Anda di halaman 1dari 14

COVID 19

Kasus COVID-19 diklasifikasikan menjadi kasus suspek, kasus probabel, dan kasus konfirmasi.
Klasifikasi kasus COVID-19 dilakukan berdasarkan penilaian kriteria klinis, kriteria
epidemiologis, dan kriteria pemeriksaan penunjang.
1. Kasus Suspek
Yang dimaksud dengan kasus suspek adalah orang yang memenuhi salah satu kriteria berikut:
a. Orang yang memenuhi salah satu kriteria klinis:
1) Demam akut dan batuk; atau
2) Minimal 3 gejala berikut: demam, batuk, lemas, sakit kepala, nyeri otot, nyeri
tenggorokan, pilek/hidung tersumbat, sesak napas, anoreksia/mual/muntah, diare, atau
penurunan kesadaran; atau
3) Pasien dengan ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) berat dengan riwayat
demam/demam (> 38℃) dan batuk yang terjadi dalam 10 hari terakhir, serta
membutuhkan perawatan rumah sakit; atau
4) Anosmia (kehilangan penciuman) akut tanpa penyebab lain yang teridentifikasi; atau
5) Ageusia (kehilangan pengecapan) akut tanpa penyebab lain yang teridentifikasi.
b. Seseorang yang memiliki riwayat kontak dengan kasus probable/konfirmasi
COVID-19/kluster COVID-19 dan memenuhi kriteria klinis pada huruf a.
c. Seseorang dengan hasil pemeriksaan Rapid Diagnostic Test Antigen (RDT-Ag) positif sesuai
dengan penggunaan RDT-Ag pada kriteria wilayah A dan B, dan tidak memiliki gejala serta
bukan merupakan kontak erat (Penggunaan RDT-Ag mengikuti ketentuan yang berlaku).

2. Kasus Probable
Yang dimaksud dengan Kasus Probable adalah kasus suspek yang meninggal dengan gambaran
klinis meyakinkan COVID-19 dan memiliki salah satu kriteria sebagai berikut:
a. Tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium Nucleic Acid Amplification Test (NAAT) atau
RDT-Ag; atau
b. Hasil pemeriksaan laboratorium NAAT/RDT-Ag tidak memenuhi kriteria kasus
konfirmasi maupun bukan COVID-19 (discarded).

3. Kasus Terkonfirmasi
Yang dimaksud dengan Kasus Terkonfirmasi adalah orang yang memenuhi salah satu kriteria
berikut:
a. Seseorang dengan pemeriksaan laboratorium NAAT positif.
b. Memenuhi kriteria kasus suspek atau kontak erat dan hasil pemeriksaan RDT-Ag positif di
wilayah sesuai penggunaan RDT-Ag pada kriteria wilayah B dan C.
c. Seseorang dengan hasil pemeriksaan RDT-Ag positif sesuai dengan penggunaan RDT-Ag
pada kriteria wilayah C.

1. Epidemiologi
Indonesia melaporkan kasus pertama COVID-19 pada tanggal 2 Maret 2020 dan
jumlahnya terus bertambah hingga sekarang. Sampai dengan tanggal 30 Juni 2020
Kementerian Kesehatan melaporkan 56.385 kasus konfirmasi COVID-19 dengan 2.875
kasus meninggal (CFR 5,1%) yang tersebar di 34 provinsi. Sebanyak 51,5% kasus terjadi
pada laki-laki. Kasus paling banyak terjadi pada rentang usia 45-54 tahun dan paling
sedikit terjadi pada usia 0-5 tahun. Angka kematian tertinggi ditemukan pada pasien
dengan usia 55-64 tahun.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh CDC China, diketahui bahwa kasus
paling banyak terjadi pada pria (51,4%) dan terjadi pada usia 30-79 tahun dan paling
sedikit terjadi pada usia <10 tahun (1%). Sebanyak 81% kasus merupakan kasus yang
ringan, 14% parah, dan 5% kritis (Wu Z dan McGoogan JM, 2020). Orang dengan usia
lanjut atau yang memiliki penyakit bawaan diketahui lebih berisiko untuk mengalami
penyakit yang lebih parah. Usia lanjut juga diduga berhubungan dengan tingkat kematian.
CDC China melaporkan bahwa CFR pada pasien dengan usia ≥ 80 tahun adalah 14,8%,
sementara CFR keseluruhan hanya 2,3%. Hal yang sama juga ditemukan pada penelitian
di Italia, di mana CFR pada usia ≥ 80 tahun adalah 20,2%, sementara CFR keseluruhan
adalah 7,2% (Onder G, Rezza G, Brusaferro S, 2020). Tingkat kematian juga dipengaruhi
oleh adanya penyakit bawaan pada pasien. Tingkat 10,5% ditemukan pada pasien dengan
penyakit kardiovaskular, 7,3% pada pasien dengan diabetes, 6,3% pada pasien dengan
penyakit pernapasan kronis, 6% pada pasien dengan hipertensi, dan 5,6% pada pasien
dengan kanker.
2. Virologi
Coronavirus termasuk virus yang menyerang saluran pernapasan. Virus yang
berhubungan dengan infeksi pada saluran pernapasan akan menggunakan sel epitel dan
mukosa saluran napas sebagai target awal dan menyebabkan infeksi pada saluran
pernapasan atau kerusakan organ. Virus corona merupakan virus RNA rantai tunggal dan
rantai positif yang masuk keluarga coronaviridae yang dibagi menjadi subfamili menurut
serotip dan genotip karakteristik yang meliputi a, β, γ dan δ.
Coronavirus pada umumnya menyerang hewan khususnya kelelawar dan unta.
Coronavirus mempunyai sampul (enveloped), dengan partikel bulat dan seringkali
berbentuk pleomorfik. Dinding coronavirus dilapisi oleh protein S sebagai protein
antigenik utama yang dapat berikatan dengan reseptor yang ada di tubuh hostnya.
Terdapat enam jenis coronavirus yang ditemukan di saluran napas pada manusia yaitu
229E, NL63 dari genus Polygonum, OC43 dan HPU dari genus beta, Middle East
Respiratory Syndrome-associated Coronavirus (MERSCoV), and Severe Acute
Respiratory Syndromeassociated Coronavirus (SARS-CoV). Coronavirus jenis baru atau
SARS-CoV2 penyebab Covid-19 dapat diklasifikasikan dalam kelompok betacoronavirus
yang menyerupai SARS-CoV dan MERS-CoV tetapi tidak sama persis.
Coronavirus pada kelelawar merupakan sumber utama yang menyebabkan Middle
East Respiratory Syndrome-associated Coronavirus (MERS-CoV) dan Severe Acute
Respiratory Syndrome-associated Coronavirus. Coronavirus sensitif terhadap panas,
dengan suhu 56 derajat celcius selama 30 menit dinding lipid dapat dihancurkan. Alkohol
75%, klorin mengandung desinfektan, asam peroksiasetat dan klorform juga dapat
melarutkan lipid coronavirus. Menurut Van Doremalen dkk, 2020 menyebutkan bahwa
coronavirus lebih stabil pada plastik dan stainless steel >72 jam dibandingkan tembaga (4
jam) dan kardus (24 jam)
3. Etiologi
Penyebab COVID-19 adalah virus yang tergolong dalam family coronavirus. Coronavirus
merupakan virus RNA strain tunggal positif, berkapsul dan tidak bersegmen. Terdapat 4
struktur protein utama pada Coronavirus yaitu: protein N (nukleokapsid), glikoprotein M
(membran), glikoprotein spike S (spike), protein E (selubung). Coronavirus tergolong
ordo Nidovirales, keluarga Coronaviridae. Coronavirus ini dapat menyebabkan penyakit
pada hewan atau manusia. Terdapat 4 genus yaitu alphacoronavirus, betacoronavirus,
gammacoronavirus, dan deltacoronavirus. Coronavirus yang menjadi etiologi COVID-
19 termasuk dalam genus betacoronavirus, umumnya berbentuk bundar dengan beberapa
pleomorfik, dan berdiameter 60-140 nm. Hasil analisis filogenetik menunjukkan bahwa
virus ini masuk dalam subgenus yang sama dengan coronavirus yang menyebabkan
wabah SARS pada 2002-2004 silam, yaitu Sarbecovirus. Atas dasar ini, International
Committee on Taxonomy of Viruses (ICTV) memberikan nama penyebab COVID-19
sebagai SARS-CoV-2.
4. Faktor Risiko
a. Laki-laki perokok aktif
b. Pasien yang sudah ada penyakit bawaan seperti diabetes mellitus, hipertensi, dan
penyakit kardiovaskular (perokok, diabetes mellitus, serta hipertensi) terdapat
peningkatan pada reseptor ACE2.
c. Pasien lanjut usia yang memiliki komorbiditas seperti penyakit kardiovaskular,
hipertensi, penyakit ginjal kronis, dan diabetes mellitus
d. Pengguna (ARB) angiotensin receptor blocker
e. Pasien dengan kanker lebih rentan terhadap infeksi daripada orang yang tidak
memiliki kanker, karena keadaan imunosupresif sistemik mereka disebabkan
kemoterapi dan pembedahan.
f. Kontak langsung dengan penderita Covid-19.
5. Penularan
Coronavirus merupakan zoonosis (ditularkan antara hewan dan manusia).
Penelitian menyebutkan bahwa SARS ditransmisikan dari kucing luwak (civet cats) ke
manusia dan MERS dari unta ke manusia. Adapun, hewan yang menjadi sumber
penularan COVID-19 ini masih belum diketahui.
Masa inkubasi COVID-19 rata-rata 5-6 hari, dengan range antara 1 dan 14 hari
namun dapat mencapai 14 hari. Risiko penularan tertinggi diperoleh di hari-hari pertama
penyakit disebabkan oleh konsentrasi virus pada sekret yang tinggi. Orang yang terinfeksi
dapat langsung dapat menularkan sampai dengan 48 jam sebelum onset gejala
(presimptomatik) dan sampai dengan 14 hari setelah onset gejala. Sebuah studi Du Z et.
al, (2020) melaporkan bahwa 12,6% menunjukkan penularan presimptomatik. Penting
untuk mengetahui periode presimptomatik karena memungkinkan virus menyebar
melalui droplet atau kontak dengan benda yang terkontaminasi. Sebagai tambahan,
bahwa terdapat kasus konfirmasi yang tidak bergejala (asimptomatik), meskipun risiko
penularan sangat rendah akan tetapi masih ada kemungkinan kecil untuk terjadi
penularan.
Berdasarkan studi epidemiologi dan virologi saat ini membuktikan bahwa
COVID-19 utamanya ditularkan dari orang yang bergejala (simptomatik) ke orang lain
yang berada jarak dekat melalui droplet. Droplet merupakan partikel berisi air dengan
diameter >5-10 µm. Penularan droplet terjadi ketika seseorang berada pada jarak dekat
(dalam 1 meter) dengan seseorang yang memiliki gejala pernapasan (misalnya, batuk atau
bersin) sehingga droplet berisiko mengenai mukosa (mulut dan hidung) atau konjungtiva
(mata). Penularan juga dapat terjadi melalui benda dan permukaan yang terkontaminasi
droplet di sekitar orang yang terinfeksi. Oleh karena itu, penularan virus COVID-19
dapat terjadi melalui kontak langsung dengan orang yang terinfeksi dan kontak tidak
langsung dengan permukaan atau benda yang digunakan pada orang yang terinfeksi
(misalnya, stetoskop atau termometer).
6. Patogenesis
Coronavirus disease 2019 Covid-19 atau yang sebelumnya disebut SARS-CoV2.
Covid-19 pada manusia menyerang saluran pernapasan khususnya pada sel yang melapisi
alveoli. Covid-19 mempunyai glikoprotein pada enveloped spike atau protein S. Untuk
dapat meninfeksi “manusia” protein S virus akan berikatan dengan reseptor ACE2 pada
plasma membrane sel tubuh manusia. Di dalam sel, virus ini akan menduplikasi materi
genetik dan protein yang dibutuhkan dan akan membentuk virion baru di permukaan sel.
Sama halnya SARS-CoV setelah masuk ke dalam sel selanjutnya, virus ini akan
mengeluarkan genom RNA ke dalam sitoplasma dan golgi sel kemudian akan
ditranslasikan membentuk dua lipoprotein dan protein struktural untuk dapat bereplikasi.
Faktor virus dengan respon imun menentukan keparahan dari infeksi Covid-19
ini. Efek sitopatik virus dan kemampuannya dalam mengalahkan respon imun merupakan
faktor keparahan infeksi virus. Sistem imun yang tidak adekuat dalam merespon infeksi
juga menentukan tingkat keparahan, di sisi lain respon imun yang berlebihan juga ikut
andil dalam kerusakan jaringan. Saat virus masuk ke dalam sel selanjutnya, antigen virus
akan dipresentasikan ke Antigen Presentation Cell (APC). Presentasi sel ke APC akan
merespon sistem imun humoral dan seluler yang dimediasi oleh sel T dan sel B. IgM dan
IgG terbentuk dari sistem imun humoral. Pada SARS-CoV IgM akan hilang pada hari ke
12 dan IgG akan bertahan lebih lama. Virus dapat menghindar dari sistem imun dengan
cara menginduksi vesikel membran ganda yang tidak mempunyai pattern recognition
receptors (PRRs) dan dapat bereplikasi di dalam vesikel tersebut sehingga tidak dapat
dikenali oleh sel imun.
Pasien konfirmasi potitif Covid-19 dengan gejala klinis ringan menunjukkan
respon imun didapatkan peningkatan sel T terutama CD8 pada hari ke 7-9, selain itu
ditemukan T helper folikular dan Antibody Secreting Cells (ASCs). Pada hari ke 7
hingga hari ke 20, ditemukan peningkatan IgM/IgG secara progresif. Jika dibandingkan
dengan kontrol sehat, jumlah monosit CD14+ dan CD16+ mengalami penurunan.
Namun pada orang konfirmasi positif Covid-19 dengan tanda dan gejala yang ringan
tidak ditemukan peningkatan kemokin dan sitokin proinflamasi.
Pada pasien konfirmasi positif Covid19 dengan gejala klinis berat memberikan
hasil profil imunologi yang berbeda dengan klinis ringan. Pada kasus klinis berat
ditemukan hitung limfosit yang rendah, serta hasil monosit, basofil, dan eosinofil lebih
rendah pada pasien Covid-19 dengan klinis berat. Terdapat pula peningkatan mediator
proinflamasi (TNF-α, IL 1, IL6 dan IL 8) namun pada sel T helper, T supresor dan T
regulator mengalami penurunan pada kasus Covid-19 klinis berat. Pasien Covid-19 yang
mengalami Acute Distress Respiratory Syndrome (ADRS) juga ditemukan sel T CD4 dan
CD 8 mengalami penurunan, limfosit CD 4 dan CD8 mengalami hiperaktivasi. ARDS
merupakan salah satu penyebab kematian pada kasus Covid-19 yang diakibatkan oleh
peningkatan mediator proinflamasi (badai sitokin) yang tidak terkontrol. Hal itu akan
mengakibatkan kerusakan paru dan terbentuknya jaringan fibrosis sehingga dapat
terjadinya kegagalan fungsi.
7. Gejala Klinis
Rata-rata masa inkubasi adalah 4 hari dengan rentang waktu 2 sampai 7 hari.
Masa inkubasi dengan menggunakan distribusi lognoral yaitu berkisar antara 2,4 sampai
15,5 hari. Periode bergantung pada usia dan status imunitas pasien. Rerata usia pasien
adalah 47 tahun dengan rentang umur 35 sampai 58 tahun serta 0,9% adalah pasien yang
lebih muda dari umur 15 tahun.
Gejala umum di awal penyakit adalah demam, kelelahan atau myalgia, batuk
kering. Serta beberapa organ yang terlibat seperti pernapasan (batuk, sesak napas, sakit
tenggorokan, hemoptisis atau batuk darah, nyeri dada), gastrointestinal
(diare,mual,muntah), neurologis (kebingungan dan sakit kepala). Namun tanda dan gejala
yang sering dijumpai adalah demam (83-98%), batuk (76-82%), dan sesak napas atau
dyspnea (31-55%).
Berdasarkan beratnya kasus, COVID-19 dibedakan menjadi tanpa gejala, ringan,
sedang, berat dan kritis.
a. Tanpa gejala
Kondisi ini merupakan kondisi paling ringan. Pasien tidak ditemukan gejala.

b. Ringan
Pasien dengan gejala tanpa ada bukti pneumonia virus atau tanpa hipoksia. Gejala
yang muncul seperti demam, batuk, fatigue, anoreksia, napas pendek, mialgia.
Gejala tidak spesifik lainnya seperti sakit tenggorokan, kongesti hidung, sakit
kepala, diare, mual dan muntah, penghidu (anosmia) atau hilang pengecapan
(ageusia) yang muncul sebelum onset gejala pernapasan juga sering dilaporkan.
Pasien usia tua dan immunocompromised gejala atipikal seperti fatigue, penurunan
kesadaran, mobilitas menurun, diare, hilang nafsu makan, delirium, dan tidak ada
demam.

c. Sedang
Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis pneumonia (demam,
batuk, sesak, napas cepat) tetapi tidak ada tanda pneumonia berat termasuk SpO2 ≥
93% dengan udara ruangan

ATAU

Anak-anak : pasien dengan tanda klinis pneumonia tidak berat (batuk atau sulit
bernapas + napas cepat dan/atau tarikan dinding dada) dan tidak ada tanda
pneumonia berat). Kriteria napas cepat : usia <2 bulan, ≥60x/menit; usia 2-11 bulan,
≥50x/menit; usia 1-5 tahun, ≥40x/menit; usia >5 tahun, ≥30x/menit.

d. Berat
Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis pneumonia (demam,
batuk, sesak, napas cepat) ditambah satu dari: frekuensi napas > 30 x/menit, distres
pernapasan berat, atau SpO2 < 93% pada udara ruangan.

ATAU

Pada pasien anak : pasien dengan tanda klinis pneumonia (batuk atau kesulitan
bernapas), ditambah setidaknya satu dari berikut ini:

1) sianosis sentral atau SpO2<93% ;


2) distres pernapasan berat (seperti napas cepat, grunting, tarikan dinding dada
yang sangat berat);
3) tanda bahaya umum : ketidakmampuan menyusu atau minum, letargi atau
penurunan kesadaran, atau kejang.
4) Napas cepat/tarikan dinding dada/takipnea : usia <2 bulan, ≥60x/menit; usia 2-
11 bulan, ≥50x/menit; usia 1-5 tahun, ≥40x/menit; usia >5 tahun, ≥30x/menit.
e. Kritis
Pasien dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan syok
sepsis.

8. Perjalanan Penyakit
Pembagian fase klinis pada perjalanan penyakit ini, untuk memfasilitasi aplikasi
terapeutik dan mengevaluasi respon dari pengobatan. Didapatkan sistem klasifikasi yang
terdiri dari 3-tahap, yaitu bahwa penyakit COVID-19 memiliki 3 tingkatan keparahan
yang sesuai dengan temuan klinis yang berbeda, respon terhadap terapi dan hasil klinis.
a. Tahap I (ringan) – infeksi dini
Tahap awal terjadi pada saat inokulasi dan awal pembentukan penyakit. Bagi
kebanyakan orang, ini melibatkan periode inkubasi yang terkait dengan gejala ringan
dan sering nonspesifik seperti malaise, demam dan batuk kering. Selama periode ini,
nCov2019 bertempat tinggal di dalam host, terutama berfokus pada sistem
pernapasan. SARS-CoV-2 berikatan dengan target menggunakan angiotensin
mengkonversi enzim 2 (ACE2) reseptor pada sel manusia, reseptor ini berlimpah
hadir pada paru-paru manusia dan epitel usus kecil, serta endotelium vaskular.
Diagnosis pada tahap ini dapat dikonfirmaasi menggunakan PCR, tes serum untuk
SARS-CoV-2 IgG dan IgM, bersama dengan foto thorax, jumlah darah lengkap dan
tes fungsi hati. Tes darah lengkap dapat mengungkapkan limfopenia dan neutrophilia
tanpa kelainan yang signifikan lainnya. Pengobatan pada tahap ini terutama
ditargetkan terhadap bantuan simptomatik. Jika terapi anti-virus yang layak (seperti
remdesivir) terbukti bermanfaat digunakan untuk meminimalkan penularan dan
mencegah perkembangan keparahan. Pada pasien yang dapat menjaga virus terbatas
pada tahap ini COVID-19, prognosis dan pemulihan yang sangat baik.
b. Tahap II (moderat) – keterlibatan paru dengan hipoksia
Pada tahap kedua penyakit paru yang terbentuk akibat penggandaan virus dan
peradangan lokal di paru. Selama tahap ini, pasien mengalami batuk, demam dan
mungkin hipoksia (didefinisikan sebagai PaO2/FiO2 dari < 300 mmHg). Pencitraan
dengan roentgenogram dada atau CT scan menggambarkan infiltrasi bilateral atau
opasitas ground glass. Tes darah menunjukkan meningkatnya limfopenia. Penanda
peradangan sistemik meningkat, tetapi tidak begitu signifikan, pada tahap ini sebagian
besar pasien dengan COVID-19 akan perlu dirawat di rawat inap untuk pengamatan
dan manajemen dekat. Pengobatan terutama akan terdiri dari tindakan suportif dan
tersedia terapi anti-virus. Penggunaan kortikosteroid pada pasien dengan COVID-19
dapat dihindari.Namun, jika hipoksia terjadi kemudian, ada kemungkinan bahwa
pasien akan membutuhkan ventilasi mekanik dan dalam situasi itu, penggunaan terapi
antiinflamasi seperti dengan kortikosteroid mungkin berguna dan dapat bekerja
dengan baik
c. Tahap III (berat) – peradangan sistemik
Beberapa pasien COVID-19 akan beralih ke tahap ketiga dan merupakan yang paling
parah dari seluruh stadium yang memanifestasikan sebagai sindrom hiperperadangan
sistemik ekstra-paru. Pada tahap ini, penanda peradangan sistemik tampak meningkat.
Penelitian telah menunjukkan bahwa sitokin inflamasi dan biomarker seperti
interleukin (Il)-2, Il-6, Il-7, faktor granulosit-koloni merangsang, makrofag protein
inflamasi 1-α, tumor nekrosis faktor-α, C-reaktif protein, feritin, dan D-dimer secara
signifikan meningkat pada pasien dengan manifestasi yang lebih parah. troponin dan
N-terminal Pro B-jenis natriuretik peptida (NT-probnp) juga dapat meningkat. Bentuk
mirip dengan hemophagocytic lymphohistiocytosis (sHLH) dapat terjadi pada pasien
di stadium lanjut penyakit ini. Keterlibatan organ sistemik, bahkan dapat terjadi
selama tahap ini. Terapi disesuaikan di tahap III. Dalam fase ini, penggunaan
kortikosteroid dapat dibenarkan dan juga dengan menggunakan inhibitor sitokin
seperti tocilizumab (inhibitor IL-6) atau Anakinra (antagonis reseptor IL-1). intravena
imuno globulin (IVIG) juga dapat memainkan peran dalam modulasi sistem
kekebalan tubuh yang berada dalam keadaan hiperinflamasi. Secara keseluruhan,
prognosis dan pemulihan dari tahap kritis ini penyakit buruk
Skema perjalanan penyakit COVID-19

Perjalanan penyakit pada COVID-19 berat

9. Tatalaksana
Menurut buku diagnosis dan tatalaksana Covid-19 di Indonesia yang disusun oleh
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) tahun 2020, tatalaksana untuk pasien
coronavirus disease 2019 dibagi menjadi tatalaksana orang tanpa gejala (OTG), orang
dengan gejala ringan, sedang, dan berat, adapun penjelasan dari ketiganya sebagai
berikut:
a. Orang tanpa Gejala (OTG)
 Untuk orang tanpa gejala, isolasi mandiri di rumah selama 14 hari dan dipantau
oleh Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer (FKTP) melalui telepon.
 Jika terdapat penyakit penyerta (komorbid), lanjutkan mengonsumsi obat –
obatan yang telah rutin dikonsumsi.
 Jika obat rutin pasien adalah Angiotensin Reseptor Blocker dan Ace-inhibitor,
harap berkonsultasi pada dokter spesialis dalam dan dokter spesialis jantung.
 Dianjurkan meminum vitamin C, B, E, dan Zink selama 14 hari.
 Berbagai pilihan vitamin C yang dapat dipilih yaitu vitamin C tablet isap
(500mg per 12 jam oral selama 30 hari), dan vitamin C tablet non acid (500mg
per 6-8 jam oral untuk 14 hari)
b. Orang dengan gejala ringan
Untuk pasien dengan gejala ringan, melakukan isolasi mandiri di rumah selama 14
hari dan ditangani serta dikontrol oleh FKTP (puskesmas) selama 14 hari sebagai
pasien rawat jalan.
Untuk pilihan terapi yang dapat digunakan pada orang gejala ringan yaitu:
1) Minum multivitamin berupa vitmin C,B,E, dan Zink.
2) Vitamin C tablet isap 500 mg per 12 jam oral selama 30 hari
3) Klorokuin fosfat 500mg per 12 jam oral untuk lima hari / Hidroksiklorokuin
(sediaan 200mg) 400mg per 24 jam per oral dalam 5 hari
4) Azitromisin 500mg per 24 jam per oral untuk 5 hari alternatif menggunakan
levofloxacin 750mg per 24 jam selama 5 hari
5) Simptomatik bila demam beri paracetamol
6) Antivirus berupa oseltamivir 75 mg per 12 jam pe oral atau favipiravir 600 mg per
12 jam per oral dalam waktu 5 hari.
c. Orang dengan gejala sedang
Harus dirujuk ke rumah sakit rujukan Covid19 dan diisolasi selama 14 hari.
Untuk pilihan terapi yang dapat digunakan pada orang gejala sedang yaitu:
1) Konsumsi vitamin C 200-400 mg per 8 jam (100 cc NaCl 0,9%) habis 1 jam (drip
intravena).
2) Klorokuin fosfat 500 mg per 12 jam oral selama 5-7 hari / Hidroksiklorokuin
(sediaan 200 mg) sebanyak 400 mg per 12 jam per oral dilanjutkan 400 mg per 24
jam per oral dalam 5-7 hari.
3) Azitromisin 500 mg per 24 jam per intravena atau peroral dalam 5-7 hari
alternative menggunakan levofloxacin 750 mg per 24 jam per intrravena atau
peroral dalam waktu 5-7 hari. d. Simtomatis bila demam beri paracetamol
4) Antivirus berupa oseltamivir 75 mg per 12 jam oral atau favipiravir (sedian 200
mg) dengan loading dose 1600 mg per 12 jam per oral pada hari pertama dan
dilanjutkan 2x600 mg pada hari ke 2-5.
d. Orang dengan gejala berat
Harus isolasi diri di rumah sakit rujukan serta dirawat secara kohorting (ruang
isolasi).
Untuk pilihan terapi yang digunakan pada orang dengan gejala berat adalah:
1) Klorokuin fosfat 500 mg per 12 jam per oral pada hari ke 1-3 selanjutnya 250 mg
per 12 jam per oral pada hari ke 4-10 atau hidroksiklorokuin 400 mg per 24 jam
per oral dalam 5 hari dan control EKG setiap 3 hari sekali
2) Azitromisin 500 mg per 24 jam dalam 5 hari atau levofloxacin 750 mg per 24 jam
per iv dalam 5 hari
3) Jika terjadi sepsis, pemberian antibiotik disesuaikan dengan kondisi klinisnya
serta fokus pada infeksi dan faktor risiko pasien
4) Antivirus menggunakan oseltamivir 75 mg per 12 jam per oral atau favipiravir
(sediaan 200 mg ) dengan loading dose 1600 mg per 12 jam per oral pada hari
pertama dan dilanjutkan dengan 2 x 600 mg pada hari ke 2-5
5) Konsumsi vitamin C dosis 200-400 mg per 8 jam (100 cc NaCl 0,9%) dan habis
dalam waktu 1 jam (drip intravena) f. Vitamin B1 1 ampul per 24 jam per iv g.
Hydroxycortison 100 mg per 24 jam per iv pada 3 hari pertama
6) Meneruskan obat-obatan penyakit penyerta (komorbid) dan obat komplikasi (jika
terjadi komplikasi).
10. Pencegahan
COVID-19 merupakan penyakit yang baru ditemukan oleh karena itu pengetahuan terkait
pencegahannya masih terbatas. Kunci pencegahan meliputi pemutusan rantai penularan
dengan isolasi, deteksi dini, dan melakukan proteksi dasar.
Vaksin
Salah satu upaya yang sedang dikembangkan adalah pembuatan vaksin guna
membuat imunitas dan mencegah transmisi.
Deteksi dini dan Isolasi
Seluruh individu yang memenuhi kriteria suspek atau pernah berkontak dengan
pasien yang positif COVID-19 harus segera berobat ke fasilitas kesehatan. WHO juga
sudah membuat instrumen penilaian risiko bagi petugas kesehatan yang menangani
pasien COVID-19 sebagai panduan rekomendasi tindakan lanjutan. Bagi kelompok risiko
tinggi, direkomendasikan pemberhentian seluruh aktivitas yang berhubungan dengan
pasien selama 14 hari, pemeriksaan infeksi SARS-CoV-2 dan isolasi. Pada kelompok
risiko rendah, dihimbau melaksanakan pemantuan mandiri setiap harinya terhadap suhu
dan gejala pernapasan selama 14 hari dan mencari bantuan jika keluhan memberat. Pada
tingkat masyarakat, usaha mitigasi meliputi pembatasan berpergian dan kumpul massa
pada acara besar (social distancing).
Higiene, Cuci Tangan, dan Disinfeksi
Rekomendasi WHO dalam menghadapi wabah COVID-19 adalah melakukan
proteksi dasar, yang terdiri dari cuci tangan secara rutin dengan alkohol atau sabun dan
air, menjaga jarak dengan seseorang yang memiliki gejala batuk atau bersin, melakukan
etika batuk atau bersin, dan berobat ketika memiliki keluhan yang sesuai kategori suspek.
Rekomendasi jarak yang harus dijaga adalah satu meter. Pasien rawat inap dengan
kecurigaan COVID-19 juga harus diberi jarak minimal satu meter dari pasien lainnya,
diberikan masker bedah, diajarkan etika batuk/bersin, dan diajarkan cuci tangan.
Perilaku cuci tangan harus diterapkan oleh seluruh petugas kesehatan pada lima
waktu, yaitu sebelum menyentuh pasien, sebelum melakukan prosedur, setelah terpajan
cairan tubuh, setelah menyentuh pasien dan setelah menyentuh lingkungan pasien. Air
sering disebut sebagai pelarut universal, namun mencuci tangan dengan air saja tidak
cukup untuk menghilangkan coronavirus karena virus tersebut merupakan virus RNA
dengan selubung lipid bilayer.
Sabun mampu mengangkat dan mengurai senyawa hidrofobik seperti lemak atau
minyak. Selain menggunakan air dan sabun, etanol 62-71% dapat mengurangi infektivitas
virus. Oleh karena itu, membersihkan tangan dapat dilakukan dengan hand rub berbasis
alkohol atau sabun dan air. Berbasis alkohol lebih dipilih ketika secara kasat mata tangan
tidak kotor sedangkan sabun dipilih ketika tangan tampak kotor.
Hindari menyentuh wajah terutama bagian wajah, hidung atau mulut dengan
permukaan tangan. Ketika tangan terkontaminasi dengan virus, menyentuh wajah dapat
menjadi portal masuk. Terakhir, pastikan menggunakan tisu satu kali pakai ketika bersin
atau batuk untuk menghindari penyebaran droplet.
Mempersiapkan Daya Tahan Tubuh
Terdapat beragam upaya dari berbagai literatur yang dapat memperbaiki daya
tahan tubuh terhadap infeksi saluran napas. Beberapa di antaranya adalah berhenti
merokok dan konsumsi alkohol, memperbaiki kualitas tidur, serta konsumsi suplemen.
Berhenti merokok dapat menurunkan risiko infeksi saluran napas atas dan bawah.
Merokok menurunkan fungsi proteksi epitel saluran napas, makrofag alveolus, sel
dendritik, sel NK, dan sistem imun adaptif. Merokok juga dapat meningkatkan virulensi
mikroba dan resistensi antibiotika.
Suatu meta-analisis dan telaah sistematik menunjukkan bahwa konsumsi alkohol
berhubungan dengan peningkatan risiko pneumonia komunitas.139 ARDS juga
berhubungan dengan konsumsi alkohol yang berat. Konsumsi alkohol dapat menurunkan
fungsi neutrofil, limfosit, silia saluran napas, dan makrofag alveolus.

DAFTAR PUSTAKA

Kemenkes RI. 2020. Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Coronavirus Disease


(Covid-19) Revisi Ke-5.

PDPI. PERKI. PAPDI. PERDATIN. IDAI. 2020. Pedoman Tatalaksana COVID-19 5OP
Edisi 3.

Anda mungkin juga menyukai