
d. Intravenous Immunoglobulin (IVIg)
Imunoglobulin intravena (IVIg) adalah konsentrat immunoglobulin G
yang diisolasi dari plasma donor yang normal. Terapi IVIG menjadi satu
alternatif pilihan terapi, terutama pada kasus COVID-19 yang berat.
Penelitian untuk IVIG pada COVID-19 belum terlalu banyak, dan
sebagian besar adalah laporan kasus tunggal maupun serial, serta studi
observasional. Dari berbagai publikasi yang telah ada saat ini, tampaknya
terapi dengan IVIg memberikan hasil yang baik, tapi dengan bukti yang
masih sangat sedikit dianjurkan penggunaannya terbatas pada kondisi yang
berat dan kritis, dan lebih bersifat live saving. Dosis IVIg yang digunakan
pada berbagai studi ini sangat beragam, tapi sebagian besar studi ini
menggunakan IVIG dosis besar yaitu sekitar 0,3-0,5 gram/kgBB/hari
selama 3 atau 5 hari berturut-turut.

2.4 Plasma Konvalesen


2.2.1 Definisi
2.2.2 Sejarah
2.2.3 Mekanisme
2.2.4 Indikasi
2.2.5 Efek Samping
2.2.6 Syarat Pemberian
2.2.7 Syarat Donor
2.2.8 Dosis
2.2.9 Lama Pemberian
2.2.10 Cara pemberian
2.2.11 Efektivitas
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Desain penelitian ini adalah. yang sistematis, eksplisit, dan reprodusibel


untuk. Rancangan penelitian ini adalah literature review atau tinjauan pustaka.
Literature review adalah sebuah metode penelitian yang mengumpulkan data
pustaka melalui berbagai sumber kepustakaan seperti jurnal ilmiah, tesis atau
disertasi, studi kasus, publikasi pemerintah dan prosiding hasil konferensi yang
disusun secara sistematis untuk melakukan evaluasi terhadap karya-karya hasil
penelitian dan hasil pemikiran yang sudah dihasilkan oleh para peneliti dan
praktisi. Pada penelitian ini, peneliti akan mengkaji informasi dan data mengenai
efektivitas pemberian plasma konvalesen sebagai terapi COVID-19 pada pasien
derajat berat.

3.2 Objek Penelitian

Objek pada literature review ini adalah jurnal penelitian yang memenuhi
kriteria inklusi. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder.

3.2.2 Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi pada literature review ini adalah literatur-literatur berbahasa


Indonesia atau inggris yang berhubungan dengan pengaruh dan efektivitas plasma
konvalesen terhadap COVID-19 yang diterbitkan pada tahun 2020-2021. Sumber
yang digunakan hanya terfokus pada plasma konvalesen, COVID 19, pengaruh,
dan efektivitas.

3.2.3 Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi pada literature review ini yaitu jurnal jurnal yang tidak
membahas efektivitas plasma konvalesen terhadap COVID-19.
3.3 Jumlah Sampel
3.3.1 Cara Pengambilan Sampel

Penelitian literatur ini dilakukan dengan menggunakan mesin pencari


Google dengan kata kunci plasma konvalesen, plasma konvalesen terapi, plasma
konvalesen terapi pada pasien derajat berat. Data untuk penelitian ini diambil dari
dari berbagai sumber seperti jurnal ilmiah, prosiding hasil konferensi, studi kasus,
publikasi pemerintah, tesis atau disertasi, serta literatur-literatur lainnya yang
berkaitan dengan efektivitas pemberian plasma konvalesen sebagai terapi
COVID-19 pada pasien derajat berat. Beberapa website ilmiah seperti NCBI,
Elsevier, ScienceDirect, PubMed, Researchgate,Uptodate,CDC, WHO, google
scholar, dan Depkes RI, dapat menjadi sumber data.

3.4 Variabel Penelitian

Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah pengaruh dan efektivitas
plasma konvalesen.

3.5 Definisi Operasional

Definisi operasional meliputi definisi variabel yang menjadi fokus penelitian yang
disajikan dalam tabel 3.1
3.6 Bahan dan Alat Penelitian

Jenis data yang digunakan yaitu data yang didapat dari jurnal-jurnal yang
diterbitkan dari tahun 2020-2021. Peralatan yang digunakan pada literature
review ini adalah Microsoft Word 2013 dan Google Chrome.

3.7 Prosedur Penelitian

Pertama kali penelitian ini dilakukan dengan memformulasikan


permasalahan yang ingin diteliti. Lalu peneliti mencari literatur yang sesuai
dengan topik yang sudah dipilih. Pencarian literatur didapatkan dari jurnal ilmiah,
prosiding hasil konferensi, studi kasus, publikasi pemerintah, tesis atau disertasi.
Kemudian peneliti melakukan evaluasi dan seleksi sumber literatur yang sesuai
dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Setelah memilih sumber-sumber literatur
yang sesuai, peneliti menganalisis dan menginterpretasi data-data yang
didapatkan dari hasil Literature Review dengan cara mencari persamaan, mencari
perbedaan, mengkritisi, membandingkan, dan meringkas literatur-literatur tersebut
sehingga peneliti mencapai suatu kesimpulan. Setelah mencapai kesimpulan,
penulis membuat laporan hasil penelitian. Batas plagiat untuk pendidikan S1
maksimal sebesar 20% dan pengecekan menggunakan plagiarism checker seperti
Turnitin.
3.8 Pengolahan dan Analisis Data

3.8.1 Pengolahan Data

Data yang ada dalam peneliian dikumpulkan dan diolah dengan cara:

1. Editing, yaitu pemeriksaan kembali data yang diperoleh terutama dari segi
kelengkapan, kejelasan makna dan keselarasan makna antara satu dengan yang
lainnya.
2. Organizing, yaitu pengorganisiran data-data yang diperoleh dengan kerangka
yang diperlukan
3. Penemuan hasil penelitian, yaitu melakukan analisis lanjutan terhadap hasil
pengorganisiran data dengan menggunakan kaidah, teori dan metode yang
telah ditentukan sehingga diperoleh kesimpulan tertentu yang merupakan hasil
jawaban dari rumusan masalah.
3.8.2 Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis dari hasil penelitian sebelumnya. Data


yang diperoleh kemudian dianalisis secara deskriptif dan disintesis menggunakan
software Microsoft Word 2013. Analisis dilakukan untuk memilih data mana saja
yang akan disajikan didalam laporan akhir. Analisis yang dilakukan yaitu analisis
isi dan komparasi.
3.9 Aspek Etika Penelitian

Data pada penelitian ini merupakan data sekunder yang didapatkan dari
literatur dari buku, jurnal kedokteran, tesis, maupun disertasi. Etika yang berlaku
pada literature review ini adalah etika mengenai plagiarisme terhadap penelitian
sebelumnya. Aturan mengenai plagiarisme disesuaikan dengan etika penulisan
karya tulis di Indonesia. Batas plagiat untuk pendidikan S1 maksimal sebesar
20%. Pengecekan plagiarisme dilakukan menggunakan plagiarism checker
berbayar seperti Turnitin dan plagiarism checker lainnya.

3.10 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian literature review ini dilaksanakan dari bulan Maret 2021 sampai
bulan Juni 2021. Penelitian dilakukan di rumah dengan mencari berbagai jurnal
melalui internet.

3.11 Jadwal Penelitian

Tabel 3.2 Jadwal penelitian


2021
No Jadwal Kegiatan 3 4
1 Pengajuan tema dan judul
2 Bimbingan
3 Penyusunan proposal penelitian
4 Sidang usulan penelitian

Anda mungkin juga menyukai