Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). SARS-CoV-2 merupakan
coronavirus jenis baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Ada
setidaknya dua jenis coronavirus yang diketahui menyebabkan penyakit yang dapat
menimbulkan gejala berat seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute
Respiratory Syndrome (SARS). Tanda dan gejala umum infeksi COVID-19 antara lain gejala
gangguan pernapasan akut seperti demam, batuk dan sesak napas. Masa inkubasi rata-rata 5-6
hari dengan masa inkubasi terpanjang 14 hari. Pada kasus COVID-19 yang berat dapat
menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan kematian.
Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam jiwa akibat disregulasi respons tubuh
terhadap infeksi. Sedangkan syok septik adalah bagian dari sepsis dimana terjadi abnormalitas
sirkulasi dan metabolisme seluler yang dapat meningkatkan mortalitas.1 Sepsis dan syok septik
adalah keadaan yang masih menjadi masalah di dunia, di mana satu dari empat orang yang dalam
keadaan sepsis akan meninggal. Identifikasi keadaan sepsis dini dan penatalaksanaan yang cepat
dapat memperbaiki prognosis pasien.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. COVID-19
Coronavirus merupakan virus RNA strain tunggal positif, berkapsul dan tidak bersegmen.
Coronavirus tergolong ordo Nidovirales, keluarga Coronaviridae. Coronaviridae dibagi dua
subkeluarga dibedakan berdasarkan serotipe dan karakteristik genom. Terdapat empat genus
yaitu alpha coronavirus, betacoronavirus, deltacoronavirus dan gamma coronavirus
Etiologi COVID-19 adalah virus yang tergolong dalam family coronavirus. Coronavirus
merupakan virus RNA strain tunggal positif, berkapsul dan tidak bersegmen. Terdapat 4 struktur
protein utama pada Coronavirus yaitu: protein N (nukleokapsid), glikoprotein M (membran),
glikoprotein spike S (spike), protein E (selubung). Coronavirus tergolong ordo Nidovirales,
keluarga Coronaviridae. Coronavirus ini dapat menyebabkan penyakit pada hewan atau manusia.
Terdapat 4 genus yaitu alphacoronavirus, betacoronavirus, gammacoronavirus, dan
deltacoronavirus. Sebelum adanya COVID-19, ada 6 jenis coronavirus yang dapat menginfeksi
manusia, yaitu HCoV-229E (alphacoronavirus), HCoV-OC43 (betacoronavirus), HCoVNL63
(alphacoronavirus) HCoV-HKU1 (betacoronavirus), SARS-CoV (betacoronavirus), dan MERS-
CoV (betacoronavirus).

Gambar 3 : struktur corona virus

Coronavirus yang menjadi etiologi COVID-19 termasuk dalam genus


betacoronavirus, umumnya berbentuk bundar dengan beberapa pleomorfik, dan berdiameter
60-140 nm. Hasil analisis filogenetik menunjukkan bahwa virus ini masuk dalam subgenus
yang sama dengan coronavirus yang menyebabkan wabah SARS pada 2002-2004 silam,
yaitu Sarbecovirus. Atas dasar ini, International Committee on Taxonomy of Viruses
(ICTV) memberikan nama penyebab COVID-19 sebagai SARS-CoV-2.

Gambar 4: mikroskopis SARS-CoV-2

Belum dipastikan berapa lama virus penyebab COVID-19 bertahan di atas


permukaan, tetapi perilaku virus ini menyerupai jenis-jenis coronavirus lainnya. Lamanya
coronavirus bertahan mungkin dipengaruhi kondisi-kondisi yang berbeda (seperti jenis
permukaan, suhu atau kelembapan lingkungan). Penelitian (Doremalen et al, 2020)
menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 dapat bertahan selama 72 jam pada permukaan plastik
dan stainless steel, kurang dari 4 jam pada tembaga dan kurang dari 24 jam pada kardus.
Seperti virus corona lain, SARS-COV-2 sensitif terhadap sinar ultraviolet dan panas. Efektif
dapat dinonaktifkan dengan pelarut lemak (lipid solvents) seperti eter, etanol 75%, ethanol,
disinfektan yang mengandung klorin, asam peroksiasetat, dan khloroform (kecuali
khlorheksidin).

2.1. Penularan

Coronavirus merupakan zoonosis (ditularkan antara hewan dan manusia). Penelitian


menyebutkan bahwa SARS ditransmisikan dari kucing luwak (civet cats) ke manusia dan
MERS dari unta ke manusia. Adapun, hewan yang menjadi sumber penularan COVID-19 ini
masih belum diketahui.

Masa inkubasi COVID-19 rata-rata 5-6 hari, dengan range antara 1 dan 14 hari namun
dapat mencapai 14 hari. Risiko penularan tertinggi diperoleh di hari-hari pertama penyakit
disebabkan oleh konsentrasi virus pada sekret yang tinggi. Orang yang terinfeksi dapat
langsung dapat menularkan sampai dengan 48 jam sebelum onset gejala (presimptomatik)
dan sampai dengan 14 hari setelah onset gejala. Sebuah studi Du Z et. al, (2020) melaporkan
bahwa 12,6% menunjukkan penularan presimptomatik. Penting untuk mengetahui periode
presimptomatik karena memungkinkan virus menyebar melalui droplet atau kontak dengan
benda yang terkontaminasi. Sebagai tambahan, bahwa terdapat kasus konfirmasi yang tidak
bergejala (asimptomatik), meskipun risiko penularan sangat rendah akan tetapi masih ada
kemungkinan kecil untuk terjadi penularan.

Berdasarkan studi epidemiologi dan virologi saat ini membuktikan bahwa COVID-19
utamanya ditularkan dari orang yang bergejala (simptomatik) ke orang lain yang berada
jarak dekat melalui droplet. Droplet merupakan partikel berisi air dengan diameter >5-10
µm. Penularan droplet terjadi ketika seseorang berada pada jarak dekat (dalam 1 meter)
dengan seseorang yang memiliki gejala pernapasan (misalnya, batuk atau bersin) sehingga
droplet berisiko mengenai mukosa (mulut dan hidung) atau konjungtiva (mata). Penularan
juga dapat terjadi melalui benda dan permukaan yang terkontaminasi droplet di sekitar orang
yang terinfeksi. Oleh karena itu, penularan virus COVID-19 dapat terjadi melalui kontak
langsung dengan orang yang terinfeksi dan kontak tidak langsung dengan permukaan atau
benda yang digunakan pada orang yang terinfeksi (misalnya, stetoskop atau termometer).

Dalam konteks COVID-19, transmisi melalui udara dapat dimungkinkan dalam keadaan
khusus dimana prosedur atau perawatan suportif yang menghasilkan aerosol seperti intubasi
endotrakeal, bronkoskopi, suction terbuka, pemberian pengobatan nebulisasi, ventilasi
manual sebelum intubasi, mengubah pasien ke posisi tengkurap, memutus koneksi
ventilator, ventilasi tekanan positif noninvasif, trakeostomi, dan resusitasi kardiopulmoner.
Masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai transmisi melalui udara.

2.2. Definisi status klinis pasien COVID-19


A. Kasus Suspek Seseorang yang memiliki salah satu dari kriteria berikut:

a. Orang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) DAN pada 14 hari terakhir
sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di negara/wilayah
Indonesia yang melaporkan transmisi local.

b. Orang dengan salah satu gejala/tanda ISPA DAN pada 14 hari terakhir sebelum
timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi/probable COVID-19.

c. Orang dengan ISPA berat/pneumonia berat yang membutuhkan perawatan di rumah


sakit DAN tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan.

B. Kasus Probable Kasus suspek dengan ISPA Berat/ARDS/meninggal dengan


gambaran klinis yang meyakinkan COVID-19 DAN belum ada hasil pemeriksaan
laboratorium RT-PCR.

C. Kasus Konfirmasi Seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi virus COVID-19 yang
dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium RT-PCR. Kasus konfirmasi dibagi menjadi
2:

a. Kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik)

b. Kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik)

D. Kontak Erat Orang yang memiliki riwayat kontak dengan kasus probable atau
konfirmasi COVID-19. Riwayat kontak yang dimaksud antara lain:

a. Kontak tatap muka/berdekatan dengan kasus probable atau kasus konfirmasi dalam
radius 1 meter dan dalam jangka waktu 15 menit atau lebih.

b. Sentuhan fisik langsung dengan kasus probable atau konfirmasi (seperti bersalaman,
berpegangan tangan, dan lain-lain).

c. Orang yang memberikan perawatan langsung terhadap kasus probable atau


konfirmasi tanpa menggunakan APD yang sesuai standar.
Situasi lainnya yang mengindikasikan adanya kontak berdasarkan penilaian risiko
lokal yang ditetapkan oleh tim penyelidikan epidemiologi setempat (penjelasan
sebagaimana terlampir). Pada kasus probable atau konfirmasi yang bergejala
(simptomatik), untuk menemukan kontak erat periode kontak dihitung dari 2 hari
sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala.

Pada kasus konfirmasi yang tidak bergejala (asimptomatik), untuk menemukan


kontak erat periode kontak dihitung dari 2 hari sebelum dan 14 hari setelah tanggal
pengambilan spesimen kasus konfirmasi.

2.3. Manifestasi Klinis

Gejala-gejala yang dialami biasanya bersifat ringan dan muncul secara bertahap.
Beberapa orang yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala apapun dan tetap merasa sehat.
Gejala COVID-19 yang paling umum adalah demam, rasa lelah, dan batuk kering. Beberapa
pasien mungkin mengalami rasa nyeri dan sakit, hidung tersumbat, pilek, nyeri kepala,
konjungtivitis, sakit tenggorokan, diare, hilang penciuman dan pembauan atau ruam kulit.

Menurut data dari negara-negara yang terkena dampak awal pandemi, 40% kasus akan
mengalami penyakit ringan, 40% akan mengalami penyakit sedang termasuk pneumonia,
15% kasus akan mengalami penyakit parah, dan 5% kasus akan mengalami kondisi kritis.
Pasien dengan gejala ringan dilaporkan sembuh setelah 1 minggu. Pada kasus berat akan
mengalami Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan syok septik, gagal
multiorgan, termasuk gagal ginjal atau gagal jantung akut hingga berakibat kematian. Orang
lanjut usia (lansia) dan orang dengan kondisi medis yang sudah ada sebelumnya seperti
tekanan darah tinggi, gangguan jantung dan paru, diabetes dan kanker berisiko lebih besar
mengalami keparahan.
Klasifikasi Klinis

Berikut sindrom klinis yang dapat muncul jika terinfeksi.

 Tidak berkomplikasi

Kondisi ini merupakan kondisi teringan. Gejala yang muncul berupa gejala yang
tidak spesifik. Gejala utama tetap muncul seperti demam, batuk, dapat disertai dengan
nyeri tenggorok, kongesti hidung, malaise, sakit kepala, dan nyeri otot. Perlu diperhatikan
bahwa pada pasien dengan lanjut usia dan pasien immunocompromises presentasi gejala
menjadi tidak khas atau atipikal. Selain itu, pada beberapa kasus ditemui tidak disertai
dengan demam dan gejala relatif ringan. Pada kondisi ini pasien tidak memiliki gejala
komplikasi diantaranya dehidrasi, sepsis atau napas pendek.

 Pneumonia ringan

Gejala utama dapat muncul seperti demam, batuk, dan sesak. Namun tidak ada
tanda pneumonia berat. Pada anak-anak dengan pneumonia tidak berat ditandai dengan
batuk atau susah bernapas atau tampak sesak disertai napas cepat atau takipneu tanpa
adanya tanda pneumonia berat.

Definisi takipnea pada anak:

 < 2 bulan : ≥ 60x/menit

 2-11 bulan : ≥ 50x/menit

 1-5 tahun : ≥ 40x/menit

 Pneumonia berat

Pada pasien dewasa

 Gejala yang muncul diantaranya demam atau curiga infeksi saluran napas

 Tanda yang muncul yaitu takipnea (frekuensi napas: > 30x/menit), distress
pernapasan berat atau saturasi oksigen pasien

 Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)

Onset: baru atau perburukan gejala respirasi dalam 1 minggu setelah diketahui
kondisi klinis. Derajat ringan beratnya ARDS berdasarkan kondisi hipoksemia.
Hipoksemia didefinisikan tekanan oksigen arteri (PaO₂) dibagi fraksi oksigen inspirasi
(FIO₂) kurang dari< 300 mmHg. Pemeriksaan penunjang yang penting yaitu pencitraan
toraks seperti foto toraks, CT Scan toraks atau USG paru. Pada pemeriksaan pencitraan
dapat ditemukan: opasitas bilateral, tidak menjelaskan oleh karena efusi, lobar atau
kolaps paru atau nodul. Sumber dari edema tidak sepenuhnya dapat dijelaskan oleh gagal
jantung atau kelebihan cairan, dibutuhkan pemeriksaan objektif lain seperti
ekokardiografi untuk mengeksklusi penyebab hidrostatik penyebab edema jika tidak ada
faktor risiko. Penting dilakukan analisis gas darah untuk melihat tekanan oksigen darah
dalam menentukan tingkat keparahan ARDS serta terapi. Berikut rincian oksigenasi pada
pasien ARDS.

Dewasa:

 ARDS ringan : 200 mmHg < PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg (dengan PEEP atau
CPAP ≥5 cmH2O atau tanpa diventilasi)

 ARDS sedang : 100 mmHg < PaO2/FiO2 ≤200 mmHg dengan PEEP ≥5
cmH2O atau tanpa diventilasi
 ARDS berat : PaO2/FiO2 ≤ 100 mmHg dengan PEEP ≥5 cmH2O atau tanpa
diventilasi

 Tidak tersedia data PaO2 : SpO2/FiO2 ≤315 diduga ARDS (termasuk pasien
tanpa ventilasi)

Anak:

 Bilevel NIV atau CPAP ≥5 cmH2O melalui masker full wajah :


PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg atau SpO2/FiO2 ≤264

 ARDS ringan (ventilasi invasif): 4 ≤ oxygenation index (OI) < 8 or 5 ≤


OSI < 7.5

 ARDS sedang (ventilasi invasif): 8 ≤ OI < 16 atau 7.5 ≤ oxygenation


index using SpO2 (OSI) < 12.

 ARDS berat (ventilasi invasif): OI ≥ 16 atau OSI ≥ 12.

 Sepsis

Sepsis merupakan suatu kondisi respons disregulasi tubuh terhadap suspek infeksi
atau infeksi yang terbukti dengan disertai disfungsi organ. Tanda disfungsi organ
perubahan status mental, susah bernapas atau frekuensi napas cepat, saturasi oksigen
rendah, keluaran urin berkurang, frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lemah, akral
dingin atau tekanan darah rendah, kulit mottling atau terdapat bukti laboratorium
koagulopati, trombositopenia, asidosis, tinggi laktat atau hiperbilirubinemia. Skor SOFA
dapat digunakan untuk menentukan diagnosis sepsis dari nilai 0-24 dengan menilai 6
sistem organ yaitu respirasi (hipoksemia melalui tekanan oksigen atau fraksi oksigen),
koagulasi (trombositopenia), liver (bilirubin meningkat), kardivaskular (hipotensi),
system saraf pusat (tingkat kesadaran dihitung dengan Glasgow coma scale) dan ginjal
(luaran urin berkurang atau tinggi kreatinin). Sepsis didefinisikan peningkatan skor
Sequential (Sepsis-related) Organ Failure Assesment (SOFA) ≥ 2 poin. Pada anak-anak
didiagnosis sepsis bila curiga atau terbukti infeksi dan ≥ 2 kriteria systemic inflammatory
Response Syndrom (SIRS) yang salah satunya harus suhu abnormal atau hitung leukosit.

 Syok septik
Definisi syok septik yaitu hipotensi persisten setelah resusitasi volum adekuat
sehingga diperlukan vasopressor untuk mempertahankan MAP ≥ 65 mmHg dan serum
laktat > 2. Definisi syok septik pada anak yaitu hipotensi dengan tekanan sistolik <
persentil 5 atau >2 SD dibawah rata rata tekanan sistolik normal berdasarkan usia atau
diikuti dengan 2-3 kondisi berikut :

 Perubahan status mental

 Bradikardia atau takikardia - Pada balita: frekuensi nadi 160x/menit - Pada anak-
anak: frekuensi nadi 150x/menit26

 Capillary refill time meningkat (>2 detik) atau vasodilatasi hangat dengan
bounding pulse

 Takipnea

 Kulit mottled atau petekia atau purpura

 Peningkatan laktat

 Oliguria

 Hipertemia atau hipotermia


B. SEPSIS DAN SYOK SEPSIS

Sepsis merupakan disfungsi organ akibat gangguan regulasi respons tubuh terhadap
terjadinya infeksi.7 Kondisi sepsis merupakan gangguan yang menyebabkan kematian. Syok
sepsis merupakan abnormalitas sirkulasi dan metabolisme seluler.

 Kriteria Diagnostik Sepsis Dan Syok Septik

Sepsis Adapun kriteria klinis pasien sepsis dapat diketahui dengan menggunakan
skor Sequential (Sepsis-Related) Organ Failure Assessment (SOFA). Skor SOFA dirasa
lebih mudah untuk dimengerti dan sederhana. Apabila pasien yang mengalami infeksi
didapatkan Skor SOFA ≥ 2 maka sudah tegak diagnosis sepsis. (Tabel 1) Ketika
mendapatkan pasien infeksi perlu dilakukan skrining kemungkinan terjadinya sepsis.
Skrining ini bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja. Metodenya dengan quick SOFA
(qSOFA). Skoring ini dirasa kuat dan lebih sederhana serta tidak memerlukan
pemeriksaan laboratorium. (Tabel 2) Skor qSOFA dinyatakan positif apabila terdapat 2
dari 3 kriteria di atas. Skor ini dapat digunakan dengan cepat oleh klinisi untuk
mengetahui adanya disfungsi organ, untuk menginisiasi terapi yang tepat, dan sebagai
bahan pertimbangan untuk merujuk ke tempat perawatan kritis atau meningkatkan
pengawasan. Jika qSOFA positif selanjutnya akan dilakukan skoring dengan metode
SOFA.

SYOK SEPTIK

Pasien dengan syok septik dapat diidentifikasi dengan adanya klinis sepsis dengan
hipotensi menetap yang membutuhkan vasopresor untuk mempertahankan MAP ≥65 mmHg dan
kadar laktat serum >2 mmol/L (18 mg/dL) meskipun volume resusitasi memadai.
 Manajemen Sepsis

Terdapat perubahan bermakna surviving sepsis campaign 2018 dari rangkaian 3 jam, 6
jam, menjadi rangkaian 1 jam awal. Tujuan perubahan ini adalah diharapkan terdapat
perubahan manajemen resusitasi awal, terutama mencakup penanganan hipotensi pada
syok sepsis.

Pengukuran Kadar Laktat (Rekomendasi lemah, bukti penelitian lemah)

Peningkatan kadar laktat dapat menunjukkan beberapa kondisi di antaranya


hipoksia jaringan, peningkatan glikolisis aerobik yang disebabkan peningkatan stimulasi
beta adrenergik atau pada beberapa kasus lain. Peningkatan kadar laktat >2mmol/L harus
diukur pada kondisi 2-4 jam awal dan dilakukan tindakan resusitasi segera.
Kultur Darah

Pengambilan kultur darah dilakukan segera, hal tersebut berguna untuk


meningkatkan optimalisasi pemberian antibiotik dan identifikasi patogen. Kultur darah
sebaiknya dalam 2 preparat terutama untuk kuman aerobik dan anaerobik. Pengujian
kultur juga dapat menyingkirkan penyebab sepsis, apabila infeksi patogen tidak
ditemukan maka pemberian antibiotik dapat dihentikan.

Antibiotik Spektrum Luas

Pemberian antibiotik spektrum luas sangat direkomendasikan pada manajemen


awal. Pemilihan antibitiotik disesuaikan dengan bakteri empirik yang ditemukan.

Cairan Intravena

Pemberian cairan merupakan terapi awal resusitasi pasien sepsis, atau sepsis
dengan hipotensi dan peningkatan serum laktat. Cairan resusitasi adalah 30 mg/kgBB
cairan kristaloid; tidak ada perbedaan manfaat antara koloid dan kristaloid. Pada kondisi
tertentu seperti penyakit ginjal kronis, dekompensasi kordis, harus diberikan lebih hati –
hati. Beberapa teknik untuk menilai respons cairan:

a. Passive leg raising test.  Penilaian ini untuk menilai pasien sepsis kategori
responder atau non-responder, dengan sensitivitas 97% dan spesifisitas 94%. Bila
pulse pressure bertambah > 10% dari baseline, dianggap responder. Penilaian ini
bertujuan untuk menilai peningkatan cardiac output dengan penambahan volume.

b. Fluid challenge test.  Mengukur kemaknaan perubahan isi sekuncup jantung


(stroke volume) atau tekanan sistolik arterial, atau tekanan nadi (pulse pressure).
Pemberian cairan dapat mengembalikan distribusi oksigen dalam darah dan perfusi
ke organ vital untuk mencegah ganguan kerusakan organ.

c. Stroke Volume Variation (SVV)  Penilaian variasi isi sekuncup jantung akibat
perubahan tekanan intra-toraks saat pasien menggunakan ventilasi mekanik. Syarat
penilaian responsivitas cairan dengan metode ini adalah: Pasien dalam kontrol
ventilasi mekanis penuh „ Volume tidal 8-10 mL/kgBB (predicted body weight), „
Tidak ada aritmia. Pasien masuk kategori responder bila SVV ≥12%. Selain SVV,
Pulse Pressure Variation (PPV) juga dapat dipergunakan untuk menilai responsivitas
cairan. Pemberian Vasopressor (Rekomendasi kuat, bukti penelitian cukup)
Manajemen resusitasi awal bertujuan untuk mengembalikan perfusi jaringan,
terutama perfusi organ vital. Jika tekanan darah tidak meningkat setelah resusitasi
cairan, pemberian vasopressor tidak boleh ditunda.

Vasopressor

Harus diberikan dalam 1 jam pertama untuk mempertahankan MAP >65 mmHg.
Dalam review beberapa literatur ditemukan pemberian vasopressor/inotropik sebagai
penanganan awal dari sepsis. Pemilihan Vasopressor Norepinefrin direkomendasi sebagai
vasopresor lini pertama. Penambahan vasopressin (sampai 0,03 U/menit) atau epinefrin
untuk mencapai target MAP dapat dilakukan.

Dopamin sebagai vasopresor alternatif norepinefrin hanya direkomendasikan


untuk pasien tertentu, misalnya pada pasien berisiko rendah takiaritmia dan bradikardi
relatif. Penggunaan dopamin dosis rendah untuk proteksi ginjal sudah tidak
direkomendasikan lagi. Dobutamin disarankan diberikan pada hipoperfusi menetap
meskipun sudah diberi cairan adekuat dan vasopresor. Steroid dapat digunakan apabila
dengan norepinefrin target MAP masih belum tercapai.

Indikator Keberhasilan Resusitasi Awal

 Evaluasi Mean Arterial Pressure (MAP)

MAP merupakan driving pressure untuk perfusi jaringan atau organ terutama otak dan
ginjal. Batas rekomendasinya adalah 65 mmHg. Penetapan target MAP yang lebih tinggi
(85 mmHg dibandingkan 65 mmHg) justru meningkatkan risiko aritmia. Target MAP
lebih tinggi mungkin perlu dipertimbangkan pada riwayat hipertensi kronis.

 Laktat

Laktat sebagai penanda perfusi jaringan dianggap lebih objektif dibandingkan


pemeriksaan fisik atau produksi urin. Keberhasilan resusitasi pasien sepsis dapat dinilai
dengan memantau penurunan kadar laktat, terutama jika awalnya mengalami peningkatan
kadar laktat.

 Tekanan Vena Sentral (CVP) dan Saturasi Vena Sentral (SvO2)

Tekanan CVP normal adalah 8-12 mmHg. CVP sebagai parameter panduan
tunggal resusitasi cairan tidak direkomendasikan lagi. Jika CVP dalam kisaran normal (8-
12 mmHg), kemampuan CVP untuk menilai responsivitas cairan (setelah pemberian
cairan atau fluid challenge) terbukti tidak akurat. Penggunaan target CVP secara absolut
seharusnya dihindari, karena cenderung mengakibatkan resusitasi cairan berlebihan.

 CO2 gap (Perbedaan kadar karbondioksida arteri dan vena (Pv-a CO2))

Peningkatan produksi CO2 merupakan salah satu gambaran metabolisme anaerob.


Jika peningkatan kadar laktat disertai peningkatan Pv-aCO2 atau peningkatan rasio Pv-
aCO2 terhadap Ca-vO2, kemungkinan besar penyebabnya adalah hipoperfusi.

TATALAKSANA PENYAKIT DAN COVID-19 KRITIS: SEPTIC SHOCK

 Kenali septic shock pada pasien dewasa suspek atau terkonfirmasi DAN vasopresor
dibutuhkan untuk menjaga MAP ≥ 65 mmHg DAN laktat ≥ 2mmol/L, jika tidak terjadi
hipovolemia.

 Kenali septic shock pada pasien anak dengan hipotensi (tekanan darah sistolik [TDS] <
persentil 5 atau SD > 2 di bawah normal usianya) atau dua dari gejala berikut: perubahan
status mental; takikardia atau bradikardia (denyut jantung < 90 x/menit atau > 160
x/menit pada bayi dan < 70 x/menit atau > 150 x/menit pada anak); kenaikan waktu
pengisian ulang kapiler (> 2 detik) atau denyut yang lemah; takipnea; kulit berbintik atau
kulit dingin atau ruam petekie atau purpura; peningkatan laktat; oliguria; hipertermia atau
hipotermia.

 Catatan 1: Jika tidak ada pengukuran laktat, gunakan tekanan darah (MAP) dan
tanda-tanda klinis perfusi untuk menentukan adanya renjatan.
 Catatan 2: Perawatan standar meliputi pengenalan dini dan tatalaksana berikut
dalam waktu 1 jam sejak dikenali: terapi antimikrobial, dan pemberian bolus cair
dan vasopresor untuk hipotensi

 Penggunaan kateter vena dan arteri sentral harus didasarkan pada ketersediaan sumber
daya dan kebutuhan pasien secara individu.

 Untuk resusitasi septic shock pada pasien dewasa, beri cairan cairan kristaloid 250-
500mL sebagai bolus cepat dalam 15-30 menit pertama dan perhatikan lagi tanda-tanda
kelebihan cairan setelah setiap bolus

 Untuk resusitasi septic shock pada pasien anak, beri cairan cairan kristaloid
10-20mL/kgBB sebagai bolus cepat dalam 30-60 menit pertama dan perhatikan lagi
tanda-tanda kelebihan cairan setelah setiap bolus.

 Resusitasi cairan dapat mengakibatkan kelebihan volume, seperti gagal pernapasan,


terutama pada ARDS. JIka tidak ada respons pemberian cairan atau jika timbul tanda-
tanda kelebihan volume (mis., distensi vena jugularis, ada rales jika dilakukan aukultasi
paru, edema pulmoner jika dilakukan pencitraan, atau hepatomegali pada anak), kurangi
atau hentikan pemberian cairan. Langkah ini penting terutama bagi pasien yang
mengalami gagal pernapasan hipoksemia.

 Catatan 1: Kristaloid meliputi normal salin dan Ringer laktat.

 Catatan 2: Tentukan kebutuhan bolus cair tambahan (250-500 mL pada pasien


dewasa atau 10-20 mL/kg pada pasien anak) berdasarkan respons klinis dan
kenaikan target perfusi. Target perfusi meliputi MAP (> 65 mmHg atau target
sesuai umur pada pasien anak), keluaran urin (>0,5 mL/kg/jam pada pasien dewasa,
1 mL/kg/jam pada pasien anak), dan membaiknya kulit berbintik dan perfusi
ekstremitas, waktu pengisian kembali kapiler, detak jantung, tingkat kesadaraan,
dan laktat.

 Catatan 3: Pertimbangkan indeks dinamis dari respon pemberian cairan sebagai


panduan untuk memberikan cairan setelah resusitasi cairan awal berdasarkan
sumber daya dan pengalaman yang ada. Indeks-indeks ini meliputi angkat kaki
pasif, fluid challenge dengan pengukuran volume sekuncup (stroke volume)berurut,
atau perubahan tekanan sistolik, tekanan nadi, ukuran vena kava inferior, atau
respons tekanan sekuncup perubahan tekanan intratorakal selama ventilasi mekanis.

 Catatan 4: Pada pasien perempuan hamil, kompresi vena kava inferior dapat
menyebabkan penurunan curah vena dan beban hulu jantung dan dapat
mengakibatkan hipotensi. Karena itu, pasien dengan kehamilan yang mengalami
sepsis atau septic shock perlu ditempatkan dalam posisi dekubitus lateral untuk
melonggarkan vena kava interior

 Jangan menggunakan hipotonik kristaloid, glukosa, atau gelatin untuk resusitasi

 Catatan 1: Glukosa dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian dan cedera ginjal
akut dibandingkan kristaloid.

 Efek gelatin masih belum jelas, tetapi gelatin lebih mahal dibandingkan kristaloid
Larutan hipotonik (dibandingkan isotonik) kurang efektif meningkatkan volume
intravaskular.

 Surviving Sepsis juga menyarankan pemberian albumin untuk resusitasi saat pasien
memerlukan jumlah kristaloid yang substansial, tetapi rekomendasi sebagian ini
didasarkan pada bukti yang berkualitas rendah

 Pada pasien dewasa, berikan vasopresor jika renjatan tetap terjadi selama atau
setelah resusitasi cairan. Tekanan darah awal adalah MAP ≥ 65 mmHg pada pasien
dewasa dan peningkatan penanda perfusi.

 Pada pasien anak, berikan vasopresor jika:

a. Tanda-tanda renjatan seperti perubahan status mental; bradikardia atau takikardia


(denyut jantung < 90 denyut/menit atau > 160 denyut/menit pada bayi dan denyut
jantung 70 denyut/menit atau 150 denyut/menit pada pasien anak); kenaikan waktu
pengisian ulang kapiler (> 2 detik) atau denyut yang lemah; takipnea; kulit berbintik
atau kulit dingin atau ruam petekie atau purpura; peningkatan laktat; oliguria tetap
ada setelah dua bolus ulang; atau

b. Target tekanan darah sesuai umur tidak tercapai; atau

c. Tampak tanda-tanda kelebihan cairan.

 Jika kateter vena sentral tidak tersedia, vasopresor dapat diberikan melalui intravena
periferal, tetapi gunakan vena yang besar dan perhatikan betul jika ada tanda ekstravasasi
dan nekrosis jaringan lokal. Jika terjadi ekstravasasi, hentikan infus.

 Vasopresor juga dapat diberikan melalui jarum intraoseus. Jika tanda perfusi lemah dan
disfungsi jantung tetap ada meskipun target MAP telah tercapai dengan cairan dan
vasopresor, pertimbangkan inotropik seperti dobutamin.

 Catatan 1: Vasopresor (norepinefrin, epinefrin, vasopresin, dan dopamin) idealnya,


paling aman diberikan melalui kateter vena sentral dengan tingkat aliran yang sangat
dikendalikan, tetapi jika tidak tersedia kateter vena sentral, dapat diberikan melalui
vena periferal dan jarum intraoseus. Amati tekanan darah secara rutin dan titrasikan
vasopresor dengan dosis minimum yang dibutuhkan untuk menjaga perfusi dan
mencegah efek samping. Sebuah penelitian baru mengindikasikan bahwa pada pasien
dewasa berusia 65 tahun atau lebih target MAP 60-65 mmHg setara dengan ≥ 65
mmHg

 Catatan 2: Norepinefrin dianggap sebagai pengobatan lini pertama pada pasien


dewasa; epinefrin atau vasopresin dapat ditambahkan untuk mencapai target MAP.
Dopamin dicadangkan untuk digunakan pada kasus dengan risiko takiaritmia yang
rendah atau pasien dengan bradikardi karena mempunyai resiko timbulnya takiaritmia.

 Catatan 3: Pada pasien anak, epinefrin dianggap sebagai pengobatan lini pertama,
sementara norepinefrin dapat ditambahkan jika renjatan tetap terjadi meskipun dosis
epinefrin sudah optimal.
 Pedoman Surviving Sepsis, yang ditulis sebelum dilaporkannya RCT ini,
merekomendasikan kortikosteroid hanya diberikan untuk pasien yang mendapatkan cairan
yang cukup dan pemberian vasopresor tidak memulihkan stabilitas hemodinamis. Petugas
klinis yang mempertimbangkan pemberian kortikosteroid untuk pasien COVID-19 dan
sepsis harus menakar antara kemungkinan penurunan kematian yang kecil dengan
kemungkinan kerugian dari shedding berpanjangan coronavirus di saluran pernapasan,
seperti yang diamati terjadi pada pasien MERS. Jika kortikosteroid diberikan, pantau dan
obati hiperglikemia, hipernatremia, dan hipokalemia. Pantau kemungkinan peradangan
kembali terjadi dan tanda-tanda insufisiensi adrenal setelah kortikosteroid dihentikan, dosis
kortikosteroid perlu diturunkan secara bertahap. Di daerah endemik Strongyloides
stercoralis, perlu diamati kemungkinan timbulnya hiperinfeksi Strongyloides stercoralis
pada pemberian steroid. Diagnosis atau pengobatan empiris perlu dipertimbangkan di area-
area endemik jika steroid digunaakan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ann Transl Med. 2016;4(24):527. doi: 10.21037/atm.2016.12.53 3. I Made P. Pendekatan


sepsis dengan skor SOFA. CDK 2018;45(26):606-9

2. Burhan, Erlina, et al. 2020. Pneumonia Covid-19. Jakarta : PAPDI

3. Frans, et al. 2017. Penatalaksanaan Sepsis dan Syok Sepsis. Jakarta : PERDICI

4. Huang C, Wang Y, Li X, Ren L, Zhao J, Zang Li, Fan G, etc. Clinical features of patients
infected with 2019 novel coronavirus in Wuhan, China. The Lancet. 24 jan 2020.

5. Irvan, et al. 2019. Sepsis dan Tatalaksana berdasarkan Guideline Terbaru. Jakarta :
Departemen Anestesi UKRIDA.

6. McLymont N, Glover GW. Scoring systems for the characterization of sepsis and associated
outcomes.

7. Putra, Ivan. 2019. Update Tatalaksana Sepsis. Surakarta : RSUD Kota Surakarta

8. Rhodes A, Evans LE, Alhazzani W, Levy MM, Antonelli M, Ferrer R et al. Surviving Sepsis
Campaign: International Guidelines for Management of Sepsis and Septic Shock: 2016.
Intensive Care Med. 2017;43(3):304-77. Epub 2017/01/20. doi: 10.1007/s00134-017-4683-6.
PubMed PMID: 28101605.

9. Wang Z, Qiang W, Ke H. A Handbook of 2019-nCoV Pneumonia Control and Prevention.


Hubei Science and Technologi Press. China; 2020.

10. WHO. 2020. Tatalaksana Klinis Infeksi Saluran Pernafasan Akut Berat suspek Penyakit
Covid-19.

11. Xia W, Shao J, Guo Y, Peng X, Li Z, Hu D. Clinical and CT features in pediatric patients
with COVID-19 infection: different points from adults. Pediatr Pulmonol. 2020. Epub
2020/03/07. doi: 10.1002/ppul.24718.PubMed PMID: 32134205.

12. Yang X, Yu Y, Xu J, Shu H, Xia J, Liu H et al. Clinical course and outcomes of critically ill
patients with SARS-CoV-2 pneumonia in Wuhan, China: a single-centered, retrospective,
observational study. Lancet Respir Med. 2020. Epub 2020/02/28. doi: 10.1016/S2213-
2600(20)30079-5. PubMed PMID: 32105632

Anda mungkin juga menyukai