Phutri pratiwy
Soedarsono
1. Pendahuluan
Coronavirus adalah salah satu patogen utama yang menyerang sistem
pernapasan manusia. Wabah coronavirus sebelumnya termasuk severe acute
respiratory syndrome (SARS)-CoV dan middle east respiratory syndrome
(MERS)-CoV yang sebelumnya telah dicirikan sebagai ancaman besar terhadap
1
Kesehatan dunia. Sebagai respon terhadap hal tersebut, WHO menetapkan
peringatan epidemi pada tanggal 31 desember 2019.2 Pada desember 2019 di
Wuhan, China, Kluster dari pneumonia yang baru telah dilaporkan. Pada 7
januari 2020, departemen Kesehatan china mengumumkan bahwa kluster ini
berhubungan dengan coronavirus terbaru, yang dinamakan “coronavirus disease
2019”.3
Strain terbaru dari coronavirus di isolasi dari bilasan bronkoalveolar
pasien yang dicurigai bertanggung jawab atas wabah ini.4 Kemudian pada 28 mei
2020, severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS CoV-2) atau yang
biasa disebut Covid-19 telah menginfeksi lebih dari 5,85 juta individu di seluruh
dunia dan menyebabkan 359.000 kematian.5 covid-19 menyebar secara cepat dari
satu individu ke individu lain, dan merupakan pneumonia virus akut yang
menyebabkan kegagalan pernapasan yang dilaporkan dalam studi otopsi dan
hewan.6 Pembatasan sosial berskala besar telah dilakukan di beberapa negara di
dunia, dan berefek terhadap Kesehatan, kesejahteraan ekonomi, bisnis, dan aspek
lain dari kehidupan sehari-hari.5 Covid-19 menjadi penyakit yang mewabah di
seluruh dunia, yang menjadi masalah global, seiring dengan meningkatnya
morbiditas dan mortalitas dari Covid-19 tersebut, sangat penting untuk memahami
1
diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat, sehingga menghasilkan outcomes yang
baik.
2. Epidemiologi
Kasus pertama dari Covid-19 dilaporkan pada desember 2019 di wuhan,
china. Sejak 18 desember hingga 29 desember 2019, 5 pasien di rawat dengan
acute respiratory distress syndrome (ARDS) dan 1 dari pasien tersebut meninggal
dunia. Pada 2 januari 2020, 41 pasien dirawat di Rumah Sakit dan terkonfirmasi
secara laboratoris terinfeksi Covid-19, setengah dari jumlah pasien ini memiliki
penyakit dasar termasuk diabetes, hipertensi, dan penyakit-penyakit
kardiovaskular.1 Menurut sebuah penelitian di china, sekitar 80% pasien datang
dengan penyakit ringan dan keseluruhan case-fatality rate sekitar 2,3%, tetapi
dapat mencapai 8% pada pasien yang berusia 70-79 tahun dan 14,8% pada usia
>80 tahun.7
Pada 22 januari 2020, total 571 kasus Covid-19 telah dilaporkan di 25
provinsi di China. Pada 30 januari 2020, 7734 kasus telah terkonfirmasi di China,
dan 90 kasus lainnya juga dilaporkan dari sejumlah negara lain termasuk Taiwan,
Thailand, Vietnam, Malaysia, Nepal, Sri lanka, Kamboja, Jepang, Singapura,
Korea, Uni emirate arab, Amerika, Filipina, India, Australia, Kanada, Finlandia,
Prancis, dan Jerman.1
Coronavirus merupakan zoonosis (ditularkan antara hewan dan manusia).
Masa inkubasi Covid-19 rata-rata 5-6 hari, dengan range antara 1 dan 14 hari
namun dapat mencapai 14 hari. Risiko penularan tertinggi diperoleh di hari-hari
pertama penyakit disebabkan oleh konsentrasi virus pada sekret yang tinggi.
Orang yang terinfeksi dapat langsung menularkan sampai dengan 48 jam sebelum
onset gejala (presimptomatik) dan sampai dengan 14 hari setelah onset gejala.
Berdasarkan studi epidemiologi dan virologi saat ini membuktikan bahwa Covid-
19 utamanya ditularkan dari orang yang bergejala (simptomatik) ke orang lain
yang berada jarak dekat melalui droplet. Droplet merupakan partikel berisi air
dengan diameter >5-10 µm. Penularan droplet terjadi ketika seseorang berada
pada jarak dekat (dalam 1 meter) dengan seseorang yang memiliki gejala
pernapasan (misalnya, batuk atau bersin) sehingga droplet berisiko mengenai
mukosa (mulut dan hidung) atau konjungtiva (mata). Penularan juga dapat terjadi
2
melalui benda dan permukaan yang terkontaminasi droplet di sekitar orang yang
terinfeksi.8
3. Patogenesis
Pada akhir desember 2019, pasien pertama (kasus 1) dengan gejala batuk,
demam, dan sesak dengan ARDS yang disebabkan oleh mikroba yang belum
teridentifikasi dilaporkan di Wuhan, China. Pengurutan genom virus dari lima
pasien dengan pneumonia yang dirawat di RS dari 18 desember-29 desember
2019 menunjukkan adanya strain β-CoV yang belum diketahui. 9 Pasien yang
terinfeksi Covid-19 menunjukkan peningkatan jumlah leukosit, temuan abnormal
respirasi, dan peningkatan sitokin.1 Meskipun respon tingkat selular dari virus ini
belum di ketahui, namun kemungkinan respon seluler dapat dipelajari dari
penelitian SARS-CoV sebelumnya.10
S protein coronavirus telah dilaporkan sebagai determinan signifikan
masuknya virus ke dalam sel inang. Glikoprotein “envelope spike” yang terikat
pada reseptor seluler ACE2 untuk SARS-CoV dan SARS CoV-2. Masuknya virus
ke dalam sel awalnya diidentifikasi dengan fusi membran langsung antara virus
dan membran plasma.11 Coronavirus spike (S) glikoprotein masuk ke dalam sel
dan target utama antibodi. Sel masuk adalah komponen penting transmisi lintas-
spesies, terutama untuk betacoronaviruses. Semua coronavirus menyandikan
permukaan glikoprotein, spike, yang berikatan dengan reseptor sel-host dan
memediasi masuknya virus.12
Setelah virus masuk ke sel, genom RNA virus dikeluarkan ke dalam
sitoplasma dan di translasikan menjadi dua polyprotein dan protein structural,
setelahnya genom virus mulai untuk replikasi. Ketika virus masuk ke sel, antigen
virus akan dipresentasikan menjadi antigen presentation cells(APC), yang
merupakan pusat dari kekebalan anti-virus. Peptide antigen dipresentasikan oleh
major histocompatibility complex (MHC; atau human leukocyte antigen (HLA)
pada manusia) dan kemudian dikenali oleh virus-spesifik cytotoxic T lymphocytes
(CTLs). Presentasi antigen kemudian merangsang kekebalan sel dan humoral,
yang dimediasi oleh sel B dan T spesifik virus. Sama dengan infeksi virus akut
3
umumnya, profil antibodi terhadap virus SARS-CoV memiliki pola tipikal
produksi IgM dan IgG. Antibodi IgM spesifik SARS menghilang pada akhir
minggu 12, sedangkan antibody IgG dapat bertahan lebih lama, yang
mengindikasikan antibodi IgG terutama dapat memainkan peran protektif, dan
antibodi IgG spesifik SARS terutama adalah antibodi S-spesifik dan N-spesifik.
Pasien-pasien dengan infeksi SARS-CoV yang berat menunjukkan
peningkatan IL-6, IFN-a, dan CCL5, CXCL8, CXCL-10 dalam darah
dibandingkan pasien-pasien dengan infeksi ringan-sedang. Badai sitokin akan
memicu serangan oleh sistem kekebalan tubuh, menyebabkan ARDS dan
kegagalan multiorgan, dan akhirnya menyebabkan kematian pada beberapa kasus
infeksi SARS-CoV 2. Satu dari mekanisme utama ARDS adalah badai sitokin,
menyebabkan respon inflamasi sistemik yang tidak terkendali, dihasilkan dari
pelepasan sitokin pro-inflamasi dalam jumlah besar (IFN-a, IFN-g, IL-1b, IL-6,
IL-12, IL-18, IL-33, TNF-a, TGFb, dll.) dan kemokin (CCL2, CCL3, CCL5,
CXCL8, CXCL9, CXCL10, dll) oleh sel efektor imun pada infeksi SARS CoV.11
4
5. Diagnosis
a. Anamnesa
Deteksi awal dan kontrol yang efisien dari rute transmisi (yaitu isolasi dugaan
kasus, disinfeksi) masih merupakan cara yang paling efektif untuk melawan
wabah Covid-19.14
Adapun definisi operasional kasus Covid-19 yaitu Kasus Suspek, Kasus
Probable, Kasus Konfirmasi, Kontak Erat, Pelaku Perjalanan, Discarded, Selesai
Isolasi, dan Kematian. Untuk Kasus Suspek, Kasus Probable, Kasus Konfirmasi,
Kontak Erat, istilah yang digunakan pada pedoman sebelumnya adalah Orang
Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), Orang Tanpa
Gejala (OTG):8
1. Kasus Suspek
Seseorang yang memiliki salah satu dari kriteria berikut:
a. Orang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)* DAN pada 14 hari
terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di
negara/wilayah Indonesia yang melaporkan transmisi lokal.
b. Orang dengan salah satu gejala/tanda ISPA* DAN pada 14 hari terakhir
sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus
konfirmasi/probable Covid-19
c. Orang dengan ISPA berat/pneumonia berat*** yang membutuhkan
perawatan di rumah sakit DAN tidak ada penyebab lain berdasarkan
gambaran klinis yang meyakinkan
2. Kasus Probable
Kasus suspek dengan ISPA Berat/ARDS***/meninggal dengan gambaran klinis
yang meyakinkan Covid-19 DAN belum ada hasil pemeriksaan laboratorium RT-
PCR.
3. Kasus Konfirmasi
Seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi virus Covid-19 yang dibuktikan
dengan pemeriksaan laboratorium RT-PCR. Kasus konfirmasi dibagi menjadi 2:
a. Kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik)
b. Kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik)
5
4. Kontak Erat
Orang yang memiliki riwayat kontak dengan kasus probable atau konfirmasi
Covid-19. Riwayat kontak yang dimaksud antara lain:
a. Kontak tatap muka/berdekatan dengan kasus probable atau kasus konfirmasi
dalam radius 1 meter dan dalam jangka waktu 15 menit atau lebih.
b. Sentuhan fisik langsung dengan kasus probable atau konfirmasi (seperti
bersalaman, berpegangan tangan, dan lain-lain).
c. Orang yang memberikan perawatan langsung terhadap kasus probable atau
konfirmasi tanpa menggunakan APD yang sesuai standar.
d. Situasi lainnya yang mengindikasikan adanya kontak berdasarkan penilaian
risiko lokal yang ditetapkan oleh tim penyelidikan epidemiologi setempat
(penjelasan sebagaimana terlampir).
5. Pelaku Perjalanan
Seseorang yang melakukan perjalanan dari dalam negeri (domestik) maupun luar
negeri pada 14 hari terakhir.
6. Discarded
Discarded apabila memenuhi salah satu kriteria berikut:
a. Seseorang dengan status kasus suspek dengan hasil pemeriksaan RT-PCR 2
kali negatif selama 2 hari berturut-turut dengan selang waktu >24 jam.
b. Seseorang dengan status kontak erat yang telah menyelesaikan masa
karantina selama 14 hari.
6
7. Selesai Isolasi
Selesai isolasi apabila memenuhi salah satu kriteria berikut:
a. Kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik) yang tidak dilakukan
pemeriksaan follow up RT-PCR dengan ditambah 10 hari isolasi mandiri
sejak pengambilan spesimen diagnosis konfirmasi.
b. Kasus probable/kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik) yang tidak
dilakukan pemeriksaan follow up RT-PCR dihitung 10 hari sejak tanggal
onset dengan ditambah minimal 3 hari setelah tidak lagi menunjukkan
gejala demam dan gangguan pernapasan.
c. Kasus probable/kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik) yang
mendapatkan hasil pemeriksaan follow up RT-PCR 1 kali negatif, dengan
ditambah minimal 3 hari setelah tidak lagi menunjukkan gejala demam dan
gangguan pernapasan.
8. Kematian
Kematian Covid-19 adalah kasus konfirmasi/probable Covid-19 yang meninggal.
b. Pemeriksaan fisik
7
c. Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium
2. Radiologi
8
menunjukkan gambar khas bilateral multiple ground glass opacities (GGO) atau
konsolidasi.18
Penelitian lainnya oleh Zhao dkk melaporkan hampir semua pasien dengan
Covid-19 mempunyai gambaran yang khas berupa GGO (87 [86.1%]), campuran
GGO dan konsolidasi (65 [64.4%]), pembesaran pembuluh darah sekitar lesi (72
[71.3%]), dan bronkiektasis (53 [52.5%]). Lesi yang tampak pada CT-scan pasien
dengan covid-19 sepertinya memiliki distribusi perifer (88 [87,1%]), keterlibatan
bilateral (83 [82,2%]), dominan pada paru bagian bawah (55 [54,5%]), dan
multifokal (55 [54,5%]).14
9
gambar 2. CT scan thorax yang menunjukkan ground glass opacities difus
bilateral
6. Tata laksana
Telah dilaporkan bahwa Covid-19 memiliki urutan genom yang 75% –
80% identik dengan SARS-CoV, dan memiliki lebih banyak kesamaan dengan
coronavirus yang dibawa oleh kelelawar. Baik klinis dan epidemiologi
menunjukkan bahwa infeksi Covid-19 dapat mengakibatkan pasien di rawat di
Intensive Care unit (ICU) dengan tingkat kematian yang tinggi. Sekitar 16-21%
pasien dengan Covid-19 di china menjadi sakit parah, dengan angka mortalitas 2-
3%. Namun hingga saat ini, tidak ada terapi khusus untuk melawan virus baru
ini.20 Manajemen saat ini adalah terapi suportif, dan gagal napas yang disebabkan
oleh ARDS yang merupakan penyebab utama kematian.21
American thoracic society merekomendasikan penatalaksanaan Covid-19 secara
umum di antaranya : 13
Resusitasi cairan terbatas
Antibiotik empiris jika ada infeksi sekunder
Nebulisasi di ganti dengan MDIs
WHO tidak merekomendasikan penggunaan NSAIDs
American College of Cardiology, American Heart Association dan heart failure
Society of America merekomendasikan tidak melanjutkan ACE-I dan ARBs pada
pasien dengan Covid-19
10
Memantau dan mengobati kardiomiopati dan syok kardiogenik yang telah
dilaporkan sebagai komplikasi dari Covid-19.
Kortikosteroid tidak dianjurkan kecuali ada indikasi tertentu seperti eksaserbasi
asma atau PPOK, syok refrakter, atau kejadian serangan sitokin.
Salah satu pendekatan yang efisien untuk menemukan obat yang efektif adalah
untuk menguji apakah obat antivirus yang ada efektif dalam mengobati infeksi
virus lain yang terkait. Beberapa obat seperti ribavirin, interferon (IFN),
favipiravir (FPV), dan lopinafir (LPV)/ritonavir (RTV), telah digunakan pada
pasien-pasien SARS atau MERS, meskipun efikasi dari beberapa obat masih
kontroversial.20
Kombinasi dari obat-obatan yang berbeda telah digunakan untuk terapi
koronavirus. Beberapa kombinasi yang berhasil dalam mengobati pasien-pasien
Covid-19 adalah lopinavir dan ritonavir, lopinavir/ritonavir dan arbidol, ribavirin
dan interferon. Penggunaan obat-obat anti inflamasi seperti glukokortikoid, IL-6
antagonis, janus kinase inhibitor (JAK), dan kloroquin/hidrokloroquin pada
pasien-pasien Covid-19 masih dalam perdebatan, khususnya pada pasien-pasien
dengan gangguan system imun.22
a. Remdesivir
Remdesivir merupakan analog nukleosid yang dimetabolisme secara intraseluler
menjadi sebuah analog dari adenosin trifosfat yang menghambat polimerasi virus
RNA. Remdesivir mempunyai aktifitas spektrum yang luas melawan beberapa
kelompok virus, termasuk filovirus (ebola) dan coronavirus (SARS-CoV dan
MERS CoV) dan telah menunjukkan efek profilaksis dan terapeutik pada model
nonklinik koronavirus. Penelitian in vitro juga menunjukkan remdesivir
mempunyai peran melawan Covid-19.23 penelitian lain menunjukkan bahwa
penggunaan remdesivir selama 10 hari lebih superior disbanding placebo dalam
penanganan terhadap pasien-pasien dengan Covid-19. Manfaat ini terlihat dari
jumlah hari pemulihan (11 hari). 24
b. Lopinavir / ritonavir
11
Lopinavir-ritonavir sendiri telah terbukti memiliki efek yang baik dibanding
plasebo dalam mengurangi viral load Ketika terapi dimulai pada hari ke 13 setelah
onset gejala, walaupun ada beberapa peningkatan gejala. Analisis retrospektif
menunjukkan bahwa viral load negative di hari ke 7 setelah terapi pada 75%
pasien dengan Covid-19 yang diterapi dengan arbidol dan lopinavir-ritonavir
dibanding 35% pasien yang diterapi hanya dengan lopinavir-ritonavir.6 lopinavir
adalah human immunodeficiency virus (HIV)-1 protease inhibitor yang
diadministrasikan dalam bentuk kombinasis tetap dengan ritonavir, lopinavir
tampaknya memblokir protease SARS-CoV-1, dan menghambat replikasi virus.2
c. Favipiravir
Favipirafir merupakan suatu prodrug RNA-dependent RNA polymerase (RdRp)
inhibitor yang terbaru, yang menunjukkan efektifitas terhadap terapi virus
influenza dan ebola. Menurut penelitian dari Wang dkk, menunjukkan bahwa
favipiravir dan remdesivir keduanya efektif dalam mengurangi infeksi Covid-19
secara in-vitro. Penelitian ini menginvestigasi efek dari favipiravir dan LPV/RTV
pada terapi covid-19. Hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa FPV
berhubungan dengan pengurangan viral yang lebih cepat serta perbaikan
gambaran radiologi thoraks yang lebih tinggi. Penemuan ini meyakinkan bahwa
FPV secara signifikan memberikan efek yang lebih baik dibandingkan
LPV/RTV.20
d. Klorokuin dan hidroksiklorokuin
Klorokuin secara luas digunakan sebagai obat anti malaria dengan efek
imunomodulator. Pada penelitian in vitro terbaru, klorokuin menghambat
perkembangan Covid-19. Temuan ini telah didukung oleh studi klinis yang
dilakukan di sekitar 100 pasien yang terinfeksi Covid-19 . Hidroklorokuin adalah
sebuah analog dari klorokuin yang mempunyai interaksi obat minimal. Pada
outbreak SARS sebelumnya, hidroklorokuin telah dilaporkan mempunyai efek
anti SARS-CoV secara in vitro. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat
peningkatan sitokin IL-6 dan IL-10 pada covid-19, yang menyebabkan badai
sitokin, yang kemudian diikuti dengan gagal organ dan kematian. Baik klorokuin
dan hidroksiklorokuin, keduanya mempunyai efek imunomodulator dan dapat
menekan peningkatan respon imun.25
12
Penelitian lain menunjukkan bahwa klorokuin mempunyai aktifitas antiviral
dengan meningkatkan pH endosome yang dibutuhkan untuk masuknya virus ke
sel, serta mengganggu glikosilasi reseptor seluler SARS-CoV. Aktifitas
hidroklorokuin terhadap virus kemungkinan sama dengan klorokuin, mengingat
mekanisme aksi kedua molekul ini identik.26
e. Nitazoxanide
Nitazoxanide adalah intiviral spektrum luas yang masih dalam tahap
pengembangan untuk terapi influenza dan infeksi virus respirasi lainnya.
Penelitian in vitro, tizoxanide, metabolit aktif dari nitazoxanide, menghambat
replikasi dari strain influenza A dan B, termasuk influenza A subtipe H1N1,
H3N2, H3N2v, H3N8, H5N9, H7N1 serta strain oseltamivir dan amantadine-
resistant. Selain virus influenza, tizoxanide juga menghambat replikasi RNA dan
DNA virus pada kultur assay virus parainfluenza, coronavirus, rotavirus,
norovirus, hepatitis B, hepatitis C, dengue, yellow fever, Japanese encephalitis
virus dan human immunodeficiency virus. Nitazoxamide menghambat produksi
sitokin proinflamasi seperti TNF-alfa, IL-2, IL-4, I-5, IL-6, IL-8 and IL- 10 dalam
peripheral blood mononuclear cells (PBMCs).27
f. Tocilizumab
IL-6 merupakan sitokin yang berperan penting dalam reaksi inflamasi dan respon
imun. Penelitian terbaru di cina menunjukkan bahwa IL-6 adalah salah satu
sitokin terpenting terhadap badai sitokin di Covid-19. Untuk itulah, TCZ,
antibody monoclonal manusia yang melawan reseptor IL-6 (IL-6R)
direkomendasikan pada pasien kritis dengan peningkatan IL-6. Penemuan ini
mendukung efektifitas TCZ dalam mencegah dan mengobati badai sitokin yang di
induksi oleh Covid-19. Pada kebanyakan pasien, kadar reaktan fase akut
berkurang dan pasien menjadi stabil bersamaan dengan berkurangnya IL-6 setelah
pemberian TCZ. Dosis tunggal TCZ mungkin bermanfaat pada pasien-pasien
kritis dengan peningkatan IL-6 hingga 10 kali lipat. Dan pasien-pasien dengan
sakit sedang yang kadar IL-6 nya meningkat ekstrim, juga dapat memperoleh
manfaat dari terapi TCZ.28
g. Plasma konvalesen
13
Salah satu terapi yang diharapkan yang telah muncul adalah terapi plasma
konvalesens, dimana plasma yang dikumpulkan dari orang-orang yang telah
terinfeksi Covid-19 yang kemudian di transfusikan ke pasien yang sedang
terinfeksi. Plasma konvalesen telah digunakan untuk SARS, influenza A (H1N1),
avian influenza A (H5N1), MERS, Ebola, dan infeksi viral lain untuk
meningkatkan survival rate pasien. Banyak jurnal-jurnal yang melaporkan
perbaikan pasien secara signifikan dengan terapi plasma konvalesens. Satu
penjelasan yang mungkin terhadap efikasi terapi plasma konvalesen adalah
antibody dari plasma dapat menekan viremia. Berdasarkan data yang ada, puncak
viremia pada minggu pertama infeksi. Respon imun primer biasanya berkembang
pada 10-14 hari setelah terinfeksi. Karena itulah, pemberian plasma konvalesen
pada tahap awal penyakit lebih menguntungkan.29
h. Terapi suportif lain
1. Vitamin C
Sudah sejak outbreak SARS-CoV1 (2003), penggunaan vitamin C, dianjurkan
sebagai terapi non-spesifik untuk infeksi saluran pernapasan berat akibat infeksi
virus. Diketahui bahwa vitamin C mendukung berbagai fungsi selular dari sistem
kekebalan tubuh bawaan maupun adaptif. Penggunaan awal dari vitamin C
intravena dengan kombinasi kortikosteroid dan tiamin terbukti efektif dalam
mencegah disfungsi organ progresif dan dalam mengurangi kematian pasien
dengan sepsis berat dan syok sepsis.30
2. Antibiotik
Virus-virus respirasi lain, seperti influenza, Middle East respiratory syndrome
coronavirus (MERS-CoV) dan SARS-CoV-1 menunjukkan tingkat yang berbeda
terhadap koinfeksi bakteri/jamur. Sebagai contoh, telah diusulkan bahwa “infeksi
bakteri yang berhubungan dengan influenza secara keseluruhan dapat
diperkirakan hingga 30% kasus CAP”, disisi lain, terdapat bukti bahwa koinfeksi
tidak terjadi pada pasien yang terinfeksi dengan MERS-CoV dan jarang terjadi
pada pasien yang terinfeksi SARS-CoV-1. Selanjutnya, koinfeksi telah dikaitkan
dengan outcome yang buruk pada influenza musiman dan pandemic. Untuk itulah,
dibutuhkan penelitian yang mendalam terhadap koinfeksi pasien-pasien Covid-19.
Banyak penelitian mencatat penggunaan antibiotik empiris pada pasien rawat inap
14
dengan Covid-19, namun terdapat bukti bahwa penanda serologi yang
dihubungkan dengan infeksi bakteri, seperti peningkatan prokalsitonin dan C-
reactif protein, dapat muncul pada pasien dengan covid-19 tanpa adanya koinfeksi
bakteri.31
3. Antikoagulan
Penelitian-penelitian terbaru menyatakan bahwa koagulopati dapat terjadi pada
Covid-19. Manifestasi tromboemboli seperti emboli pulmonal dan disseminated
intravascular coagulation (DIC) telah dilaporkan dan menyebabkan prognosis
yang buruk pada pasien.32 oleh karena itu, penggunakan dosis profilaksis,
intermediat, atau terapeutik antikoagulasi, berdasarkan parameter koagulasi dan
skenario klinis dapat diterapkan. Meskipun dosis optimal masih belum ditetapkan,
manfaat pemberian antikoagulan dengan produk-produk heparin (dosis profilaksis
LMWH) pada pasien dengan Covid-19 telah dibuktikan dengan penelitian-
penelitian di China. Penemuan ini membuat argumentasi yang kuat untuk
pertimbangan dosis yang lebih tinggi (intermediat atau terapeutik) dari
antikoagulasi dalam manajemen pasien dengan Covid-19 yang berat, terutama jika
tidak ada kontraindikasi seperti perdarahan aktif. Saat ini, semua pedoman
merekomendasikan low molecular-weight heparin (LMWH) atau unfractionated
heparin (UFH) intravena ataupun subkutan untuk antikoagulasi,
Pendekatan lain yang diusulkan yaitu penggunaan nebulisasi heparin untuk efek
antikoagulan lokal di paru. Data sebelumnya menunjukkan bahwa nebulisasi
heparin secara signifikan mengurangi koagulasi di paru pada pasien yang kritis.33
4. Kortikosteroid
15
bahwa pemberian awal 0.5-1 mg/kg methylprednisolone selama 3 hari dikaitkan
dengan efek protektif termasuk perawatan di ICU, ventilasi mekanis atau
kematian.35 studi lain menginvestigasi mengenai efek dari kortikosteroid inhalasi
ciclesonide, kortison, prednisolone, deksametasone, dan fluticasone pada replikasi
MERS-CoV, diantara ke empat obat tersebut, hanya ciclesonide yang mampu
menghambat replikasi virus. Ciclesonid juga menginduksi inhibisi yang signifikan
pada replikasi virus lainnya, seperti HCoV-229E dan SARS-CoV, dan virus RNA
stran positif lainnya. Namun tidak mempengaruhi replikasi virus RNA stran
negative seperti influenza dan virus sinsitial respirasi. Untuk covid 19, ciclesonide,
mometasone, dan lopinavir ketiganya mampu untuk menghambat replikasi virus.34
Yin wang dkk, melaporkan dari 46 pasien dengan covid 19 yang berat, 26 pasien
mendapat metilprednisolon 1-2 mg/kgBB/hari selama 5-7 hari, dan 20 pasien
mendapat terapi standar tanpa metilprednisolon. Kelompok pertama mengalami
perbaikan yang lebih cepat dalam gejala (demam dan saturasi perifer) dan lesi paru
yang terdeteksi oleh CT-scan. Namun kedua kelompok tidak berbeda dalam
parameter laboratorium, termasuk leukosit, limfosit, monosit, dan sitokin selama 6
hari perawatan.36
16
Ringkasan
Corona virus adalah salah satu pathogen utama yang menyerang sistem
pernapasan manusia. Kasus pertama dari Covid-19 dilaporkan pada desember
2019 di wuhan, china. Coronavirus merupakan zoonosis (ditularkan antara hewan
dan manusia). Adapun penularan dari Covid-19 utamanya ditularkan dari orang
yang bergejala (simptomatik) ke orang lain yang berada jarak dekat melalui
droplet.
Tanda dan gejala yang timbul di antaranya demam, batuk, kelemahan atau
myalgia. Disfungsi organ termasuk ARDS, kerusakan jantung akut, kerusakan
liver akut, kerusakan ginjal akut, dan kematian dapat terjadi pada kasus infeksi
yang berat. Pencitraan memainkan peran penting dalam diagnosis dan pengelolaan
pneumonia Covid-19. Hingga saat ini, tidak ada terapi khusus untuk Covid-19,
manajemen saat ini adalah terapi suportif, dan gagal napas yang disebabkan oleh
ARDS merupakan penyebab utama kematian.
17
Daftar Pustaka
5. Chu DK, Akl EA, Duda S, et al. Physical distancing , face masks , and eye
protection to prevent person-to-person transmission of SARS-CoV-2 and
COVID-19 : a systematic review and meta-analysis. Lancet
2020;6736(20):1–15.
6. Hung IF, Lung K, Tso EY, et al. Triple combination of interferon beta-1b ,
lopinavir – ritonavir , and ribavirin in the treatment of patients admitted to
hospital with COVID-19 : an open-label , randomised , phase 2 trial.
Lancet [Internet] 2020;395:1695–1704. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/S0140-6736(20)31042-4
18
7. Gautret P, Lagier J, Parola P, et al. Hydroxychloroquine and azithromycin
as a treatment of COVID-19: results of an open- label non-randomized
clinical trial. Int J Antimicrob Agents [Internet] 2020;20:30099–6.
Available from: https://doi.org/10.1016/j.ijantimicag.2020.105949
10. Mason RJ. Pathogenesis of COVID-19 from a cell biology perspective. Eur
Respir J 2020;55(4).
12. villala garces M.A, nollen J.A, Rico S.D, Quiroga Cortez G.A GCJ.
COVID 19 . Pathophysiology and prospects for early detection in patients
with mild symptoms of the controversial virus in underdeveloped
countries : An update on the state COVID 19 . Pathophysiology and
prospects for early detection in patients with mild. 2020;(May).
14. Zhao wei, Zhong zheng, Xie Xingzhi, Yu Qizhi LJ. Relation Between
Chest CT Findings and Clinical Conditions of Coronavirus Disease
(COVID-19) Pneumonia: A Multicenter Study. Am J Roentgenol
2020;215(October):1–6.
19
Xiaohe, Zhu Qing LL. Profile of Immunoglobulin G and IgM Antibodies
Against Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2. Oxford Univ
Press Infect Dis Soc Am 2020;1–4.
18. Zhang J jin, Dong X, Cao Y yuan, et al. Clinical characteristics of 140
patients infected with SARS-CoV-2 in Wuhan, China. Allergy Eur J
Allergy Clin Immunol 2020;(February):1–12.
20. Cai Q, Yang M, Liu D, et al. Experimental Treatment with Favipiravir for
COVID-19 : An Open-Label Control. Engineering [Internet]
2020;Available from: https://doi.org/10.1016/j.eng.2020.03.007
22. Helmy YA, Fawzy M, Elaswad A, Sobieh A, Kenney SP, Shehata AA. The
COVID-19 Pandemic: A Comprehensive Review of Taxonomy, Genetics,
Epidemiology, Diagnosis, Treatment, and Control. J Clin Med
2020;9(4):1225.
24. Beigel JH, Tomashek KM, Dodd LE, et al. Remdesivir for the Treatment of
Covid-19 - Preliminary Report. N Engl J Med [Internet] 2020;1–12.
20
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/32445440
27. Rossignol JF. Nitazoxanide, a new drug candidate for the treatment of
Middle East respiratory syndrome coronavirus. J Infect Public Health
2016;9(3):227–230.
21
Coagulopathy, thromboembolic complications, and the use of heparin in
COVID-19 pneumonia. J Vasc Surg Venous Lymphat Disord [Internet]
2020;1–6. Available from: https://doi.org/10.1016/j.jvsv.2020.05.018
35. rodriguez-Bano jesus, pachon jeronimo, carratala jordi ryan pablo et al.
Treatment with tocilizumab or corticosteroids for COVID-19 patients with
hyperin fl ammatory state : a multicentre cohort study ( SAM- COVID19).
2020;
22