NIM : 04011281924070
A. Definisi
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). SARS-CoV-2
merupakan coronavirus jenis baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada
manusia.
B. Epidemiologi
a. Penyakit ini diawali dengan munculnya kasus pneumonia yang tidak diketahui
etiologinya di Wuhan, China pada akhir Desember 2019 (Li et al, 2020).
b. Pada tanggal 7 Januari 2020, Pemerintah China kemudian mengumumkan bahwa
penyebab kasus tersebut adalah Coronavirus jenis baru yang kemudian diberi nama
SARS-CoV-2. Virus ini berasal dari famili yang sama dengan virus penyebab SARS
dan MERS.
c. Thailand merupakan negara pertama di luar China yang melaporkan adanya kasus
COVID-19. Setelah Thailand, negara berikutnya yang melaporkan kasus pertama
COVID-19 adalah Jepang dan Korea Selatan yang kemudian berkembang ke negara-
negara lain.
d. Indonesia melaporkan kasus pertama COVID-19 pada tanggal 2 Maret 2020
e. Pada 25 Juli 2022, lebih dari 565 juta kasus yang dikonfirmasi dan lebih dari enam
juta kematian telah dilaporkan secara global. Sedangkan di Indoneisa, hampir 6 juta
kasus terkonfirmasi dengan 157 juta jumlah kematian.
f. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh CDC China, diketahui bahwa kasus
paling banyak terjadi pada pria (51,4%) dan terjadi pada usia 30-79 tahun dan paling
sedikit terjadi pada usia
g. Orang dengan usia lanjut atau yang memiliki penyakit bawaan diketahui lebih
berisiko untuk mengalami penyakit yang lebih parah. Usia lanjut juga diduga
berhubungan dengan tingkat kematian.
C. Etiologi
Penyebab COVID-19 adalah virus yang tergolong dalam family coronavirus.
D. Transmisi (Penularan)
a. Coronavirus merupakan zoonosis (ditularkan antara hewan dan manusia).
b. Adapun, hewan yang menjadi sumber penularan COVID-19 ini masih belum
diketahui.
c. Masa inkubasi COVID-19 rata-rata 5-6 hari, dengan range antara 1 dan 14 hari namun
dapat mencapai 14 hari.
d. Orang yang terinfeksi dapat langsung dapat menularkan sampai dengan 48 jam
sebelum onset gejala (presimptomatik) dan sampai dengan 14 hari setelah onset
gejala. Sebuah studi Du Z et. al, (2020) melaporkan bahwa 12,6% menunjukkan
penularan presimptomatik.
e. COVID-19 utamanya ditularkan dari orang yang bergejala (simptomatik) ke orang
lain yang berada jarak dekat melalui droplet.
Droplet merupakan partikel berisi air dengan diameter >5-10 µm.
Penularan droplet terjadi ketika seseorang berada pada jarak dekat (dalam 1
meter) dengan seseorang yang memiliki gejala pernapasan (misalnya, batuk atau
bersin) sehingga droplet berisiko mengenai mukosa (mulut dan hidung) atau
konjungtiva (mata).
Penularan juga dapat terjadi melalui benda dan permukaan yang terkontaminasi
droplet di sekitar orang yang terinfeksi.
penularan virus COVID-19 dapat terjadi melalui kontak langsung dengan orang
yang terinfeksi dan kontak tidak langsung dengan permukaan atau benda yang
digunakan pada orang yang terinfeksi (misalnya, stetoskop atau termometer)
f. Dalam konteks COVID-19, transmisi melalui udara dapat dimungkinkan dalam
keadaan khusus dimana prosedur atau perawatan suportif yang menghasilkan aerosol.
G. Alur Diagnosis
Penegakan diagnosis COVID-19 dilakukan dengan pemeriksaan PCR SWAB. Apabila
pemeriksaan Rapid Test Antibodi postif maka wajib melakukan Rapid Test PCR/SWAB
Test.
H. Tatalaksana Pasien Terkonfirmasi COVID-19 derajat berat
1. Derajat Berat atau Kritis
a. Isolasi dan Pemantauan
Isolasi di ruang isolasi Intensive Care Unit (ICU) atau High Care Unit (HCU)
Rumah Sakit Rujukan
Perawatan intensif COVID-19 di ICU, dengan kriteria:
1) Membutuhkan terapi oktigen >4 Liter/menit
2) Gagal napas
3) Sepsis
4) Syok
5) Disfungsi organ akut
6) Pasien yang resiko tinggi perburukan ARDS : umur lebih 65 tahun, demam
- Jika ditemukan sesak napas dan tanda hipoksemia (SpO2 <93% atau
FiO2 21%)
1) Inisiasi terapi oksigen dengan udara bebas dengan mulai dari nasal
kanul sampai NRM (Non-rebreathing mask) dengan kecepatan 15
L/menit, lalu titrasi sesuai target SpO2 92 – 96%. Pada ibu hamil
>94%
2) Lakukan awake prone position selama 2 jam 2 kali sehari dapat
mempercepat perbaikan oksigenasi dan mengurangi kebutuhan akan
intubasi. Mulai posisi tengkurap
- Evaluasi dalam 1 jam, Jika tidak terjadi perbaikan klinis atau terjadi
perburukan klinis,
1) Tingkatkan terapi oksigen dengan alat HFNC (High Flow Nasal
Cannula); flow 30 L/menit, dengan konsentrasi/FiO2 40% sesuai
dengan kenyamanan pasien dan dapat mempertahankan target SpO2 92
- 96%
2) Titrasi flow secara bertahap 5 – 10 L/menit (maksimal 60 L/menit),
diikuti peningkatan fraksi oksigen (FiO2 maksimal 100%), jika
o Frekuensi nafas masih tinggi (>35x/menit)
o Target SpO2 belum tercapai (92 – 96%)
o Work of breathing yang masih meningkat (dyspnea, otot bantu
nafas aktif)
- Evaluasi pemberian HFNC setiap 1 - 2 jam dengan menggunakan
indeks ROX.
Kriteria ventilasi aman: indeks ROX >4.88
Kriteria intubasi: indeks ROX <:2.85 dalam 2 jam. ROX <:3.47 dalam 6
jam. ROX <:3.85 dalam 12 jam
1) Jika pasien mengalami perbaikan dan mencapai kriteria ventilasi
aman pada jam ke-2, 6, dan 12 menandakan bahwa pasien tidak
membutuhkan ventilasi invasif, dan dapat dilakukan De-eskalasi
2) sementara ROX <3.85 menandakan risiko tinggi untuk kebutuhan
intubasi
3) Jika pasien mengalami perburukan atau parameter keberhasilan
terapi oksigen dengan HFNC tidak tercapai, pertimbangkan untuk
menggunakan metode ventilasi invasif atau trial NIV.
c. Farmakologis
Vitamin dan suplemen:
- Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1
jam diberikan secara drip Intravena (IV) selama perawatan
- Vitamin B1 1 ampul/24 jam/intravena
- Vitamin D, Dosis 1000-5000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet 1000
IU dan tablet kunyah 5000 IU)
Antivirus :
Remdesivir 200 mg IV drip (hari ke-1) dilanjutkan 1x100 mg IV drip (hari ke
2-5 atau hari ke 2-10). Apabila Remdesivir tidak tersedia maka pemberian
antivirus disesuaikan dengan ketersediaan obat di fasyankes masing-masing,
dengan pilihan sebagai berikut:
- Favipiravir (sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12 jam/oral hari ke-1
dan selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5), ATAU
- Molnupiravir (sediaan 200 mg, oral), 800 mg per 12 jam, selama 5 hari,
ATAU
- Nirmatrelvir/Ritonavir (sediaan 150 mg/100 mg dalam bentuk kombo),
Nirmatrelvir 2 tablet per 12 jam, Ritonavir 1 tablet per 12 jam, diberikan
selama 5 hari
Antivirus baru (Molnupiravir dan Nirmatrelvir/Ritonavir):
Saat ini terdapat dua obat antivirus yang baru sebagai pilihan sesuai indikasi
dan ketersediaan yaitu molnupiravir dan Nirmatrelvir/Ritonavir (Paxlovid).
1) Molnupiravir – antivirus oral
- Menghambat replikasi virus dan menghambat patogenesis penyakit
akibat coronavirus.
- Molnupiravir memiliki keamanan dan tolerabilitas yang baik.
- Efek samping yang dilaporkan di antaranya adalah nyeri kepala,
insomnia dan peningkatan enzim transaminase.
- manfaat Molnupiravir bermakna pada COVID-19 derajat ringan,
namun tidak cukup bermakna pada COVID- 19 derajat sedang dan
berat.
Indikasi:
- Pasien anak (> 12 tahun, BB > 40 kg) atau dewasa dengan gejala
ringan -sedang, terkonfirmasi
- Memiliki risiko tinggi faktor risiko menjadi progresif berat, rawat inap
RS dan kematian
- Diberikan secepatnya setelah diagnosis Covid-19 dan dalam 5 hari
onset gejala
Kontraindikasi:
Kontraindikasi
Kontraindikasi
- Gula darah sewaktu Tn. A 286 mg/dl = HbA1C 11,6 % (>9%), sesuai indikasi
tatalaksana DM tipe 2 pada pasien COVID-12 gejala berat, insulin subkutan
merupakan terapi lini pertama
- Jika kondisi klinis stabil dan asupan makan baik, pasien dapat melanjutkan
obat antidiabetes oral seperti sebelum dirawat.
- Menggunakan insulin NPH (Neutral Protamine Hagedorn) dan insulin kerja
panjang (long acting) selama pengobatan dengan glukokortikoid untuk
mengontrol kadar glukosa.
- Pematauan glukosa darah 4-7 titik selama pengobatan insulin
- Pertimbangan penggunaan obat diabetes dan obat yang sering digunakan pada
penyandang diabetes disertai infeksi Covid-19 dapat dilihat pada tabel berikut
Tabel. Obat-obatan yang terkait dengan diabetes
2. Hipertensi
Tabel. Kriteria Hipertensi berdasarkan American Society of Hypertension and
the International Society of Hypertension 2013
Tekanan darah Tn. A 140/100 mmHg = Hipertensi derajat 1
Hipertensi merupakan salah satu komorbid yang paling sering ditemui pada pasien
COVID-19. pengontrolan tekanan darah tetap dianggap penting untuk mengurangi
beban penyakit. SARS-CoV-2, virus yang mengakibatkan COVID-19, berikatan
dengan ACE2 di paru-paru untuk masuk ke dalam sel, sehingga penggunaan
penghambat angiotensin converting enzym (ACE inhibitor) dan angiotensin receptor
blockers (ARB), 2 golongan obat yang sering digunakan dalam mengontrol hipertensi,
dipertanyakan akan memberikan manfaat atau merugikan, karena ACE inhibitor dan
ARB meningkatkan ACE2 sehingga secara teoritis akan meningkatkan ikatan SARS-
Cov-2 ke paru-paru.
Beberapa tinjauan sistematik dan meta analisis melaporkan pemberian ACE
inhibitor dan ARB tidak meningkatkan progresivitas penyakit Covid-19, sehingga
ACE inhibitor dan ARB tetap dapat digunakan sebagai terapi antihipertensi pada
populasi pasien COVID-19. European Society of Cardiology (ESC) juga tetap
merekomendasikan pemberian ACE inhibitor dan ARB sebagai upaya
mengendalikan hipertensi pada pasien COVID-19 dikarenakan efek negatif kedua
obat ini tidak memiliki basis kaidah ilmiah.
Penggunaan ACE inhibitor atau ARB tidak berhubungan dengan peningkatan
risiko COVID 19 dan didapatkan penurunan derajat keparahan COVID 19 dengan
ACE inhibitor atau ARB pada populasi umum dan kelompok pasien dengan
hipertensi.
a. Non-farmakologis
Menjalani pola hidup sehat dengan
- menurunkan berat badan
- mengurangi asupan garam
- olahraga (tidak dianjurkan bagi pasien rawat inap COVID-19)
- mengurangi konsumsi alkohol
- berhenti merokok
b. Terapi farmakologi
Prinsip dasar:
- Berikan obat dosis tunggal
- Berikan obat dengan memperhatikan faktor komorbid
- Jangan mengkombinasikan ACE-i dengan ARB
- Berikan edukasi menyeluruh tentang terapi farmakologi
- Lakukan pemantauan efek samping
Daftar Pustaka
Erlina et al., 2022. Pedoman Tatalaksana COVID-19 Edisi 4. Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia. Jakarta
Soelistjio, SA et al., 2021. Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2
Dewasa di Indoneia. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Jakarta